Sabtu, 14 Juli 2018

MAKNA BATIN YANG TERKANDUNG DALAM SHALAT


MAKNA BATIN YANG TERKANDUNG DALAM SHALAT
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA
Secara harfiah, shalat (jamaknya shalawat) berarti rahmat, doa, permohonan ampun, dan tasbih. Jika yang shalat dikaitkan dengan perbuatan Allah, maka artinya adalah rahmat, jika dikaikan dengan malikat maka artinya adalah permohonan ampun, jika dikaitkan kepada manusia maka artinya adalah memohon rahmat atau doa, dan jika dikaitkan dengan makhluk lain seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan maka artinya adalah tasbih (Yunasril Ali, 2009: 73-74).
            Di dalam al-Quran terdapat 99 ayat yang menyebut tentang shalat. Hal ini menunjukkan besarnya makna dan hikmah yang tersimpan di dalam shalat. Ayat-ayat tersebut berbicara tentang perintah shalat, bahaya jika tidak mendirikan shalat serta mamfaat shalat untuk kehidupan seorang muslim (Ahmad Rivauzi, 2015:124-125).
Hilmi al-Khuli (2007:87-95) sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015:125-126) menulis pandangan dan temuan ilmiah ilmuan dan pakar kedokteran Barat tentang dampak dan mamfaat shalat untuk kesehatan baik jasmani dan ruhani. Di antara pendapat dan komentar ilmuan Barat tersebut dikutip dan di paparkan di bawah ini:
1.    August Sevateille seorang ilmuan Parancis. Dia mengatakan,
“sekarang kita mampu menyimpulkan hakikat (asal) tentang agama dan mendefinisikannya; yaitu jalinan hubungan yang disadari dan dikehendaki oleh jiwa (ruh), dengan Zat Yang Maha Kuasa. Jiwa itu menyadari bahwa kemampuan berada dalam kendali Yang Kuasa. Shalat adalah keyakinan agama pada saat melakukannya. Shalat adalah agama yang benar. Agama menjadi kebiasaan hidup karena merupakan amalan yang penting dalam kehidupan. Dengan amalan tersebut seseorang berusaha menyelamatkan diri dari kerusakan dengan berlindung kepada Zat Yang Kuasa. Amalan inilah yang disebut dengan shalat. Shalat yang saya maksud, bukanlah mengucapkan kata-kata atau mengulang-ngulang kalimat. Tetapi shalat adalah gerakan yang dilakukan oleh seseorang untuk melakukan bhubungan pribadi dan komunikasi langsung dengan Zat Yang Maha Ghaib, yang diyakini ada-Nya oleh manusia. bahkan ada-Nya lbih dahulu, sebelum manusia memberi-Nya nama. Jika tidak hubungan batin ini, maka tidak ada agama.”
2.    Dr. Alexis Carel, seorang pemenang hadiah nobel dalam bidang kedokteran, dan Direktur Riset pada Rockefeller Foundation Amerika, memberikan pernyataan sebagai berikut,
“Shalat memunculkan aktivitas pada perangkat tubuh dan anggota tubuh. Bahkan sebagai sumber aktivitas terbesar yang dikenal saat ini. Sebagai seorang         dokter, saya melihat banyak pasien yang gagal dalam pengobatan, dan dokter tidak mampu mengobatinya. Lalu, ketika pasien-pasien membiasakan shalat justru penyakit mereka hilang. Sesungguhnya shalat bagaikan tambang Radium yang menyalurkan sinar dan melahirkan kekuatan diri... Kita harus memahami bahwa shalat bukan sekedar mekanisme bacaan untuk doa-doa, tetapi shalat adalah meditasi suci, di maana manusia merasakan kehadiran Allah dalam shalat, sebagaimana ia merasakan panasnya cahaya matahari, atau merasakan kelembutan seorang sahabat. Di dalam shalat, manusia menghadapkan dirinya kepada Allah, berdiri dihadapan Allah seakan lembaran kain putih di hadapan seorang pelukis, atau sepotong batu pualam di hadapan seorang pemahat. Shalat menciptakan fenomena yang mencengangkan, mendatangkan kemukjizatan. Saya benar-benar melihat efek shalat pada kondisi sakit, karena banyak pasien yang sembuh dengan shalat, setelah menderita berbagai penyakit seperti tuberculosis, radang tulang, kaker, luka membusuk, dan lain-lain”.
Segi-segi aktivitas kejiwaan memberikan perubahan anatomy (fungsi) pada jaringan dan anggota tubuh secara seimbang. Fenomena organik ini dapat dilihat pada kondisi yang sangat berbeda, yang telah dibuktikan oleh aktivitas shalat...”.
3.    Dr. Edwind Frederick Pourz, seorang profesr dalam bidang penyakit syaraf di Amerika Serikat, menyatakan:
“Menyembuhkan berbagai penyakit menular dalam tempo yang cepat, sulit dilakukan dalam tempo yang cepat pula. Namun dengan tidak mempedulikan terhadap semua kemukjizatan pengobatan yang ada di dunia ini, masih banyak kemukjizatan lain untuk menyembuhkan penyakit pincang, lumpuh, buta yang tidak dapt disembuhkan oleh obat dokter, operasi atau psikiater. Bahkan ada ribuan kasus yang belum bisa ditangani oleh dokter terkenal atau dokter yang pandai sekalipun, tetapi justru penyembuhannya melalui kemukjizatan shalat”.
            Berdasarkan beberapa pernyataan di atas, maka nampak bahwa shalat yang dilakukan dengan baik, jasmani dan ruhani memberikan mamfaat yang sangat besar terhadap kesehatan (Ahmad Rivauzi,  2015:127). Menurut Abdullah Coleem, yang masuk Islam karena shalat, dan telah mengislamkan banyak orang, aspek shalat jama’ah memberikan kesan luar biasa pada orang yang melihat, serta memberikan kekhusu’an terhadap orang yang shalat. Semuanya akan memberikan pengaruh secara langsung maupun tidak langsung kepada sehatnya jiwa dan fisik manusia (Hili al-Khuli, 2007: 95)
            Prof. Ahmad Muhammad Marzuq, pakar olah raga Mesir mengatakan, di antara mamfaat shalat adalah bahwa shalat merupakan olah raga yang cocok untuk otot-otot dan persendian-persendian tubuh. Gerakan shalat sebagai olah raga lebih pas dan lebih sesuai untuk segala usia dan jenis kelamin (Hilmi al-Khuli, 2007: 105).
            Hilmi al-Khuli (2007:108-109) mengutip pernyataan Dr. As-Sayyid al-Jumaili yang mengatakan bahwa tubuh manusia terbentuk dari tulang, persendian, otot daging, nadi darah, urat dan syaraf. Semuanya membutuhkan pelumasan setiap hari dengan cara digerakkan. Tersendatnya urat kedua kaki, bisul pada pungung terdapat pada orang-orang yang kebanyakan istirahat. Otot pada tubuh manusia berjumlah ratusan, sedangkan urat syaraf banyak tersebar membentuk jaringan dan bercabang-cabang sebagaimana jaringan listrik. Jumlah tulang pada manusia mencapai 360 tulang. Dalam hal ini, shalat merupakan olah raga fisik istimewa yang menggerakkan persendian, otot, dan mengaktifkan aliran darah (Ahmad Rivauzi, 2015:127).[i]
            Hilmi al-Khuli (2007: 119) memaparkan bahwa shalat juga dapat mencegah faktor penyebab penyakit vaises. Hal ini dikarenakan, pertama,  gerakan shalat mampu memperkecil tekanan pada dinding-dinding yang lemah pada urat-urat kaki bgian luar, kedua shalat dapat mengaktifkan kerja pemompaan urat-urat bagian samping sehingga meringankan tekanan pada urat-urat bagian luar, dan ketig shalat dapat memperkuat dinding-dinding urat yang lemah melalui peningkatan kemampuan zat-zat makanan pembangun tubuh dalam kaitannya dengan pembentukan organ-organ seluruh tubuh oleh zat-zat makanan (Ahmad Rivauzi, 2015:128).
            Di samping dampak shalat yang sangat besar terhadap kesehatan, menurut Henry Corbin (1981:260), dikutip Yunasril Ali (2009: 74-75), para sufi juga memiliki tafsiran esoteris berkaitan dengan segala gerak shalat. Bagi para sufi, gerak pemujaan yang ditampilkan dalam shalat masing-masingnya mewakili gerak pemujaan makhluk kepada Tuhan. Sujud berkaitan dengan sikap tumbuh-tumbuhan, rukuk dengan sikap hewan, dan sikap tegak adalah sikap manusia. Manusia dengan gerakan shalatnya mewakili seluruh bentuk pemujaan makhluk-makhluk Allah (Ahmad Rivauzi, 2015:128). 
            Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi (w. 378 H/ 988 M) dalam al-Luma (1960:203) sebagaimana dikutip Yunasril Ali juga mengartikan shalat dengan menghubungkannya dengan makna wushlah yang berarti hubungan, pertemuan, atau bersatunya hamba dengan Tuhan. Shalat diartikan sebagai hubungan karena ia merupakan sarana bagi manusia untuk berhubungan, bertemu, dan bahkan bersatu secara spiritual dan langsung dengan Allah (Yunasril Ali, 2009: 75).
            Yunasril Ali (2009: 76-82) menggambarkan hubungan antara Allah dan hamba-Nya dalam shalat. Dikatakan bahwa Allah menciptakan makhluk karena kerinduan Allah yang azali. Allah rindu ntuk dikenal dari luar diri-Nya. Allah menciptakan makhluk agar dapat mengenali-Nya (Ahmad Rivauzi, 2015:129). Dalam sebuah Hadits Qudsi disebutkan:
كنت كنزا مخفيًّا فأحببت أن أُعرف فخلقت الخلق فَبي عَرَفوني
Aku adalah perbendaharaan terpendam, maka Aku rindu agar dapat dikenali, maka Aku ciptakan makhluk, maka dengan Aku (bantuan Aku), mereka mengenaliku.[ii]
            Hadits Qudsi di atas menjelaskan bahwa manusia tidak akan mampu mengenal Allah dengan sempurna. Hanya manusia yang menjadikan shalat sebagai sarana untuk memohon rahmat Allah dan atas rahmat serta pertolongan Allah, maka manusia dapat mengenal dan berhubungan dengan Allah karena “shalat adalah mi’rajnya orang yang beriman”  (Al-Hujwiri, 1992: 271).
            Yunasril Ali (2009: 77-79) menjelaskan, melalui shalat, manusia melepaskan dirinya dari belenggu hawa nafsu duniawi, melepaskan segala daya material, dan dengan ruh yang suci manusia dapat mi’raj ke haribaan Allah sehingga tercapai musyahadah (penyaksian) di hadapan Allah. Yunasril Ali menambahkan bahwa dalam shalat yang sempurna, maka segenap daya pikir terputus dari alam material dan panca indra melepaskan diri dari segala peristiwa yang mengitarinya sehingga elektron-elektron pikiran berhenti berputar dan kembali menjadi ether yang dilepaskan ruhani. Dan juga saraf indrawi tidak mengantarkan getaran listrik yang datang dari panca indra. Dalam shalat, daya ruhani menjelma menjadi nur (cahaya). Cahaya batin (ruhani) ini yang mampu kembali ke pangkalannya yaitu cahaya Allah sehingga menimbulkan kekuatan yang dahsyat melebihi kekuatan jasmani. Cahaya-cahaya material, seperti cahaya matahari, cahaya bulan dan lain sebagainya hanya mampu menerangi dunia material yang dengannya indra jasmani manusia dapat melihat. Cahaya material ini hanyalah cahaya idhafi (fenomenal), yang hanya memancar atas ketentan serta kehendak dan izin Allah. Lain halnya dengan cahaya Allah yang merupakan cahaya hakiki dengan daya yang tidak terbatas ruang dan waktu. Seseorang yang mendekati cahaya Allah dengan ubudiyah maka ia akan mendapatkan penerangan mata batin (bashirah) sehingga ia mampu membedakan antara kebenaran dengan kebathilan, kebaikan dan keburukan, bahkan pantulan cahaya tersebut akan mengimbas pada tubuh lahir sehingga cahaya tersebut mampu pula memberikan sinar kepada alam sekitarnya. Cahaya Allah hanya dapat dicapai dengan mujahadah ibadah kepada Allah Swt (Ahmad Rivauzi, 2015:129-130).
            Allah berfirman:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ مُّبَارَكَةٍ زَيْتُونِةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُّورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَن يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. An-Nur, 24: 35)
Shalat harus dilakukan pada waktu yang telah ditentukan. Waktu secara harfiah berarti al-waqt yang berarti batasan sesuatu, baik dalam pengertian esensi maupun masa (Yunasril Ali, 2009: 82). Allah Swt berfirmn,
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَاذْكُرُواْ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنتُمْ فَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَّوْقُوتاً
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS An-Nisa’, 4:103)
Menurut Dawut al-Fathani (1991) dalam Yunasril Ali (2009), sebagian ahli hikmah mengaitkan tentang ketetapan lima waktu shalat dan jumlah rakaat shalat dengan peristiwa historis yang dialami oleh para Nabi dan Rasul. Waktu shalat shubuh memiliki hubungan historis dengan peristiwa turunnya Nabi Adam a.s dari surga pada saat kegelapan, kemudian muncul cahaya fajar waktu subuh yang membawa kegembiraan pada Adam. Jumlah rakaatnya dua yang dikaitkan dengan syukur Nabi Adam atas dua hal yaitu terbebasnya dari kegelapan dan syukur atas nikmatnya cahaya siang. Waktu shalat zhuhur berkaitan dengan peristiwa pengorbanan Nabi Ismael oleh Nabi Ibrahim yang terjadi pada waktu tergelincirnya matahari. Rakaat shalat zhuhur empat yang dikaitkan dengan syukur Nabi Ibrahim atas empat hal, yaitu syukur atas tebusan pengorbanan, hilangnya duka cita, munculnya tebusan, dan diterimanya pengorbanan Ibrahim. Waktu shalat ‘asar dikaitkan dengan peristiwa keluarnya Nabi Yunus dari perut ikan yang terjadi pada saat ‘asar. Jumlah rakaat shalat asar empat rakaat yang dikaitkan dengan syukur Nabi Yunus atas empat hal yaitu terbebasnya dari gelapnya kesalahan, terbebas dari gelapnya samudera, terbebas dai kegelapan malam, dan terbebasnya dari kegelapan perut ikan. Waktu shalat magrib dikaitkan dengan peristiwa selamatnya Nabi Isa dari penyaliban yang terjadi saat matahari terbenam. Jumlah rakaat shalat magrib tiga rakaat yang dikaitkan dengan syukur Nabi Isa atas tiga hal yaitu kesuksesan dia dalam penyangkalan ketuhanan dirinya, sukses dalam menyangkal tuduhan berzina atas ibunya, dan kesuksesan dia dalam membuktikan keesaan Allah. Dan shalat isya dihubungkan dengan peristiwa selamatnya Nabi Musa bersama istrinya setelah tersesat di tengah padang pasir. Jumlah rakaat isya empat rakaat yang dikaitkan dengan sukur Nabi Musa atas empat hal, yaitu hilangnya kegelisahan istrinya, kegelisahan Harun saudaranya, hilangnya keraguan Firaun atas kemunculan Musa, dan hilangnya keraguan anak turunan Firaun bahwa Musa masih hidup dan masih berdakwah di jalan Allah (Ahmad Rivauzi, 2015:131-132).[iii]
Ibn ‘Arabi dalam Futuhat sebagaimana dikutip Yunasril (2009: 91-92) membagi kelima waktu shalat kepada tiga bagian. Yaitu, shalat di waktu siang, shalat di waktu malam, dan shalat di waktu siang-malam (barzakh). Shalat di waktu siang adalah zhuhur dan ‘asar, shalat di waktu malam adalah isya, dan shalat di waktu barzakh adalah magrib dan shubuh. Tiga waktu ini dikaitkan dengan tiga bagian alam; alam syahadah (nyata, kongkret, empiris), alam ghaib (abstrak, immateri), dan alam barzakh (batas antara dua alam) (Ahmad Rivauzi, 2015:132-133).
Pandangan Ibn ‘Arabi tersebut sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015:133) memaparkan, pertama, di waktu siang; Allah dengan nama-Nya al-Zhahir (Yang Mahanyata), tajalli (nyata) pada alam empiris, sehingga mushalli tenggelam pada hadhirat Allah dan melebur dalam salah satu asma-Nya, al-Zhahir.
Kedua, menurut Ibn ‘Arabi, waktu malam mengacu kepada alam ghaib, yaitu alam akal pikiran. Pada waktu malam, mushalli tenggelam dalam asma’ Allah al-Bathin. Dalam kegelapan dan kesunyian malam, akal pikiran terbebas dari belenggu material, dan ruhani mushalli menembus sekat-sekat alam empiris menuju hadhirat Allah yang al-Bathin (Yang Tersembunyi).
Ketiga, waktu barzkah adalah waktu pertemuan antara siang dan malam. Waktu shubuh adalah di ujung malam menjelang siang dan waktu maghrb adalah di ujung siang menuju malam. Waktu shubuh melambangkan tenggelamnya alam ghaib ke alam nyata, waktu maghrib melambangkan tenggelamnya alam nyata ke alam ghaib. Pada waktu siang mushalli menyaksikan tanda-tanda Ilahiyah secara empiris, dan pada waktu malam mushalli menyingkap hadhirat Allah dengan indrawi bathin.
Waktu barzakh melambangkan pentingnya penyatuan antara dua indrawi; empiris dan indera batin ini  untuk menyingkap dan hadir di hadirat Allah, al-Zhahir dan al-Bathin.
Jika ditinjau dari aspek kesehatan, waktu-waktu shalat yang ditentukan Allah untuk melaksanakan shalat pada waktunya juga sangat bermamfaat bagi manusia untuk terpeliharanya kesehatannya baik jasmani maupun ruhani. Abdul Rozaq Naufal menjelaskan bahwa pada waktu-waktu shalat adalah waktu yang paling pas untuk melakukan olah raga melalui shalat. Pada saat matahri belum terbit, udara masih dalam keadaan bersih. Pada saat udara yang masih bersih sangat dibutuhkan tubuh untuk berolah raga dalam shalat. Pada saat zuhur, tubuh butuh istirahat, sehingga melalui shalat seseorang bisa mendapat kebugaran. Pada saat asar, di saat manusia sudah hampir dapat menyelesaikan pekerjaannya dan berada dalam keadaan yang lelah, maka melalui shalat kebugaran bisa kembali didapatkan. Bigutu juga dengan waktu magrib dan isya, manusia sudah lelah dan letih dan bersiap untuk istirahat, maka pada saat ini manusia dapat memperoleh kebugaran badan dan melancarkan perearan darah melalui olah raga shalat (Hilmi al-Khuli, 2007: 127).
Dr. Zahir Qarami juga mengungkapkan hasil analisis medis tentang keutamaan melaksanakan shalat asar pada waktunya. Beliau mengatakan bahwa shalat asar dapat menghindarkan seseorang dari beberapa penyakit jiwa dan fisik. Shalat asar dapat menurunkan Hormon Adrenaline yang memuncak produksinya pada batas antara jam 15.00 sampai jam 16.00, yang dapat menimbulkan berbagai penyakit. Dalam penelitiannya ditemukan bahwa ketika manusia menghadapi kesulitan, dan tidak melakukan gerakan dan reaksi fisi, maka hal itu dapat menimbulkan penyakit jiwa dan fisik karena meningkatnya Hormon Adrenaline secara terus menerus. Ketika seseorang meninggalkan shalat asar pada waktunya, maka dapat menimbulkan beberapa penyakit jiwa mupun fisik seperti; tekanan darah, saraf jantung, kegemukan, lemah syahwat, keguguran, kelenjar thiroid, kesulitan datang bulan, migren, katarah, dan lain sebagainya. Qarami juga menegaskan bahwa shalat asar dapat menyembuhkan berbagai penyakit moderen. Qarami menambahkan bahwa terdapat dua hormon tubuh yang berperan untuk mengahadapi segala perubahan yang muncul pada tubuh karena pengaruh lingkungan atau kejiwaan yaitu Hormon Cortezon dan Adrenaline. Homon Adrenaline aktif dalam kondisi bergerak, semangat, dan lain-lain. Tempat keluarnya hormon ini adalah pada jaringan syaraf perut di atas kedua buah pinggang dan perangkat Simbawi di bawah pengendalian Hypotalamus. Waktu keluarnya hormon ini secara alami dalam jumlah yang sesuai, bermamfaat untuk mengaktifkan fisiologi. Hormon ini juga bisa keluar secara tidak alami dan tidak pada waktu yang tepat seperti ketika seseorang dalam kondisi tegang. Shalat asar dapat berfungsi mencegah penyakit-penyakit yang timbulkan oleh hormon ini (Hilmi al-Khuli, 2007: 128-132). Berkaitan dengan penjelasan Qarami ini, Allah juga berfirman:
حَافِظُواْ عَلَى الصَّلَوَاتِ والصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُواْ لِلّهِ قَانِتِينَ
Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu`. (QS. Al-Bawarah, 2: 238)
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang yang dimaksud dengan shalat wustha. Al-Qarami sebagaimana telah dijelaskan di atas, memahaminya dengan shalat asar.
Jalaluddin As-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahallyi menjelaskan dalam Tafsir Jalalain tentang QS. Al-Baqarah, 2:238) di atas:
 (Peliharalah semua salatmu), yakni yang lima waktu dengan mengerjakannya pada waktunya (dan salat wustha atau pertengahan). Ditemui beberapa pendapat, ada yang mengatakan salat asar, subuh, zuhur, asar atau selainnya dan disebutkan secara khusus karena keistimewaannya. (Jalaluddin As-Suyuthi dan Jalaluddin Muhammad Ibn Ahmad al-Mahallyi; Tafsir al-Jalalain)
Menghadap kiblat merupakan salah satu syarat shah shalat. Qiblat secara harfiah berarti arah, atau pusat pandangan. Dalam peristilahan agama Islam, kiblat bermakna arah berhadapnya seorang mushalli dalam shalatnya yaitu Ka’bah di Makkah. Kesatuan arah kiblat mengisyaratkan tauhid, bahwa hanya satu Tuhan yang di sembah yaitu Allah. Ka’bah adalah pusat bumi sehingga kesatuan arah dalam shalat melambangkan alam semesta berbaris teratur sujud akan keesaan Allah. Manusia adalah makhluk ruhani dan jasmani, sehingga arah kiblat dalam shalat juga memiliki dua makna, yaitu kiblat lahir dan kiblat batin. Kiblat lahir adalah Ka’bah, sedang kiblat bathin adalah Allah Swt.(Yunasril Ali, 2009: 116-123).
Ahmad Rivauzi (2015:136-148) menulis secara gamblang bahwa rukun dan gerakan shalat mengandung hikmah dan makna rahasia atau makna ruhani. Berikut dijelaskan makna ruhani atau makna rahasia yang terkandung dalam rukun shalat tersebut.
1.     Niat.
            Niat adalah ruhnya shalat. Niat (niyyah) berarti menyengaja, bermaksud untuk melakukan suatu tindakan. Niat adalah menyengaja sesuatu yang disertai dengan melakukannya (قصد شيئ مقترنا بفعله  ). Dalam fikih syafi’i, niat harus memenuhi tiga unsur yaitu qasd (menyengaja), ta’arudh (penentuan jenis shalat), dan ta’yin (penentuan jumlah rakaat). Niat pada hakikinya adalah amalan hati, namun sunnah hukumnya kalau dibaca (Yunasril Ali, 2009: 124)
            Dalam beragama, sesuatu akan dinilai ibadah oleh Allah jika niatnya adalah untuk beribadah. Dalam niat setiap ibadah yang termasuk di dalamnya shalat, maka memelihara kesucian niat untuk hanya mengharapkan rahmat dan redha Allah menjadi sangat penting. Allah berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS. Al-Bayyinah, 98: 5)
       Pada ayat lain Allah juga berfirman,
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الأَرْضِ وَلأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ , إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma`siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya,  kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka".( QS. Al-Hijr, 15: 39-40)
2.    Qiyam (berdiri )
            Qiyam secara harfiyah berarti berdiri tegak. Di dalam shalat, sikap qiyam disesuaikan dengan kondisi mushalli. Bagi orang yang sehat, maka posisi tegak berdiri adalah bentuk qiyamnya. Namun bagi orang yang sedang sakit, maka duduk dan berbaring merupakan bentuk qiyamnya.
            Qiyam di samping memiliki makna lahir, juga memiliki makna bathin. Makna batin tersebut adalah terdapatnya tiga tingkatan makna qiyam, yaitu, qa’im (berdiri) yang bermakna berdiri tegak penuh keikhlasan di hadapan Allah yang melambangkan kesiapan untuk memikul amanah dari Allah, qawwam (penegak, tiang, junjungan) yang bermakna kesiapan untuk menjadi penegak kebenaran agama Allah, dan  qayyum ( Maha Mandiri) yang bermakna tajallinya sifat qayyum Allah pada pribadi mushalli. Dengan ikhlas menerima dan melaksanakan amanah aturan agama Allah dengan penuh kesetiaan dan keikhlasan, maka akan lahir kekuatan yang aktif dalam diri seseorang untuk menjadi wakil Allah dalam penegakan kebenaran dan pada akhirnya, seorang mushalli akan melebur dalam sifat qayyum  Allah sehingga mushalli akan dikokohkan Allah dengan istiqamah, komitmen, dan berbagai kekuatan batiniyah (Yunasril Ali, 2009: 133-137)
            Jika ditinjau dari segi kesehatan, dalam posisi qiyan (berdiri) dalam shalat, seorang muslim berdiri tegak dan tidak kaku. Antara kaki (tulang kering) merenggang selebar jarak antara dua bahu. Tangan kanan memegang tangan kiri. Dalam posisi ini, otot yang berada di punggung memberi kesempatan kepada tulang punggung pada posisi lurus (Hilmi al-Khuli, 2007: 98). Ini jelas memberikan dampak yang sangat baik untuk kesehatan jasmani seseorang.
            Sagiran (2013:47-49) menjelaskan bahwa pada saat berdiri dalam shalat, terdapat beberapa unsur medis untuk kesehatan yaitu dengan posisi tegak berdiri dengan tumpuan berat badan yang merata akan membuat kompaksitas susunan tulang-tulang penyangga tumbuh menjadi rata yang bermamfaat terhadap resiko terjadinya patah tulang yang begitu mudah terjadi meski hanya dengan terpeleset di kamar mandi, turun tangga, dan lain-lain. Ditambah dengan terdapatnya titik-titik refleksi atau akupunktur pada telapak kaki akan bermamfaat untuk menstimulasi organ-organ dalam tubuh.
3.    Takbiratul Ihram
            Takbiratul ihram adalah ucapan takbir yang mengawali shalat, yang disertai dengan mengangkat tangan ke arah kiblat. Takbir mengandung makna penegasan kebesaran Allah dan juga mengandung makna sucinya Allah dari berbagai sifat kekurangan dan keterbatasan (Yunasril Ali, 2009: 138-139).
Ketika manusia (mushalli) telah membesarkan Allah, maka segala sesuatu selain Allah akan menjadi dan terasa kecil. Keyakinan dan membesarkan Allah akan membawa manusia untuk musyahadah (penyaksian) akan kebesaran, keagungan dan kesempurnaan Allah karena setiap tabir pembatas antara hamba dengan Allah akan terbuka ketika manusia bertakbir dan hanya membesarkan Allah.
Sagiran (2013: 51-53) beberapa memaparkan tinjauan medis tentang takbiratul ihram sebagai berikut:
a.    Seorang ahli psikologi Belanda, Prof. Vander Hoven (2002) membuktikan temuannya tentang pengaruh membaca al-Quran dan pengucapan berulang-ulang kata “Allah” baik pada pasien maupun pada orang normal. Kesimpulan temuannya adalah, muslim yang membaca al-Quran dengan teratur dapat mencegah penyakit-penyakit psikologis. Lebih lanjut Hoven menjelaskan bahwa setiap huruf dari kata “Allah” mempengaruhi penyembuhan psikologis. Secara fisiologis, pengucapan huruf “A” melapangkan sistem pernafasan, berfungsi mengontrol gerak nafas. Ketika mengucapkan “LLA”  sesuai dengan pengucapan Arab, akan membentuk ruang tetentu di rongga mulut. Dengan adanya jeda tertahan dalam pengucapannya akan menimbulkan pengaruh terhadap relaksasi pernafasan. Pada sa’at pengucapan “H” akan membuat kontak antara paru-paru dan jantung dan pada gilirannya kontak ini dapat mengontrol denyut jantung.
b.    Rongga dada melebar. Pada saat takbiratul ihram terjadi pelebaran rongga dada sehingga tekanan udara di dalam rongga mengecil dan memudahkan udara nafas masuk dengan cepat.
c.    Sekat rongga badan (diafragma) terlatih. Pada saat rangga dada melebar karena gerakan badan dalam bertakbir, pada saat yangbersamaan, juga diucapkan kalimat takbir. Untuk pengucapan satu kata, udara harus mengalir ke luar guna menggetarkan pita suara. Sehingga terjadi sinergisme yang rapi dan efektif dan berpengaruh terhadap fungsi-fungsi fisiologis lainnya.
d.    Pada saat takbir, ketiak dibuka. Ketiak adalah stasiun regional utama bagi peredaran limfe (getah bening) yang merupakan kumpulan dari keseluruhan anggota gerak bagian atas (tangan, lengan bawah, lengan atas, dan bahu). Sehingga takbir adalah gerakan “active pumping” yang sangat bermamfaat.  
4.    Tawjih dan doa iftitah
            Doa iftitah pada dasarnya merupakan tawajuh berhadapnya kesadaran batin dengan Allah. Doa iftitah pada umumnya memuat ungkapan yang membesarkan Allah, puji-pujian, tasbih dan doa-doa.
Menurut Ibn ‘Arabi sebagaimana dikutip Yunasril, kandungan makna doa-doa iftitah merupakan gambaran ahwal (keadaan ruhani) yang dicapai dalam perjalanan ruhani menuju Allah. Ahwal tersebut dimulai dari Allah (الله  من ) yang bermakna bahwa manusia berasal dari Allah dan manusia perlu menyadari bahwa hanya  Allah sebagai pusat kesadaran ruhani, dengan Allah (بالله    ) yang bermakna dengan Allah manusia memohon pertolongan, kepada Allah tujuan ( الي الله ) yang bermakna bahwa Allah adalah ghayah (tujuan) , bersama Allah ( مع الله ) yang bermakna bahwa Allah adalah selalu menyertai hamba-Nya, pada Allah ( في الله ) yang bermakna pada Allah tertuang harapan, bagi Allah (لله   ) yang bermakna karena Allah mushalli bertaqarrub, atas Allah ( علي الله  ) yang bermakna atas atau kepada Allah mushalli bertawakkal dan berpegang teguh (Unasril Ali, 2009: 147-149).
5.    Membaca al-Fatihah
            Al-Fatihah memiliki kandungan makna yang luas dan dalam. Ketika seorang mushalli membaca al-Fatihah, maka ia sedang berdialog dengan Allah. Dalam sebuah Hadits Qudsi dijelaskan:
“Aku telah membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku. Separuh darinya untuk-Ku dan separuh lagi untuk ham-Ku, dan hamba-Ku menerima apapun yang ia minta. Hamba berucap “Bismillahirrahmanirrahim”, Allah berfirman, “hamba-Ku telah berzikir kepada-Ku. Hamba berucap “alhamdulillahirabbil’alamin”, Allah berfirman, “Hamba-Ku telah memujiku”. Hamba berucap “ al-Rahman al-Rahim”¸Allah berfirman, “Hamba-Ku telah memuliyakan-Ku. Hamba berucap, “ Maliki yaumiddin”, Allah berfirman, “Hamba-Ku telah menyerahkan kepada-Ku”, Hamba berucap, “ Iyya ka na’budu wa iyyaka nasta’in”, Allah berfirman, “ini adalah antara diri-Ku dan hamba-Ku, dan hamba-Kuakan menerima apa yang ia minta. Ketika hamba berucap, “ihdina al-shiratha al-mustaqim, shiratha allazina an’amta ‘alaihim ghairilmaghdhubi ‘alaihim wala al-dhallin”, Allah berfirman, “ ini adalah untuk hamba-Ku dan hamba-Ku akan memperoleh apa yang ia minta” ( HR. Muslim)
6.    Rukuk
            Secara harfiah, ruku’ berarti tunduk. Secara  syara’, ruku’ dalam shalat adalah menundukkan kepala dan leher sejajar dengan punggung dan pantat, sementara tangan ditumpukan ke lutut dengan pandangan ke arah tempa sujud. Ruku’ merupakan bentuk ketundukan, kepatuhan, kepasrahan, kehinaan dan kefakiran diri di hadapan Allah. Bacaan tasbih yang dibaca dalam ruku’ mengandung makna pengagungan Allah. Menundukkan tubuh dan kepala di hadapan Allah mengandung arti penundukan hawa nafsu dan hasrat diri. Selama hawa nafsu tidak bisa ditundukkan, selama itu pula manusia  tidak bisa dan tidak mampu melaksanakan perintah Allah dengan baik.  Rukuk juga bermakna menundukkan keangkuhan dan kesombongan, menundukkan hasrat dan dorongan hawa nafsu, dan penyirnaan diri (fana) di hadapan Allah Sang Maha Agung (Yunasril Ali, 2009: 161-164).
            Ketika manusia sampai pada titik terendah penghambaan dirinya kepada Allah, pada saat yang sama ia menemukan awal titik baliknya menemukan gerbang Ketuhanan (Rububiyah). Rukuk adalah simbol simbol ketundukan dan kepatuhan kepada Allah dan merupakan jalan bagi ruhani untuk sampai kepada Allah. Puncak makna ruku’ yaitu ketundukan yang ikhlas dan sirna dalam keagungan Allah. Seseorang yang tunduk dan patuh secara ikhlas laksana sebuah bola yang dilemparkan ke dinding dan kemudian kembali ke titik awal (Yunasril Ali, 2009: 165-166).  Titik awal adalah ketundukan ikhlas adalah pasrah kepada qudrat dan iradah Allah, dan titik akhirnya adalah sirna dalam keagungan Allah.
Mamfaat rukuk untuk kesehatan sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Taufiq Ulwan. Ia menggambarkan posisi rukuk yang ideal; secara mudah hendaknya tubuh berubah dari posisi berdiri ke posisi badan membentuk sudut yang lurus dengan kedua kaki tetap berdiri. Posisi punggung kokoh, lurus, tidak loyo, dan tidak membungkuk. Posisi leher tetap sejajar dengan badan antara mengangkat dan menundukkan kepala (Hilmi al-Khuli, 2007: 99).
            Ketika seseorang rukuk, maka posisi jantung berada dalam satu garis horizontal dengan pembuluh darah tulang besar sebagai ganti dari letak asalnya dalam posisi yang lebih tinggi dari pada pembuluh darah tulang tersebut. Posisi rukuk ini akan memudahkan aliran darah untuk kembali ke jantung karena pengaruh aktivitas penarikan oleh urat-urat jantung. Sehingga jantung dapat leluasa menarik darah tanpa rintangan gaya gravitasi bumi (Hilmi al-Khuli, 2007: 120-121).
            Sagiran (2013: 54-55) menambahkan bahwa ketika seseorang rukuk, maka terjadi pengurangan kompresi antar ruas-ruas tulang belakang atau terjadi gerakan anti peradangan.
7.    I’tidal
            I’tidal adalah bangkit dari ruku’. I’tidal adalah kembali ke posisi qiyam. I’tidal harus disertai sikap tuma’ninah (diam sejenak) dalam keadaan berdiri. I’tidal mengandung makna tajdid al-iman ( pembaharuan iman). Maksudnya adalah memperbaharui keyakinan akan kebesaran Allah dan kehinaan diri yang telah dibangun dalam rukuk. Dalam i’tidal seseorang membangun kembali kesiapan untuk menerima tugas kehambaan diri kepada Allah dengan membangun kesadaran kebesaran Allah dengan memuji-Nya dan menyadari bahwa segala sesuatu adalah milik Allah (Yunasril Ali, 2009: 166-170).
            Dalam tinjauan kesehatan, i’tidal membantu menarik nafas yang dalam lalu diikuti mengeluarkan nafas tersebut dari arah yang berlawanan dengan kuat. Diafragma (sekat rongga badan antara dada dengan perut) kembali dalam posisi lebih tinggi. Rongga perut tertekan ke tempat yang lebih rendah, dada berada dalam posisi lebih tinggi dari desakan udara, sehingga mengurangi terpencarnya darah yang menuju dada. Aliran darah yang berada pada kedua kaki mempunyai kesempatan leluasa untuk berjalan cepat menuju rongga perut yang urat-uratnya sedang lunak dan siap untuk menerima darah yang tengah berjalan dari kaki menuju jantung (hilmi al-Khuli, 2007: 122-123)
8.    Sujud
            Sujud adalah simbol ketundukan dan pengakuan kehinaan diri yang dalam di hadapan Allah. Dalam sujud, mushalli harus menuundukkan kepala sampai menyentuh tanah (tempat sujud) sehingga posisi pantat lebih tinggi dari kepala. Sujud dalam shalat dilakukan dua kali berturut-turut. Al-Jawadi menuturkan asal dua sujud dalam shalat tersebut adalah brkaitan dengan peristiwa isra’ dan mi’raj Nabi Muhammad Saw. Dalam peristiwa tersebut dijelaskan bahwa Nabi Muhammad bersujud kepada Allah ketika beliau menyaksikan keagungan Allah. Saat mengangkat kepala dari sujudnya, beliau kembali memandang keagungan Allah sehingga beliau sujud sekali lagi (Yunasril Ali, 2009: 171-174).
            Sujud melambangkan siklus kehidupan manusia, yang berasal dari tanah, dikembalikan kepada tanah, dan akan dibangkitkan kembali dari tanah. Ketika mencium tanah saat sujud, manusia diingatkan bahwa asal wujud jasmaninya bukanlah dari sesuatu yang tinggi dan mulia, namun berasal dari sesuatu yang rendah (Yunasril Ali, 2009: 176-177). Kesadaran ini akan membawa mushalli untuk tidak membesarkan alam material karena semua materi berasal dari unsur yang sama yaitu tanah. Kesadaran akan kehinaan alam material akan membawa mushalli dapat memasuki kesadaran ruh untuk sirna dalam keagungan Allah. Sebaliknya, ketika manusia masih membesarkan dan memuliakan alam materi, maka pada saat itu juga manusia tidak mampu menyaksikan kebesaran dan keagunngan Allah.
Di tinjau dari segi kesehatan, sujud merupakan gerakan yang mamfaatnya meliputi banyak perangkat tubuh. Membengkokkan kedua lutut bermamfaat mencegah terjadinya kejang (kaku) pada kedua lutut. Membengkokkan badan ke depan dan meletakkan dahi pada tanah merupakan gerakan yang paling bermamfaat dalam proses pemijatan terhadap perut dan perangkat pencernaan, sehingga membantu proses pencernaan. Bagi wanita, gerakan sujud ini menempatkan rahim pada posisinya yang lami dan mencegah terjadinya kerusakan dan kelainan (Hilmi al-Khuli, 2007: 106-107)
Sujud juga dapat mencegah penumpukan minyak penyebab kegemukan di samping juga memperkuat otot perut, mencegah pengerutan serta pengendoran otot-otot tertentu pada perut. Sujud juga mampu mengaktifkan dan melancarkan aliran darah pada paru-paru dan kepala dan mengaktifkan perangkat pencernaan lain yang tidak dijangkau oleh gerakan rukuk (Hilmi al-Khuli, 2007: 111)
Gerakan turun dari berdiri menuju sujud, berdampak membangkitkan semua proses pemompaan darah oleh urat samping semaksimal dan seaktif mungkin, serta penuh keselarasan dan keseimbangan. Gerakan tersebut memompa pada urat kaki, menyemprot betis, menyemprot paha dari samping ke samping, juga menyemprot perut. Pengerutan otot-otot pada darah mempengaruhi diperasnya darah urat yang terdapat dalam jaringan darah menuju urat kecil dan diteruskan ke urat-urat besar (hilmi al-Khuli, 2007: 123).
Sagiran (2013: 57-58) juga menulis, sujud yang sempurna akan berpengaruh terhadap peredaran darah di otak. Elastisitas pembuluh darah merupakan faktor terpenting yang dapat mempertahankan tekanan darah. Pada akhirnya gerakan sujud akan menjadi gerakan anti strok. Strok terjadi bila terdapat sumbatan pada pembuluh darah atau pecah sehingga sebagian otak mengalami gangguan dan bisa berdampak pada kelumpuhan. Begitu juga posisi sujud dan rukuk juga berpengaruh terhadap organ-organ dalam menguatkan ikatan tergantungnya organ-organ tersebut pada dinding rongga tempat rongga itu berada. Secara anatomis terutama di dalam perut, argan dalam yang ada penggantungnya akan diperkuat dengan dilatihnya secara terus menerus dengan perubahan posisi berdiri, rukuk, san sujud.
9.    Duduk antara Dua Sujud
            Duduk antara dua sujud dilakukan dalam posisi iftirasy (bersimpuh). Posisi duduk antara dua sujud laksana seorang budak yang duduk di depan tuannya. Duduk antara dua sujud menyiratkan makna penting bagi mushalli yaitu kesadaran diri sebagai hamba Allah. Posisi duduk antara dua sujud adalah posisi duduk mengharap belas kasih bukan posisi memberi. Bacaan dalam duduk antara dua sujud jelas merupakan doa penuh harap kepada Allah akan keampunan, kasih sayang Allah, agar dicukupkan Allah, mohon ditinggikan oleh Allah, mohon rezki dari Allah, mohon petunjuk, mohon kesehatan, dan kema’afan dari Zat Yang Maha Memberi yaitu Allah Swt. (Yunasril Ali, 2009: 180-184).
Al-Khuli (2007: 124) menjelaskan dari tinjauan kesehatan, ketika seseorang bangun dari sujud yang diikuti pengambilan nafas yang dalam, membantu aktivitas pemompaan dada seperti yang terjadi saat i’tidal. Pada posisi duduk antara dua sujud ini, kedua kaki terlipat, otot-ototnya melembek dan memberikan kesempatan kepada darah yang ada di permukaan untuk mendapatkan jalan menuju aliran bagian dalam. Otot-otot paha memeras daging yang melindungi tulang betis dan urat-urat betis yang juga memeras darah. Proses pengembalian darah itu juga dibarengi pula dengan pemompaan darah pada kedua telapak kaki dengan tekanan yang kuat. Pada sujud kedua, sirkulasi darah kembali terulang sebagaimana pada sujud yang pertama .      
10.     Tasyahud 
            Secara harfiah, tasyahud berarti persaksian. Tasyuahud adalah kesaksian kan keesaan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad saw yang diucapkan dalam posisi duduk akhir (tawaruk) dalam shalat. Rukun tasyahud mengandung makna batin yang dalam, baik dari posisi duduknya, mapupun dari bacaan yang dilafalkan di dalamnya. Posisi duduk yang lebih berat ke kiri dimaknai oleh Ali Bin Abi Thalib dengan kalimat “ Ya Allah, matikanlah yang bathil dan hidupkanlah yang hak”. Al-Quran juga menyebutkan kanan sebagai jalan kebenaran, dan kiri sebagai jalan kebathilan. Duduk tawaruk melambangkan usaha sungguh-sungguh untuk menegakkan kebenaran. Diangkatnya telunjuk kanan juga mengandung makna bathin yang mendalam yaitu keteguhan tauhid. Telunjuk adalah jari yang sering dipakai oleh manusia untuk mengisyaratkan sesuatu (Yunasril Ali, 2009: 184-197). Tasyahud juga mengisayaratkan makna kehadiran hati yang dipahami dari makna harfiah dari kata tasyahud tersebut. Sehingga kebermaknaan sesuatu tidak bisa dilepaskan dari kehadiran hati.      
11.      Salam
            Secara etimologis, salam mengabdung arti tidak bercacat, selamat, sejahtera, damai, atau aman. Dengan membaca salam sebagai penutup shalat, seorang mushalli. Salam mengandung makna penegasan hati bagi setiap mushalli untuk menjadi sumber dan pembawa keselamatan serta kedamaian bagi semesta alam.
            Ibn Sina menggambarkan pengembaraan dan laku ruhani kepada empat tingkatan. Pertama, perjalanan dari makhluk menuju Allah. Perjalanan ini dimulai dengan penyucian diri, diiringi dengan kemauan yang kuat serta latihan-latihan ruhani dan perjuangan yang kenal lelah. Kedua, perjalanan dari Tuhan dalam Tuhan. Dalam perjalanan ini seorang mukmin merasakan kedekatan dengan Allah, merasakan sifat-sifat dan asma Allah. Ketiga, perjalanan kembali kepada makhluk tanpa terpisah dari Allah. Inilah saat seorang mukmin merasa membawa misi suci ketuhanan, yaitu menyebar salam kepada segenap makhluk. Keempat, perjalanan dalam makhluk bersama Allah. Di sini seorang mukmin menjadi penebar salam dan pembawa pelita bagi semesta alam (Yunasril Ali, 2009: 200-201). Empat tingkatan perjalan ruhani ini harus dilakoni oleh setiap mushalli agar ia dapat menjadi hamba Allah yang sempurna dalam pandangan Allah.
            Secara anatomis, leher adalah bagian tubuh yang amat vital menghubungkan kepala dan batang tubuh. Trachea, esofagus, vasa carotica (pemasok darah ke otak), nervus vagus (saraf otonom kepala yang mengatur alat-alat dalam), kelenjar dan saluran getah bening, kelenjar gondok, parathyroid dan lain-lain. Rangka leher terdiri dari tujuh ruas tulang belakang dengan otot-otot yang cukup tebal melindungi struktur bawahnya. Gerakan salam berfungsi melatih kelenturan leher dan memperkuat otot-otot dan seluruh struktur leher berikut fungsi refleks-refleksnya (Sagiran, 2013: 60-61).   
Sumber:
Ahmad Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman: Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, (Ciputat: Sakata Cendikia, 2015), Cet. I



                [i] Menurut Henry Netter (1906),ruas  tulang orang dewasa berjumlah 206. Menurut Leslie Brainerd Arey (1934), secara embriologis pusat penulangan semasa kehidupan janin dalam kandungan berjumlah 350-an, yang kemudian banyak pusat-pusat penulangan tersebut menyatu, membentuk satu tulang dewasa. Jumlah tulang ini dekat dengan jumlah hari dalam setahun. Baca, Sagiran, Mukjizat Gerakan Shalat, (Jakarta: QultumMedia, 2013), cet II., h.42 
                [ii] Ibn Taymiyah menganggap ini bukan Hadits, lihat Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa (Beirut: Dar a-‘Arabiyyah, 1398 H ), jilid XVIII, h. 132. Berbeda halnya dengan Ibn ‘Arabai yang memandang Hadits ini sebagai Hadits Shahih. Lihat Ibn ‘Arabi, Futuhat, jilid II, h. 399. Baca juga: Yunasril Ali, (2009: 76)
                [iii] Daud al-Fatani, Munyat al-Mushalli, ed. Wan Mohd. Shagir Abdullah, dalam Munyatul Mushalli Syekh Daud al-Fatani (Kuala Lumpur: Khazanah Fathaniyah, 1991), h. 14. Baca juga Yunasril Ali, Agar Shalat Jadi Penolongmu, 2009: 88-90

Tidak ada komentar:

Posting Komentar