RUANG LINGKUP AJARAN ISLAM
TENTANG SYARI’AH DAN AKHLAK
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA
A. Syari’ah
(Ibadah)
Syari’at secara etimologis
berarti ‘jalan’. Syari’at Islam adalah satu sistem norma Ilahi yang mengatur
hubungan antara manusia dan Tuhan, hubungan antar sesama manusia, serta
hubungan antara manusia dengan alam lainnya. Anshari (2004: 45) sebagaimana
dikutip Ahmad Rivauzi (2015: 93),
menyebutkan bahwa syari’ah secara garis besar terbagi kepada dua bagian
besar. Pertama, syari’ah dalam artian ibadah khusus (kaidah ubudiyah),
yaitu tata aturan Allah yang mengatur hubungan ritual langsung antara hamba dan
Tuhannya yang acara, tata cara, serta upacaranya telah ditentukan secara
terinci dalam al-Quran dan Sunnah Rasul. Pembahasan ibadah khusus (mahdhah)
ini meliputi thaharah, shalat, zakat, puasa, dan hajji.
Kedua, syari’ah dalam artian
ibadah dalam artian yang luas (mu’malah), yaitu tata aturan Allah yang
mengatur hubungan sesama manusia dan
hubungan antara manusia dalam alam. Ibadah dalam arti luas juga berarti sikap,
gerak-gerik, tingkah laku, dan perbuatan yang dijadikan (diberi makna) sebagai
ibadah kepada Allah yang memiliki tiga karakteristik, yaitu niat yang ikhlas
kepada Allah sebagai titik tolak, keredhaan Allah sebagai titik tuju, dan amal
shaleh (tidak bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah) sebagai garis amalan
(Anshari, 2004: 45)
Menurut Anshari (2004: 45),
ibadah dalam arti luas (mu’amalah) ini secara garis besar terdiri atas dua
bagian besar
- Al-Qanun al-Khas (hukum perdata) yang meliputi:
a.Muamalah
dalam arti yang sempit atau dikenal juga dengan hukum niaga
b.Munakahat
yang mengatur tentang pernikahan
c.Waratsah,
yaitu yang mengatur hukum kewarisan
d. Dan lain
sebagainya
2. Al-Qanun al-‘Am (hukum publik) yang meliputi:
2. Al-Qanun al-‘Am (hukum publik) yang meliputi:
a. Jinayah
atau disebut juga dengan hukum perdata
b.Khilafah
atau hukum kenegaraan
c.Jihad
atau hukum-hukum yang mengatur peperangan dan damai
d.Lain
sebagainya.
Istilah syari’at kadang juga
diartikan dengan hukum-hukum Allah atau dikenal juga dengan aturan-aturan Allah
yang berhubungan dengan kehidupan atau aktivitas manusia. Terdapat perbedaan
pendapat antara ulama ushul fikih dan ulama ushul fikih tentang pengertian
hukum atau syariat. Di kalangan ulama ushul fikih, yang dimaksud syari’at itu
adalah dalil hukum itu sendiri atau ayat-ayat al-Quran serta dalil-dalil Sunnah
Rasulullah. Sedang menurut ulama fikih, yang dimaksud dengan syari’at adalah
dalil nash dan akibat yang ditimbulkan oleh nash-nash al-Quran dan Sunnah Rasul
(Nasrul HS, dkk., 2011: 99-100)
Sebagaimana telah disebutkan
di atas, syari’ah dalam pengertian ibadah mahdhah yang terdiri dari meliputi thaharah, shalat, puasa, zakat, dan
hajji merupakan pokok-pokok penting sebagai ajaran Islam di samping rukun iman
yang enam. Dengan demikian, pokok-pokok ajaran Islam secara umum meliputi
prinsip-prinsip dasar akidah yang termaktup pada rukun iman yang enam,
prinsip-prinsip ke-Islaman yang mencakup rukun Islam yang lima, ditambah dengan
ajaran akhlak yang mulia yang merupakan hal yang juga pokok dalam ajaran Islam.
Tiga hal tersebut merupakan inti atau pokok ajaran dalam Islam (Ahmad Rivauzi,
2015: 95).
Adapun dua kalimat syahadah
merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima yaitu membaca dua kalimat
syahadat, shalat, puasa, zakat, dan
hajji. Walaupun dua kalimat syahadah termasuk rukun Islam yang lima, namun dua
kalimat syahadah tidak disebut ke dalam bentuk ibadah mahdhah sebagaimana
ditemukan dalam pembicaraan dan pembahasan macam-macam ibadah mahdhah. Hal ini
lebih dikarenakan bahwa dua kalimat syahadah memiliki perbedaan dengan rukun
Islam lainnya yang dalam tata cara, upacaranya dan lain sebagainya diatur
secara rinci oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ucapan dua kalimat syahadah
merupakan pokok dan dasar serta penentu yang menjadikan thaharah, shalat,
puasa, zakat, dan hajji di nilai ibadah oleh Allah atau tidak. Dengan demikian,
membaca dua kalimat syahadah merupakan prinsip dan dasar yang paling utama
sebelum rukun Islam yang lainnya dalam kehidupan beragama seseorang (Ahmad
Rivauzi, 2015: 95).
B. Akhlak
1. Pengertian
Akhlak, Etika, Moral, dan Susila
Quraish
Shihab (2007: 353) menjelaskan, dalam kamus bahasa Indonesia, kata akhlak
diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Kata ‘akhlak’ ditemukan dalam
al-Quran hannya dalam bentuk tunggal yaitu ‘khuluq’ sebagaimana disebutkan
dalam firman Allah:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu
benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. Al-Qalam, 68:4)
Kata
akhlak banyak ditemukan dalam Hadits-hadits Nabi yang di antaranya:
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق (رواه
مالك)
Aku
hannya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (Malik)
Menurut Luis Ma’luf (tt: 194)
sebagaimana dikutip oleh Asmaran As (1994:1) , akhlak juga diartikan budi
pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at.
Di dalam
Dairatul Ma’arif dikatakan:
الأخلاق هى صِفات
الإنسانِ الأَدَبِيَّةْ
Akhlak adalah sifat manusia yang terdidik (Abd. Hamid Yunus, tt, : 436)
Di dalam Mu’jam al-Wasit (1972:202), disebutkan definisi akhlak sebagai berikut:
الخُلْقُ حالٌ
لِلنَّفْسِ راسِخَةٌ تَصْدُرُ عنها الاعمال مِنْ خَيْر او شَرٍّ من غيرِ حاجة الى
فِكْرٍ ورُؤْيَةٍ
Akhlak adalah keadaan (sifat)
yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan baik
atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.
Semetara itu al-Ghazali
(tt:56) menjelaskan akhlak adalah:
الخُلْقُ عبارة عن هَيْئَة في النَّفْسِ راسِخَةٌ
عنها تَصْدُرُ الإنفعالُ بسهولة ويُسْرٍ مِنْ غيرِ حاجة الى فِكْرٍ ورُؤْيَةٍ
Akhlak adalah keadaan (sifat)
yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan dengan
gampang dan mudah tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan (al-Gazhali;
Ihya Ulumuddin)
Asmaran As menyimpulkan
Akhlak sebagai suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan
menjadi kepribadian hingga dari situ timbullah berbagai macam perbuatan dengan
spontan (Asmaran As, 1992: 3).
Akhlak pada dasarnya adalah gharizhah
(getaran) yang ada dalam jiwa seseorang yang menjadi sumber perbuatan
(Ahmad Rivauzi, 2015: 97).
Ungkapan pujangga Arab:
اِجْعَلْ نَفسك
ميزانا فيما بينَك وبين غيرِكَ
Jadikanlah jiwamu sebagai
timbangan antara dirimu dan orang lain.
Allah berfirman,
فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفاً فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (QS.
Ar-Rum, 30:30)
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا ,
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا ,
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا ,
وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya),
maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah
orang yang mengotorinya. (QS. Asy-Syms, 91: 7-10)
إِنْ أَحْسَنتُمْ
أَحْسَنتُمْ لِأَنفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا ...
Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi
dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu
sendiri, ... (QS. Al-Isra’, 71:07)
Berdasarkan keterangan beberapa ayat di atas, maka jelaslah
bahwa akhlak sesungguhnya merupakan kondisi kejiwaan seseorang yang menjadi
sumber lahirnya perbuatan lahir. Manusia diciptakan dalam kesuciannya. Sehingga
pada dasarnya manusia itu membawa sifat dan kecendrungan kepada kebaikan.
Ketaatan beragama kepada Allah adalah cara untuk memelihara kesucian tersebut
serta kesungguhan seseorang untuk melakukan penyucian jiwa adalah cara dan
strategi untuk menjadi kondisi batin menjadi baik sehingga akhlak dengan
sendirinya akan menjadi baik (Ahmad Rivauzi, 2015: 98).
Selanjutnya, terdapat
beberapa istilah lain yang juga berbicara dan mengajarkan kebaikan. Istilah
tersebut adalah Etika. Etika berasal dari bahasa Yunani ‘ethos’ yang berarti adat kebiasaan. Etika
merupakan cabang dari ilmu filsafat. Etika adalah filsafat tentang nilai,
kesusilaan tentang baik dan buruk atau keluhuran (Asmaran As, 1992: 6). Hamzah
Ya’qub, (1993: 12) mengartikan etika
sebagai ilmu yang menyelidiki baik dan buruk sejauh dapat diketahui akal
pikiran. Dengan demikian, etika adalah baik dan buruk dengan menjadikan akal
pikiran sebagai dasar pertimbangannya (Ahmad Rivauzi, 2015: 98).
Istilah lain yang juga
berbicara baik dan buruk adalah moral. Moral berasal dari bahasa Latin ‘mores’ jama’ dari mos yang berarti
adat kebiasaan . Moral merupakan istilah yang digunakan untuk memberikan
batasan aktivitas manusia dengan nilai baik dan buruk dalam kehidupan
sehari-hari (Asmaran As, 1992:8)
Selanjutnya istilah susila yang berasal dari bahasa Sansekerta. Su berarti baik dan sila
berarti dasar, prinsip, peraturan hidup
atau norma (M. Said, 1976:23). Berdasarkan pengertian di
atas, maka perbedaan akhlak, etika, moral, dan susila adalah sebagaimana dalam
tabel di bawah ini:
Sumber: Ahmad Rivauzi (2015:
99)
Titik temu antara Akhlak,
etika, moral dan susila dapat juga di lihat pada gambaran di bawah ini:
Sumber: Ahmad Rivauzi (2015: 99)
2. Kriteria
Baik dan Buruk dalam Islam
Quraish Shihab (2007: 259) sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015: 99-100) menjelaskan, tolok ukur kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada
ketentuan Allah. Segala sesuatu yang yang dibenarkan dan dinilai baik oleh
Allah, pasti esensinya memang baik. Demikian juga sebaliknya.
Di
samping itu, kriteria baik dan buruk juga ditentukan oleh niat. Baik dan buruk
dalam Islam adalah bergantung kepada niatnya sebagaimana dijelaskan oleh Hadits
di bawah ini.
انما الاعمال
بالنيات وانما لكلّ امرئ ما نَوَى (متفق عليه )
Sesungguhnya setiap amalan
itu bergantung kepada niat. (Muttafaq ‘alaih)
Selanjutnya
ukuran baik dan buruk di dalam Islam ditentukan juga oleh cara melakukannya.
Allah berfirman,
قَوْلٌ مَّعْرُوفٌ
وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِّن صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى وَاللّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٌ
Perkataan yang baik dan
pemberian ma`af lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang
menyakitkan (perasaan sipenerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (QS. Al-Baqarah,
2: 263)
Berdasarkan penjelasan ayat
di atas dapat dipahami, kalau seandainya seseorang bermaksud memberikan sesuatu
kepada orang lain, namun dengan cara yang menyakiti, maka Allah tetap memandang
itu sebagai sesuatu yang tidak baik (Ahmad Rivauzi, 2015:100).
Sumber:
Ahmad Rivauzi, Wawasan
Studi Keislaman: Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik Pribadi dan
Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, (Ciputat: Sakata
Cendikia, 2015), Cet. I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar