HUKUM QADHA SHALAT FARDHU
Oleh: Dr.
Ahmad Rivauzi, MA
Menurut Muhammad Jawad
Mughniyah (2008:132), para ulama fikih sepakat bahwa barangsiapa ketinggalan
shalat fardhu, maka wajib meng-qadha’-nya. Baik shalat itu
ditinggalkannya dengan sengaja, lupa, maupun karena ketiduran. Sedangkan wanita
haidh dan nifas tidak wajib qadha’ walaupun dia memiliki waktu yang
lapang. Sebab kewajiban shalat gugur
dari mereka.
Muhammad Jawad
Mughniyah (2008:132), juga menjelaskan bahwa perbedaan pendapat di kalangan
ulama fikih Cuma terjadi dalam hal kewajiban qadha atas orang gila, pingsan dan
orang mabuk.
1. Menurut
mazhab Hanafi, orang yang hilang akal karena disebabkan oleh barang yang
diharamkan, maka ia wajib mengqadha shalatnya, namun jiga hilang akal itu
disebabkan karena pingsan atau gila, maka kerwajiban qadha menjadi hilang jika
pingsan atau gilanya itu berlangsung terus sampai lebih lima kali waktu shalat.
2. Menurut
Maliki, orang gila atau pingsan wajib qadha. Sedangkan orang yang mabuk karena
barang yang diharamkan seperti tuak, maka ia wajib qadha. Namun jika disebabkan
oleh barang yang halal seperti minum susu asam, maka ia tidak wajib qadha.
3. Hanbali
berpendapat bahwa orang yang pingsan dan mabuk karena benda haram, maka wajib
qadha, sedangkan orang yang gila tidak wajib.
4. Sedangkan
Syafi’i berpendapat, orang gila dan orang pingsan tidak wajib qadha jika hilang
akalnya itu menghabiskan seluruh waktu shalat dalam satu hari. Adapun mabuk
yang disebabkan oleh barang yang haram wajib diqadha.
Penjelasan tentang
kewajiban qadha shalat juga dikupas oleh Muhammad Sayyid Sabiq (2008:351).
Sabiq menjelaskan bahwa para ulama sepakat bahwa mengqadha shalat wajib
hukumnya bagi orang yang lupa atau tertidur. Begitu pula halnya dengan orang
yang meninggalkan shalat dengan sengaja, menurut jumhur ulama, ia berdosa dan
wajib mengqadhanya.
Sedangkan pendapat yang
mengatakan bahwa tidak ada kewajiban qadha shalat bagi orang yang meninggalkan
shalat, semuanya merujuk kepada pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn Hazm. Ibn
Taimiyah berpendapat bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat itu tidak
diperintahkan untuk mengqadhanya. Jika diqadha pun, tidak sah. Ibn Hazm
menjelaskan, orang yang sengaja meninggalkan shalat, tidak dapat mengqadhanya
untuk selamanya. Sebagai gantinya, ia harus memperbanyak shalat sunnah agar
timbangan amalnya menjadi banyak pada hari Kiamat kelak (Muhammad Sayyid Sabiq, 2008:351). Pendapat Ibn Hazm ini juga
dirujuk oleh M. Hasbi Ash-Shiddieqy (2014:377), dan juga berpendapat bahwa
tidak ada qadha untuk shalat yang telah ditinggalkan.
Pendapat tentang tidak ada qadha shalat juga merujuk
kepada Mazhab Zahiri, Ibnu Hazm dan salah satu riwayat dari Qasim dan Wazir dari
mazhab Syi'ah. Mereka berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan
bersengaja tidak wajib mengqadha shalatnya yang tertinggal dan kalau juga
mereka mengqadha shalatnya, maka shalatnya dianggap tidak sah.[1]
Pendapat Ibn Taimiyah
dan Ibn Hazm ini, serta mazhab Zahiri dan sebagian pendapat kalangan ulama
Syi’ah ini sangat bertentangan dengan pendapat ulama mazhab. Abu Hanifah,
Malik, dan Syafi’i berpendapat bahwa seseorang harus mengqadha shalat bila
waktunya habis. Bahkan Malik dan Abu Hanifah mengatakan bahwa barang siapa yang
meninggalkan shalat atau beberapa shalat, ia boleh mengqadha shalat sebelum
datang waktu shalat berikutnya. Ini bila yang sengaja ditinggalkan itu lima
kali shalat atau kurang, baik waktunya sudah habis maupun belum. Adapun jika
lebih dari lima waktu, hendaknya ia memulai dengan shalat yang hadir pada
waktunya itu (Sayyid Sabiq, 2008: 351-352).
Adapun dalil-dalil yang
dijadikan dasar wajibnya qadha shalat adalah:
أَخْبَرَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ: أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ
وَهُوَ ابْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ الْمُغِيرَةِ، عَنْ ثَابِتٍ،
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَبَاحٍ، عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ،
إِنَّمَا التَّفْرِيطُ فِيمَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلَاةَ حَتَّى يَجِيءَ وَقْتُ
الصَّلَاةِ الْأُخْرَى حِينَ يَنْتَبِهُ لَهَا»(رواه النسائي و الترمذي و صححه(
...Dari Abu Qatadah, dia berkata, mereka (Shahabat-shahabat)
menceritakan kepada Nabi tentang tertidurnya mereka sebelum shalat, maka Nabi
saw berkata, Sesungguhnya di dalam tidur tidak ada keteledoran, karena (yang
dinamakan keteledoran) itu hanyalah dalam keadaan berjaga. Oleh karena itu,
apabila salah seorang di antara kamu lupa shalat atau tertidur, maka shalatlah
ketika ingat. (HR. an-Nasa'i dan at-Tirmidzi
menshahihkannya. Juga dinilai Shahih oleh al-Bani).[2]
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، قَالاَ:
حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [ص:123] قَالَ: " مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ
إِذَا ذَكَرَهَا، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ {وَأَقِمِ الصَّلاَةَ
لِذِكْرِي} [طه: 14] "، قَالَ مُوسَى: قَالَ هَمَّامٌ: سَمِعْتُهُ يَقُولُ:
بَعْدُ: «وَأَقِمِ الصَّلاَةَ للذِّكْرَى»، قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: وَقَالَ
حَبَّانُ: حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، حَدَّثَنَا أَنَسٌ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ ) (رواه البخاري(
...dari Anas bin Malik,dari Nabi Saw, Nabi saw,
bersabda: Barangsiapa lupa satu shalat, maka shalatlah ketika ingat. Karena
sesungguhnya Allah telah berfirman: Dirikanlah shalat karena ingat kepada-Ku. (HR. al-Jama'ah )[3]
حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ فَضَالَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا هِشَامٌ، عَنْ
يَحْيَى، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ عُمَرَ
بْنَ الخَطَّابِ، جَاءَ يَوْمَ الخَنْدَقِ، بَعْدَ مَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ
فَجَعَلَ يَسُبُّ كُفَّارَ قُرَيْشٍ، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كِدْتُ
أُصَلِّي العَصْرَ، حَتَّى كَادَتِ الشَّمْسُ تَغْرُبُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَاللَّهِ مَا صَلَّيْتُهَا» فَقُمْنَا إِلَى
بُطْحَانَ، فَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ وَتَوَضَّأْنَا لَهَا، فَصَلَّى العَصْرَ
بَعْدَ مَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ، ثُمَّ صَلَّى بَعْدَهَا المَغْرِبَ (رواه لبخاري و مسلم(
...dari Jabir bin Abdillah beliau berkata: bahwasanya Sayidina
Umar datang kepada Rasulullah ketika peperangan Khandaq, sesudah terbenam
matahari, Saidina Umar ketika itu memaki-maki kafir Quraisy dan berkata kepada
Rasulullah: Hai Rasulullah, saya hampir tidak shalat 'Ashar sampai matahari
terbenam, maka Nabi menjawab: Demi Allah, saya juga belum shalat 'Ashar.
(Berkata Jabir). Maka kami semuanya berangkat ke Balkan maka berwudhulah Nabi
dan kami berwudhu pula, lalu Nabi shalat 'Ashar sesudah terbenam matahari dan
sesudah itu baru Nabi shalat magrib. (H.R. Bukhari dan Muslim).[4]
Hadits di atas menjelaskan bahwa Umar bin Khatab dan
kaum muslimin, karena kesibukan menghadapi peperangan sehingga terlupa shalat
dan mereka qadha shalat Ashar pada waktu Magrib. Oleh karena itu, kalau
seandainya tidak wajib mengqadha shalat yang tertinggal, niscaya mereka tidak
lagi mengerjakan shalat Ashar di luar waktu Ashar.
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ
أَبِي بِشْرٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا، أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ، جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ
تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ، أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ: «نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا،
أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً؟ اقْضُوا اللَّهَ
فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالوَفَاءِ») رواه البخاري(
...Dari Ibnu Abbas Ra, beliau berkata: Bahwasannya
seorang wanita dari suku Juhainah datang kepada Nabi Muhammad Saw. lalu ia
bertanya: bahwasanya ibuku bernadzar akan haji, tetapi beliau wafat sebelum
membayarkan nadzarnya naik haji itu, apakah boleh saya membayarkan nadzarnya
itu, yakni naik haji? Jawab Nabi: Ya boleh, naik hajilah engkau pengganti dia.
Coba engkau pikir, kalau ibumu berutang tentu engkau harus membayar utangnya
itu, maka utang kepada Tuhan lebih patut untuk dibayar. (H.R. Imam Bukhari).[5]
Hadits di atas memerintahkan membayar setiap hak
Allah, termasuk di antaranya shalat yang tertinggal baik disengaja atau tidak,
karena keumuman perintah dalam hadits itu.
Kepustakaan:
1.
Abu
Aburrahman Ahmad bin Syu’ib bin al-Khurasani (al-Nisa’i), al-Sunan al-Shugra li
al-Nisa’i, Tahqiq: Abd al-Fatah Abu Ghudah, (Maktabah al-Mathbu’at al-Islamiyah,
Juz I.
2.
Al-Imam Abu Isa Muhammad ibn Isa
ibn Saurah ibn Musa ibn ad-Dahak as-Salmi at-Turmuzi, Sunan at-Turmuzi,
Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1931
3. http://hakamabbas.blogspot.com/2014/07/qadha-shalat-yang-ditinggal-dengan.html#sthash.KW3nFj4w.dpuf.
4. Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari
al-Ja’fi, al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umuri Rasulillah
(Shahih Bukhari), Muhaqqiq: Muhammad Zuhair bin Nashir al-Nashir, Dar Thuq
al-Najah, 1422, Juz I,
5. Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari
al-Ja’fi, al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umuri Rasulillah
(Shahih Bukhari), Muhaqqiq: Muhammad Zuhair bin Nashir al-Nashir, Dar Thuq al-Najah,
1422,
6. Muhammad
bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ al-Musnad al-Shahih
al-Mukhtashar min Umuri Rasulillah (Shahih Bukhari), Muhaqqiq: Muhammad Zuhair
bin Nashir al-Nashir, Dar Thuq al-Najah, 1422, Juz 3
7. Muhammad
Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali,
Judul Asli: Al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Penj: Masykur A.B. dkk.
(Jakarta: Penerbit Lentera, 2008), Cet 22
8. Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunnah I, Judul Asli: Fiqhus Sunnah, Penj: Ahmad Shiddiq Thabrani,
dkk. (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008) Cet I
9. Syekh
al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani, Nail al–Autar Min
Ahadisi Sayyidi al-Ahyar Sarh Muntaqa al-Akhbar, Beirut Libanon: Daar
al-Qutub al-Ilmiah, 1973
10. M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2014),
Cet. IV
[1]http://hakamabbas.blogspot.com/2014/07/qadha-shalat-yang-ditinggal-dengan.html#sthash.KW3nFj4w.dpuf.
Akses tanggal 8 Juli 2015
[2] Lihat:
Abu Aburrahman Ahmad bin Syu’ib bin al-Khurasani (al-Nisa’i), al-Sunan
al-Shugra li al-Nisa’i, Tahqiq: Abd al-Fatah Abu Ghudah, (Maktabah al-Mathbu’at
al-Islamiyah, Juz I. No. 616, Hlm.294. Lihat: Syekh al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad
asy-Syaukani, Nail al–Autar Min Ahadisi Sayyidi al-Ahyar Sarh Muntaqa
al-Akhbar, Beirut Libanon: Daar al-Qutub al-Ilmiah, 1973, hlm. 28. Al-Imam
Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn ad-Dahak as-Salmi
at-Turmuzi, Sunan at-Turmuzi, Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah,
1931, hlm. 30.
[3] Lihat: Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’
al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umuri Rasulillah (Shahih Bukhari),
Muhaqqiq: Muhammad Zuhair bin Nashir al-Nashir, Dar Thuq al-Najah, 1422, Juz I,
No. 597, hlm. 122
[4] Lihat: Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’
al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umuri Rasulillah (Shahih Bukhari),
Muhaqqiq: Muhammad Zuhair bin Nashir al-Nashir, Dar Thuq al-Najah, 1422,
[5] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah
al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umuri
Rasulillah (Shahih Bukhari), Muhaqqiq: Muhammad Zuhair bin Nashir al-Nashir,
Dar Thuq al-Najah, 1422, Juz 3, No.1852