Minggu, 08 Juli 2018

KEDUDUKAN SUNNAH (HADITS) DAN IJTIHAD DALAM ISLAM


KEDUDUKAN SUNNAH (HADITS) DAN IJTIHAD DALAM ISLAM
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA
A.  Sunnah
1.     Pengertian Sunnah
Menurut bahasa, sunnah berarti jalan hidup yang dilalui atau yang dijalani, atau sesuatu yang sudah dibiasakan.[i] Secara istilahi, antara lain yang dikemukakan oleh ahli Hadits, ahli ushul fikih, dan ahli fikih. Menurut ahli Hadits, sunnah adalah sesuatu yang didapatkan dari Nabi Muhammad Saw., yang terdiri dari ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik, budi, atau biografi Nabi baik sebelum masa kenabian atau setelah kenabian. Pengertian ini sama dengan pengertian Hadits. Adapun sunnah dalam pengertian ahli ushul fikih adalah sesuatu yang diambil dari Nabi baik ucapan, perbuatan, dan persetujuan Nabi yang mengandung ketentuan hukum syar’i. Sunnah dalam pengertian ahli fikih adalah salah satu bentuk hukum syara’ yang lima yaitu sesuatu yang apabila dikerjakan berpahala dan jika ditinggalkan tidak mendapat dosa. Pengertian sunnah menurut ahli fikih ini sama dengan pengertian mandub atau nadb (Abuddin Nata, 2011: 36).
Sunnah atau Hadits adakalanya dihukum shahih, hasan, dha’if dan bahkan bisa juga dihukum palsu. Hal ini ditentukan oleh tingkat kepastiannya apakah memang datang datang dari Rasul atau tidak. Untuk mengklasifikasikan tingkat kepastian dan kebenaran Hadits itu memang datang dari Rasul atau tidak, maka para ulama telah melakukan verifikasi dan mengkaji kebenaran sebuah periwayatan Hadits tersebut lalu kemudian mengelompokkan Hadts-hadits yang memang diyakini dan teruji memang berasal dari Rasul dan Hadits-Hadits yang diragukan datangnya  dari Rasul. Sehingga Hadits-Hadits tersebut dikelompokkkan kepada Hadits shahih, hasan, dha’if, dan palsu (maudhu’). Di antara ulama yan telah mengabdikan hidupnya untuk itu misalnya Imam Bukhari, Imam Muslim dll (Ahmad Rivauzi, 2015: 69).
Kalau dilihat dalam konteks periwayatan (banyak atau sedikitnya) orang yang meriwayatkan seeebuah Hadits, maka sunnah atau Hadits dapat dikelompokkan kepada Hadits Mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang dan Hadits Uhad (sedikit orang yang meriwayatkannya)
2.    Kedudukan Sunnah
Sunnah menempati posisi kedua setelah al-Quran sebagi sumber ajaran Islam.          Abuddin Nata (2011: 37-42) sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015: 69-72), menjelaskan tentang keberadaan sunnah yang sangat dibutuhkan sebagai sumber ajaran Islam.
Pertama,   sunnah memperkuat ajaran yang terdapat di dalam a-Quran. Misalnya sunnah menguatkan ajaran tentang keimanan yang terdapat di al-Quran
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعاً الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ لا إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ يُحْيِـي وَيُمِيتُ فَآمِنُواْ بِاللّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk". (QS. Al-A’raf, 7:158)
Ayat di atas diperkuat oleh Hadits
الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الأخر وتؤمن بالقدر خيره وشره (رواه مسلم)
Iman itu adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, semua Rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada qadar yanh baik dan yanh buruk (HR. Muslim)
Kedua, sunnah berfungsi sebagai penjelas al-Quran (bayan tafshil). Dalam ha ini sunnah menjelaskan yang belum dijelaskan secara rinci dalam al-Quran. Misalnya:
وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِينَ
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku`lah beserta orang-orang yang ruku. (QS. Al-Baqarah, 2: 43)
Ayat di atas dijelaskan oleh Hadits:
صلوا كما رأيتموني أصلي
Shalatlah kamu sebagamana kamu melihat aku shalat
Ketiga, sunnah berfungsi sebagai bayan takhshish (pengkhususan) terhadap ayat-ayat al-Quran yang bersifat umum. Misalnya ayat yang membolehkan menikahi perempuan lebih dari seorang wanita. Keumuman ayat ini dibatasi dengan pengkhususan terhadap wanita bersaudara kandung dan seorang wanita dengan bibinya.
... فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ
...maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa’,4: 3)
Ayat di atas ditakhshish oleh Hadits
لايجمع بين المرأة وعمتها ولا بين المرأة وخالتها (رواه البخار ي ومسلم)
Tidak boleh seseorang memadu seorang wanita dengan bibinya (saudara bapaknya), dan seorang wanita dengan bibi (saudari ibunya). (HR. Bukhari Muslim)
Contoh lainnya adalah keumuman ayat al-Quran yang menjelaskan warisan untuk anak laki-laki dua kali lipat anak perempuan (QS. An-Nisa’, 4:11) yang ditakhshish oleh Hadits sebagai berikut:
لا يرث المسلم الكافر ولا الكافر المسلم (رواه الجماعة)
Seorang muslim tidak boleh mewariskan harta kepada orang kafir dan seorang kafir tidak boleh mewariskan harta untuk seorang muslim (HR. al-Jama’ah)
لا يرث القاتل من المقتول شيئا (رواه النسائي)
Seorang pembunuh tidak boleh mewarisi harta orang dibunuh sedikitpun (HR. An-Nasai)
Keempat, sunnah menjelaskan makna lafazh al-Quran yang memiliki beberapa makna (mutaradif). Misalnya lafaz  quru’ pada QS. Al-Baqarah, 2 : 228)
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ ...
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menunggu selama tiga kali quru (QS. Al-Baqarah, 2:228
Quru’ memiliki dua makna yaitu bermakna haid dan suci. Menurut keterangan beberapa riwayat Hadits yang dimaksu quru’ itu adalah haid karena quru itu memiliki makna bahasa yang berarti waktu yang dibiasakan dan di dalam tradisi Arab, maksudnya adalah haid.
Kelima, sunnah menjelaskan ayat-ayat yang lebih dahulu turunnya dan ayat-ayat yang belakangan (asbab an-nuzul ayat). Hal ini sangat membantu untuk memberikan pemahaman yang benar kepada umat Islam terutama dalam al menjelaskan ayat-ayat hukum yang kadang penetapan hukumnya kemudian bertahap seperti masalah keharaman khamar.
3.    Penulisan dan Pembukuan Hadits
            Menurut Ahmad Rivauzi (2015: 72), dalam hal penulisan Hadits, para ulama berbeda pendapat tentang dibolehkannya dilakukan penulisan Hadits atau tidak. Hal ini tentu berkaitan dengan penulisan Hadits di zaman Rasulullah masih hidup. Hal ini di  sebabkan oleh adanya beberapa riwayat Hadits yang seperti bertentangan sebagaimana dijelaskan oleh al-Qaththan (2010, 47-29). Misalnya sebuah riwayat Hadits:
Dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa Rasulullah Saw., bersabda: “Janganlah menulis daripadaku, barangsiapa menulis daripadaku selain al-Quran, maka lenyapkanlah, dan ambillah Hadits dariku dan tidak mengapa, barangsiapa yang berbohong dengan sengaja atas namaku maka akan mendapatkan tempat duduknya dari api neraka (HR. Muslim)
Sedangkan pada sisi yang lain juga terdapat Hadits yang membolehkan ditulisnya Hadits seperti:
Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash berkata, “Aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah, dengan maksud ingin menghafanya, lalu kaum Quraisy melarangku, dan mereka mengatakan, ‘Apakah kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah, sedangkan Rasulullah manusia biasa yang bicara di saat marah dan gembira?’ Maka aku menahan dan berhenti menulis, lalu aku sampaikan kepada Rasulullah, kemudian beliau menunjuk pada mulut dengan jarinya dan bersabda, “Tulislah, demi jiwaku di tangan-Nya tiada sesuatu apapun yang keluar darinya melainkan yang hak dan benar”.[ii]
Para shahabat dan ulama yang melarang penulisan Hadits di antaranya: Umar, Ibnu Mas’ud, Zaid Ibn Tsabit, Abu Musa, Abu Sa’id al-Khudri dll. Sedangkan ulama dan shahabat yang membolehkan penulisan Hadits adalah: Ali, Hasan bin Ali, Anas, Abdullah Ibn Amr al-Ash dan lainnya. (Al-Qaththan, 2010: 48)
Al-Qaththan (2010: 49) menjelaskan, para ulama telah memadukan dua pendapat yang berselisih antara yang membolehkan dan yang mealarang penulisan Hadits sebagai berikut:
a.         Larangan penulisan Hadits terjadi pada awal masa perkembangan Islam yang dikhawatirkan akan terjadi percampuran antara al-Quran dan Hadits. ketika keadaan sudah aman dan kondusif, dan telah banyak para penghafal al-Quran, maka Rasulullah mengizinkan untuk menulis Hadits, dan larangan sebelumnya menjadi mansukh (terhapus)
b.        Larangan hannya khusus pada penulisan Hadits bersamaan dengan al-Quran dalam satu lembar shuhuf, karena khawatir terjadi percampuran.
c.         Larangan hannya bagi orang yang diyakini mampu menghafalnya karena dikhawatirkan akan bergantung pada tulisan. Sedang kobolehan menulis diberikan kepada shahabat yang tidak mampu menghafalnya.
            Al-Qaththan (2010: 49-50) menambahkan bahwa tidak diragukan lagi, terjadinya perbedaan boleh atau tidak penulisan Hadits hannya terjadi pada masa awal Islam saja. Selanjutnya kaum muslimin sudah sepakat dengan membolehkan penulisan Hadits. Malah pada akhir hidup Rasulullah ditemukan riwayat yang menunjukkan dibolehkannya penulisan Hadits secara umum sehingga banyak shahifah yang memuat Hadits-Hadits Rasulullah yang sampai saat ini masih ada dalam keadaan utuh. Di antara shahifah yang terkenal pada masa Nabi adalah shahifah Ash-Shadiqah yang ditulis oleh Abdullah bin Amru bin al-Ash. Shahifah ini memuat 1000 Hadits. Shahifah ini dapat ditemukan di Musnad Imam Ahmad dengan sanad dari Abdullah bin Amru. Abu Hurairah juga mengumpulkan beberapa shahifah yang ditulis oleh para shahabat. Salah satu shahifah yang diriwayatkan dari Abu Hurairah oleh muridnya Hamman bin Munabbih yang kemudian dikenal dengan shahifah Hamman. Shahifah ini memiliki peran yang sangat besar dalam pembukuan Hadits, karena sampai ke tangan kaum muslimin secara lengkap dan benar. Penulis buku “Kasyfu Azh-Zhunun” menyebut shahifah tersebut sebagai shahifah yang shahih. Keberadaannya secara utuh terdapat pada Musnad Ahmad, sedangkan dalam Shahih Bukhari dan lainnya dimuat terpisah-pisah pada beberapa bab (Ahmad Rivauzi, 2015: 74-75).
            Menurut al-Qaththan (2010: 50-52), sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015: 75), berbeda dengan penulisan Hadits sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, maka pembukuan Hadits tidak sebatas menulis pada shahifah, melainkan sudah mengumpulkan shahifah-shahifah yang sudah ditulis dan yang di hafal dalam dada, lalu menyusunnya sehingga menjadi sebuah buku. Dalam hal pembukuan Hadits, baru terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hal-hal yang mendorong pembukuan Hadits pada masa ini adalah:
a.    Tidak adanya larangan pembukuan karena al-Quran sudah dibukukan pada masa Abu Bakar dan Utsman, sehingga sudah dapat dijamin tidak akan bercampur antara al-Quran dengan Hadits.
b.    Kekhawatiran akan hilangnya Hadits jika tidak dibukukan.
c.    Munculnya pemalsuan Hadits akibat perselisihan politik dan mazhab pada masa Ali, khawarij dan Muawiyah yang masing-masing golongan  ingin memperkuat golongannya.
            al-Qaththan (2010: 52) menulis sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015:75), sebuah riwayat yang diriwayat oleh Ibn Shihab berkata:” Kalaulah tidak karena adanya hadits-hadits yang datang dari belahan Timur (Irak) yang tidak kami ketahui keberadaannya, niscaya aku tidak akan menulis dan tidak mengizinkan penulisan Hadits. Karena kondisi inilah Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Amru bin Hazm, pejabat kota Madinah, mengatakan, “Lihatlah kepada Hadits Rasulullah, atau Hadits yang diriwayatkan oleh ‘Amrah (yang banyak menulis Hadits dari Aisyah) lalu tulislah, karena aku khawatir akan lenyapnya ilmu dan meninggalnya orang yang membawanya. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Umar Bin Abdul Aziz memerintahkan kepada al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar untuk menulis Hadits dari ‘Amrah. Umar bin Abdul Aziz juga menulis surat ke negeri-negeri yang lain untuk menulis dan megumpulkan Hadits.
            Akan tetapi, upaya pengumpulan Hadits ini belum menyeluruh dan sempurna, karena Umar bin Abdul Aziz wafat sebelum Abu Bakar bin Hazm mengirimkan hasil pembukuan Hadits kepadanya. Para ulama Hadits memandang bahwa upaya Umar bin Abdul Aziz ini merupakan langkah awal dari pembukuan Hadits. Adapun upaya pembukuan yang menyeluruh dilakukan oleh Imam Muhammad bin Syihab az-Zuhri yang menyambut seruan Umar bin Abdul Aziz. Namun penting digaris bawahi, bahwa pembukuan Hadits oleh az-Zuhri belum disusun secara sistematis dan tidak didasari oleh urutan-urutan bab ilmu. Upaya pembukuan secara sistematis baru dilakukan oleh ulama sesudahnya namun juga masih bercampur dengan perkataan shahabat dan fatwa para tabi’in. Kemudian pada masa berikutnya baru dipisahkan antara Hadits dengan perkataan shabat dan fatwa tabi’in (Al-Qaththan, 2010: 53).
            Menurut Ibn Hajar, orang yang pertama melakukan pemisahan antara Hadits dengan perkataan dan fatwa shahabat dan tabi’in adalah Ar-Rabi’ bin Shubaih (w. 16 H) dan Sa’id bin Abi Arubah (w 156 H) hingga kepada ulama lapisan ketiga dari tabi’in seperti Imam Malik menyusun al-Muwaththa’ di Madinag, Abdullah bin Juraij di Makkah, al-Auza’i di Syam, Sufyan Ats-Tsauri di Kufah, Hamad bin Salamah bin Dinar di Bashrah dan lainnya (al-Qaththan, 2010: 53).
            Selanjutnya menurut al-Qaththan, pembukuan Hadits terus berlanjut ada yang menyusun pembukuan Hadits berdasarkan: Pertama,  masanid ( penyusunan Hadits berdasarkan sanad).  Kedua, al-Ma’ajim (buku Hadits yang disusun berdasarkan nama-nama shahabat). Ketiga, al-Jawami’ (penyusunan Hadits berdasarkan bab-bab ilmu) seperti al-Jami’ ash Shahih karya Imam al-Bukhari (w. 256 H)[iii], al-Jami’ah ash Shahih karya Imam Muslim (w. 261 H)[iv], al-Jami’ ash-Shahih karya Imam at-Tirmidzi (w. 279)[v]. Keempat penyusunan Hadits berdasarkan pembahasan fikih seperti, Sunan Abu Daud karya Sulaiman bin Asy’ats As-Sijistani (w. 275 H), Sunan An-Nasai yang dinamakan dengan al-Mujtaba karya Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib An-Nasai (w. 303 H), Sunan Ibn Majah karya Muhammad bin Yazid bin Majah al-Qazwini (w. 275 H), Sunan asy-Syafi’i karya Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (w. 204 H), Sunan Ad-Darimi karya Abdullah bin Abdurrahman ad-Darimi (w.255 H), Sunan Ad-Daraquthni karya Ali bin Umar ad-Daraquthni (w. 385 H), Sunan Baihaqi karya Abu Bakar Ahmad bin Husein al-Baihaqi (w. 458 H. (Semua kitab sunan ini sudah diterbitkan). Selanjutnya pembukuan Hadits lainnya dan banyak lagi yang lainnya (Manna’ Al-Qaththan (2010).
B.  Ijthad
Ijtihad adalah sumber hukum ketiga setelah al-Quran dan sunnah. Ijtihad adalah pemikiran para ulama mujtahid yang berikhtiar dengan seluruh kemampuan yang dimiliki untuk menggali ajaran Islam kemudian menetapkan hukumnya (Nasrul HS dkk, 2011: 62). Ijtihad menjadi kebutuhan mengingat kebudayaan manusia selalu berkembang, dan banyak persoalan-persoalan ke-kinian yang belum ada pada zaman Rasul sehingga hukumnya secara tegas juga belum ada pada zaman Rasulullah. Ijtihad dilakukan jika persoalan-persoalan tersebut tidak ada penjelasan hukumnya secara tegas pada al-Quran dan sunnah. Namun demikian, walaupun penjelasan hukumnya tidak ditemukan pada al-Quran dan sunnah, ijtihad harus tetap berpijak kepada al-Quran dan Sunnah dengan memperhatikan isyarat-isyarat atau nilai-nilai yang terdapat dalam al-Quran sebagai payung hukumnya. Sehingga dengan demikian, ijtihad tetap berpedoman juga kepada al-Quran dan sunnah (Ahmad Rivauzi, 2015: 77-78).
Abuddin Nata (2011: 43-45) sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015: 78-79) menjelaskan bahwa ijtihad mengambil beberapa bentuk.
1.    ijma’ ulama
ijma’ ulama secara harfiah berarti kesepakatan para ulama. Menurut ulama ahli fikih, ijma’ adalah kesepakatan ulama mengenai hukum tentang suatu masalah tertentu.
2.    qiyas
qiyas yang secara harfiah berarti analogi atau mengumpamakan sama. Menurut ahli fikih, qiyas adalah menetapkan hukum tentang suatu masalah yang belum ada dalil nash yang mengaturnya secara tegas dengan sesuatu hukum yang sudah ada nash atau dalilnya yang didasarkan atas persamaan illat antara keduanya. Misalnya menetapkan haram terhadap  meminum bir atau mengkonsumsi narkoba atas dasar kesamaan illat dengan khamar yang sudah ditetapkan hukum haramnya dalam al-Quran
3.    al-Maslahat al-mursalah
al-Maslahat al-mursalah yang secara harfiah berarti sesuatu yang mengandung nilai kebaikan. Walaupun pada masa sebelumnya belum ada atau belum diberlakukan, namun karena ada nilai kebaikannya, maka hal tersebut boleh diberlakukan. Misalnya pembukuan al-Quran dan Hadits.
4.    ‘uruf
‘uruf yang secara harfiah berarti adat kebiasaan. Menurut ahli fikih, ‘urg adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan pada masyarakat dan mengandung nilai-nilai kebaikan, maka hal tersebut dibenarkan oleh Islam untuk dilanjutkan. Misalnya kebiasaan merayakan hari raya pada masa sebelum Islam atau kebiasaan memuliakan tamu sebelum Islam. Karena hal tersebut memiliki nilai kebaikan, maka hal tersebut boleh dilestarikan.
5.    Istihsan
istihsan yang berarti memandang sesuatu sebagai baik. Menurut ahli fikih, istihsan adalah segala sesuatu yang dipandang baik oleh manusia pada umumnya dan tidak bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah.
6.    qaul al-shahabat
qaul al-shahabat yang berarti ucapan, perkataan, pemikiran dan perbuatan para shahabat yang tidak bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah. Hal ini boleh dijadikan dasar hukum mengingat para shahabat adalah orang-orang yang memiliki kecemerlangan pikiran dan hati yang Rasulullah sendiri juga memuji, mengakui, dan membenarkan pemikiran para shahabat ketika Rasul itu sendiri masih hidup.
7.    syar’un man qablana
syar’un man qablana yang secara harfiah berarti agama sebelum kita. Sedangkan dalam pengertian yang lazim, ajaran yang terdapat pada agama yang diturunkan Allah kepada Rasul Allah sebelum Nabi Muhammad seperti nilai dan pesan-pesan kebaikan yang dimuat dalam Taurat, Zabur, Injil yang masih asli yang tidak bertentangan dengan al-Quran dan sunnah.  Hal tersebut dapat dilanjutkan dan dibolehkan mengikutinya. 



                [i] Sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Mustafa al-Siba’i, al-Sunnah wa Makanatuhu fi al-Tasyri’, menyebutkan sebuah sabda Rsulullah Saw: “Barang siapa yang mensunnahkan (membiasakan) hal-hal yang terpuji, maka baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya. Dan barang siapa mensunnahkan hal-hal yang buruk, maka baginya dosa dan dosa orang yang mengikutinya. Abudin Nata, 2011:36
                [ii] Diriwayatkan ad-Darami dalam sunannya, al-Khathib dalam Taqyidul Ilmi, dan Ibn Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Ilmi wa Fadhlihi. Lihat Syaikh Manna’ al-Qaththan, Pengantar Ilmu Hadits, diterjemahkan oleh Mifdhol Abdurrahman dari judul aslinya Mabahis fi ‘Ulum al-Hadits, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010) Cet. V., h. 48
                [iii] Nama lengkap Imam Bukhari adalah Imam Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari
                [iv] Nama lengkap Imam Muslim adalah Imam Abul Husain Muslim bin Hajjaj  al-Qusyairi an-Naisaburi
                [v] Nama lengkap Imam at-Tirmidzi adalah Imam Abu Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi


Sumber:
Ahmad Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman: Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, (Ciputat: Sakata Cendikia, 2015), Cet. I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar