Minggu, 08 Juli 2018

ISLAM SEBAGAI AGAMA RAHMAT



ISLAM SEBAGAI AGAMA RAHMAT
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA

A.  Pengertian Islam
            Menurut Nasaruddin Razak (1977: 56), sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015:7), secara etimologi, “Islam” berasal dari bahasa Arab yang terambil dari kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari kata ini dibentuk menjadi aslama yang berarti memeliharakan dalam keadaan selamat, sentosa, berserah diri, patuh, tunduk, dan taat. Kemudian dari kata aslama  dibentuk kata Islam (aslama, yuslimu, islaman), yang berarti selamat, aman, damai, patuh, berserah diri, dan taat. Ibn Mandzur (tth: 2080), mengatakan bawa Islam berarti al-istislam, yang berarti mencari keselamatan dan berserah diri, dan berarti pula al-inqiyad  yang berarti mengikatkan diri. Pengertian inilah yang menurut Abuddin Nata (2011: 11), sejalan dengan firman Allah QS. Al-Baqarah, 2: 112.
بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
 (Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhanya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. AlBaqarah, 2: 112)
            Menurut Abuddin Nata (2011: 12), pengertian Islam dari segi bahasa di atas,  memiliki  hubungan yang erat dengan dua hal sebagai berikut. Pertama, pengertian Islam secara bahasa berkaitan erat dengan misi ajaran Islam yaitu membawa rahmat, kedamaian, dan kesejahteraan bagi kehidupan manusia. Misi ini juga sejalan dengan ajaran Islam yang mengajarkan umatnya untuk saling memuliakan dan mengangkat harkat dan martabat manusia, menegakkan kebenaran, keadilan, kemanusiaan, egaliter, musyawarah, toleransi, persaudaraan, perdamaian, tolong-menolong, saling menghargai dan sebagaimanya. Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya’: 21: 107)
            Kedua, Islam secara bahasa yang berarti berserah diri, patuh dan tunduk hanya kepada Allah sejalan dengan agama yang dibawa oleh semua Nabi dan Rasul Allah sebelum Nabi Muhammad. Hal ini seperti ditemukan dalam beberapa firman Allah sebagai berikut:
... وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِّلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمينَ مِن قَبْلُ ...
... Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, ....( QS, Al-Hajj, 22: 78)
مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيّاً وَلاَ نَصْرَانِيّاً وَلَكِن كَانَ حَنِيفاً مُّسْلِماً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik." (QS, Ali Imran, 3: 67)
            Menurut Ahmad Rivauzi (2015:9), berdasarkan keterangan ayat di atas, sebagaimana juga dijelaskan oleh A. Hasjmy (1995:4), menjelaskan, “Islam adalah nama semua agama yang datangnya dari Allah, baik yang didatangkan dengan perantaraan Rasul-Nya yang pertama, maupun yang didatangkan dengan perantaraan rasul-Nya yang terakhir (Muhammad)”. [i] Pandangan Hasymi ini selaras dengan firman Allah:
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللّهِ الإِسْلاَمُ ...
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam (QS. Ali Imran, 3: 19)
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran, 3: 85)
            Islam secara istilah, menurut Mamud Syaltout (1996:9) adalah agama Allah yang diwasiatkan Allah kepada Nabi Muhammad yang berisi syari’at-syari’at dan dasar-dasarnya yang diwajibkan Allah untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia agar memeluknya (Ahmad Rivauzi, 2015: 10).
            Menurut Said Hawa (2004:13), Islam adalah agama yang diajarkan oleh semua Nabi dan Rasul Allah mulai dari semenjak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad Saw yang merupakan penutup dan penyempurna risalah Allah (Ahmad Rivauzi, 2015: 10). .
            Dalam sebuah Hadits dijelaskan:
الإسلام أن تعبد الله ولا تشرك به شيئا وتقيم الصلاة وتؤدي الزكاة المفروضة وتصوم رمضان وتحج البيت (رواه الشيخان)
Islam adalah bahwa menyembah Allah dan tidak memperserikatkan-Nya dengan segala sesuatu, medirikan shalat, membayarkan zakat yang difardhukan, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan haji ke baitullah (Bukhari dan Muslim)
            Dalam Hadits Ibn Umar juga diterangkan:
بني الإسلام علي خمس شهادة أن لا اله الا الله وأن محمدا عبده ورسوله وإقامة الصلاة وإيتاء الزكاة وحج البيت وصوم رمضان (رواه مسلم والترمذي)
Islam dibangun atas lima hal, yaitu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, mendirkan shalat, memayarkan zakat, menunaikan ibadah haji, dan puasa pada bulan Ramadhan (Muslim dan Tarmizi)
            Berdasarkan pengertian di atas, maka Islam secara istilah adalah agama yang diturunkan Allah kepada semua Nabi dan Rasul Allah mulai dari Nabi Adam sampai kepada Nabi Muhammad sebagai penutup dan penyempurna dari agama-agama sebelumnya yang ditujukan kepada semua umat manusia yang ajarannya mencakup semua aspek kehidupan dan dibangun atas lima pilar yaitu syahadat, mendirikan shalat, membayarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan melaksanakan ibadah haji (Ahmad Rivauzi, 2015: 10-11).
.           Abuddin Nata (2011: 22) berkesimpulan bahwa Islam ditinjau dari segi pengertian bahasa maupun ditinjau dari segi pengertian istilah menggambarkan bahwa Islam adalah agama yang mengemban misi keselamatan dunia dan akhirat, kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh umat manusia yang menunjukkan kepatuhan, ketundukan, berserah diri kepada Allah serta melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua yang dilarang (Ahmad Rivauzi, 2015: 11).
            Dengan demikian, untuk diperolehnya keselamatan dan kedamaian dari Allah, maka diawali dengan kepasrahan diri, kepatuhan dan ketundukan secara ikhlas hanya kepada Allah serta melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua yang dilarang-Nya (Ahmad Rivauzi, 2015: 11). .
            Dengan demikian, Islam sebagai agama (din) menurut Syaikh Muhammad Abdullah Badran sebagaimana dikutip Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata  din menggambarkan hubungan antara dua pihak yaitu antara sesuatu yang ebih tinggi dengan sesuatu yang lebih rendah. Seluruh kata yang menggunakan huruf-huruf dal, ya, dan nun seperti dain yang berarti utang atau dana yadinu yang berarti menghukum atau taat, dan sebagainya, semuanya menggambarkan adanya dua pihak yang melakukan interaksi seperti yang di gambarkan di atas. Quraish Shihab (2006:209-210) berkesimpulan bahwa agama adalah hubungan antara makhluk dan Khaliqnya. Hubungan ini mewujud dalam sikap batinnya serta tampak  dalam ibadah yang dilakukannya serta tercermin pula dalam sikap keseharianya (Ahmad Rivauzi, 2015: 11).
            Keterangan di atas mengantarkan kepada pemahaman bahwa din al-Islam adalah pola-pola kepasrahan diri dan kepatuhan serta ketundukan dalam interaksi hubungan antara makhluk dengan Khaliknya (ibadah) yang ditunjukkan oleh Allah dalam syariat-Nya. Beragama tersebut mewujud dalam bentuk kepatuhan terhadap syariat Allah, melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua larangan yang akan menuntun umat manusia kepada keselamatan, kesejahteraan, kedamaian dan membawa manusia kepada kehidupan dunia dan akhirat yang baik (Ahmad Rivauzi, 2015: 12).
B.  Kebutuhan Manusia kepada Agama
            Rasa beragama dan kebutuhan manusia terhadap agama adalah merupakan fithrah atau sesuatu yang melekat pada diri manusia dan telah terbawa sejak kelahirannya (Quraish Shihab, 2007:375).
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفاً فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (QS. Al-Rum, 30:30)
            Walaupun al-Quran telah menjelaskan bahwa beragama adalah fithrah manusia, namun ada juga yang berpendapat bahwa benih rasa beragama adalah adanya rasa takut pada diri manusia. Freud, seorang ahli jiwa misalnya berpendapat bahwa benih rasa beragama adalah muncul dari kompleks Oedipus. Freud menduga-duga, rasa itu muncul mula-mula seorang anak merasakan dorongan seksual terhadap ibunya yang pada akhirnya membunuh ayahnya sendiri karena dianggap ayahnya adalah penghalangnya. Namun pembunuhan ini melahirkan penyesalan dalam jiwa si anak sehingga lahirlah penyembahan terhadap ruh sang ayah (M. Quraish Shihab,  2006: 210).    
            William James menjelaskan sebagaimana dikutip Quraish Shihab (2007:370), “selama manusia masih memiliki naluri cemas dan mengharap, selama itu pula ia beragama (berhubungan dengan Tuhan). Penjelasan para pakar ini jelas tidak lebih dari dugaan-dugaan dan perkiraan-perkiraan yang diperoleh melalui pemikiran yang boleh jadi bisa mencapai kebenaran namun kebanyakan tidak mampu mencapai kebenaran (Ahmad Rivauzi, 2015: 13).
            Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia adalah makhluk jasmani dan ruhani yang diberikan akal serta pikiran. Sebagai makhluk ruhani, manusia menjadi selalu rindu kepada kebenaran dan mencintai kebenaran tersebut. Ruhani manusia selalu rindu akan kedamaian dan ketenangan, pengabdian, cinta kasih dan berbagai keluhuran serta kemuliyaan. Kerinduan ruhaniah manusia tersebut mendorong dia untuk selalu mencari dan bertanya tentang banyak hal bahkan bertanya tentang siapa sebenarnya dirinya, apa sebenarnya tujuan hidupnya, awal dan akhir kehidupanya, siapa Tuhan yang menciptakannya dan lain sebagainya (Ahmad Rivauzi, 2015: 13).
            Akal pikiran manusia akan berusaha untuk mencari jawaban. Karena akal memiliki keterbatasan, maka kualitas jawaban yang dihasilkannya tentu juga sangat terbatas dan jawaban yang diberikan oleh akal pikiran tersebut tidak lebih dari dugaan-dugaan dan perkiraan-perkiraan. Jawaban pikiran manusia yang bersifat dugaan-dugaan tersebut kebanyakan mengkristal menjadi keyakinan dan diwariskan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Inilah yang kemudian menjadi agama budaya (agama bumi atau agama ardhi). Hal ini disebabkan oleh keterbatasan jangkauan pemikiran manusia (Ahmad Rivauzi, 2015: 13).
.           Dalam konteks memenuhi kebutuhan fithrah manusia terhadap kebenaran dan Tuhan inilah diturunkan agama oleh Allah sebagai  Zat Yang Maha Benar. Agama menjadi sangat penting bagi manusia untuk memenuhi panggilan jiwanya terhadap informasi yang benar tentang hal-hal yang ditanyakan dan dibutuhkan oleh jiwa manusia itu sendiri. Agama yang diturunkan Allah inilah yang disebut agama wahyu (agama samawi atau agama langit) (Ahmad Rivauzi, 2015: 14).
.           Quraish Shihab (2007:377), menjelaskan bahwa manusia tidak bisa lepas dari agama. Jika manusia mengabaikan agama, terpaksa menciptakan “agama baru”  demi memuaskan jiwanya. Dengan demikian, Islam sebagai agama Allah merupakan rahmat (kasih sayang) Allah kepada manusia. Manusia terbebas dari kegelapan menduga-duga dan meraba-raba dalam kehidupannya. Agama Allah memberikan informasi kepada manusia tentang kebenaran, menjelaskan kepada manusia tentang kebaikan dan mamfaat dari kebaikan serta memberitahukan kepada manusia terhadap bahaya kejahatan dan bahaya dari kegelapan kebodohan (Ahmad Rivauzi, 2015: 14).



[i] Abuddin Nata memiliki pandangan yang berbeda tentang penamaan agama Nabi dan Rasul Allah sebelum Nabi Muhammad. Meskipun misi ajaran agama Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad adalah mengajarkan untuk berserah diri, tunduk, dan patuh hanya kepada Allah, namun penamaan nama agama mereka dihubungkan dengan nama Nabi atau kaum yang kepada mereka agama tersebut didakwahkan sperti penamaan agama Yahudi dan Nasrani. Lihat Abudin Nata, Studi Islam Komprehensif, 2011: 15

Sumber:
Ahmad Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman; Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, (Ciputat: Penerbit Sakata Cendikia, 2015), Cet. I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar