The Student’s Ability to Read the Qur’an at Islamic Education Program Universitas Negeri Padang (A Need Assessment Study)
Oleh: Wirdati, Ahmad Rivauzi, Sulaiman, Fuady Anwar, Ahmad Kosasih
ISLAM DAN PENDIDIKAN
"Kajian Islam dan Pendidikan" Terima Kasih Atas Kunjungan anda!
Kamis, 21 Mei 2020
RELEVANSI PENDIDIKAN BERBASIS SPIRITUAL DALAM PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH DAN MADRASAH PADA ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, S.PdI., MA
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, S.PdI., MA
FIDYAH PUASA
FIDYAH PUASA
Dr. Ahmad Rivauzi, S.PdI., MA
A.
Pengertian
Fidyah
Fidyah atau fidaa atau fida` bermakna
tebusan. Di dalam kitab-kitab fiqih, fidyah dikenal dengan istilah "ith'am",
yang artinya memberi makan. Fidyah puasa dalam konteks pembahasan ini adalah sesuatu
yang harus diberikan kepada orang miskin, berupa makanan, sebagai pengganti
karena ditinggalkannya puasa.
Dalil
fidyah puasa:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ
مِسْكِينٍ
“Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)
Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,
هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ
الْكَبِيرَةُ لاَ يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا ، فَلْيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ
يَوْمٍ مِسْكِينًا
“(Yang
dimaksud dalam ayat tersebut) adalah untuk orang yang sudah sangat tua dan
nenek tua, yang tidak mampu menjalankannya, maka hendaklah mereka memberi makan
setiap hari kepada orang miskin”. (HR. Bukhari no. 4505.)
B. Ukuran
Fidyah
Untuk
ukuran fidyah, tidak ada keterangan dari sunnah tentang kadar makanan yang
harus dibayarkan selain keterangan ijtihadiyah para ulama fiqih. Di antara
pendapat para ulama fikih:
1. Satu Mud
Imam
As-Syafi’I, Imam Malik dan Imam An-Nawawi menetapkan bahwa ukuran fidyah yang harus dibayarkan kepada setiap 1 orang
fakir miskin adalah 1 mud gandum sesuai dengan ukuran mud Pendapat ini
juga yang diikuti oleh Thowus, Sa’id bin Jubair, Ats Tsauri dan Al Auza’i. Maksudnya
mud adalah telapak tangan yang ditengadahkan ke atas untuk menampung
makanan (mirip orang berdoa). Mud adalah istilah yang menunjuk ukuran volume,
bukan ukuran berat. Dalam kitab Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu
disebutkan bila diukur dengan ukuran zaman sekarang, 1 mud dapat disetarakan
dengan 675 gram atau 0,688 liter.
Al
Qodhi ‘Iyadh mengatakan, “Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa fidyah
satu mud bagi setiap hari yang ditinggalkan” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,
8/21)
2. Dua Mud atau Setengah Sha’
Abu
Hanifah berpendapat ½ sha’ atau 2
mud gandum atau setara dengan setengah sha‘ kurma atau tepung. Setara dengan
memberi makan siang dan makan malam hingga kenyang 1 orang miskin. Sebagian
ulama memperkirakan ½ sha’ beratnya 1,5 kg dari makanan pokok (Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/11538).
Beberapa
ulama belakangan seperti Syaikh Ibnu Baz (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 15/203). Syaikh Sholih Al Fauzan (Al Muntaqo min Fatawa
Syaikh Sholih Al Fauzan, 3/140, dinukil dari Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no.
66886). Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (Komisi
Fatwa Saudi Arabia) (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah
wal Ifta’ no. 1447, 10/198) mengatakan bahwa ukuran fidyah adalah setengah
sho’ dari makanan pokok di negeri masing-masing (baik dengan kurma, beras dan
lainnya). Mereka mendasari ukuran ini berdasarkan pada fatwa beberapa sahabat
di antaranya Ibnu ‘Abbas.
3. Satu Sha’
Hanafiyah,
seperti Imam Al-Kasani dalam Bada’i’i wa As-Shana’i’ berpendapat satu sha’
setara dengan 4 mud, sama dengan jumlah zakat fitrah yang dibayarkan. Bila
ditimbang, 1 sha‘ itu beratnya 2.176 gram. Bila diukur volumenya, 1 sha‘ setara
dengan 2,75 liter.
Dari
perbedaan ulama di atas kadar fidyah paling sedikit adalah satu mud, tetapi
yang paling utama kita mengeluarkan setengah sha' atau memberi satu porsi
makanan masak kepada setiap miskin.
Ukuran
1 sho’ sama dengan 4 mud. Satu sho’ kira-kira 3 kg. Setengah sho’ kira-kira 1½
kg.
Yang
lebih tepat adalah dikembalikan pada ‘urf
(kebiasaan yang lazim). Dianggap telah sah membayar fidyah jika telah memberi
makan kepada satu orang miskin untuk satu hari yang kita tinggalkan.
Pembayaran
fidyah dapat disesuaikan dengan harga satu porsi makanan yang standar
yang berlaku pada lingkungan terdekat. Misalnya, jika satu porsi makanan
senilai 20.000 rupiah untuk satu menu standar. Berarti satu hari tidak berpuasa
dapat menggantinya dengan membayar fidyah 20 ribu.
C.
Orang Boleh Bayar Fidyah Karena Tidak Bisa Berpuasa:
1. Orang yang sakit yang sulit untuk sembuh lagi,
2. Orang tua atau lemah yang sudah tidak kuat lagi
berpuasa,
3. Wanita yang hamil dan menyusui apabila ketika puasa
mengkhawatirkan anak yang dikandung atau disusuinya. Mereka wajib
membayar fidyah saja menurut sebagian ulama, namun menurut
Imam Syafi’i selain wajib membayar fidyah juga
wajib mengqadha’ puasanya. Sedangkan menurut pendapat lain, tidak membayar
fidyah tetapi cukup mengqadha’.
Yusuf Al-Qardhawi berpendapat bagi wanita yang
tidak memungkinkan lagi untuk mengqadha karena melahirkan dan menyusui secara
berturut-urut sampai beberapa tahun, ia bisa mengganti qadhanya dengan fidyah.
Hal ini karena ada illat (alasan hukum) tidak ada kemampuan
lagi untuk mengqadha semuanya. selama masih bisa mengqadha dan memungkinkan,
maka kewajiban mengqadha itu tetap ada.
Diberitakan dari Al Dazzar dan dishahihkan Al
Daraquthni dari Ibn Abbas, bahwa beliau berkata kepada ibu anaknya yang sedang
hamil:
أنت بمنزلة الذى لا يطيقه فعليك الفداء ولا قضاء عليك
Engkau sekedudukan dengan orang yang tidak sanggup
mengerjakan puasa. Engkau hannya wajib fidyah dan tidak wajib qadha (An Nail
4:315 dalam Muhd. Hasbi Ash Shiddieqy, Al Fiqhul Islami (Risalah Puasa), 1944:
22-23)
Diberitakan Hammad, bahwa seorang perempuan Quraisy
yang sedang hamil bertanya kepada Ibn Umar tentang hal puasanya, maka Ibn Umar
menjawab:
افطرى واطعمى كل يوم مسكينا ولا تقضى
Berbukalah kamu dan berilah makanan tiap-tiap hari
seorang miskin dan tidak usah mengqadhanya (Al Muhalla, jilid 6: 263 dalam Muhd.
Hasbi Ash Shiddieqy, Al Fiqhul Islami (Risalah Puasa), 1944: 23)
4. Orang yang menunda kewajiban mengqadha’ puasa
Ramadhan tanpa uzur syar’i hingga Ramadhan tahun berikutnya telah menjelang.
Mereka wajib mengqadha’nya sekaligus membayar fidyah, menurut
sebagian ulama.
D.
Waktu Pembayaran Fidyah
Waktu
pembayaran fidyah, ada kelonggaran. Boleh dibayarkan setiap hari dan juga
dibolehkan mengakhirkan pembayaran sampai selesai ramadhan, sebagaimana yang
dilakukan Anas bin Malik radliallahu ‘anhu (As-Syarhul Mumthi’, 6:207).
Seseorang
dapat membayar fidyah, pada hari itu juga ketika dia tidak melaksanakan puasa.
Atau diakhirkan sampai hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dilakukan oleh
sahabat Anas bin Malik ketika beliau telah tua (Irwaul Gholil, 4/21-22 dengan
sanad yang shahih).
Pemberian
ini dapat dilakukan sekaligus, misalnya membayar fidyah untuk 20 hari
disalurkan kepada 20 orang miskin. Atau dapat pula diberikan hanya kepada 1 orang
miskin saja sebanyak 20 hari (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al
‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 1447, 10/198). Al
Mawardi mengatakan, “Boleh saja mengeluarkan fidyah pada satu orang miskin
sekaligus. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.” (Al Inshof,
5/383).
Dalilnya:
عن مالك عن نافع أن ابن عمر سئل عن
المرءة الحامل إذا خافت على ولدها، فقال: تفطر و تطعم مكان كل يوم مسكينا مدا من
حنطة
Dari
Nafi’, bahwa Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma pernah ditanya tentang
wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya (jika puasa). Beliau menjawab, “Dia
boleh berbuka dan memberi makan orang miskin dengan satu mud gandum halus
sebanyak hari yang dia tinggalkan.” (H.r. Al-Baihaqi dari jalur Imam Syafi’i
dan sanadnya sahih)
عَن أَنَس بنِ مَالِك رضي الله عنه
أَنَّه ضَعُف عَن الصَّومِ عَامًا فَصَنَع جفنَةَ ثَريدٍ ودَعَا ثَلاثِين
مِسكِينًا فَأشبَعَهُم
Dari
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, bahwa ketika dirinya sudah tidak mampu
puasa setahun, beliau membuat adonan tepung dan mengundang 30 orang miskin,
kemudian beliau kenyangkan mereka semua. (H.r. Ad-Daruquthni;
dinilai sahih oleh Al-Albani)
Dengan
demikian, tidak boleh dilaksanakan pembayaran fidyah dilakukan sebelum
Ramadhan. Ia harus menunggu sampai bulan Ramadhan benar-benar telah masuk,
barulah ia boleh membayarkan fidyah ketika hari itu juga atau bisa ditumpuk di
akhir Ramadhan (Syarhul Mumthi’, 2/22).
E.
Mengganti
Fidyah dengan Uang
Jumhur
ulama mewajibkan untuk dikeluarkan makanan berdasarkan Al-Qur’an, namun madzhab
Hanafiyah membolehkan membayarkan nilainya
jika lebih mendatangkan maslahat maka diperbolehkan. Dengsn demikian, fidyah
boleh dilaksanakan dengan mengganti uang, jika lebih bermanfaat. Namun jika
uang tersebut akan digunakan untuk foya-foya, maka wajib memberikannya dalam
bentuk bahan makanan pokok.
F.
Cara
Pembayaran
Fidyah diberikan kepada fakir miskin sesuai
jumlah hari yang ditinggalkan, satu fidyah untuk satu hari untuk satu miskin
dan pemberiannya dapat dilakukan sekaligus. Misalnya kita meninggalkan puasa 30
hari maka kita cukup membayar 30 porsi makanan kepada 30 orang miskin saja (Irwaul
Gholil, 4/21-22 dengan sanad yang shahih).
Dapat
pula diberikan hanya kepada 1 orang miskin saja sebanyak 30 hari. Adapun ketentuan
memberikan seluruh fidyah kepada 1 miskin saja, sebagian ulama melarangnya,
namun Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu’
membolehkannya. Begitu juga Al Mawardi yang mengatakan, “Boleh saja
mengeluarkan fidyah pada satu orang miskin sekaligus. Hal ini tidak ada
perselisihan di antara para ulama.”
Sabtu, 14 Desember 2019
PILAR PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF IMAM AL-SYATHIBY
Oleh: Al Ikhlas Samsuir, Ahmad Rivauzi, Wirdati Wirdati
Oleh: Al Ikhlas Samsuir, Ahmad Rivauzi, Wirdati Wirdati
Kamis, 12 Desember 2019
Minggu, 15 Juli 2018
MUNAKAHAT
MUNAKAHAT
Oleh: Dr. Ahmad
Rivauzi, MA
Allah telah menjadikan makhluk di bumi ini termasuk manusia sebagai
berpasang-pasangan. Namun Allah juga pada saat yang sama menetapkan
ketentuan-ketentuan yang harus diindahkan (Quraish Shihab, 2007: 192-193)
A. Pendahuluan
Quraish Shihab (2007: 191) menjelaskan, secara umum untuk pernikahan, al-Quran
hanya menggunakan dua kata nikah (disebut dalam al-Quran sebanyak 23
kali) dan zauwj (disebut dalam al-Quran sebanyak 80 kali). Dua kata ini
menggambarkan terjalinnya hubungan suami dan istri secara sah. Namun terdapat
juga kata wahaba (memberi) yang menjelaskan tentang kedatangan seorang
wanita kepada Nabi saw., dan menyerahkan dirinya untuk dijadikan istri. Namun
sebagaimana ditegaskan oleh, kata ini terkhusus untuk Nabi saja
(Ahmad Rivauzi, 2015: 347). Hal ini dapat dilihat pada firman Allah:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ
أَزْوَاجَكَ اللَّاتِي آتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاء
اللَّهُ عَلَيْكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ
خَالَاتِكَ اللَّاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ وَامْرَأَةً مُّؤْمِنَةً إِن وَهَبَتْ نَفْسَهَا
لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَن يَسْتَنكِحَهَا خَالِصَةً لَّكَ مِن دُونِ
الْمُؤْمِنِينَ قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُمْ لِكَيْلَا يَكُونَ عَلَيْكَ حَرَجٌ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً
Hai Nabi, sesungguhnya Kami
telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya
dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam
peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak
perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara
perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan
anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu
dan perempuan mu'min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau
mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu'min.
Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang
isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi
kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS.
Al-Ahzab, 33: 50)
Quraish Shihab (2007: 192-193) sebagaimana dikutip Ahmad
Rivauzi (2015: 348) menjelaskan bahwa Allah telah menjadikan makhluk di bumi
ini termasuk manusia sebagai berpasang-pasangan. Namun Allah juga pada saat
yang sama menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus diindahkan. Terlebih pada
saat aturan-aturan pernikahan diturunkan Allah, terdapat praktek-praktek
pernikahan yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Al-Qurthubi misalnya
menegaskan bahwa pada masa aturan nikah turun, pada masyarakat waktu itu masih
mewarisi secara paksa istri dari ayah (ibu tiri). Sehingga kemudian turun
larangan Allah:
وَلاَ تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ آبَاؤُكُم مِّنَ النِّسَاء
إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتاً وَسَاء سَبِيلاً
Dan janganlah kamu kawini
wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah
lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).(QS. An-Nisa’, 4:22)
Quraish
Shihab (2007: 193) menulis bahwa Imam Bukhari juga meriwayatkan dari ‘Aisyah,
bahwa pada masa Jahiliyyah dikenal empat macam pernikahan. Pertama, pernikahan
sebagaimana yang berlaku sekarang. Kedua, seorang suami yang menyuruh
istrinya untuk berhubungan seks dengan laki-laki lain, apabila perempuan
tersebut telah hamil, maka perempuan itu kembali kepada suaminya untuk digauli
(disetubuhi). Ketiga, sekelompok laki-laki kurang-lebih sepuluh orang menggauli
seorang perempuan, dan bila perempuan itu hamil, maka ia memanggil semua
laki-laki tersebut, dan ia yang menetukan kepada siapa nasab si anak akan
diberikan. Keempat, hubungan seks yang dilakukan oleh perempuan (tuna susila),
yang memasang bendera atau tanda di pintu-pintu rumah mereka dan melakukan seks
dengan siapapun yang suka kepadanya. Kemudian Islam melarang cara perkawinan tersebut
kecuali cara yang pertama (Ahmad Rivauzi, 2015: 349)
Sayyid
Sabiq (2008: 337) menjelaskan, inti pernikahan adalah ridha dan kesepakatan antar
kedua belah pihak yang terangkum dalam sebuah ikatan. Ridha dan kepakatan tersebut membutuhkan adanya
ungkapan yang menggambarkan kerelaan dan kesepakatan di dalam menjalin ikatan
tersebut. Ungkapan tersebut dikenal dengan ijab dan qabul. Dalam
hal ini, para ulama mengatakan “Rukun pernikahan adalah ijab dan qabul” (Ahmad Rivauzi, 2015: 349)
Selanjutnya,
para ulama telah merumuskan tentang rukun dan syarat sahnya pernikahan yaitu
adanya calon suami dan istri, wali, dua orang saksi, mahar, akad (ijab
dan qabul) (Quraish Shihab, 2007: 201).
Ahmad Rivauzi (2015: 350-354) mengungkapkan, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama di seputar rukun dan syarat shah nikah ini. Berikut dijelaskan secara garis besar:
Ahmad Rivauzi (2015: 350-354) mengungkapkan, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama di seputar rukun dan syarat shah nikah ini. Berikut dijelaskan secara garis besar:
1. Calon
Suami dan Istri’
Para
ulama sepakat bahwa berakal dan baligh merupakan syarat dalam perkawinan,
kecuali jika dilakukan oleh wali mempelai. Kedua mempelai juga disyaratkan
mesti terlepas dari keadaan-keadaan yang membuat mereka dilarang kawin, baik
karena hubungan keluarga maupun hubungan lainnya, baik bersifat sementara
maupun permanen (Muhammad Jawad Mughniyah, 2008:315).
2. Wali
Wali
adalah kekuasaan dan kewenangan syar’i atas segolongan manusia, yang
dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang
yang dikuasai itu, demi kemaslahatan sendiri. (Muhammad Jawad Mughniyah, 2008:
309-345).
Imam
Syafi’i, Maliki, dan Hambali berpendapat, jika seorang wanita yang baligh dan
berakal sehat masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya terletak pada tangan
walinya. Sedangkan bila ia sudah janda, maka hak mengawinkan itu terletak pada
walinya atas persetujuan sang janda.[i]
Aisyah meriwayatkan:
أيُّما إمرأة نكحت نفسها بغير إذن وليّها فنكاحها
باطل فنكاحها باطل فنكاحها باطل فإن دخل بها فلها المهر بما استحلَّ من فرجها فا اشتجروا
فالسلطان وليّ من لا وليَّ له (رواه الترمذي , أبن ماجه, وأبو داود)
Perempuan manapun yang
menikahkan dirinya tanpa izain walinya maka pernikahannya batal, pernikahannya
batal, pernikahannya batal. Apabila sang suami telah mencampurinya, maka dia
berhak untuk mendapatkan mahar berdasarkan apa yang telah dihalalkan oleh sang
suami dari kemaluannya. Dan apabila para wali bersengketa (menolak untuk
menikahkan), maka penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali (HR.
Tarmizi, Ibn Majah, dan Abu Daud)
Urutan
wali nikah menurut Imam Syafi’i adalah ayah, kakek dari pihak ayah, saudara
laki-laki kandung, saudara laki-laki se-ayah, anak, paman (saudara ayah), anak
paman. Bila walinya tidak ada, maka perwalian pindah ke tangan hakim (Muhammad
Jawad Mughniyah, 2008: 347). Adapun
syarat wali adalah merdeka, baligh berakal, Islam, dan adil (bukan fasiq)
(Sayyid Sabiq, 2008:439)
3. Saksi
Nikah
Imam
Syafi’i, Hanafi dan Hambali sepakat bahwa nikah tidak shah tanpa adanya saksi.
Tetapi Imam Hanafi tidak mensyaratkan saksi yang adil. Sedangkan Imam Maliki
berpandangan bahwa saksi hukumnya tidak wajib dalam akad, tetapi wajib untuk
percampuran suami terhadap istrinya (Akad sah tanpa dihadiri saksi, namun jika
suami ingin mencampuri istrinya, maka ia wajib mendatangkan saksi bahwa ia
telah menikah dan akan mencampur istrinya, jika tidak dilakukan, maka nikah
tersebut harus dibatalkan secara paksa dengan kedudukannya sama dengan talak
ba’in).[ii]
4. Mahar
Mahar
adalah salah satu dari hak istri dari suamniya. Mahar terbagi kepada dua macam.
Yaitu mahar musamma, dan mahar mitsil. Mahar musamma adalah mahar yang
disepakati oleh pengntin laki-laki dan perempuan yang disebutkan dalam redaksi
akad. Sedangkan mahar mitsil adalah mahar yang tidak disebutkan dalam akad.
Menurut Imam Hanafi, mahar mitsil ditetapkan berdasarkan keadaan wanita yang
serupa dari pihak ayah bukan dari pihak ibu. Tetapi menurut Maliki, mahar
tersebut ditetapkan berdasarkan keadaan wanita tersebut, baik fisik maupun
moralnya. Sedangkan Syafi’i menetapkan berdasarkan mahar dari mahar anggota
keluarga seperti mahar istri istri saudara dan paman, mahar saudara perempuan,
dan seterusnya. Sementara Hambali penentuan mahar mitsil didasarkan kepada
mahar wanita-wanita yang menjadi kerabat wanita tersebut, misalnya ibu dan
bibi. Sedangkan Syi’ah berpatokan kepada ‘urf adat kebiasaan satu
masyarakat dengan syarat tidak melebihi jumlah 500 dirham (Muhammad Jawad
Mughniyah, 2008: 364-368).
5. Akad
(Ijab Qabul)
Akad
[iii] menurut Imam Hanafi boleh
dilakukan dengan segala redaksi yang menunjukkan maksud menikah, bahkan
sekalipun dengan lafazd al-tamlik, al-hibah dan lain-lain. Sedangkan
Maliki dan Hambali berpendapat bahwa nikah dianggap sah jika menggunakan lafazh
al-nikah dan al-zawaj serta lafal-lafal bentukannya. Sementara
imam Syafi’i berpendapat bahwa redaksi akad nikah dianggap sah jika menggunakan
lafazh al-nikah dan al-zawaj saja, tidak boleh yang lain
(Muhammad Jawad Mughniyah, 2008: 309-311).
Menurut
Imam Syafi’i, Hambali, dan Syi’ah, disyaratkan kesegeraan dalam akad nikah
(ijab qabul) dan tidak terpisah oleh perkataan lain. Sementara itu, Maliki
berpendapat bahwa pemisahan sekedarnya antara ijab dan qabul misalnya khutbah
nikah yang pendek dan sejenisnya tidak apa-apa. Sedangkan mazhab Hanafi tidak
mensyaratkan kesegeraan. Seluruh mazhab juga sepakat bahwa boleh akad dengan
menggunakan bahasa non Arab (Muhammad Jawad Mughniyah, 2008: 311-312).
B. Wanita
yang Haram dinikahi
Quraish Shihab (2007: 193-195) sebagaimana
dikutip Ahmad Rivauzi (2015: 354) memaparkan, Al-Quran mengatur tentang siapa-siapa saja
perempuan yang boleh dinikahi. Secara umum, al-Quran membolehkan menikahi
perempuan yang disukai dengan berbagai kriteria.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى
فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ
تَعُولُواْ
Dan jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa’, 4: 3)
Rasulullah juga memberikan arahan agar pernikahan lebih
didasarkan atas pertimbangan agama sebagaimana sabdanya:
تنكح المرأة لأربع لما لها ولحسابها ولجمالها ولدينها
فاظفر بذات الدين تربت يداك (أخرجه الخمسة عن ابي هريرة)
Biasanya perempuan dinikahi
karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya,
dan karena agamanya. Maka pilihlah yang beragama karena jika tidak maka engkau
akan sengsara (Diriwayatkan melalui Abu Hurairah)
Selanjutnya al-Quran juga memberikan ketentuan bahwa
orang baik-baik sepantasnya dinikahkan dengan orang baik-baik juga begitu juga
sebaliknya. Allah berfirman:
الزَّانِي لَا يَنكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً
وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ
Laki-laki yang berzina tidak
mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan
perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang
mu'min. (QS. An-Nur, 24:3)
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ
وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُوْلَئِكَ مُبَرَّؤُونَ
مِمَّا يَقُولُونَ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
Wanita-wanita yang keji
adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat
wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik
(pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka
(yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga). (QS.
An-Nur, 24:26)
Selanjutnya Al-Quran menjelaskan siapa-siapa saja
perempuan yang haram dinikahi sebagaimana dijelas oleh Allah sebagai berikut:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ
نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي
دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ
الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً ,
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
كِتَابَ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم
مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُم بِهِ مِن بَعْدِ
الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيماً حَكِيماً
Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu
yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa
kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang, dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,
kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai
ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu)
mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka
isteri-isteri yang telah kamu ni`mati (campuri) di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah
mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah
menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(QS. An-Nisa’, 4:23-24)
C. Nikah
Beda Agama
Ahmad Rivauzi (2015:
357) menjelaskan, terdapat
beberapa ayat al-Quran yang berbicara tentang perkawinan beda agama ini. Di
antaranya adalah ayat-ayat yang membolehkan umat Islam untuk menikahi ahli
kitab sebagaimana dikemukakan di bawah ini:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ
الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ
إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي
أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ
مِنَ الْخَاسِرِينَ
Pada hari ini dihalalkan
bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab
itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan
mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk
orang-orang merugi.(QS. Al-Maidah, 5:5)
Menurut
Quraish Shihab, orang-orang non muslim terbagi kepada dua kategori yaitu ahli
kitab, dan musyrik. Dalam hal orang-orang yang terkategori ahli kitab yang
boleh dinikahi sebagaimana dijelaskan dalam al-Maidah (5:5), adalah
perempuan-perempuan ahli kitab yang terhormat yang selalu menjaga kesuciannya,
dan sangat menghormati serta mengagungkan kitab suci. Hal ini dipahami dari
kata-kata utuw yang selalu digunakan untuk al-Quran untuk menjelaskan
pemberian agung dan terhormat seperti ilmu atau kitab suci. Kata-kata utuw
terulang dalam al-Quran sebanyak 32 kali (Quraish Shihab, 2007: 197). Dapat dipahami berdasarkan keterangan ini
bahwa yang terkategori ahli kitab adalah orang-orang non muslin yang masih
konsisten dengan ajaran-ajaran kitab suci yang diturunkan Allah kepada
Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad (Ahmad Rivauzi, 2015: 357-358).
Muhammad Syaltut (1959: 253) sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab (2007: 198) menjelaskan bahwa pendapat para ulama yang membolehkan (menikahi ahli kitab) itu berdasarkan kaidah syar’iyyah yang normal, yaitu bahwa suami memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap istri, serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap keluarga dan anak-anak. Laki-laki dibolehkan menikahi ahli kitab agar perkawinan itu membawa misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga terkikis dari hati istrinya rasa tidak senangnya terhadap Islam. Dengan perlakuan suaminya yang yang baik, sang istri dapat mengenal keindahan dan ketumaan Islam. Namun Muhammad Syaltut juga menegaskan bahwa kalau apa yang dilukiskan ini tidak terpenuhi, maka ulama sepakat untuk mengharamkan menikahi non muslim (Ahmad Rivauzi, 2015:358).
Muhammad Syaltut (1959: 253) sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab (2007: 198) menjelaskan bahwa pendapat para ulama yang membolehkan (menikahi ahli kitab) itu berdasarkan kaidah syar’iyyah yang normal, yaitu bahwa suami memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap istri, serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap keluarga dan anak-anak. Laki-laki dibolehkan menikahi ahli kitab agar perkawinan itu membawa misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga terkikis dari hati istrinya rasa tidak senangnya terhadap Islam. Dengan perlakuan suaminya yang yang baik, sang istri dapat mengenal keindahan dan ketumaan Islam. Namun Muhammad Syaltut juga menegaskan bahwa kalau apa yang dilukiskan ini tidak terpenuhi, maka ulama sepakat untuk mengharamkan menikahi non muslim (Ahmad Rivauzi, 2015:358).
Quraish Shihab (2007: 196) juga menjelaskan bahwa para
ulama juga ada yang berpendapat bahwa hukum kebolehan menikahi ahli kitab (QS
Al-Maidah, 5:5) juga telah dihapuskan oleh ayat (QS. Al-Baqarah, 2:221) sebagai
berikut:
وَلاَ تَنكِحُواْ الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
وَلأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنكِحُواْ
الْمُشِرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُواْ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ
أَعْجَبَكُمْ أُوْلَـئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللّهُ يَدْعُوَ إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Dan janganlah kamu nikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak
ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS
Al-Baqarah, 2:221)
Bahkan sahabat Nabi Abdullah Ibnu Umar sebagaimana
diungkap Quraish Shihab (2007) mengatakan bahwa tidak ada kesyirikan yang lebih
besar dari kemusyrikan yang menjadikan Isa sebagai Tuhan atau menjadikan
manusia lain sebagai Tuhan.
لا أعرف شيئا الا شراك اعظم من أن تقول المرأة ربها
عيسى أو عبد من عباد الله
Saya tidak mengetahui
kemusyrikan yang lebih besar dari kemusyrikan seseorang yang menyatakan bahwa
Tuhannya adalah Isa atau salah seorang dari hamba Allah yang lain sebagai
Tuhan.
Berdasarkan keterangan di
atas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda agama dilarang oleh Allah dan
hukumnya adalah haram. Hukum keharaman tersebut akan berubah menjadi boleh jika
orang-orang non muslim tersebut sudak membuktikan keimanan mereka kepada Allah
dan pengakuan iman mereka tersebut memang betul-betul lahir dari lubuk hati
mereka, bukan iman karena alasan yang didasar oleh keinginanan menikah semata
(Ahmad Rivauzi, 2015: 359-360).
Larangan nikah beda agama ini
pada dasarnya lebih ditujukan agar rumah tangga yang dibangun dapat
mengantarkan kepada kehidupan yang baik, mawaddah dan rahmah.
Jika sebuah rumah tangga tidak dibangun atas kesamaan keyakinan yang kokoh
kepada keesaan Allah, maka rumah tangga yang dibangun tersebut dibangun di atas
pondasi yang rapuh (Ahmad Rivauzi, 2015: 360).
D. Nikah
Perempuan yang Berzina
Menurut Jumhur ulama seperti ditulis al-Syaukani dalam
Nailul Authar, tt: 282) sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015:360), wanita yang telah berzina, baik sedang hamil
karena perzinaan tersebut atau tidak hamil, boleh dan sah dinikahi oleh
laki-laki yang menzinainya. Ali bin Abi Thalib, Ibn Abbas, Ibn Umar, Jabir dan
ulama di kalangan tabi’in seperti Sa’id Ibn Musayyab, Urwah dan Zuhri, serta
kalangan ulama sesudahnya seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Rabi’ah, Abi Tsaur
dan lainnya berpendapat bahwa wanita yang berzina boleh dinikahi oleh laki-laki
yang menzinainya (Hamdan Rasyid, 2009:202-203). Di antara dasarnya adalah:
الزَّانِي لَا يَنكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً
وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ
Laki-laki yang berzina tidak
mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan
perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang
mu'min. (QS. An-Nur, 24: 3)
Hamdan
Rasyid (2009: 203-209) menjelaskan, jika yang menikahi wanita pezina dan hamil
tersebut bukan laki-laki yang menghamilinya, namun laki-laki yang lain, maka
nikahnya tidak sah, kecuali setelah wanita tersebut melahirkan.Sedangkan
menurut Imam Hanafi, wanita hamil karena zina tersebut boleh dinikahi oleh
laki-laki lain, tetapi hukumnya makruh dan laki-laki tersebut tidak boleh
menggaulinya sampai ia melahirkan. Adapun Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita
yang hamil karena zina boleh dinikahi oleh laki-laki yang bukan menghamilinya
dan boleh menggaulinya setelah akad. Kebolehan menikahi wanita yang hamil
karena zina oleh laki-laki yang menghamilinya atau laki-laki lain didasarkan karena
anak yang dikandung oleh perempuan tersebut tidak bernasab kecuali kepada
ibunya. Dengan telah diketahuinya wanita tersebut hamil, maka jika digauli
sekalipun oleh laki-laki yang bukan menghamilinya, maka tidak akan terjadi
percampuran sperma karena wanita tersebut sudah jelas hamil karena perzinaan.
Wanita yang hamil karena zina tidak memiliki iddah, karena yang memiliki iddah
sebagaimana disebutkan Allah dalam Surat An-Nisa’ ayat 22-24 dan Surat
al-Thalaq ayat , adalah wanita yang
hamil yang statusnya budak atau wanita yang ditalak dan hamilnya karena
hubungan pergaulan suami istri yang dikikat oleh perkawinan yang sah secara
syar’i, bukan akibat perzinaan (Ahmad Rivauzi, 2015:361).
Yang
penting diperhatikan adalah jika anak yang terlahir akibat perzinaan itu
berjenis kelamin perempuan. Ketika anak perempuan tersebut telah dewasa dan
ingin menikah, maka yang berhak menjadi wali nikahnya Cuma wali hakim, tidak
boleh yang lain. Laki-laki yang
menghamili ibunya secara zina tidak boleh menjadi wali nikahnya karena anak
perempuan tersebut tidak bernasab kepadanya, tetapi kepada ibunya, walaupun
kemudian ibu anak perempuan tersebut dinikahi oleh laki-laki yang menghamili
ibunya tersebut (Ahmad Rivauzi, 2015:361) . Hal ini didasarkan kepada Hadits:
“Anak (hubungan nasab) itu bagi suami (yang
menikah secara sah). Sedang bagi pelaku zina, memperoleh hukuman rajam”
(dilempari batu) (HR. Abu Daud) (Muhammad
Syamsu al-Haq al-‘Adzim, 1979: 281)
Sumber:
Ahmad
Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman: Memahami Universalitas Islam untuk
Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin,
(Ciputat: Sakata Cendikia, 2015), Cet. I
[i]
Sementara itu, menurut Imam Hanafi, Abu Yusuf dan mayoritas Imam Syi’ah, wanita yang telah
baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri suaminya dan boleh pula
melakukan akad nikah sendiri, baik ia perawan maupun janda. Tidak ada
seorangpun yang mempunyai wewenang atas dirinya atau menentang pilihannya,
dengan syarat, orang yang dipilihnya itu sekufu (sepadan; agama, merdeka,
keahlian, nasab) dengannya dan maharnya tidak kurang dari mahar mitsil. Jika
laki-lakiyang dipilihnya tidak sekufu, maka walinya boleh menentangnya,
dan meminta kepada qadhi untuk membatalkan nikahnya. Lihat Abu Zahrah, al-Akhwal
al-Syakhshiyyah dan Muhammad Jawad
Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, diterjemahkan dari judul aslinya al-Fiqh ‘ala
al-Mazhahib al-Khamsah oleh Masykur A.B. dkk (Jakarta: Penerbit Lentera, 2008)
cet. XXII, h.345-346. Lihat juga, Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, diterjemahkan
dari judul aslinya Fiqhus Sunnah
oleh Moh. Abidin, dkk. (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008), Cet. I, Jilid 2, h. 441
[ii]
Menurut Syi’ah, kesaksian dalam perkawinan hukumnya adalah istihbab (dianjurkan,
bukan diwajibkan). Baca, Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab,
diterjemahkan dari judul aslinya al-Fiqh ‘ala al-Mazhahib al-Khamsah oleh Masykur
A.B. dkk (Jakarta: Penerbit Lentera, 2008) cet. XXII, h.313-314
[iii] Keempat mazhab sepakat bahwa akad yang
dilakukan secara main-main mengikat dan mengesahkan perkawinan. Jadi kalau ada
seorang perempuan berkata kepada seorang laki-laki, “saya nikahkan diriku
kepadamu,” dan silaki-laki menjawab, “saya terima akad nikah kepadamu” , maka
terjadilah pernikahan walaupun dilakukan dengan main-main.
ثلاث جدُّ هُنَّ جِدٌّ وهَزَ لُهُنَّ جِدٌّ الزواج والطلاق والعتق
Ada tiga hal yang bila dilakukan dengan sungguh-sungguh, dia
dianggap sungguh-sungguh, dan bila ia dilakukan dengan main-main, maka ia
dianggap sungguh-sungguh. Yaitu perkawinan, thalaq, dan memerdekakan sahaya.
Menurut hukum
asalnya, ijab itu datangnya dari pengantin perempuan, sedangkan qabul
dari pengantin laki-laki. Pengantin Wanita mengatakan ” Saya nikahkan diriku
kepadamu”, lalu pengantin laki-laki menjawab, “Saya terima nikah denganmu”.
Baca, Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab,
diterjemahkan dari judul aslinya al-Fiqh ‘ala al-Mazhahib al-Khamsah oleh
Masykur A.B. dkk (Jakarta: Penerbit Lentera, 2008) cet. XXII, h.316 dan 313
Langganan:
Postingan (Atom)