ISLAM SEBAGAI AGAMA RAHMAT
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA
A. Pengertian
Islam
Menurut Nasaruddin Razak (1977: 56),
sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015:7), secara etimologi, “Islam” berasal
dari bahasa Arab yang terambil dari kata salima yang berarti selamat
sentosa. Dari kata ini dibentuk menjadi aslama yang berarti
memeliharakan dalam keadaan selamat, sentosa, berserah diri, patuh, tunduk, dan
taat. Kemudian dari kata aslama dibentuk kata Islam (aslama, yuslimu,
islaman), yang berarti selamat, aman, damai, patuh, berserah diri, dan
taat. Ibn Mandzur (tth: 2080), mengatakan bawa Islam berarti al-istislam,
yang berarti mencari keselamatan dan berserah diri, dan berarti pula al-inqiyad
yang berarti mengikatkan diri.
Pengertian inilah yang menurut Abuddin Nata (2011: 11), sejalan dengan firman
Allah QS. Al-Baqarah, 2: 112.
بَلَى
مَنْ أَسْلَمَ
وَجْهَهُ لِلّهِ
وَهُوَ مُحْسِنٌ
فَلَهُ أَجْرُهُ
عِندَ رَبِّهِ
وَلاَ خَوْفٌ
عَلَيْهِمْ وَلاَ
هُمْ يَحْزَنُونَ
(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang
menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala
pada sisi Tuhanya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati. (QS. AlBaqarah, 2: 112)
Menurut Abuddin Nata (2011: 12),
pengertian Islam dari segi bahasa di atas, memiliki hubungan yang erat dengan dua hal sebagai berikut.
Pertama, pengertian Islam secara bahasa berkaitan erat dengan misi
ajaran Islam yaitu membawa rahmat, kedamaian, dan kesejahteraan bagi kehidupan
manusia. Misi ini juga sejalan dengan ajaran Islam yang mengajarkan umatnya
untuk saling memuliakan dan mengangkat harkat dan martabat manusia, menegakkan
kebenaran, keadilan, kemanusiaan, egaliter, musyawarah, toleransi,
persaudaraan, perdamaian, tolong-menolong, saling menghargai dan sebagaimanya.
Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ
إِلَّا رَحْمَةً
لِّلْعَالَمِينَ
Dan
tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam. (QS. Al-Anbiya’: 21: 107)
Kedua, Islam secara bahasa
yang berarti berserah diri, patuh dan tunduk hanya kepada Allah sejalan dengan
agama yang dibawa oleh semua Nabi dan Rasul Allah sebelum Nabi Muhammad. Hal
ini seperti ditemukan dalam beberapa firman Allah sebagai berikut:
... وَمَا جَعَلَ
عَلَيْكُمْ فِي
الدِّينِ مِنْ
حَرَجٍ مِّلَّةَ
أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ
هُوَ سَمَّاكُمُ
الْمُسْلِمينَ مِن
قَبْلُ ...
... Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang
tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari
dahulu, ....( QS, Al-Hajj, 22: 78)
مَا
كَانَ إِبْرَاهِيمُ
يَهُودِيّاً وَلاَ
نَصْرَانِيّاً وَلَكِن
كَانَ حَنِيفاً
مُّسْلِماً وَمَا
كَانَ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ
Ibrahim bukan seorang Yahudi
dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus
lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk
golongan orang-orang musyrik." (QS, Ali Imran, 3: 67)
Menurut Ahmad Rivauzi (2015:9), berdasarkan
keterangan ayat di atas, sebagaimana juga dijelaskan oleh A. Hasjmy (1995:4),
menjelaskan, “Islam adalah nama semua agama yang datangnya dari Allah, baik
yang didatangkan dengan perantaraan Rasul-Nya yang pertama, maupun yang
didatangkan dengan perantaraan rasul-Nya yang terakhir (Muhammad)”. [i] Pandangan Hasymi ini selaras
dengan firman Allah:
إِنَّ الدِّينَ
عِندَ اللّهِ
الإِسْلاَمُ ...
Sesungguhnya agama (yang
diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam (QS. Ali Imran, 3: 19)
وَمَن
يَبْتَغِ غَيْرَ
الإِسْلاَمِ دِيناً
فَلَن يُقْبَلَ
مِنْهُ وَهُوَ
فِي الآخِرَةِ
مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama
selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)
daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran,
3: 85)
Islam secara istilah, menurut Mamud
Syaltout (1996:9) adalah agama Allah yang diwasiatkan Allah kepada Nabi
Muhammad yang berisi syari’at-syari’at dan dasar-dasarnya yang diwajibkan Allah
untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia agar memeluknya (Ahmad Rivauzi,
2015: 10).
Menurut Said Hawa (2004:13), Islam
adalah agama yang diajarkan oleh semua Nabi dan Rasul Allah mulai dari semenjak
Nabi Adam hingga Nabi Muhammad Saw yang merupakan penutup dan penyempurna risalah
Allah (Ahmad Rivauzi, 2015: 10). .
Dalam sebuah Hadits dijelaskan:
الإسلام
أن تعبد
الله ولا
تشرك به
شيئا وتقيم
الصلاة وتؤدي
الزكاة المفروضة
وتصوم رمضان
وتحج البيت
(رواه الشيخان)
Islam adalah bahwa menyembah
Allah dan tidak memperserikatkan-Nya dengan segala sesuatu, medirikan shalat,
membayarkan zakat yang difardhukan, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan haji ke
baitullah (Bukhari dan Muslim)
Dalam Hadits Ibn Umar juga
diterangkan:
بني
الإسلام علي
خمس شهادة
أن لا
اله الا
الله وأن
محمدا عبده
ورسوله وإقامة
الصلاة وإيتاء
الزكاة وحج
البيت وصوم
رمضان (رواه
مسلم والترمذي)
Islam
dibangun atas lima hal, yaitu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi
Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, mendirkan shalat, memayarkan zakat,
menunaikan ibadah haji, dan puasa pada bulan Ramadhan (Muslim dan Tarmizi)
Berdasarkan pengertian di atas, maka
Islam secara istilah adalah agama yang diturunkan Allah kepada semua Nabi dan
Rasul Allah mulai dari Nabi Adam sampai kepada Nabi Muhammad sebagai penutup
dan penyempurna dari agama-agama sebelumnya yang ditujukan kepada semua umat
manusia yang ajarannya mencakup semua aspek kehidupan dan dibangun atas lima
pilar yaitu syahadat, mendirikan shalat, membayarkan zakat, berpuasa pada bulan
Ramadhan, dan melaksanakan ibadah haji (Ahmad Rivauzi, 2015: 10-11).
. Abuddin Nata (2011: 22) berkesimpulan
bahwa Islam ditinjau dari segi pengertian bahasa maupun ditinjau dari segi
pengertian istilah menggambarkan bahwa Islam adalah agama yang mengemban misi
keselamatan dunia dan akhirat, kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh umat
manusia yang menunjukkan kepatuhan, ketundukan, berserah diri kepada Allah
serta melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua yang dilarang (Ahmad
Rivauzi, 2015: 11).
Dengan demikian, untuk diperolehnya
keselamatan dan kedamaian dari Allah, maka diawali dengan kepasrahan diri,
kepatuhan dan ketundukan secara ikhlas hanya kepada Allah serta melaksanakan
semua perintah dan menjauhi semua yang dilarang-Nya (Ahmad Rivauzi, 2015: 11). .
Dengan demikian, Islam sebagai agama
(din) menurut Syaikh Muhammad Abdullah Badran sebagaimana dikutip
Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata din
menggambarkan hubungan antara dua pihak yaitu antara sesuatu yang ebih tinggi
dengan sesuatu yang lebih rendah. Seluruh kata yang menggunakan huruf-huruf dal,
ya, dan nun seperti dain yang berarti utang atau dana
yadinu yang berarti menghukum atau taat, dan sebagainya, semuanya
menggambarkan adanya dua pihak yang melakukan interaksi seperti yang di
gambarkan di atas. Quraish Shihab (2006:209-210) berkesimpulan bahwa agama
adalah hubungan antara makhluk dan Khaliqnya. Hubungan ini mewujud dalam sikap
batinnya serta tampak dalam ibadah yang
dilakukannya serta tercermin pula dalam sikap keseharianya (Ahmad Rivauzi,
2015: 11).
Keterangan di atas mengantarkan
kepada pemahaman bahwa din al-Islam adalah pola-pola kepasrahan diri dan
kepatuhan serta ketundukan dalam interaksi hubungan antara makhluk dengan Khaliknya
(ibadah) yang ditunjukkan oleh Allah dalam syariat-Nya. Beragama tersebut mewujud
dalam bentuk kepatuhan terhadap syariat Allah, melaksanakan semua perintah dan
menjauhi semua larangan yang akan menuntun umat manusia kepada keselamatan,
kesejahteraan, kedamaian dan membawa manusia kepada kehidupan dunia dan akhirat
yang baik (Ahmad Rivauzi, 2015: 12).
B. Kebutuhan
Manusia kepada Agama
Rasa beragama dan kebutuhan manusia
terhadap agama adalah merupakan fithrah atau sesuatu yang melekat pada diri
manusia dan telah terbawa sejak kelahirannya (Quraish Shihab, 2007:375).
فَأَقِمْ وَجْهَكَ
لِلدِّينِ حَنِيفاً
فِطْرَةَ اللَّهِ
الَّتِي فَطَرَ
النَّاسَ عَلَيْهَا
لَا تَبْدِيلَ
لِخَلْقِ اللَّهِ
ذَلِكَ الدِّينُ
الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ
أَكْثَرَ النَّاسِ
لَا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (QS.
Al-Rum, 30:30)
Walaupun al-Quran telah menjelaskan
bahwa beragama adalah fithrah manusia, namun ada juga yang berpendapat
bahwa benih rasa beragama adalah adanya rasa takut pada diri manusia. Freud,
seorang ahli jiwa misalnya berpendapat bahwa benih rasa beragama adalah muncul
dari kompleks Oedipus. Freud menduga-duga, rasa itu muncul mula-mula seorang
anak merasakan dorongan seksual terhadap ibunya yang pada akhirnya membunuh ayahnya
sendiri karena dianggap ayahnya adalah penghalangnya. Namun pembunuhan ini melahirkan
penyesalan dalam jiwa si anak sehingga lahirlah penyembahan terhadap ruh sang
ayah (M. Quraish Shihab, 2006: 210).
William James menjelaskan
sebagaimana dikutip Quraish Shihab (2007:370), “selama manusia masih memiliki
naluri cemas dan mengharap, selama itu pula ia beragama (berhubungan dengan
Tuhan). Penjelasan para pakar ini jelas tidak lebih dari dugaan-dugaan dan
perkiraan-perkiraan yang diperoleh melalui pemikiran yang boleh jadi bisa
mencapai kebenaran namun kebanyakan tidak mampu mencapai kebenaran (Ahmad
Rivauzi, 2015: 13).
Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia
adalah makhluk jasmani dan ruhani yang diberikan akal serta pikiran. Sebagai
makhluk ruhani, manusia menjadi selalu rindu kepada kebenaran dan mencintai
kebenaran tersebut. Ruhani manusia selalu rindu akan kedamaian dan ketenangan,
pengabdian, cinta kasih dan berbagai keluhuran serta kemuliyaan. Kerinduan
ruhaniah manusia tersebut mendorong dia untuk selalu mencari dan bertanya
tentang banyak hal bahkan bertanya tentang siapa sebenarnya dirinya, apa
sebenarnya tujuan hidupnya, awal dan akhir kehidupanya, siapa Tuhan yang
menciptakannya dan lain sebagainya (Ahmad Rivauzi, 2015: 13).
Akal pikiran manusia akan berusaha
untuk mencari jawaban. Karena akal memiliki keterbatasan, maka kualitas jawaban
yang dihasilkannya tentu juga sangat terbatas dan jawaban yang diberikan oleh
akal pikiran tersebut tidak lebih dari dugaan-dugaan dan perkiraan-perkiraan. Jawaban
pikiran manusia yang bersifat dugaan-dugaan tersebut kebanyakan mengkristal
menjadi keyakinan dan diwariskan dari satu generasi kepada generasi berikutnya.
Inilah yang kemudian menjadi agama budaya (agama bumi atau agama ardhi).
Hal ini disebabkan oleh keterbatasan jangkauan pemikiran manusia (Ahmad
Rivauzi, 2015: 13).
. Dalam konteks memenuhi kebutuhan fithrah
manusia terhadap kebenaran dan Tuhan inilah diturunkan agama oleh Allah
sebagai Zat Yang Maha Benar. Agama
menjadi sangat penting bagi manusia untuk memenuhi panggilan jiwanya terhadap
informasi yang benar tentang hal-hal yang ditanyakan dan dibutuhkan oleh jiwa
manusia itu sendiri. Agama yang diturunkan Allah inilah yang disebut agama
wahyu (agama samawi atau agama langit) (Ahmad Rivauzi, 2015: 14).
. Quraish Shihab (2007:377), menjelaskan
bahwa manusia tidak bisa lepas dari agama. Jika manusia mengabaikan agama,
terpaksa menciptakan “agama baru” demi
memuaskan jiwanya. Dengan demikian, Islam sebagai agama Allah merupakan rahmat
(kasih sayang) Allah kepada manusia. Manusia terbebas dari kegelapan
menduga-duga dan meraba-raba dalam kehidupannya. Agama Allah memberikan
informasi kepada manusia tentang kebenaran, menjelaskan kepada manusia tentang
kebaikan dan mamfaat dari kebaikan serta memberitahukan kepada manusia terhadap
bahaya kejahatan dan bahaya dari kegelapan kebodohan (Ahmad Rivauzi, 2015: 14).
[i]
Abuddin Nata memiliki pandangan yang berbeda tentang penamaan agama Nabi dan
Rasul Allah sebelum Nabi Muhammad. Meskipun misi ajaran agama Nabi dan Rasul
sebelum Nabi Muhammad adalah mengajarkan untuk berserah diri, tunduk, dan patuh
hanya kepada Allah, namun penamaan nama agama mereka dihubungkan dengan nama
Nabi atau kaum yang kepada mereka agama tersebut didakwahkan sperti penamaan
agama Yahudi dan Nasrani. Lihat Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif, 2011: 15
Sumber:
Ahmad
Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman; Memahami Universalitas Islam untuk
Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin,
(Ciputat: Penerbit Sakata Cendikia, 2015), Cet. I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar