KEDUDUKAN SUNNAH
(HADITS) DAN IJTIHAD DALAM ISLAM
Oleh: Dr.
Ahmad Rivauzi, MA
A. Sunnah
1.
Pengertian
Sunnah
Menurut
bahasa, sunnah berarti jalan hidup yang dilalui atau yang dijalani, atau
sesuatu yang sudah dibiasakan.[i] Secara
istilahi, antara lain yang dikemukakan oleh ahli Hadits, ahli ushul fikih, dan
ahli fikih. Menurut ahli Hadits, sunnah adalah sesuatu yang didapatkan dari
Nabi Muhammad Saw., yang terdiri dari ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat
fisik, budi, atau biografi Nabi baik sebelum masa kenabian atau setelah
kenabian. Pengertian ini sama dengan pengertian Hadits. Adapun sunnah dalam
pengertian ahli ushul fikih adalah sesuatu yang diambil dari Nabi baik ucapan,
perbuatan, dan persetujuan Nabi yang mengandung ketentuan hukum syar’i. Sunnah
dalam pengertian ahli fikih adalah salah satu bentuk hukum syara’ yang lima
yaitu sesuatu yang apabila dikerjakan berpahala dan jika ditinggalkan tidak
mendapat dosa. Pengertian sunnah menurut ahli fikih ini sama dengan pengertian mandub
atau nadb (Abuddin Nata, 2011: 36).
Sunnah atau
Hadits adakalanya dihukum shahih, hasan, dha’if dan bahkan bisa juga dihukum
palsu. Hal ini ditentukan oleh tingkat kepastiannya apakah memang datang datang
dari Rasul atau tidak. Untuk mengklasifikasikan tingkat kepastian dan kebenaran
Hadits itu memang datang dari Rasul atau tidak, maka para ulama telah melakukan
verifikasi dan mengkaji kebenaran sebuah periwayatan Hadits tersebut lalu
kemudian mengelompokkan Hadts-hadits yang memang diyakini dan teruji memang
berasal dari Rasul dan Hadits-Hadits yang diragukan datangnya dari Rasul. Sehingga Hadits-Hadits tersebut
dikelompokkkan kepada Hadits shahih, hasan, dha’if, dan palsu (maudhu’). Di
antara ulama yan telah mengabdikan hidupnya untuk itu misalnya Imam Bukhari,
Imam Muslim dll (Ahmad Rivauzi, 2015: 69).
Kalau dilihat
dalam konteks periwayatan (banyak atau sedikitnya) orang yang meriwayatkan
seeebuah Hadits, maka sunnah atau Hadits dapat dikelompokkan kepada Hadits
Mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang dan Hadits Uhad (sedikit orang
yang meriwayatkannya)
2.
Kedudukan
Sunnah
Sunnah
menempati posisi kedua setelah al-Quran sebagi sumber ajaran Islam. Abuddin Nata (2011: 37-42)
sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015: 69-72), menjelaskan tentang keberadaan
sunnah yang sangat dibutuhkan sebagai sumber ajaran Islam.
Pertama, sunnah memperkuat ajaran yang terdapat di
dalam a-Quran. Misalnya sunnah menguatkan ajaran tentang keimanan yang terdapat
di al-Quran
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي
رَسُولُ اللّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعاً الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ
لا إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ يُحْيِـي وَيُمِيتُ فَآمِنُواْ بِاللّهِ وَرَسُولِهِ
النَّبِيِّ الأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ
لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Katakanlah:
"Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu
Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu
kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada
kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat
petunjuk". (QS. Al-A’raf, 7:158)
Ayat di atas
diperkuat oleh Hadits
الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه
ورسله واليوم الأخر وتؤمن بالقدر خيره وشره (رواه مسلم)
Iman itu
adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, semua
Rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada qadar yanh baik dan yanh buruk (HR. Muslim)
Kedua, sunnah
berfungsi sebagai penjelas al-Quran (bayan tafshil). Dalam ha ini sunnah
menjelaskan yang belum dijelaskan secara rinci dalam al-Quran. Misalnya:
وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ
الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِينَ
Dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan ruku`lah beserta orang-orang yang ruku. (QS.
Al-Baqarah, 2: 43)
Ayat di atas
dijelaskan oleh Hadits:
صلوا كما رأيتموني أصلي
Shalatlah kamu
sebagamana kamu melihat aku shalat
Ketiga, sunnah
berfungsi sebagai bayan takhshish (pengkhususan) terhadap
ayat-ayat al-Quran yang bersifat umum. Misalnya ayat yang membolehkan menikahi
perempuan lebih dari seorang wanita. Keumuman ayat ini dibatasi dengan
pengkhususan terhadap wanita bersaudara kandung dan seorang wanita dengan
bibinya.
... فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ
وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ
...maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa’,4: 3)
Ayat di atas
ditakhshish oleh Hadits
لايجمع بين المرأة وعمتها ولا بين
المرأة وخالتها (رواه البخار ي ومسلم)
Tidak boleh
seseorang memadu seorang wanita dengan bibinya (saudara bapaknya), dan seorang
wanita dengan bibi (saudari ibunya). (HR. Bukhari Muslim)
Contoh lainnya
adalah keumuman ayat al-Quran yang menjelaskan warisan untuk anak laki-laki dua
kali lipat anak perempuan (QS. An-Nisa’, 4:11) yang ditakhshish oleh Hadits
sebagai berikut:
لا يرث المسلم الكافر ولا الكافر
المسلم (رواه الجماعة)
Seorang muslim tidak boleh mewariskan harta kepada orang kafir dan
seorang kafir tidak boleh mewariskan harta untuk seorang muslim (HR. al-Jama’ah)
لا يرث القاتل من المقتول شيئا (رواه النسائي)
Seorang
pembunuh tidak boleh mewarisi harta orang dibunuh sedikitpun (HR. An-Nasai)
Keempat, sunnah
menjelaskan makna lafazh al-Quran yang memiliki beberapa makna (mutaradif).
Misalnya lafaz quru’ pada QS.
Al-Baqarah, 2 : 228)
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ ...
Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menunggu selama tiga kali quru (QS. Al-Baqarah, 2:228
Quru’ memiliki dua
makna yaitu bermakna haid dan suci. Menurut keterangan beberapa riwayat Hadits
yang dimaksu quru’ itu adalah haid karena quru itu memiliki makna
bahasa yang berarti waktu yang dibiasakan dan di dalam tradisi Arab, maksudnya
adalah haid.
Kelima, sunnah
menjelaskan ayat-ayat yang lebih dahulu turunnya dan ayat-ayat yang belakangan
(asbab an-nuzul ayat). Hal ini sangat membantu untuk memberikan pemahaman yang
benar kepada umat Islam terutama dalam al menjelaskan ayat-ayat hukum yang
kadang penetapan hukumnya kemudian bertahap seperti masalah keharaman khamar.
3.
Penulisan dan
Pembukuan Hadits
Menurut
Ahmad Rivauzi (2015: 72), dalam hal penulisan Hadits, para ulama berbeda
pendapat tentang dibolehkannya dilakukan penulisan Hadits atau tidak. Hal ini
tentu berkaitan dengan penulisan Hadits di zaman Rasulullah masih hidup. Hal
ini di sebabkan oleh adanya beberapa
riwayat Hadits yang seperti bertentangan sebagaimana dijelaskan oleh
al-Qaththan (2010, 47-29). Misalnya sebuah riwayat Hadits:
Dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa Rasulullah
Saw., bersabda: “Janganlah menulis daripadaku, barangsiapa menulis daripadaku
selain al-Quran, maka lenyapkanlah, dan ambillah Hadits dariku dan tidak
mengapa, barangsiapa yang berbohong dengan sengaja atas namaku maka akan
mendapatkan tempat duduknya dari api neraka (HR. Muslim)
Sedangkan pada
sisi yang lain juga terdapat Hadits yang membolehkan ditulisnya Hadits seperti:
Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash berkata,
“Aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah, dengan maksud
ingin menghafanya, lalu kaum Quraisy melarangku, dan mereka mengatakan, ‘Apakah
kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah, sedangkan
Rasulullah manusia biasa yang bicara di saat marah dan gembira?’ Maka aku
menahan dan berhenti menulis, lalu aku sampaikan kepada Rasulullah, kemudian
beliau menunjuk pada mulut dengan jarinya dan bersabda, “Tulislah, demi jiwaku
di tangan-Nya tiada sesuatu apapun yang keluar darinya melainkan yang hak dan
benar”.[ii]
Para shahabat
dan ulama yang melarang penulisan Hadits di antaranya: Umar, Ibnu Mas’ud, Zaid
Ibn Tsabit, Abu Musa, Abu Sa’id al-Khudri dll. Sedangkan ulama dan shahabat
yang membolehkan penulisan Hadits adalah: Ali, Hasan bin Ali, Anas, Abdullah
Ibn Amr al-Ash dan lainnya. (Al-Qaththan, 2010: 48)
Al-Qaththan
(2010: 49) menjelaskan, para ulama telah memadukan dua pendapat yang berselisih
antara yang membolehkan dan yang mealarang penulisan Hadits sebagai berikut:
a.
Larangan penulisan Hadits terjadi
pada awal masa perkembangan Islam yang dikhawatirkan akan terjadi percampuran
antara al-Quran dan Hadits. ketika keadaan sudah aman dan kondusif, dan telah
banyak para penghafal al-Quran, maka Rasulullah mengizinkan untuk menulis
Hadits, dan larangan sebelumnya menjadi mansukh (terhapus)
b.
Larangan hannya khusus pada
penulisan Hadits bersamaan dengan al-Quran dalam satu lembar shuhuf, karena
khawatir terjadi percampuran.
c.
Larangan hannya bagi orang yang
diyakini mampu menghafalnya karena dikhawatirkan akan bergantung pada tulisan.
Sedang kobolehan menulis diberikan kepada shahabat yang tidak mampu
menghafalnya.
Al-Qaththan
(2010: 49-50) menambahkan bahwa tidak diragukan lagi, terjadinya perbedaan
boleh atau tidak penulisan Hadits hannya terjadi pada masa awal Islam saja.
Selanjutnya kaum muslimin sudah sepakat dengan membolehkan penulisan Hadits.
Malah pada akhir hidup Rasulullah ditemukan riwayat yang menunjukkan
dibolehkannya penulisan Hadits secara umum sehingga banyak shahifah yang memuat
Hadits-Hadits Rasulullah yang sampai saat ini masih ada dalam keadaan utuh. Di
antara shahifah yang terkenal pada masa Nabi adalah shahifah Ash-Shadiqah yang
ditulis oleh Abdullah bin Amru bin al-Ash. Shahifah ini memuat 1000 Hadits.
Shahifah ini dapat ditemukan di Musnad Imam Ahmad dengan sanad dari Abdullah
bin Amru. Abu Hurairah juga mengumpulkan beberapa shahifah yang ditulis oleh
para shahabat. Salah satu shahifah yang diriwayatkan dari Abu Hurairah oleh
muridnya Hamman bin Munabbih yang kemudian dikenal dengan shahifah Hamman.
Shahifah ini memiliki peran yang sangat besar dalam pembukuan Hadits, karena
sampai ke tangan kaum muslimin secara lengkap dan benar. Penulis buku “Kasyfu
Azh-Zhunun” menyebut shahifah tersebut sebagai shahifah yang shahih. Keberadaannya
secara utuh terdapat pada Musnad Ahmad, sedangkan dalam Shahih Bukhari dan
lainnya dimuat terpisah-pisah pada beberapa bab (Ahmad Rivauzi, 2015: 74-75).
Menurut
al-Qaththan (2010: 50-52), sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015: 75), berbeda
dengan penulisan Hadits sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, maka pembukuan
Hadits tidak sebatas menulis pada shahifah, melainkan sudah mengumpulkan
shahifah-shahifah yang sudah ditulis dan yang di hafal dalam dada, lalu
menyusunnya sehingga menjadi sebuah buku. Dalam hal pembukuan Hadits, baru
terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hal-hal yang mendorong
pembukuan Hadits pada masa ini adalah:
a.
Tidak adanya larangan pembukuan
karena al-Quran sudah dibukukan pada masa Abu Bakar dan Utsman, sehingga sudah
dapat dijamin tidak akan bercampur antara al-Quran dengan Hadits.
b.
Kekhawatiran akan hilangnya Hadits
jika tidak dibukukan.
c.
Munculnya pemalsuan Hadits akibat
perselisihan politik dan mazhab pada masa Ali, khawarij dan Muawiyah yang
masing-masing golongan ingin memperkuat
golongannya.
al-Qaththan (2010: 52) menulis sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi
(2015:75), sebuah riwayat yang diriwayat oleh Ibn Shihab berkata:” Kalaulah
tidak karena adanya hadits-hadits yang datang dari belahan Timur (Irak) yang
tidak kami ketahui keberadaannya, niscaya aku tidak akan menulis dan tidak
mengizinkan penulisan Hadits. Karena kondisi inilah Umar bin Abdul Aziz menulis
surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Amru bin Hazm, pejabat kota Madinah,
mengatakan, “Lihatlah kepada Hadits Rasulullah, atau Hadits yang diriwayatkan
oleh ‘Amrah (yang banyak menulis Hadits dari Aisyah) lalu tulislah, karena aku
khawatir akan lenyapnya ilmu dan meninggalnya orang yang membawanya. Dalam
riwayat lain disebutkan bahwa Umar Bin Abdul Aziz memerintahkan kepada al-Qasim
bin Muhammad bin Abu Bakar untuk menulis Hadits dari ‘Amrah. Umar bin Abdul Aziz
juga menulis surat ke negeri-negeri yang lain untuk menulis dan megumpulkan
Hadits.
Akan tetapi, upaya pengumpulan
Hadits ini belum menyeluruh dan sempurna, karena Umar bin Abdul Aziz wafat
sebelum Abu Bakar bin Hazm mengirimkan hasil pembukuan Hadits kepadanya. Para
ulama Hadits memandang bahwa upaya Umar bin Abdul Aziz ini merupakan langkah
awal dari pembukuan Hadits. Adapun upaya pembukuan yang menyeluruh dilakukan
oleh Imam Muhammad bin Syihab az-Zuhri yang menyambut seruan Umar bin Abdul
Aziz. Namun penting digaris bawahi, bahwa pembukuan Hadits oleh az-Zuhri belum
disusun secara sistematis dan tidak didasari oleh urutan-urutan bab ilmu. Upaya
pembukuan secara sistematis baru dilakukan oleh ulama sesudahnya namun juga
masih bercampur dengan perkataan shahabat dan fatwa para tabi’in. Kemudian pada
masa berikutnya baru dipisahkan antara Hadits dengan perkataan shabat dan fatwa
tabi’in (Al-Qaththan, 2010: 53).
Menurut Ibn Hajar, orang yang
pertama melakukan pemisahan antara Hadits dengan perkataan dan fatwa shahabat
dan tabi’in adalah Ar-Rabi’ bin Shubaih (w. 16 H) dan Sa’id bin Abi Arubah (w
156 H) hingga kepada ulama lapisan ketiga dari tabi’in seperti Imam Malik
menyusun al-Muwaththa’ di Madinag, Abdullah bin Juraij di Makkah, al-Auza’i di
Syam, Sufyan Ats-Tsauri di Kufah, Hamad bin Salamah bin Dinar di Bashrah dan
lainnya (al-Qaththan, 2010: 53).
Selanjutnya menurut al-Qaththan,
pembukuan Hadits terus berlanjut ada yang menyusun pembukuan Hadits berdasarkan:
Pertama, masanid ( penyusunan Hadits berdasarkan
sanad). Kedua, al-Ma’ajim (buku Hadits
yang disusun berdasarkan nama-nama shahabat). Ketiga, al-Jawami’ (penyusunan
Hadits berdasarkan bab-bab ilmu) seperti al-Jami’ ash Shahih karya Imam al-Bukhari
(w. 256 H)[iii],
al-Jami’ah ash Shahih karya Imam Muslim (w. 261 H)[iv],
al-Jami’ ash-Shahih karya Imam at-Tirmidzi (w. 279)[v].
Keempat penyusunan Hadits berdasarkan pembahasan fikih seperti, Sunan Abu Daud
karya Sulaiman bin Asy’ats As-Sijistani (w. 275 H), Sunan An-Nasai yang
dinamakan dengan al-Mujtaba karya Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib An-Nasai (w.
303 H), Sunan Ibn Majah karya Muhammad bin Yazid bin Majah al-Qazwini (w. 275
H), Sunan asy-Syafi’i karya Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (w. 204 H),
Sunan Ad-Darimi karya Abdullah bin Abdurrahman ad-Darimi (w.255 H), Sunan
Ad-Daraquthni karya Ali bin Umar ad-Daraquthni (w. 385 H), Sunan Baihaqi karya
Abu Bakar Ahmad bin Husein al-Baihaqi (w. 458 H. (Semua kitab sunan ini sudah
diterbitkan). Selanjutnya pembukuan Hadits lainnya dan banyak lagi yang lainnya
(Manna’ Al-Qaththan (2010).
B. Ijthad
Ijtihad adalah
sumber hukum ketiga setelah al-Quran dan sunnah. Ijtihad adalah pemikiran para
ulama mujtahid yang berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk
menggali ajaran Islam kemudian menetapkan hukumnya (Nasrul HS dkk, 2011: 62).
Ijtihad menjadi kebutuhan mengingat kebudayaan manusia selalu berkembang, dan
banyak persoalan-persoalan ke-kinian yang belum ada pada zaman Rasul sehingga
hukumnya secara tegas juga belum ada pada zaman Rasulullah. Ijtihad dilakukan
jika persoalan-persoalan tersebut tidak ada penjelasan hukumnya secara tegas
pada al-Quran dan sunnah. Namun demikian, walaupun penjelasan hukumnya tidak
ditemukan pada al-Quran dan sunnah, ijtihad harus tetap berpijak kepada
al-Quran dan Sunnah dengan memperhatikan isyarat-isyarat atau nilai-nilai yang
terdapat dalam al-Quran sebagai payung hukumnya. Sehingga dengan demikian,
ijtihad tetap berpedoman juga kepada al-Quran dan sunnah (Ahmad Rivauzi, 2015:
77-78).
Abuddin Nata
(2011: 43-45) sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015: 78-79) menjelaskan bahwa
ijtihad mengambil beberapa bentuk.
1.
ijma’ ulama
ijma’ ulama secara harfiah berarti
kesepakatan para ulama. Menurut ulama ahli fikih, ijma’ adalah kesepakatan
ulama mengenai hukum tentang suatu masalah tertentu.
2.
qiyas
qiyas yang secara harfiah berarti
analogi atau mengumpamakan sama. Menurut ahli fikih, qiyas adalah menetapkan
hukum tentang suatu masalah yang belum ada dalil nash yang mengaturnya secara
tegas dengan sesuatu hukum yang sudah ada nash atau dalilnya yang didasarkan
atas persamaan illat antara keduanya. Misalnya menetapkan haram terhadap meminum bir atau mengkonsumsi narkoba atas
dasar kesamaan illat dengan khamar yang sudah ditetapkan hukum haramnya dalam
al-Quran
3.
al-Maslahat al-mursalah
al-Maslahat al-mursalah yang secara
harfiah berarti sesuatu yang mengandung nilai kebaikan. Walaupun pada masa
sebelumnya belum ada atau belum diberlakukan, namun karena ada nilai
kebaikannya, maka hal tersebut boleh diberlakukan. Misalnya pembukuan al-Quran
dan Hadits.
4.
‘uruf
‘uruf yang secara harfiah berarti adat
kebiasaan. Menurut ahli fikih, ‘urg adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan
pada masyarakat dan mengandung nilai-nilai kebaikan, maka hal tersebut
dibenarkan oleh Islam untuk dilanjutkan. Misalnya kebiasaan merayakan hari raya
pada masa sebelum Islam atau kebiasaan memuliakan tamu sebelum Islam. Karena
hal tersebut memiliki nilai kebaikan, maka hal tersebut boleh dilestarikan.
5.
Istihsan
istihsan yang berarti memandang sesuatu
sebagai baik. Menurut ahli fikih, istihsan adalah segala sesuatu yang dipandang
baik oleh manusia pada umumnya dan tidak bertentangan dengan al-Quran dan
Sunnah.
6.
qaul al-shahabat
qaul al-shahabat yang berarti
ucapan, perkataan, pemikiran dan perbuatan para shahabat yang tidak
bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah. Hal ini boleh dijadikan dasar hukum
mengingat para shahabat adalah orang-orang yang memiliki kecemerlangan pikiran
dan hati yang Rasulullah sendiri juga memuji, mengakui, dan membenarkan
pemikiran para shahabat ketika Rasul itu sendiri masih hidup.
7.
syar’un man qablana
syar’un man qablana yang secara
harfiah berarti agama sebelum kita. Sedangkan dalam pengertian yang lazim,
ajaran yang terdapat pada agama yang diturunkan Allah kepada Rasul Allah
sebelum Nabi Muhammad seperti nilai dan pesan-pesan kebaikan yang dimuat dalam
Taurat, Zabur, Injil yang masih asli yang tidak bertentangan dengan al-Quran
dan sunnah. Hal tersebut dapat
dilanjutkan dan dibolehkan mengikutinya.
[i]
Sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Mustafa al-Siba’i, al-Sunnah
wa Makanatuhu fi al-Tasyri’, menyebutkan sebuah sabda Rsulullah Saw: “Barang
siapa yang mensunnahkan (membiasakan) hal-hal yang terpuji, maka baginya pahala
dan pahala orang yang mengikutinya. Dan barang siapa mensunnahkan hal-hal yang
buruk, maka baginya dosa dan dosa orang yang mengikutinya. Abudin Nata, 2011:36
[ii]
Diriwayatkan ad-Darami dalam sunannya, al-Khathib dalam Taqyidul Ilmi, dan Ibn
Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Ilmi wa Fadhlihi. Lihat Syaikh Manna’ al-Qaththan,
Pengantar Ilmu Hadits, diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman dari judul
aslinya Mabahis fi ‘Ulum al-Hadits, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010) Cet.
V., h. 48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar