Senin, 09 Juli 2018

RUANG LINGKUP AJARAN ISLAM TENTANG SYARI’AH DAN AKHLAK

RUANG LINGKUP AJARAN ISLAM TENTANG SYARI’AH DAN AKHLAK
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA
A.  Syari’ah (Ibadah)
Syari’at secara etimologis berarti ‘jalan’. Syari’at Islam adalah satu sistem norma Ilahi yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, hubungan antar sesama manusia, serta hubungan antara manusia dengan alam lainnya. Anshari (2004: 45) sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015: 93),  menyebutkan bahwa syari’ah secara garis besar terbagi kepada dua bagian besar. Pertama, syari’ah dalam artian ibadah khusus (kaidah ubudiyah), yaitu tata aturan Allah yang mengatur hubungan ritual langsung antara hamba dan Tuhannya yang acara, tata cara, serta upacaranya telah ditentukan secara terinci dalam al-Quran dan Sunnah Rasul. Pembahasan ibadah khusus (mahdhah) ini meliputi thaharah, shalat, zakat, puasa, dan hajji.
Kedua, syari’ah dalam artian ibadah dalam artian yang luas (mu’malah), yaitu tata aturan Allah yang mengatur  hubungan sesama manusia dan hubungan antara manusia dalam alam. Ibadah dalam arti luas juga berarti sikap, gerak-gerik, tingkah laku, dan perbuatan yang dijadikan (diberi makna) sebagai ibadah kepada Allah yang memiliki tiga karakteristik, yaitu niat yang ikhlas kepada Allah sebagai titik tolak, keredhaan Allah sebagai titik tuju, dan amal shaleh (tidak bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah) sebagai garis amalan (Anshari, 2004: 45)
Menurut Anshari (2004: 45), ibadah dalam arti luas (mu’amalah) ini secara garis besar terdiri atas dua bagian besar

  1. Al-Qanun al-Khas (hukum perdata) yang meliputi:
a.Muamalah dalam arti yang sempit atau dikenal juga dengan hukum niaga
b.Munakahat yang mengatur tentang pernikahan
c.Waratsah, yaitu yang mengatur hukum kewarisan
d. Dan lain sebagainya
2. Al-Qanun al-‘Am (hukum publik) yang meliputi:
a. Jinayah atau disebut juga dengan hukum perdata
b.Khilafah atau hukum kenegaraan
c.Jihad atau hukum-hukum yang mengatur peperangan dan damai
d.Lain sebagainya.
Istilah syari’at kadang juga diartikan dengan hukum-hukum Allah atau dikenal juga dengan aturan-aturan Allah yang berhubungan dengan kehidupan atau aktivitas manusia. Terdapat perbedaan pendapat antara ulama ushul fikih dan ulama ushul fikih tentang pengertian hukum atau syariat. Di kalangan ulama ushul fikih, yang dimaksud syari’at itu adalah dalil hukum itu sendiri atau ayat-ayat al-Quran serta dalil-dalil Sunnah Rasulullah. Sedang menurut ulama fikih, yang dimaksud dengan syari’at adalah dalil nash dan akibat yang ditimbulkan oleh nash-nash al-Quran dan Sunnah Rasul (Nasrul HS, dkk., 2011: 99-100)
Sebagaimana telah disebutkan di atas, syari’ah dalam pengertian ibadah mahdhah yang terdiri dari  meliputi thaharah, shalat, puasa, zakat, dan hajji merupakan pokok-pokok penting sebagai ajaran Islam di samping rukun iman yang enam. Dengan demikian, pokok-pokok ajaran Islam secara umum meliputi prinsip-prinsip dasar akidah yang termaktup pada rukun iman yang enam, prinsip-prinsip ke-Islaman yang mencakup rukun Islam yang lima, ditambah dengan ajaran akhlak yang mulia yang merupakan hal yang juga pokok dalam ajaran Islam. Tiga hal tersebut merupakan inti atau pokok ajaran dalam Islam (Ahmad Rivauzi, 2015: 95).
Adapun dua kalimat syahadah merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima yaitu membaca dua kalimat syahadat,  shalat, puasa, zakat, dan hajji. Walaupun dua kalimat syahadah termasuk rukun Islam yang lima, namun dua kalimat syahadah tidak disebut ke dalam bentuk ibadah mahdhah sebagaimana ditemukan dalam pembicaraan dan pembahasan macam-macam ibadah mahdhah. Hal ini lebih dikarenakan bahwa dua kalimat syahadah memiliki perbedaan dengan rukun Islam lainnya yang dalam tata cara, upacaranya dan lain sebagainya diatur secara rinci oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ucapan dua kalimat syahadah merupakan pokok dan dasar serta penentu yang menjadikan thaharah, shalat, puasa, zakat, dan hajji di nilai ibadah oleh Allah atau tidak. Dengan demikian, membaca dua kalimat syahadah merupakan prinsip dan dasar yang paling utama sebelum rukun Islam yang lainnya dalam kehidupan beragama seseorang (Ahmad Rivauzi, 2015: 95).
B.  Akhlak
1.    Pengertian Akhlak, Etika, Moral, dan Susila         
Quraish Shihab (2007: 353) menjelaskan, dalam kamus bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Kata ‘akhlak’ ditemukan dalam al-Quran hannya dalam bentuk tunggal yaitu ‘khuluq’ sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. Al-Qalam, 68:4)
Kata akhlak banyak ditemukan dalam Hadits-hadits Nabi yang di antaranya:
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق (رواه مالك)
Aku hannya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (Malik)
Menurut Luis Ma’luf (tt: 194) sebagaimana dikutip oleh Asmaran As (1994:1) , akhlak juga diartikan budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at.
Di dalam Dairatul Ma’arif dikatakan:
الأخلاق هى صِفات الإنسانِ الأَدَبِيَّةْ
Akhlak adalah sifat manusia yang terdidik (Abd. Hamid Yunus, tt, : 436)
Di dalam Mu’jam al-Wasit (1972:202),  disebutkan definisi akhlak sebagai berikut:
الخُلْقُ حالٌ لِلنَّفْسِ راسِخَةٌ تَصْدُرُ عنها الاعمال مِنْ خَيْر او شَرٍّ من غيرِ حاجة الى فِكْرٍ ورُؤْيَةٍ
Akhlak adalah keadaan (sifat) yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.
Semetara itu al-Ghazali (tt:56) menjelaskan akhlak adalah:
الخُلْقُ عبارة عن هَيْئَة في النَّفْسِ راسِخَةٌ عنها تَصْدُرُ الإنفعالُ بسهولة ويُسْرٍ مِنْ غيرِ حاجة الى فِكْرٍ ورُؤْيَةٍ
Akhlak adalah keadaan (sifat) yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan (al-Gazhali; Ihya Ulumuddin)
Asmaran As menyimpulkan Akhlak sebagai suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian hingga dari situ timbullah berbagai macam perbuatan dengan spontan (Asmaran As, 1992: 3).
Akhlak pada dasarnya adalah gharizhah (getaran) yang ada dalam jiwa seseorang yang menjadi sumber perbuatan (Ahmad Rivauzi, 2015: 97).
Ungkapan pujangga Arab:
اِجْعَلْ نَفسك ميزانا فيما بينَك وبين غيرِكَ
Jadikanlah jiwamu sebagai timbangan antara dirimu dan orang lain.
Allah berfirman,
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفاً فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (QS. Ar-Rum, 30:30)
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا , فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا , قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا , وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا 
dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS. Asy-Syms, 91: 7-10)
إِنْ أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لِأَنفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا ...
Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri, ... (QS. Al-Isra’, 71:07)
Berdasarkan keterangan beberapa ayat di atas, maka jelaslah bahwa akhlak sesungguhnya merupakan kondisi kejiwaan seseorang yang menjadi sumber lahirnya perbuatan lahir. Manusia diciptakan dalam kesuciannya. Sehingga pada dasarnya manusia itu membawa sifat dan kecendrungan kepada kebaikan. Ketaatan beragama kepada Allah adalah cara untuk memelihara kesucian tersebut serta kesungguhan seseorang untuk melakukan penyucian jiwa adalah cara dan strategi untuk menjadi kondisi batin menjadi baik sehingga akhlak dengan sendirinya akan menjadi baik (Ahmad Rivauzi, 2015: 98).
Selanjutnya, terdapat beberapa istilah lain yang juga berbicara dan mengajarkan kebaikan. Istilah tersebut adalah Etika. Etika berasal dari bahasa Yunani  ‘ethos’ yang berarti adat kebiasaan. Etika merupakan cabang dari ilmu filsafat. Etika adalah filsafat tentang nilai, kesusilaan tentang baik dan buruk atau keluhuran (Asmaran As, 1992: 6). Hamzah Ya’qub, (1993: 12)  mengartikan etika sebagai ilmu yang menyelidiki baik dan buruk sejauh dapat diketahui akal pikiran. Dengan demikian, etika adalah baik dan buruk dengan menjadikan akal pikiran sebagai dasar pertimbangannya (Ahmad Rivauzi, 2015: 98).
Istilah lain yang juga berbicara baik dan buruk adalah moral. Moral berasal dari bahasa Latin ‘mores’  jama’ dari mos yang berarti adat kebiasaan . Moral merupakan istilah yang digunakan untuk memberikan batasan aktivitas manusia dengan nilai baik dan buruk dalam kehidupan sehari-hari (Asmaran As, 1992:8)
            Selanjutnya istilah susila yang berasal dari bahasa  Sansekerta. Su berarti baik dan sila berarti  dasar, prinsip, peraturan hidup atau norma (M. Said, 1976:23). Berdasarkan pengertian di atas, maka perbedaan akhlak, etika, moral, dan susila adalah sebagaimana dalam tabel di bawah ini:
 

Sumber: Ahmad Rivauzi (2015: 99)
Titik temu antara Akhlak, etika, moral dan susila dapat juga di lihat pada gambaran di bawah ini:

 

Sumber: Ahmad Rivauzi (2015: 99)
2.    Kriteria Baik dan Buruk dalam Islam
Quraish Shihab (2007: 259) sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015: 99-100) menjelaskan, tolok ukur kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah. Segala sesuatu yang yang dibenarkan dan dinilai baik oleh Allah, pasti esensinya memang baik. Demikian juga sebaliknya.
Di samping itu, kriteria baik dan buruk juga ditentukan oleh niat. Baik dan buruk dalam Islam adalah bergantung kepada niatnya sebagaimana dijelaskan oleh Hadits di bawah ini.
انما الاعمال بالنيات وانما لكلّ امرئ ما نَوَى (متفق عليه )
Sesungguhnya setiap amalan itu bergantung kepada niat. (Muttafaq ‘alaih)
Selanjutnya ukuran baik dan buruk di dalam Islam ditentukan juga oleh cara melakukannya. Allah berfirman,
قَوْلٌ مَّعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِّن صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ
Perkataan yang baik dan pemberian ma`af lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan sipenerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Baqarah, 2: 263)
Berdasarkan penjelasan ayat di atas dapat dipahami, kalau seandainya seseorang bermaksud memberikan sesuatu kepada orang lain, namun dengan cara yang menyakiti, maka Allah tetap memandang itu sebagai sesuatu yang tidak baik (Ahmad Rivauzi, 2015:100).
Sumber:
Ahmad Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman: Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, (Ciputat: Sakata Cendikia, 2015), Cet. I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar