Minggu, 15 Juli 2018

MAKNA BATIN YANG TERKANDUNG DALAM IBADAH PUASA


MAKNA BATIN YANG TERKANDUNG DALAM IBADAH PUASA
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA
            M. Quraish Shihab (2013:145) menjelaskan bahwa puasa atau shaum dalam bahasa Arab berarti menahan diri. Manusia diciptakan Allah dari tanah dan Ruh Ilahi. Tanah mendorongnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmani sedangkan Ruh Ilahi mengantarkan kepada hal-hal yang bersifat ruhaniah (Ahmad Rivauzi, 2015:148)
            Ary Ginanjar (2001: 218) juga mengungkapkan bahwa puasa merupakan latihan pengendalian diri. Ketika seseorang tidak mampu mengendalikan dorongan hawa nafsu, maka dapat mengakibatkan tertutupnya cahaya hati sehingga seseorang tersebut akan menjadi buta emosi. Ketika emosi sudah buta, maka seseorang menjadi tidak peka dan tidak mampu untuk membaca kondisi batinniyah dirinya dan lingkungannya. Akhirnya seseorang kan menjadi asing dalam dirinya sendiri dan lingkungannya. Namun jika seseorang mampu mengendalikan dirinya, maka ia akan terbebas belenggu keinginan yang merusak yang menghancurkan (Ahmad Rivauzi, 2015:149)  
            Puasa tidak hannya mengendalikan diri dari tidak makan dan minum serta hubungan seksual di siang hari, namun juga pengendalian pikiran dan hati agar tetap berada di jalur yang telah ditetapkan oleh prinsip-prinsip iman dalam rukun iman. Pengendalian diri agar tetap mengahmabakan diri dan menjadikan segala perbuatan sebagai ibadah, pengendalian diri agar tetap memiliki integritas dan komitmen, mengendalikan diri agar tetap menjadi pemimpin yang uswah hasanah, mengendalikan diri agar tetap berorientasi kepada pembelajaran diri, mengendalikan diri agar tetap berorientas kepada visi masa depan dan juga pengendalian diri agar tetap memegang prinsip ketaraturan , keseimbangan (Ary Ginanjar, 2001: 217-230).
            Selanjutnya, dalam perspektif Islam, salah satu karakteristik orang yang berkepribadian kuat adalah bertakwa. Pribadi yang bertakwa dicirikan dengan pribadi yang mampu ber-muraqabah kepada Allah SWT. Muraqabah dapat diartikan dengan kondisi merasa dekat yang dirasakan oleh seorang hamba terhadap Allah sebagai Tuhannya (Ahmad Rivauzi, 2015:149)  
            Pada hakikatnya, Allah sangat dekat dengan hamba-Nya melebihi kedekatan nadi seorang hamba terhadap dirinya sendiri. Akan tetapi, kedekatan seorang hamba terhadap Tuhannya akan dirasakan jauh bahkan sangat jauh dengan Tuhannya jika sihamba itu sering dan banyak melakukan kesalahan atau dosa yang dilakukannya dalam keadaan sadar. Semakin banyak dosa, Allah akan terasa semakin jauh dan akan menyebabkan si hamba merasa tidak nyaman untuk melakukan pengaduan (munajah) kepada Tuhannya. Kondisi ini sesunggguhnya merupakan kondisi yang sangat merugikan sebagai seorang hamba (Ahmad Rivauzi, 2015:150)  
.           Kesalahan atau dosa yang dilakukan seorang manusia tidak dapat dilepaskan oleh kelemahan manusia dalam melakukan pengendalian dirinya dari dorongan hawa nafsunya. Hawa nafsu adalah sebuah potensi insani yang jika tidak dikendalikan untuk selaras dengan kehendak Allah akan membawa manusia kepada kenistaan dan derajat yang rendah (Ahmad Rivauzi, 2015:150)  
            Hakikat dari ibadah adalah terpeliharanya kesucian jiwa atau ruhani manusia dengan pengendalian diri ( naha an-nafs ‘an al-hawa). Dengan pengendalian diri dari dorongan hawa nafsu, maka ruh akan terjaga dari ke-kotoran yang jika diiringi dengan taubat, maka ruh manusia akan disucikan oleh Allah (Ahmad Rivauzi, 2015:150)  
.           Kesucian ruh inilah yang menjadi syarat utama bagi seorang manusia untuk dapat mendekatkan diri dan merasakan kedekatan kepada Allah dan dapat merasa nyaman bersama Allah SWT. Inilah kunci bagi manusia untuk dapat merasakan kebahagiaan, kenyamanan, dan ketenangan bathin (Ahmad Rivauzi, 2015:150)  
.
             Khalid Abdurrahman al-‘Aki (1994:64)  dalam Shafwah al-Bayan li Ma’ani al-Qur’an al-Karim, sebagaimana dijelaskan Ahmad Rivauzi (2015: 151-156), terdapat empat hal yang perlu dilatihkan bagi setiap mukmin untuk dapat ber-muraqabah dengan Allah.
a.     ( يقرون بعبودتيه )Orang-orang yang mengekalkan diri dalam berubudiyah kepada Allah.
Mengekalkan diri dalam beribadah atau melakukan ibadah yang kontiniu tidak harus bermakna seorang muslim harus melakukan shalat sepanjang waktu, atau puasa sepanjang tahun. Yang dituntut dalam mengekalkan ibadah di sini adalah dengan menghadirkan hati dalam setiap aktivitas dengan melakukan pemaknaan spiritual terhadap semua aktivitas tersebut (Ahmad Rivauzi, 2015: 151).
Banyak muslim yang rajin melakukan ibadah mahdhah, namun lalai melibatkan hati (qashdu syai’ bi ar ruh). Ibadah lahiriyah atau jasmani akan kehilangan makna tanpa melibatkan dimensi kesadaran atau kesengajaan ruh dalam melakukannya. Mengawali aktivitas dengan niat ibadah dan menjadikan aktivitas apa saja sebagai bentuk-bentuk kepatuhan kepada Allah adalah kunci utama mengekalkan diri dalam beribadah (Ahmad Rivauzi, 2015: 151).
Menghadirkan kesadaran jiwa atau hati dalam berbagai keadaan, dimanapun dan sedang melakukan apa pun akan menjadikan seseorang selalu terhubung dengan Allah. Semua kegiatan yang dilakukan muslim dalam keadaan seperti ini akan mengangkat semua kegiatan itu menjadi zikir baginya. Seorang petani yang mengayunkan cangkulnya di sawah, maka setiap ayunan cangkul itu akan menjadi zikir baginya dan dapat mengantarkannya kepada keadaan muraqabah. Begitu juga halnya dengan kegiatan-kegiatan kehidupan lainnya pada profesi apapun (Ahmad Rivauzi, 2015: 151).
b.     ( ويقرون بربوبيته ) Orang-orang yang mengekalkan diri dalam Rububiyah Allah.
Rabba-yurabbi-rabban ( رب – يرب – ربا ) secara bahasa berarti mengasuh, mengatur, dan memimpin (Mahmud Yunus, 1990:136).[i] Mengekalkan diri dalam rububiyah bermakna bahwa segala sesuatu yang ada pada alam semesta merupakan ciptaan Allah dan selalu berada dalam genggaman, asuhan, serta penguasaan Allah. Seorang muslim yang sadar akan rububiyah Allah akan merasakan bahwa tidak ada satu urusan apa pun yang luput dari genggaman Allah (Ahmad Rivauzi, 2015: 152).
Kesadaran dan keyakinan  rububiyah ini perlu selalu dihadirkan dalam jiwa dan hati seorang muslim.  Keyakinan rububiyah yang sudah hayat (hidup) dalam jiwa akan menyelamatkan manusia dari berbagai macam penyakit kronis ruhani. Penyakit kronis ruhaniyah ini dapat dicontohkan dengan kesombongan ketika berhasil, putus asa ketika gagal, stres dalam memikul berbagai kesibukan dan banyak lagi lainnya (Ahmad Rivauzi, 2015: 152).
Memiliki kesadaran rububiyah akan menjadikan manusia mampu bersyukur ketika berbahagia dan mendapat nikmat, dan akan mampu bersabar ketika ditimpa seseuatu yang tidak disukai atau sedang menerima kegagalan dan ujian dari Allah Swt. Kesadaran rububiyah akan memberikan pencerahan yang bersifat spiritual kepada manusia bahwa segala susuatu yang dimiliki dan diterima oleh manusia merupakan pemberian Allah karena rahman dan rahimnya Allah. Kesungguhan dalam berusaha hakikatnya adalah kewajiban manusia dan keberhasilan dari usaha itu, tidak lebih dari kemurahan Allah semata. Sehingga dengan demikian bagi seorang mukmin tidak ada istilah kecewa dan putus asa dalam kegagalan dan angkuh serta sombong ketika sukses. Karena jiwa manusia, kekuatan dan kelemahan yang terdapat pada setiap diri umat manusia adalah anugerah Allah semata yang harus disyukuri dan diberdayakan sesuai dengan kehendak Allah Swt. Inilah kunci sukses dan optimisme setiap orang yang beriman kepada Allah Swt(Ahmad Rivauzi, 2015: 152-153).
c.    ( ويصدقون بالمعاد اليه ) Orang-orang yang membenarkan akan kembali kepada Allah.
Keyakinan terhadap janji Allah dan keyakinan bahwa segala sesuatu akan kembali kepada Allah Swt., membantu manusia untuk memiliki kelapangan ruhaniyah. Manusia sering dijajah oleh perasaan keragu-raguan, kebimbangan serta kebingungan terhadap ketidakpastian hari esok. Manusia bertanya tentang hari esok, keberuntungan apa yang bisa didapatnya, atau bahkan bencana serta malapetaka apa yang akan datang mendekat. Sekarang sehat, datang kekhawatiran dalam jiwa, bagaimana kalau sakit datang menimpa bahkan muncul rasa takut datangnya kematian yang akan mengakhiri kehidupan dunia ini. Semuanya merupakan ketidakpastian (Ahmad Rivauzi, 2015: 153).
Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan keresahan jiwa manusia yang dikungkung oleh berbagai rasa, seperti ketakutan, kekhawatiran, was-was, keresahan, dan beribu perasaan lainnya yang bahkan kadang manusia itu sendiri tidak dapat memahami perasaan apa yang mereka rasakan (Ahmad Rivauzi, 2015: 153).
Kehidupan ini bukanlah kehidupan 1 (satu) dimensi yang dapat ditebak dengan sesuatu yang bersifat pasti. Kehidupan memiliki “n” dimensi.[ii] Ada beribu kemungkinan yang tidak terhitung. Kondisi akan membuat derita jiwa bagi orang-orang yang buta mata hatinya. Kebutaan mata hati inilah yang akan menimbulkan kecemasan-kecemasan yang akan melahirkan berbagai penyakit keruhanian(Ahmad Rivauzi, 2015: 153-154).
Menyakini dan membenarkan bahwa segala susuatu akan kembali kepada Allah akan membantu ruhani manusia terbebas dari keresahan jiwa terhadap ketidakpastian di atas. Hanya satu yang pasti dalam hidup ini, yaitu Tuhan. Dia lah kepastian sumber kehidupan dan akan kembali kepada-Nya secara pasti juga. Dia yang merahmati makhluk-Nya, Dia juga yang akan memberikan balasan terhadap keshalehan hamba-Nya serta akan membiarkan rasa derita jiwa bagi manusia yang tidak meng-imani-Nya (Ahmad Rivauzi, 2015: 154).
Seorang mukmin yang meyakini Allah sebagai tempat kembalinya, akan mampu untuk ikhlas dalam beramal, sabar dan lapang dada dalam berbagai keadaan sulit. Tidak perlu harap terhadap pujian dan sanjungan manusia, karena rahmat Allah lebih besar dari semua itu. Juga tidak perlu kecewa jika kebaikan yang dilakukan kepada manusia lain, dibalasi dengan sesuatu yang tidak baik, karena cukupkanlah Allah sebagai Zat yang Maha Membalasi semua kebaikan. Begitu juga halnya, tidak perlu membalas kejahatan orang lain karena cukuplah Allah sebagai hakim yang adil dalam memberikan ganjaran dan balasan (Ahmad Rivauzi, 2015: 154).
Menghadirkan keyakinan bahwa Allah tempat kembalinya semua urusan dan maha adil dalam memberikan balasan dan ganjaran, merupakan solusi utama dari berbagai fenomena sosial yang sering terjadi dalam kehidupan ini. Hilangnya kesabaran dalam menghadapi persoalan hidup, baik persoalan pribadi maupun persoalan masyarakat dapat terjadi  karena tipisnya kesadaran ruhani umat manusia terhadap Tuhannya. Tidak adanya kesadaran ini menjauhkan ruhani manusia dari pencerahan ke-Tuhanan karena Tuhan itu sendiri terasa jauh dari kehidupan yang disebabkan keengganan manusia itu sendiri untuk berdialog dengan Tuhannya dalam hidupnya(Ahmad Rivauzi, 2015: 154-155).
d.    ( ويسلمون لقضائه ) Orang-orang yang tunduk kepada ketentuan Allah.
Sering didengar keluhan dari umat Islam itu sendiri yang mengisahkan keringnya jiwanya dan beratnya hati untuk mengadu (munajah) kepada Allah. Enggannya hati untuk menghadap Allah ketika lapang, tentunya akan membuat hati jadi tidak nyaman mengadu kepada Allah ketika dalam keadaan sulit dan sempit. Kerasnya hati untuk mensyukuri nikmat Allah ketika memperoleh rizki, dengan sendirinya juga akan membuat enggannya jiwa untuk menadahkan tangan kepada Allah dalam mushibah(Ahmad Rivauzi, 2015: 155).
Manusia dapat membangkang terhadap ketentuan Allah, namun perlawanan manusia tidak akan merubah ketentuan Allah. Ketika seorang manusia ditimpa mushibah misalnya, kerasnya hati manusia dapat menolak dan membenci mushibah itu, namun tetap saja, segala sesuatu yang sudah terjadi tetap tidak berubah. Orang yang sudah mati tidak akan hidup lagi walaupun semua manusia menolak kematian tersebut (Ahmad Rivauzi, 2015: 155).
Ahmad Rivauzi (2015: 155-156) menjelaskan bahwa ikhlas terhadap ketentuan Allah dan menyatu dengan kehendak Allah adalah langkah keberuntungan untuk dapat damai dan tenang dalam hidup. Dalam kitab Tanbih al-Masyi, Abdurrauf Singkel mengutip sebuah Hadits Qudsi[iii]:
ابن ادم تريد واريد ولا يكون الا ما اريد فان سلمت لي فيما اريد اعطيتك ما تريد وان نزعتني فيما اريد اتعبتك فيما تريد ثم لا يكون الا ما اريد   
Hai anak Adam, engaku punya keinginan, dan Akupun demikian. Jika engkau pasrah terhadap apa yang Aku inginkan, maka Aku akan memberikan apa yang engkau inginkan. Namun jika engkau menentang apa yang Aku inginkan, Aku akan mempersulit apa yang engkau inginkan sehingga tidak akan terjadi sesuatu kecuali apa yang Aku inginkan
Empat prinsip yang telah dijelaskan di atas merupakan prinsip penting untuk dilatihkan dan dibiasakan oleh setiap muslim untuk ber-muraqabah dengan Allah Swt guna terbentuknya pribadi yang kuat (Ahmad Rivauzi, 2015: 156).
Sumber:
Ahmad Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman: Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, (Ciputat: Sakata Cendikia, 2015), Cet. I



[i] Dalam bahasa sehari-hari, pada asalnya kata ini dinisbahkan kepada Allah dengan makna Tuhan, Pencipta, Pengatur dan lain sebagainya.
[ii]  Dalam salah satu teori matematika yang disebut “hyperspace” Michio Kaku; seorang fisikawan mengatakan bahwa ruang tidak memiliki dimensi dua, tiga, atau empat dimensi. Tetapi “n” dimensi. Lihat, Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ; Memamfa’atkan Kecerdasan Spiritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, Penj. Rahmani Astuti dkk. (Bandung: Mizan, 2001),  h. 57
[iii]Ahmad Rivauzi, Pendidikan Berbasis Spiritual; Tela’ah Pemikiran Pendidikan Spiritual Abdurrauf Singkel dalam Kitab Tanbih al-Masyi (Tesis), (Padang; PPs IAIN IB Padang, 2007)  h. 149. Dalam Manuskrip naskah Tanbih al-Masyi  Abdurrauf Singkel dapat ditemukan pada,  h. 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar