Kamis, 21 Mei 2020

The Student’s Ability to Read the Qur’an at Islamic Education Program Universitas Negeri Padang (A Need Assessment Study)
Oleh: Wirdati, Ahmad Rivauzi, Sulaiman, Fuady Anwar, Ahmad Kosasih
RELEVANSI PENDIDIKAN BERBASIS SPIRITUAL DALAM PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH DAN MADRASAH PADA ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, S.PdI., MA

FIDYAH PUASA


FIDYAH PUASA
Dr. Ahmad Rivauzi, S.PdI., MA
A.    Pengertian Fidyah
Fidyah atau fidaa atau fidabermakna tebusan. Di dalam kitab-kitab fiqih, fidyah dikenal dengan istilah "ith'am", yang artinya memberi makan. Fidyah puasa dalam konteks pembahasan ini adalah sesuatu yang harus diberikan kepada orang miskin, berupa makanan, sebagai pengganti karena ditinggalkannya puasa.
Dalil fidyah puasa:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
“(Yang dimaksud dalam ayat tersebut) adalah untuk orang yang sudah sangat tua dan nenek tua, yang tidak mampu menjalankannya, maka hendaklah mereka memberi makan setiap hari kepada orang miskin”. (HR. Bukhari no. 4505.)
B.  Ukuran Fidyah
Untuk ukuran fidyah, tidak ada keterangan dari sunnah tentang kadar makanan yang harus dibayarkan selain keterangan ijtihadiyah para ulama fiqih. Di antara pendapat para ulama fikih:
1.  Satu Mud
Imam As-Syafi’I, Imam Malik dan Imam An-Nawawi menetapkan bahwa ukuran fidyah yang harus dibayarkan kepada setiap 1 orang fakir miskin adalah 1 mud gandum sesuai dengan ukuran mud Pendapat ini juga yang diikuti oleh Thowus, Sa’id bin Jubair, Ats Tsauri dan Al Auza’i. Maksudnya mud adalah telapak tangan yang ditengadahkan ke atas untuk menampung makanan (mirip orang berdoa). Mud adalah istilah yang menunjuk ukuran volume, bukan ukuran berat. Dalam kitab Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu disebutkan bila diukur dengan ukuran zaman sekarang, 1 mud dapat disetarakan dengan 675 gram atau 0,688 liter.
Al Qodhi ‘Iyadh mengatakan, “Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa fidyah satu mud bagi setiap hari yang ditinggalkan” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/21)
2.  Dua Mud atau Setengah Sha’
Abu Hanifah berpendapat ½ sha’ atau 2 mud gandum atau setara dengan setengah sha‘ kurma atau tepung. Setara dengan memberi makan siang dan makan malam hingga kenyang 1 orang miskin. Sebagian ulama  memperkirakan  ½ sha’ beratnya 1,5 kg dari makanan pokok (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/11538).
Beberapa ulama belakangan seperti Syaikh Ibnu Baz (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 15/203). Syaikh Sholih Al Fauzan (Al Muntaqo min Fatawa Syaikh Sholih Al Fauzan, 3/140, dinukil dari Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 66886).  Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi Fatwa Saudi Arabia) (Fatawa Al Lajnah  Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 1447, 10/198) mengatakan bahwa ukuran fidyah adalah setengah sho’ dari makanan pokok di negeri masing-masing (baik dengan kurma, beras dan lainnya). Mereka mendasari ukuran ini berdasarkan pada fatwa beberapa sahabat di antaranya Ibnu ‘Abbas.
3.  Satu Sha’
Hanafiyah, seperti Imam Al-Kasani dalam Bada’i’i wa As-Shana’i’ berpendapat satu sha’ setara dengan 4 mud, sama dengan jumlah zakat fitrah yang dibayarkan. Bila ditimbang, 1 sha‘ itu beratnya 2.176 gram. Bila diukur volumenya, 1 sha‘ setara dengan 2,75 liter.
Dari perbedaan ulama di atas kadar fidyah paling sedikit adalah satu mud, tetapi yang paling utama kita mengeluarkan setengah sha' atau memberi satu porsi makanan masak kepada setiap miskin.
Ukuran 1 sho’ sama dengan 4 mud. Satu sho’ kira-kira 3 kg. Setengah sho’ kira-kira 1½ kg.
Yang lebih tepat  adalah dikembalikan pada ‘urf (kebiasaan yang lazim). Dianggap telah sah membayar fidyah jika telah memberi makan kepada satu orang miskin untuk satu hari yang kita tinggalkan.
Pembayaran fidyah dapat disesuaikan dengan  harga satu porsi makanan yang standar yang berlaku pada lingkungan terdekat. Misalnya, jika satu porsi makanan senilai 20.000 rupiah untuk satu menu standar. Berarti satu hari tidak berpuasa dapat menggantinya dengan membayar fidyah 20 ribu.
C.  Orang Boleh Bayar Fidyah Karena Tidak Bisa Berpuasa:
1.    Orang yang sakit yang sulit untuk sembuh lagi,
2.    Orang tua atau lemah yang sudah tidak kuat lagi berpuasa,
3.    Wanita yang hamil dan menyusui apabila ketika puasa mengkhawatirkan anak yang dikandung atau disusuinya. Mereka wajib membayar fidyah saja menurut sebagian ulama, namun menurut Imam Syafi’i selain wajib membayar fidyah juga wajib mengqadha’ puasanya. Sedangkan menurut pendapat lain, tidak membayar fidyah tetapi cukup mengqadha’.
Yusuf Al-Qardhawi berpendapat bagi wanita yang tidak memungkinkan lagi untuk mengqadha karena melahirkan dan menyusui secara berturut-urut sampai beberapa tahun, ia bisa mengganti qadhanya dengan fidyah. Hal ini karena ada illat (alasan hukum) tidak ada kemampuan lagi untuk mengqadha semuanya. selama masih bisa mengqadha dan memungkinkan, maka kewajiban mengqadha itu tetap ada.
Diberitakan dari Al Dazzar dan dishahihkan Al Daraquthni dari Ibn Abbas, bahwa beliau berkata kepada ibu anaknya yang sedang hamil:
أنت بمنزلة الذى لا يطيقه فعليك الفداء ولا قضاء عليك
Engkau sekedudukan dengan orang yang tidak sanggup mengerjakan puasa. Engkau hannya wajib fidyah dan tidak wajib qadha (An Nail 4:315 dalam Muhd. Hasbi Ash Shiddieqy, Al Fiqhul Islami (Risalah Puasa), 1944: 22-23)
Diberitakan Hammad, bahwa seorang perempuan Quraisy yang sedang hamil bertanya kepada Ibn Umar tentang hal puasanya, maka Ibn Umar menjawab:
افطرى واطعمى كل يوم مسكينا ولا تقضى
Berbukalah kamu dan berilah makanan tiap-tiap hari seorang miskin dan tidak usah mengqadhanya (Al Muhalla, jilid 6: 263 dalam Muhd. Hasbi Ash Shiddieqy, Al Fiqhul Islami (Risalah Puasa), 1944: 23)
4.    Orang yang menunda kewajiban mengqadha’ puasa Ramadhan tanpa uzur syar’i hingga Ramadhan tahun berikutnya telah menjelang. Mereka wajib mengqadha’nya sekaligus membayar fidyah, menurut sebagian ulama.
D.  Waktu Pembayaran Fidyah
Waktu pembayaran fidyah, ada kelonggaran. Boleh dibayarkan setiap hari dan juga dibolehkan mengakhirkan pembayaran sampai selesai ramadhan, sebagaimana yang dilakukan Anas bin Malik radliallahu ‘anhu (As-Syarhul Mumthi’, 6:207).
Seseorang dapat membayar fidyah, pada hari itu juga ketika dia tidak melaksanakan puasa. Atau diakhirkan sampai hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dilakukan oleh sahabat Anas bin Malik ketika beliau telah tua (Irwaul Gholil, 4/21-22 dengan sanad yang shahih).
Pemberian ini dapat dilakukan sekaligus, misalnya membayar fidyah untuk 20 hari disalurkan kepada 20 orang miskin. Atau dapat pula diberikan hanya kepada 1 orang miskin saja sebanyak 20 hari (Fatawa Al Lajnah  Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 1447, 10/198). Al Mawardi mengatakan, “Boleh saja mengeluarkan fidyah pada satu orang miskin sekaligus. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.” (Al Inshof, 5/383).
Dalilnya:
عن مالك عن نافع أن ابن عمر سئل عن المرءة الحامل إذا خافت على ولدها، فقال: تفطر و تطعم مكان كل يوم مسكينا مدا من حنطة
Dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma pernah ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya (jika puasa). Beliau menjawab, “Dia boleh berbuka dan memberi makan orang miskin dengan satu mud gandum halus sebanyak hari yang dia tinggalkan.” (H.r. Al-Baihaqi dari jalur Imam Syafi’i dan sanadnya sahih)
عَن أَنَس بنِ مَالِك رضي الله عنه أَنَّه ضَعُف عَن الصَّومِ عَامًا فَصَنَع جفنَةَ ثَريدٍ ودَعَا ثَلاثِين مِسكِينًا فَأشبَعَهُم
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa ketika dirinya sudah tidak mampu puasa setahun, beliau membuat adonan tepung dan mengundang 30 orang miskin, kemudian beliau kenyangkan mereka semua. (H.r. Ad-Daruquthni; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Dengan demikian, tidak boleh dilaksanakan pembayaran fidyah dilakukan sebelum Ramadhan. Ia harus menunggu sampai bulan Ramadhan benar-benar telah masuk, barulah ia boleh membayarkan fidyah ketika hari itu juga atau bisa ditumpuk di akhir Ramadhan (Syarhul Mumthi’, 2/22).
E.  Mengganti Fidyah dengan Uang
Jumhur ulama mewajibkan untuk dikeluarkan makanan berdasarkan Al-Qur’an, namun madzhab Hanafiyah membolehkan membayarkan nilainya  jika lebih mendatangkan maslahat maka diperbolehkan. Dengsn demikian, fidyah boleh dilaksanakan dengan mengganti uang, jika lebih bermanfaat. Namun jika uang ter­sebut akan digunakan untuk foya-foya, maka wajib memberi­kannya dalam bentuk bahan makanan pokok.
F.  Cara Pembayaran
Fidyah diberikan kepada fakir miskin sesuai jumlah hari yang ditinggalkan, satu fidyah untuk satu hari untuk satu miskin dan pemberiannya dapat dilakukan sekaligus. Misalnya kita meninggalkan puasa 30 hari maka kita cukup membayar 30 porsi makanan kepada 30 orang miskin saja (Irwaul Gholil, 4/21-22 dengan sanad yang shahih).
Dapat pula diberikan hanya kepada 1 orang miskin saja sebanyak 30 hari. Adapun ketentuan memberikan seluruh fidyah kepada 1 miskin saja, sebagian ulama melarangnya, namun Imam Nawawi  dalam kitab Al-Majmu’ membolehkannya. Begitu juga Al Mawardi yang mengatakan, “Boleh saja mengeluarkan fidyah pada satu orang miskin sekaligus. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.”


Minggu, 15 Juli 2018

MUNAKAHAT


MUNAKAHAT
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA

Allah telah menjadikan makhluk di bumi ini termasuk manusia sebagai berpasang-pasangan. Namun Allah juga pada saat yang sama menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus diindahkan (Quraish Shihab, 2007: 192-193)

A.  Pendahuluan
    Quraish Shihab (2007: 191) menjelaskan, secara umum untuk pernikahan, al-Quran hanya menggunakan dua kata nikah (disebut dalam al-Quran sebanyak 23 kali) dan zauwj (disebut dalam al-Quran sebanyak 80 kali). Dua kata ini menggambarkan terjalinnya hubungan suami dan istri secara sah. Namun terdapat juga kata wahaba (memberi) yang menjelaskan tentang kedatangan seorang wanita kepada Nabi saw., dan menyerahkan dirinya untuk dijadikan istri. Namun sebagaimana ditegaskan oleh, kata ini terkhusus untuk Nabi saja (Ahmad Rivauzi, 2015: 347). Hal ini dapat dilihat pada firman Allah:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللَّاتِي آتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاء اللَّهُ عَلَيْكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ اللَّاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ وَامْرَأَةً مُّؤْمِنَةً إِن وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَن يَسْتَنكِحَهَا خَالِصَةً لَّكَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ لِكَيْلَا يَكُونَ عَلَيْكَ حَرَجٌ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mu'min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu'min. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. Al-Ahzab, 33: 50)
     Quraish Shihab (2007: 192-193) sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015: 348) menjelaskan bahwa Allah telah menjadikan makhluk di bumi ini termasuk manusia sebagai berpasang-pasangan. Namun Allah juga pada saat yang sama menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus diindahkan. Terlebih pada saat aturan-aturan pernikahan diturunkan Allah, terdapat praktek-praktek pernikahan yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Al-Qurthubi misalnya menegaskan bahwa pada masa aturan nikah turun, pada masyarakat waktu itu masih mewarisi secara paksa istri dari ayah (ibu tiri). Sehingga kemudian turun larangan Allah:
وَلاَ تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ آبَاؤُكُم مِّنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتاً وَسَاء سَبِيلاً
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).(QS. An-Nisa’, 4:22)
   Quraish Shihab (2007: 193) menulis bahwa Imam Bukhari juga meriwayatkan dari ‘Aisyah, bahwa pada masa Jahiliyyah dikenal empat macam pernikahan. Pertama, pernikahan sebagaimana yang berlaku sekarang. Kedua, seorang suami yang menyuruh istrinya untuk berhubungan seks dengan laki-laki lain, apabila perempuan tersebut telah hamil, maka perempuan itu kembali kepada suaminya untuk digauli (disetubuhi). Ketiga, sekelompok laki-laki kurang-lebih sepuluh orang menggauli seorang perempuan, dan bila perempuan itu hamil, maka ia memanggil semua laki-laki tersebut, dan ia yang menetukan kepada siapa nasab si anak akan diberikan. Keempat, hubungan seks yang dilakukan oleh perempuan (tuna susila), yang memasang bendera atau tanda di pintu-pintu rumah mereka dan melakukan seks dengan siapapun yang suka kepadanya. Kemudian Islam melarang cara perkawinan tersebut kecuali cara yang pertama (Ahmad Rivauzi, 2015: 349)
   Sayyid Sabiq (2008: 337) menjelaskan, inti pernikahan adalah ridha dan kesepakatan antar kedua belah pihak yang terangkum dalam sebuah ikatan.  Ridha dan kepakatan tersebut membutuhkan adanya ungkapan yang menggambarkan kerelaan dan kesepakatan di dalam menjalin ikatan tersebut. Ungkapan tersebut dikenal dengan ijab dan qabul. Dalam hal ini, para ulama mengatakan “Rukun pernikahan adalah ijab dan qabul” (Ahmad Rivauzi, 2015: 349)
    Selanjutnya, para ulama telah merumuskan tentang rukun dan syarat sahnya pernikahan yaitu adanya calon suami dan istri, wali, dua orang saksi, mahar, akad (ijab dan qabul) (Quraish Shihab, 2007: 201).
 Ahmad Rivauzi (2015: 350-354) mengungkapkan, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama di seputar rukun dan syarat shah nikah ini. Berikut dijelaskan secara garis besar:
1.    Calon Suami dan Istri’
     Para ulama sepakat bahwa berakal dan baligh merupakan syarat dalam perkawinan, kecuali jika dilakukan oleh wali mempelai. Kedua mempelai juga disyaratkan mesti terlepas dari keadaan-keadaan yang membuat mereka dilarang kawin, baik karena hubungan keluarga maupun hubungan lainnya, baik bersifat sementara maupun permanen (Muhammad Jawad Mughniyah, 2008:315).
2.    Wali
    Wali adalah kekuasaan dan kewenangan syar’i atas segolongan manusia, yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi kemaslahatan sendiri. (Muhammad Jawad Mughniyah, 2008: 309-345).
  Imam Syafi’i, Maliki, dan Hambali berpendapat, jika seorang wanita yang baligh dan berakal sehat masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya terletak pada tangan walinya. Sedangkan bila ia sudah janda, maka hak mengawinkan itu terletak pada walinya atas persetujuan sang janda.[i]
       Aisyah meriwayatkan:
أيُّما إمرأة نكحت نفسها بغير إذن وليّها فنكاحها باطل فنكاحها باطل فنكاحها باطل فإن دخل بها فلها المهر بما استحلَّ من فرجها فا اشتجروا فالسلطان وليّ من لا وليَّ له (رواه الترمذي , أبن ماجه, وأبو داود)
Perempuan manapun yang menikahkan dirinya tanpa izain walinya maka pernikahannya batal, pernikahannya batal, pernikahannya batal. Apabila sang suami telah mencampurinya, maka dia berhak untuk mendapatkan mahar berdasarkan apa yang telah dihalalkan oleh sang suami dari kemaluannya. Dan apabila para wali bersengketa (menolak untuk menikahkan), maka penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali (HR. Tarmizi, Ibn Majah, dan Abu Daud)
   Urutan wali nikah menurut Imam Syafi’i adalah ayah, kakek dari pihak ayah, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki se-ayah, anak, paman (saudara ayah), anak paman. Bila walinya tidak ada, maka perwalian pindah ke tangan hakim (Muhammad Jawad Mughniyah, 2008: 347).     Adapun syarat wali adalah merdeka, baligh berakal, Islam, dan adil (bukan fasiq) (Sayyid Sabiq, 2008:439)
3.    Saksi Nikah
  Imam Syafi’i, Hanafi dan Hambali sepakat bahwa nikah tidak shah tanpa adanya saksi. Tetapi Imam Hanafi tidak mensyaratkan saksi yang adil. Sedangkan Imam Maliki berpandangan bahwa saksi hukumnya tidak wajib dalam akad, tetapi wajib untuk percampuran suami terhadap istrinya (Akad sah tanpa dihadiri saksi, namun jika suami ingin mencampuri istrinya, maka ia wajib mendatangkan saksi bahwa ia telah menikah dan akan mencampur istrinya, jika tidak dilakukan, maka nikah tersebut harus dibatalkan secara paksa dengan kedudukannya sama dengan talak ba’in).[ii]
4.    Mahar
     Mahar adalah salah satu dari hak istri dari suamniya. Mahar terbagi kepada dua macam. Yaitu mahar musamma, dan mahar mitsil. Mahar musamma adalah mahar yang disepakati oleh pengntin laki-laki dan perempuan yang disebutkan dalam redaksi akad. Sedangkan mahar mitsil adalah  mahar yang tidak disebutkan dalam akad. Menurut Imam Hanafi, mahar mitsil ditetapkan berdasarkan keadaan wanita yang serupa dari pihak ayah bukan dari pihak ibu. Tetapi menurut Maliki, mahar tersebut ditetapkan berdasarkan keadaan wanita tersebut, baik fisik maupun moralnya. Sedangkan Syafi’i menetapkan berdasarkan mahar dari mahar anggota keluarga seperti mahar istri istri saudara dan paman, mahar saudara perempuan, dan seterusnya. Sementara Hambali penentuan mahar mitsil didasarkan kepada mahar wanita-wanita yang menjadi kerabat wanita tersebut, misalnya ibu dan bibi. Sedangkan Syi’ah berpatokan kepada ‘urf adat kebiasaan satu masyarakat dengan syarat tidak melebihi jumlah 500 dirham (Muhammad Jawad Mughniyah, 2008: 364-368).
5.    Akad (Ijab Qabul)
 Akad [iii] menurut Imam Hanafi boleh dilakukan dengan segala redaksi yang menunjukkan maksud menikah, bahkan sekalipun dengan lafazd al-tamlik, al-hibah dan lain-lain. Sedangkan Maliki dan Hambali berpendapat bahwa nikah dianggap sah jika menggunakan lafazh al-nikah dan al-zawaj serta lafal-lafal bentukannya. Sementara imam Syafi’i berpendapat bahwa redaksi akad nikah dianggap sah jika menggunakan lafazh al-nikah dan al-zawaj saja, tidak boleh yang lain (Muhammad Jawad Mughniyah, 2008: 309-311).
    Menurut Imam Syafi’i, Hambali, dan Syi’ah, disyaratkan kesegeraan dalam akad nikah (ijab qabul) dan tidak terpisah oleh perkataan lain. Sementara itu, Maliki berpendapat bahwa pemisahan sekedarnya antara ijab dan qabul misalnya khutbah nikah yang pendek dan sejenisnya tidak apa-apa. Sedangkan mazhab Hanafi tidak mensyaratkan kesegeraan. Seluruh mazhab juga sepakat bahwa boleh akad dengan menggunakan bahasa non Arab (Muhammad Jawad Mughniyah, 2008: 311-312).
B.  Wanita yang Haram dinikahi
      Quraish Shihab (2007: 193-195) sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015: 354) memaparkan, Al-Quran mengatur tentang siapa-siapa saja perempuan yang boleh dinikahi. Secara umum, al-Quran membolehkan menikahi perempuan yang disukai dengan berbagai kriteria.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa’, 4: 3)
  Rasulullah juga memberikan arahan agar pernikahan lebih didasarkan atas pertimbangan agama sebagaimana sabdanya:
تنكح المرأة لأربع لما لها ولحسابها ولجمالها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك (أخرجه الخمسة عن ابي هريرة)
Biasanya perempuan dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah yang beragama karena jika tidak maka engkau akan sengsara (Diriwayatkan melalui Abu Hurairah)
  Selanjutnya al-Quran juga memberikan ketentuan bahwa orang baik-baik sepantasnya dinikahkan dengan orang baik-baik juga begitu juga sebaliknya. Allah berfirman:
الزَّانِي لَا يَنكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu'min. (QS. An-Nur, 24:3)
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُوْلَئِكَ مُبَرَّؤُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga). (QS. An-Nur, 24:26)
Selanjutnya Al-Quran menjelaskan siapa-siapa saja perempuan yang haram dinikahi sebagaimana dijelas oleh Allah sebagai berikut:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً , وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُم بِهِ مِن بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً حَكِيماً
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu ni`mati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa’, 4:23-24)
C.  Nikah Beda Agama
  Ahmad Rivauzi (2015: 357) menjelaskan, terdapat beberapa ayat al-Quran yang berbicara tentang perkawinan beda agama ini. Di antaranya adalah ayat-ayat yang membolehkan umat Islam untuk menikahi ahli kitab sebagaimana dikemukakan di bawah ini:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.(QS. Al-Maidah, 5:5)
   Menurut Quraish Shihab, orang-orang non muslim terbagi kepada dua kategori yaitu ahli kitab, dan musyrik. Dalam hal orang-orang yang terkategori ahli kitab yang boleh dinikahi sebagaimana dijelaskan dalam al-Maidah (5:5), adalah perempuan-perempuan ahli kitab yang terhormat yang selalu menjaga kesuciannya, dan sangat menghormati serta mengagungkan kitab suci. Hal ini dipahami dari kata-kata utuw yang selalu digunakan untuk al-Quran untuk menjelaskan pemberian agung dan terhormat seperti ilmu atau kitab suci. Kata-kata utuw terulang dalam al-Quran sebanyak 32 kali (Quraish Shihab, 2007: 197).   Dapat dipahami berdasarkan keterangan ini bahwa yang terkategori ahli kitab adalah orang-orang non muslin yang masih konsisten dengan ajaran-ajaran kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad (Ahmad Rivauzi, 2015: 357-358).
        Muhammad Syaltut (1959: 253) sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab (2007: 198) menjelaskan bahwa pendapat para ulama yang membolehkan (menikahi ahli kitab) itu berdasarkan kaidah syar’iyyah yang normal, yaitu bahwa suami memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap istri, serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap keluarga dan anak-anak. Laki-laki dibolehkan menikahi ahli kitab agar perkawinan itu membawa misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga terkikis dari hati istrinya rasa tidak senangnya terhadap Islam. Dengan perlakuan suaminya yang yang baik, sang istri dapat mengenal keindahan dan ketumaan Islam. Namun Muhammad Syaltut juga menegaskan bahwa kalau apa yang dilukiskan ini tidak terpenuhi, maka ulama sepakat untuk mengharamkan menikahi non muslim (Ahmad Rivauzi, 2015:358).
      Quraish Shihab (2007: 196) juga menjelaskan bahwa para ulama juga ada yang berpendapat bahwa hukum kebolehan menikahi ahli kitab (QS Al-Maidah, 5:5) juga telah dihapuskan oleh ayat (QS. Al-Baqarah, 2:221) sebagai berikut:
وَلاَ تَنكِحُواْ الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنكِحُواْ الْمُشِرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُواْ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُوْلَـئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللّهُ يَدْعُوَ إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS Al-Baqarah, 2:221)
   Bahkan sahabat Nabi Abdullah Ibnu Umar sebagaimana diungkap Quraish Shihab (2007) mengatakan bahwa tidak ada kesyirikan yang lebih besar dari kemusyrikan yang menjadikan Isa sebagai Tuhan atau menjadikan manusia lain sebagai Tuhan.
لا أعرف شيئا الا شراك اعظم من أن تقول المرأة ربها عيسى أو عبد من عباد الله
Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari kemusyrikan seseorang yang menyatakan bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah seorang dari hamba Allah yang lain sebagai Tuhan.  
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda agama dilarang oleh Allah dan hukumnya adalah haram. Hukum keharaman tersebut akan berubah menjadi boleh jika orang-orang non muslim tersebut sudak membuktikan keimanan mereka kepada Allah dan pengakuan iman mereka tersebut memang betul-betul lahir dari lubuk hati mereka, bukan iman karena alasan yang didasar oleh keinginanan menikah semata (Ahmad Rivauzi, 2015: 359-360).
Larangan nikah beda agama ini pada dasarnya lebih ditujukan agar rumah tangga yang dibangun dapat mengantarkan kepada kehidupan yang baik, mawaddah dan rahmah. Jika sebuah rumah tangga tidak dibangun atas kesamaan keyakinan yang kokoh kepada keesaan Allah, maka rumah tangga yang dibangun tersebut dibangun di atas pondasi yang rapuh (Ahmad Rivauzi, 2015: 360).
D. Nikah Perempuan yang Berzina
   Menurut Jumhur ulama seperti ditulis al-Syaukani dalam Nailul Authar, tt: 282) sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015:360), wanita yang telah berzina, baik sedang hamil karena perzinaan tersebut atau tidak hamil, boleh dan sah dinikahi oleh laki-laki yang menzinainya. Ali bin Abi Thalib, Ibn Abbas, Ibn Umar, Jabir dan ulama di kalangan tabi’in seperti Sa’id Ibn Musayyab, Urwah dan Zuhri, serta kalangan ulama sesudahnya seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Rabi’ah, Abi Tsaur dan lainnya berpendapat bahwa wanita yang berzina boleh dinikahi oleh laki-laki yang menzinainya (Hamdan Rasyid, 2009:202-203). Di antara dasarnya adalah:
الزَّانِي لَا يَنكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu'min. (QS. An-Nur, 24: 3)
      Hamdan Rasyid (2009: 203-209) menjelaskan, jika yang menikahi wanita pezina dan hamil tersebut bukan laki-laki yang menghamilinya, namun laki-laki yang lain, maka nikahnya tidak sah, kecuali setelah wanita tersebut melahirkan.Sedangkan menurut Imam Hanafi, wanita hamil karena zina tersebut boleh dinikahi oleh laki-laki lain, tetapi hukumnya makruh dan laki-laki tersebut tidak boleh menggaulinya sampai ia melahirkan. Adapun Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita yang hamil karena zina boleh dinikahi oleh laki-laki yang bukan menghamilinya dan boleh menggaulinya setelah akad. Kebolehan menikahi wanita yang hamil karena zina oleh laki-laki yang menghamilinya atau laki-laki lain didasarkan karena anak yang dikandung oleh perempuan tersebut tidak bernasab kecuali kepada ibunya. Dengan telah diketahuinya wanita tersebut hamil, maka jika digauli sekalipun oleh laki-laki yang bukan menghamilinya, maka tidak akan terjadi percampuran sperma karena wanita tersebut sudah jelas hamil karena perzinaan. Wanita yang hamil karena zina tidak memiliki iddah, karena yang memiliki iddah sebagaimana disebutkan Allah dalam Surat An-Nisa’ ayat 22-24 dan Surat al-Thalaq ayat ,  adalah wanita yang hamil yang statusnya budak atau wanita yang ditalak dan hamilnya karena hubungan pergaulan suami istri yang dikikat oleh perkawinan yang sah secara syar’i, bukan akibat perzinaan (Ahmad Rivauzi, 2015:361).
         Yang penting diperhatikan adalah jika anak yang terlahir akibat perzinaan itu berjenis kelamin perempuan. Ketika anak perempuan tersebut telah dewasa dan ingin menikah, maka yang berhak menjadi wali nikahnya Cuma wali hakim, tidak boleh yang lain.  Laki-laki yang menghamili ibunya secara zina tidak boleh menjadi wali nikahnya karena anak perempuan tersebut tidak bernasab kepadanya, tetapi kepada ibunya, walaupun kemudian ibu anak perempuan tersebut dinikahi oleh laki-laki yang menghamili ibunya tersebut (Ahmad Rivauzi, 2015:361) . Hal ini didasarkan kepada Hadits:
“Anak (hubungan nasab) itu bagi suami (yang menikah secara sah). Sedang bagi pelaku zina, memperoleh hukuman rajam” (dilempari batu) (HR. Abu Daud) (Muhammad  Syamsu al-Haq al-‘Adzim, 1979: 281)
Sumber:
Ahmad Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman: Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, (Ciputat: Sakata Cendikia, 2015), Cet. I



       [i] Sementara itu, menurut Imam Hanafi, Abu Yusuf  dan mayoritas Imam Syi’ah, wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri suaminya dan boleh pula melakukan akad nikah sendiri, baik ia perawan maupun janda. Tidak ada seorangpun yang mempunyai wewenang atas dirinya atau menentang pilihannya, dengan syarat, orang yang dipilihnya itu sekufu (sepadan; agama, merdeka, keahlian, nasab) dengannya dan maharnya tidak kurang dari mahar mitsil. Jika laki-lakiyang dipilihnya tidak sekufu, maka walinya boleh menentangnya, dan meminta kepada qadhi untuk membatalkan nikahnya. Lihat Abu Zahrah, al-Akhwal al-Syakhshiyyah dan  Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, diterjemahkan dari judul aslinya al-Fiqh ‘ala al-Mazhahib al-Khamsah oleh Masykur A.B. dkk (Jakarta: Penerbit Lentera, 2008) cet. XXII, h.345-346. Lihat juga, Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, diterjemahkan dari judul aslinya  Fiqhus Sunnah oleh Moh. Abidin, dkk. (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), Cet. I, Jilid  2, h. 441
 [ii] Menurut Syi’ah, kesaksian dalam perkawinan hukumnya adalah istihbab (dianjurkan, bukan diwajibkan). Baca, Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, diterjemahkan dari judul aslinya al-Fiqh ‘ala al-Mazhahib al-Khamsah oleh Masykur A.B. dkk (Jakarta: Penerbit Lentera, 2008) cet. XXII, h.313-314
   [iii] Keempat mazhab sepakat bahwa akad yang dilakukan secara main-main mengikat dan mengesahkan perkawinan. Jadi kalau ada seorang perempuan berkata kepada seorang laki-laki, “saya nikahkan diriku kepadamu,” dan silaki-laki menjawab, “saya terima akad nikah kepadamu” , maka terjadilah pernikahan walaupun dilakukan dengan main-main.
ثلاث جدُّ هُنَّ جِدٌّ وهَزَ لُهُنَّ جِدٌّ الزواج والطلاق والعتق
Ada tiga hal yang bila dilakukan dengan sungguh-sungguh, dia dianggap sungguh-sungguh, dan bila ia dilakukan dengan main-main, maka ia dianggap sungguh-sungguh. Yaitu perkawinan, thalaq, dan memerdekakan sahaya.
  Menurut hukum asalnya, ijab itu datangnya dari pengantin perempuan, sedangkan qabul dari pengantin laki-laki. Pengantin Wanita mengatakan ” Saya nikahkan diriku kepadamu”, lalu pengantin laki-laki menjawab, “Saya terima nikah denganmu”.
Baca,   Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, diterjemahkan dari judul aslinya al-Fiqh ‘ala al-Mazhahib al-Khamsah oleh Masykur A.B. dkk (Jakarta: Penerbit Lentera, 2008) cet. XXII, h.316 dan 313