MAKNA
BATIN YANG TERKANDUNG DALAM IBADAH PUASA
Oleh:
Dr. Ahmad Rivauzi, MA
M.
Quraish Shihab (2013:145)
menjelaskan bahwa puasa
atau shaum dalam bahasa Arab berarti menahan diri. Manusia diciptakan
Allah dari tanah dan Ruh Ilahi. Tanah mendorongnya untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan jasmani sedangkan Ruh Ilahi mengantarkan kepada hal-hal
yang bersifat ruhaniah (Ahmad Rivauzi, 2015:148)
Ary Ginanjar (2001: 218) juga
mengungkapkan bahwa puasa
merupakan latihan pengendalian diri. Ketika seseorang tidak mampu mengendalikan
dorongan hawa nafsu, maka dapat mengakibatkan tertutupnya cahaya hati sehingga
seseorang tersebut akan menjadi buta emosi. Ketika emosi sudah buta, maka
seseorang menjadi tidak peka dan tidak mampu untuk membaca kondisi batinniyah
dirinya dan lingkungannya. Akhirnya seseorang kan menjadi asing dalam dirinya
sendiri dan lingkungannya. Namun jika seseorang mampu mengendalikan dirinya,
maka ia akan terbebas belenggu keinginan yang merusak yang menghancurkan (Ahmad Rivauzi, 2015:149)
Puasa tidak hannya mengendalikan
diri dari tidak makan dan minum serta hubungan seksual di siang hari, namun
juga pengendalian pikiran dan hati agar tetap berada di jalur yang telah
ditetapkan oleh prinsip-prinsip iman dalam rukun iman. Pengendalian diri agar
tetap mengahmabakan diri dan menjadikan segala perbuatan sebagai ibadah,
pengendalian diri agar tetap memiliki integritas dan komitmen, mengendalikan
diri agar tetap menjadi pemimpin yang uswah hasanah, mengendalikan diri agar
tetap berorientasi kepada pembelajaran diri, mengendalikan diri agar tetap
berorientas kepada visi masa depan dan juga pengendalian diri agar tetap
memegang prinsip ketaraturan , keseimbangan (Ary Ginanjar, 2001: 217-230).
Selanjutnya, dalam perspektif Islam,
salah satu karakteristik orang yang berkepribadian kuat adalah bertakwa.
Pribadi yang bertakwa dicirikan dengan pribadi yang mampu ber-muraqabah
kepada Allah SWT. Muraqabah dapat diartikan dengan kondisi merasa dekat
yang dirasakan oleh seorang hamba terhadap Allah sebagai Tuhannya (Ahmad Rivauzi, 2015:149)
Pada hakikatnya, Allah sangat dekat
dengan hamba-Nya melebihi kedekatan nadi seorang hamba terhadap dirinya
sendiri. Akan tetapi, kedekatan seorang hamba terhadap Tuhannya akan dirasakan
jauh bahkan sangat jauh dengan Tuhannya jika sihamba itu sering dan banyak
melakukan kesalahan atau dosa yang dilakukannya dalam keadaan sadar. Semakin
banyak dosa, Allah akan terasa semakin jauh dan akan menyebabkan si hamba
merasa tidak nyaman untuk melakukan pengaduan (munajah) kepada Tuhannya.
Kondisi ini sesunggguhnya merupakan kondisi yang sangat merugikan sebagai
seorang hamba (Ahmad Rivauzi, 2015:150)
. Kesalahan atau dosa yang dilakukan
seorang manusia tidak dapat dilepaskan oleh kelemahan manusia dalam melakukan
pengendalian dirinya dari dorongan hawa nafsunya. Hawa nafsu adalah sebuah
potensi insani yang jika tidak dikendalikan untuk selaras dengan kehendak Allah
akan membawa manusia kepada kenistaan dan derajat yang rendah (Ahmad Rivauzi,
2015:150)
Hakikat dari ibadah adalah
terpeliharanya kesucian jiwa atau ruhani manusia dengan pengendalian diri ( naha
an-nafs ‘an al-hawa). Dengan pengendalian diri dari dorongan hawa nafsu,
maka ruh akan terjaga dari ke-kotoran yang jika diiringi dengan taubat,
maka ruh manusia akan disucikan oleh Allah (Ahmad Rivauzi, 2015:150)
. Kesucian ruh inilah yang menjadi
syarat utama bagi seorang manusia untuk dapat mendekatkan diri dan merasakan
kedekatan kepada Allah dan dapat merasa nyaman bersama Allah SWT. Inilah kunci
bagi manusia untuk dapat merasakan kebahagiaan, kenyamanan, dan ketenangan
bathin (Ahmad Rivauzi, 2015:150)
.
Khalid Abdurrahman al-‘Aki (1994:64) dalam Shafwah al-Bayan li Ma’ani al-Qur’an
al-Karim, sebagaimana dijelaskan Ahmad Rivauzi (2015: 151-156), terdapat empat
hal yang perlu dilatihkan bagi setiap mukmin untuk dapat ber-muraqabah dengan
Allah.
a. ( يقرون بعبودتيه )Orang-orang yang mengekalkan
diri dalam berubudiyah kepada Allah.
Mengekalkan
diri dalam beribadah atau melakukan ibadah yang kontiniu tidak harus bermakna
seorang muslim harus melakukan shalat sepanjang waktu, atau puasa sepanjang
tahun. Yang dituntut dalam mengekalkan ibadah di sini adalah dengan
menghadirkan hati dalam setiap aktivitas dengan melakukan pemaknaan spiritual
terhadap semua aktivitas tersebut (Ahmad Rivauzi, 2015:
151).
Banyak
muslim yang rajin melakukan ibadah mahdhah, namun lalai melibatkan hati (qashdu
syai’ bi ar ruh). Ibadah lahiriyah atau jasmani akan kehilangan makna tanpa
melibatkan dimensi kesadaran atau kesengajaan ruh dalam melakukannya. Mengawali
aktivitas dengan niat ibadah dan menjadikan aktivitas apa saja sebagai
bentuk-bentuk kepatuhan kepada Allah adalah kunci utama mengekalkan diri dalam
beribadah (Ahmad Rivauzi, 2015: 151).
Menghadirkan
kesadaran jiwa atau hati dalam berbagai keadaan, dimanapun dan sedang melakukan
apa pun akan menjadikan seseorang selalu terhubung dengan Allah. Semua kegiatan
yang dilakukan muslim dalam keadaan seperti ini akan mengangkat semua kegiatan
itu menjadi zikir baginya. Seorang petani yang mengayunkan cangkulnya di sawah,
maka setiap ayunan cangkul itu akan menjadi zikir baginya dan dapat
mengantarkannya kepada keadaan muraqabah. Begitu juga halnya dengan
kegiatan-kegiatan kehidupan lainnya pada profesi apapun (Ahmad Rivauzi, 2015: 151).
b. ( ويقرون بربوبيته )
Orang-orang yang mengekalkan diri dalam Rububiyah Allah.
Rabba-yurabbi-rabban ( رب – يرب – ربا ) secara bahasa berarti
mengasuh, mengatur, dan memimpin (Mahmud
Yunus, 1990:136).[i]
Mengekalkan diri dalam rububiyah bermakna bahwa segala sesuatu yang ada
pada alam semesta merupakan ciptaan Allah dan selalu berada dalam genggaman,
asuhan, serta penguasaan Allah. Seorang muslim yang sadar akan rububiyah Allah
akan merasakan bahwa tidak ada satu urusan apa pun yang luput dari genggaman
Allah (Ahmad Rivauzi, 2015: 152).
Kesadaran dan keyakinan rububiyah ini perlu selalu dihadirkan
dalam jiwa dan hati seorang muslim.
Keyakinan rububiyah yang sudah hayat (hidup) dalam jiwa akan
menyelamatkan manusia dari berbagai macam penyakit kronis ruhani. Penyakit
kronis ruhaniyah ini dapat dicontohkan dengan kesombongan ketika berhasil,
putus asa ketika gagal, stres dalam memikul berbagai kesibukan dan banyak lagi lainnya (Ahmad Rivauzi, 2015: 152).
Memiliki kesadaran rububiyah
akan menjadikan manusia mampu bersyukur ketika berbahagia dan mendapat nikmat,
dan akan mampu bersabar ketika ditimpa seseuatu yang tidak disukai atau sedang
menerima kegagalan dan ujian dari Allah Swt. Kesadaran rububiyah akan
memberikan pencerahan yang bersifat spiritual kepada manusia bahwa segala
susuatu yang dimiliki dan diterima oleh manusia merupakan pemberian Allah
karena rahman dan rahimnya Allah. Kesungguhan dalam berusaha
hakikatnya adalah kewajiban manusia dan keberhasilan dari usaha itu, tidak
lebih dari kemurahan Allah semata. Sehingga dengan demikian bagi seorang mukmin
tidak ada istilah kecewa dan putus asa dalam kegagalan dan angkuh serta sombong
ketika sukses. Karena jiwa manusia, kekuatan dan kelemahan yang terdapat pada
setiap diri umat manusia adalah anugerah Allah semata yang harus disyukuri dan
diberdayakan sesuai dengan kehendak Allah Swt. Inilah kunci sukses dan
optimisme setiap orang yang beriman kepada Allah Swt(Ahmad
Rivauzi, 2015: 152-153).
c. ( ويصدقون بالمعاد اليه )
Orang-orang yang membenarkan akan kembali kepada Allah.
Keyakinan terhadap janji
Allah dan keyakinan bahwa segala sesuatu akan kembali kepada Allah Swt.,
membantu manusia untuk memiliki kelapangan ruhaniyah. Manusia sering dijajah
oleh perasaan keragu-raguan, kebimbangan serta kebingungan terhadap
ketidakpastian hari esok. Manusia bertanya tentang hari esok, keberuntungan apa
yang bisa didapatnya, atau bahkan bencana serta malapetaka apa yang akan datang
mendekat. Sekarang sehat, datang kekhawatiran dalam jiwa, bagaimana kalau sakit
datang menimpa bahkan muncul rasa takut datangnya kematian yang akan mengakhiri
kehidupan dunia ini. Semuanya merupakan ketidakpastian (Ahmad Rivauzi, 2015: 153).
Pertanyaan-pertanyaan di atas
merupakan keresahan jiwa manusia yang dikungkung oleh berbagai rasa, seperti
ketakutan, kekhawatiran, was-was, keresahan, dan beribu perasaan lainnya yang
bahkan kadang manusia itu sendiri tidak dapat memahami perasaan apa yang mereka
rasakan (Ahmad Rivauzi, 2015: 153).
Kehidupan ini bukanlah
kehidupan 1 (satu) dimensi yang dapat ditebak dengan sesuatu yang bersifat
pasti. Kehidupan memiliki “n” dimensi.[ii]
Ada beribu kemungkinan yang tidak terhitung. Kondisi akan membuat derita jiwa
bagi orang-orang yang buta mata hatinya. Kebutaan mata hati inilah yang akan
menimbulkan kecemasan-kecemasan yang akan melahirkan berbagai penyakit
keruhanian(Ahmad Rivauzi, 2015: 153-154).
Menyakini dan membenarkan
bahwa segala susuatu akan kembali kepada Allah akan membantu ruhani manusia
terbebas dari keresahan jiwa terhadap ketidakpastian di atas. Hanya satu yang
pasti dalam hidup ini, yaitu Tuhan. Dia lah kepastian sumber kehidupan dan akan
kembali kepada-Nya secara pasti juga. Dia yang merahmati makhluk-Nya, Dia juga
yang akan memberikan balasan terhadap keshalehan hamba-Nya serta akan
membiarkan rasa derita jiwa bagi manusia yang tidak meng-imani-Nya (Ahmad Rivauzi, 2015: 154).
Seorang mukmin yang meyakini
Allah sebagai tempat kembalinya, akan mampu untuk ikhlas dalam beramal, sabar
dan lapang dada dalam berbagai keadaan sulit. Tidak perlu harap terhadap pujian
dan sanjungan manusia, karena rahmat Allah lebih besar dari semua itu. Juga
tidak perlu kecewa jika kebaikan yang dilakukan kepada manusia lain, dibalasi
dengan sesuatu yang tidak baik, karena cukupkanlah Allah sebagai Zat yang Maha
Membalasi semua kebaikan. Begitu juga halnya, tidak perlu membalas kejahatan
orang lain karena cukuplah Allah sebagai hakim yang adil dalam memberikan
ganjaran dan balasan (Ahmad Rivauzi, 2015: 154).
Menghadirkan keyakinan bahwa
Allah tempat kembalinya semua urusan dan maha adil dalam memberikan balasan dan
ganjaran, merupakan solusi utama dari berbagai fenomena sosial yang sering
terjadi dalam kehidupan ini. Hilangnya kesabaran dalam menghadapi persoalan
hidup, baik persoalan pribadi maupun persoalan masyarakat dapat terjadi karena tipisnya kesadaran ruhani umat manusia
terhadap Tuhannya. Tidak adanya kesadaran ini menjauhkan ruhani manusia dari
pencerahan ke-Tuhanan karena Tuhan itu sendiri terasa jauh dari kehidupan yang
disebabkan keengganan manusia itu sendiri untuk berdialog dengan Tuhannya dalam
hidupnya(Ahmad Rivauzi, 2015: 154-155).
d. ( ويسلمون لقضائه )
Orang-orang yang tunduk kepada ketentuan Allah.
Sering didengar keluhan dari
umat Islam itu sendiri yang mengisahkan keringnya jiwanya dan beratnya hati
untuk mengadu (munajah) kepada Allah. Enggannya hati untuk menghadap
Allah ketika lapang, tentunya akan membuat hati jadi tidak nyaman mengadu
kepada Allah ketika dalam keadaan sulit dan sempit. Kerasnya hati untuk
mensyukuri nikmat Allah ketika memperoleh rizki, dengan sendirinya juga akan
membuat enggannya jiwa untuk menadahkan tangan kepada Allah dalam mushibah(Ahmad
Rivauzi, 2015: 155).
Manusia dapat membangkang
terhadap ketentuan Allah, namun perlawanan manusia tidak akan merubah ketentuan
Allah. Ketika seorang manusia ditimpa mushibah misalnya, kerasnya hati manusia
dapat menolak dan membenci mushibah itu, namun tetap saja, segala sesuatu yang
sudah terjadi tetap tidak berubah. Orang yang sudah mati tidak akan hidup lagi
walaupun semua manusia menolak kematian tersebut (Ahmad Rivauzi, 2015: 155).
Ahmad
Rivauzi (2015: 155-156)
menjelaskan bahwa ikhlas
terhadap ketentuan Allah dan menyatu dengan kehendak Allah adalah langkah
keberuntungan untuk dapat damai dan tenang dalam hidup. Dalam kitab Tanbih
al-Masyi, Abdurrauf Singkel mengutip sebuah Hadits Qudsi[iii]:
ابن ادم تريد
واريد ولا يكون الا ما اريد فان سلمت لي فيما اريد اعطيتك ما تريد وان نزعتني فيما
اريد اتعبتك فيما تريد ثم لا يكون الا ما اريد
Hai anak Adam, engaku punya
keinginan, dan Akupun demikian. Jika engkau pasrah terhadap apa yang Aku
inginkan, maka Aku akan memberikan apa yang engkau inginkan. Namun jika engkau
menentang apa yang Aku inginkan, Aku akan mempersulit apa yang engkau inginkan
sehingga tidak akan terjadi sesuatu kecuali apa yang Aku inginkan
Empat prinsip yang telah dijelaskan di atas
merupakan prinsip penting untuk dilatihkan dan dibiasakan oleh setiap muslim
untuk ber-muraqabah dengan Allah Swt guna terbentuknya pribadi yang kuat
(Ahmad Rivauzi, 2015: 156).
Sumber:
Ahmad
Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman: Memahami Universalitas Islam untuk
Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin,
(Ciputat: Sakata Cendikia, 2015), Cet. I
[i] Dalam bahasa sehari-hari, pada asalnya kata
ini dinisbahkan kepada Allah dengan makna Tuhan, Pencipta, Pengatur dan lain
sebagainya.
[ii] Dalam
salah satu teori matematika yang disebut “hyperspace” Michio Kaku;
seorang fisikawan mengatakan bahwa ruang tidak memiliki dimensi dua, tiga, atau
empat dimensi. Tetapi “n” dimensi. Lihat, Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ;
Memamfa’atkan Kecerdasan Spiritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik
untuk Memaknai Kehidupan, Penj. Rahmani Astuti dkk. (Bandung: Mizan,
2001), h. 57
[iii]Ahmad Rivauzi, Pendidikan Berbasis
Spiritual; Tela’ah Pemikiran Pendidikan Spiritual Abdurrauf Singkel dalam Kitab
Tanbih al-Masyi (Tesis), (Padang; PPs IAIN IB Padang, 2007) h. 149. Dalam Manuskrip naskah Tanbih
al-Masyi Abdurrauf Singkel dapat
ditemukan pada, h. 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar