Rabu, 08 Juli 2015

Hukum Qadha Shalat Fardhu

HUKUM QADHA SHALAT FARDHU
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA

Menurut Muhammad Jawad Mughniyah (2008:132), para ulama fikih sepakat bahwa barangsiapa ketinggalan shalat fardhu, maka wajib meng-qadha’-nya. Baik shalat itu ditinggalkannya dengan sengaja, lupa, maupun karena ketiduran. Sedangkan wanita haidh dan nifas tidak wajib qadha’ walaupun dia memiliki waktu yang lapang. Sebab kewajiban shalat gugur  dari mereka.
Muhammad Jawad Mughniyah (2008:132), juga menjelaskan bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih Cuma terjadi dalam hal kewajiban qadha atas orang gila, pingsan dan orang mabuk.
1.      Menurut mazhab Hanafi, orang yang hilang akal karena disebabkan oleh barang yang diharamkan, maka ia wajib mengqadha shalatnya, namun jiga hilang akal itu disebabkan karena pingsan atau gila, maka kerwajiban qadha menjadi hilang jika pingsan atau gilanya itu berlangsung terus sampai lebih lima kali waktu shalat.
2.     Menurut Maliki, orang gila atau pingsan wajib qadha. Sedangkan orang yang mabuk karena barang yang diharamkan seperti tuak, maka ia wajib qadha. Namun jika disebabkan oleh barang yang halal seperti minum susu asam, maka ia tidak wajib qadha.
3.    Hanbali berpendapat bahwa orang yang pingsan dan mabuk karena benda haram, maka wajib qadha, sedangkan orang yang gila tidak wajib.
4.      Sedangkan Syafi’i berpendapat, orang gila dan orang pingsan tidak wajib qadha jika hilang akalnya itu menghabiskan seluruh waktu shalat dalam satu hari. Adapun mabuk yang disebabkan oleh barang yang haram wajib diqadha.
Penjelasan tentang kewajiban qadha shalat juga dikupas oleh Muhammad Sayyid Sabiq (2008:351). Sabiq menjelaskan bahwa para ulama sepakat bahwa mengqadha shalat wajib hukumnya bagi orang yang lupa atau tertidur. Begitu pula halnya dengan orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, menurut jumhur ulama, ia berdosa dan wajib mengqadhanya.
Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada kewajiban qadha shalat bagi orang yang meninggalkan shalat, semuanya merujuk kepada pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn Hazm. Ibn Taimiyah berpendapat bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat itu tidak diperintahkan untuk mengqadhanya. Jika diqadha pun, tidak sah. Ibn Hazm menjelaskan, orang yang sengaja meninggalkan shalat, tidak dapat mengqadhanya untuk selamanya. Sebagai gantinya, ia harus memperbanyak shalat sunnah agar timbangan amalnya menjadi banyak pada hari Kiamat kelak (Muhammad Sayyid Sabiq, 2008:351). Pendapat Ibn Hazm ini juga dirujuk oleh M. Hasbi Ash-Shiddieqy (2014:377), dan juga berpendapat bahwa tidak ada qadha untuk shalat yang telah ditinggalkan.
Pendapat tentang tidak ada qadha shalat juga merujuk kepada Mazhab Zahiri, Ibnu Hazm dan salah satu riwayat dari Qasim dan Wazir dari mazhab Syi'ah. Mereka berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan bersengaja tidak wajib mengqadha shalatnya yang tertinggal dan kalau juga mereka mengqadha shalatnya, maka shalatnya dianggap tidak sah.[1]
Pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn Hazm ini, serta mazhab Zahiri dan sebagian pendapat kalangan ulama Syi’ah ini sangat bertentangan dengan pendapat ulama mazhab. Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i berpendapat bahwa seseorang harus mengqadha shalat bila waktunya habis. Bahkan Malik dan Abu Hanifah mengatakan bahwa barang siapa yang meninggalkan shalat atau beberapa shalat, ia boleh mengqadha shalat sebelum datang waktu shalat berikutnya. Ini bila yang sengaja ditinggalkan itu lima kali shalat atau kurang, baik waktunya sudah habis maupun belum. Adapun jika lebih dari lima waktu, hendaknya ia memulai dengan shalat yang hadir pada waktunya itu (Sayyid Sabiq, 2008: 351-352).
Adapun dalil-dalil yang dijadikan dasar wajibnya qadha shalat adalah:
أَخْبَرَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ: أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ وَهُوَ ابْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ الْمُغِيرَةِ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَبَاحٍ، عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ، إِنَّمَا التَّفْرِيطُ فِيمَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلَاةَ حَتَّى يَجِيءَ وَقْتُ الصَّلَاةِ الْأُخْرَى حِينَ يَنْتَبِهُ لَهَا»(رواه النسائي و الترمذي و صححه(
...Dari Abu Qatadah, dia berkata, mereka (Shahabat-shahabat) menceritakan kepada Nabi tentang tertidurnya mereka sebelum shalat, maka Nabi saw berkata, Sesungguhnya di dalam tidur tidak ada keteledoran, karena (yang dinamakan keteledoran) itu hanyalah dalam keadaan berjaga. Oleh karena itu, apabila salah seorang di antara kamu lupa shalat atau tertidur, maka shalatlah ketika ingat. (HR. an-Nasa'i dan at-Tirmidzi menshahihkannya. Juga dinilai Shahih oleh al-Bani).[2]
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، قَالاَ: حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [ص:123] قَالَ: " مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ {وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي} [طه: 14] "، قَالَ مُوسَى: قَالَ هَمَّامٌ: سَمِعْتُهُ يَقُولُ: بَعْدُ: «وَأَقِمِ الصَّلاَةَ للذِّكْرَى»، قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: وَقَالَ حَبَّانُ: حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، حَدَّثَنَا أَنَسٌ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ ) (رواه البخاري(
...dari Anas bin Malik,dari Nabi Saw, Nabi saw, bersabda: Barangsiapa lupa satu shalat, maka shalatlah ketika ingat. Karena sesungguhnya Allah telah berfirman: Dirikanlah shalat karena ingat kepada-Ku. (HR. al-Jama'ah )[3]
حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ فَضَالَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا هِشَامٌ، عَنْ يَحْيَى، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ، جَاءَ يَوْمَ الخَنْدَقِ، بَعْدَ مَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ فَجَعَلَ يَسُبُّ كُفَّارَ قُرَيْشٍ، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كِدْتُ أُصَلِّي العَصْرَ، حَتَّى كَادَتِ الشَّمْسُ تَغْرُبُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَاللَّهِ مَا صَلَّيْتُهَا» فَقُمْنَا إِلَى بُطْحَانَ، فَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ وَتَوَضَّأْنَا لَهَا، فَصَلَّى العَصْرَ بَعْدَ مَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ، ثُمَّ صَلَّى بَعْدَهَا المَغْرِبَ  (رواه لبخاري و مسلم(
...dari Jabir bin Abdillah beliau berkata: bahwasanya Sayidina Umar datang kepada Rasulullah ketika peperangan Khandaq, sesudah terbenam matahari, Saidina Umar ketika itu memaki-maki kafir Quraisy dan berkata kepada Rasulullah: Hai Rasulullah, saya hampir tidak shalat 'Ashar sampai matahari terbenam, maka Nabi menjawab: Demi Allah, saya juga belum shalat 'Ashar. (Berkata Jabir). Maka kami semuanya berangkat ke Balkan maka berwudhulah Nabi dan kami berwudhu pula, lalu Nabi shalat 'Ashar sesudah terbenam matahari dan sesudah itu baru Nabi shalat magrib. (H.R. Bukhari dan Muslim).[4]
Hadits di atas menjelaskan bahwa Umar bin Khatab dan kaum muslimin, karena kesibukan menghadapi peperangan sehingga terlupa shalat dan mereka qadha shalat Ashar pada waktu Magrib. Oleh karena itu, kalau seandainya tidak wajib mengqadha shalat yang tertinggal, niscaya mereka tidak lagi mengerjakan shalat Ashar di luar waktu Ashar.
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ أَبِي بِشْرٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ، جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ، أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ: «نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً؟ اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالوَفَاءِ») رواه البخاري(
...Dari Ibnu Abbas Ra, beliau berkata: Bahwasannya seorang wanita dari suku Juhainah datang kepada Nabi Muhammad Saw. lalu ia bertanya: bahwasanya ibuku bernadzar akan haji, tetapi beliau wafat sebelum membayarkan nadzarnya naik haji itu, apakah boleh saya membayarkan nadzarnya itu, yakni naik haji? Jawab Nabi: Ya boleh, naik hajilah engkau pengganti dia. Coba engkau pikir, kalau ibumu berutang tentu engkau harus membayar utangnya itu, maka utang kepada Tuhan lebih patut untuk dibayar. (H.R. Imam Bukhari).[5]
Hadits di atas memerintahkan membayar setiap hak Allah, termasuk di antaranya shalat yang tertinggal baik disengaja atau tidak, karena keumuman perintah dalam hadits itu.

Kepustakaan:
1.      Abu Aburrahman Ahmad bin Syu’ib bin al-Khurasani (al-Nisa’i), al-Sunan al-Shugra li al-Nisa’i, Tahqiq: Abd al-Fatah Abu Ghudah, (Maktabah al-Mathbu’at al-Islamiyah, Juz I.
2.      Al-Imam Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn ad-Dahak as-Salmi at-Turmuzi, Sunan at-Turmuzi, Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1931
3.      http://hakamabbas.blogspot.com/2014/07/qadha-shalat-yang-ditinggal-dengan.html#sthash.KW3nFj4w.dpuf.
4.      Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umuri Rasulillah (Shahih Bukhari), Muhaqqiq: Muhammad Zuhair bin Nashir al-Nashir, Dar Thuq al-Najah, 1422, Juz I,
5.      Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umuri Rasulillah (Shahih Bukhari), Muhaqqiq: Muhammad Zuhair bin Nashir al-Nashir, Dar Thuq al-Najah, 1422,
6.      Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umuri Rasulillah (Shahih Bukhari), Muhaqqiq: Muhammad Zuhair bin Nashir al-Nashir, Dar Thuq al-Najah, 1422, Juz 3
7.      Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, Judul Asli: Al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Penj: Masykur A.B. dkk. (Jakarta: Penerbit Lentera, 2008), Cet 22
8.      Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah I, Judul Asli: Fiqhus Sunnah, Penj: Ahmad Shiddiq Thabrani, dkk. (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008) Cet I
9.      Syekh al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani, Nail al–Autar Min Ahadisi Sayyidi al-Ahyar Sarh Muntaqa al-Akhbar, Beirut Libanon: Daar al-Qutub al-Ilmiah, 1973
10.  M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2014), Cet. IV




[1]http://hakamabbas.blogspot.com/2014/07/qadha-shalat-yang-ditinggal-dengan.html#sthash.KW3nFj4w.dpuf. Akses tanggal 8 Juli 2015
[2] Lihat: Abu Aburrahman Ahmad bin Syu’ib bin al-Khurasani (al-Nisa’i), al-Sunan al-Shugra li al-Nisa’i, Tahqiq: Abd al-Fatah Abu Ghudah, (Maktabah al-Mathbu’at al-Islamiyah, Juz I. No. 616, Hlm.294. Lihat: Syekh al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani, Nail al–Autar Min Ahadisi Sayyidi al-Ahyar Sarh Muntaqa al-Akhbar, Beirut Libanon: Daar al-Qutub al-Ilmiah, 1973, hlm. 28. Al-Imam Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn ad-Dahak as-Salmi at-Turmuzi, Sunan at-Turmuzi, Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1931, hlm. 30.
[3] Lihat: Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umuri Rasulillah (Shahih Bukhari), Muhaqqiq: Muhammad Zuhair bin Nashir al-Nashir, Dar Thuq al-Najah, 1422, Juz I, No. 597, hlm. 122
[4] Lihat: Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umuri Rasulillah (Shahih Bukhari), Muhaqqiq: Muhammad Zuhair bin Nashir al-Nashir, Dar Thuq al-Najah, 1422,
[5] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umuri Rasulillah (Shahih Bukhari), Muhaqqiq: Muhammad Zuhair bin Nashir al-Nashir, Dar Thuq al-Najah, 1422, Juz 3, No.1852