MAKNA
BATIN YANG TERKANDUNG DALAM SHALAT
Oleh:
Dr. Ahmad Rivauzi, MA
Secara harfiah, shalat (jamaknya shalawat)
berarti rahmat, doa, permohonan ampun, dan tasbih. Jika yang shalat dikaitkan
dengan perbuatan Allah, maka artinya adalah rahmat, jika dikaikan dengan
malikat maka artinya adalah permohonan ampun, jika dikaitkan kepada manusia maka
artinya adalah memohon rahmat atau doa, dan jika dikaitkan dengan makhluk lain
seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan maka artinya adalah tasbih (Yunasril Ali,
2009: 73-74).
Di dalam al-Quran terdapat 99 ayat
yang menyebut tentang shalat. Hal ini menunjukkan besarnya makna dan hikmah
yang tersimpan di dalam shalat. Ayat-ayat tersebut berbicara tentang perintah
shalat, bahaya jika tidak mendirikan shalat serta mamfaat shalat untuk
kehidupan seorang muslim (Ahmad Rivauzi,
2015:124-125).
Hilmi al-Khuli (2007:87-95) sebagaimana
dikutip Ahmad Rivauzi (2015:125-126) menulis pandangan dan temuan ilmiah ilmuan dan
pakar kedokteran Barat tentang dampak dan mamfaat shalat untuk kesehatan baik
jasmani dan ruhani. Di antara pendapat dan komentar ilmuan Barat tersebut dikutip
dan di paparkan di bawah ini:
1. August
Sevateille seorang ilmuan Parancis. Dia mengatakan,
“sekarang
kita mampu menyimpulkan hakikat (asal) tentang agama dan mendefinisikannya;
yaitu jalinan hubungan yang disadari dan dikehendaki oleh jiwa (ruh), dengan
Zat Yang Maha Kuasa. Jiwa itu menyadari bahwa kemampuan berada dalam kendali
Yang Kuasa. Shalat adalah keyakinan agama pada saat melakukannya. Shalat adalah
agama yang benar. Agama menjadi kebiasaan hidup karena merupakan amalan yang
penting dalam kehidupan. Dengan amalan tersebut seseorang berusaha
menyelamatkan diri dari kerusakan dengan berlindung kepada Zat Yang Kuasa.
Amalan inilah yang disebut dengan shalat. Shalat yang saya maksud, bukanlah
mengucapkan kata-kata atau mengulang-ngulang kalimat. Tetapi shalat adalah
gerakan yang dilakukan oleh seseorang untuk melakukan bhubungan pribadi dan
komunikasi langsung dengan Zat Yang Maha Ghaib, yang diyakini ada-Nya oleh
manusia. bahkan ada-Nya lbih dahulu, sebelum manusia memberi-Nya nama. Jika
tidak hubungan batin ini, maka tidak ada agama.”
2. Dr.
Alexis Carel, seorang pemenang hadiah nobel dalam bidang kedokteran, dan
Direktur Riset pada Rockefeller Foundation Amerika, memberikan
pernyataan sebagai berikut,
“Shalat
memunculkan aktivitas pada perangkat tubuh dan anggota tubuh. Bahkan sebagai sumber
aktivitas terbesar yang dikenal saat ini. Sebagai seorang dokter, saya melihat banyak pasien
yang gagal dalam pengobatan, dan dokter tidak mampu mengobatinya. Lalu, ketika
pasien-pasien membiasakan shalat justru penyakit mereka hilang. Sesungguhnya shalat
bagaikan tambang Radium yang menyalurkan sinar dan melahirkan kekuatan diri...
Kita harus memahami bahwa shalat bukan sekedar mekanisme bacaan untuk doa-doa,
tetapi shalat adalah meditasi suci, di maana manusia merasakan kehadiran Allah
dalam shalat, sebagaimana ia merasakan panasnya cahaya matahari, atau merasakan
kelembutan seorang sahabat. Di dalam shalat, manusia menghadapkan dirinya
kepada Allah, berdiri dihadapan Allah seakan lembaran kain putih di hadapan
seorang pelukis, atau sepotong batu pualam di hadapan seorang pemahat. Shalat
menciptakan fenomena yang mencengangkan, mendatangkan kemukjizatan. Saya
benar-benar melihat efek shalat pada kondisi sakit, karena banyak pasien yang
sembuh dengan shalat, setelah menderita berbagai penyakit seperti tuberculosis,
radang tulang, kaker, luka membusuk, dan lain-lain”.
Segi-segi
aktivitas kejiwaan memberikan perubahan anatomy (fungsi) pada jaringan dan
anggota tubuh secara seimbang. Fenomena organik ini dapat dilihat pada kondisi
yang sangat berbeda, yang telah dibuktikan oleh aktivitas shalat...”.
3. Dr.
Edwind Frederick Pourz, seorang profesr dalam bidang penyakit syaraf di Amerika
Serikat, menyatakan:
“Menyembuhkan
berbagai penyakit menular dalam tempo yang cepat, sulit dilakukan dalam tempo
yang cepat pula. Namun dengan tidak mempedulikan terhadap semua kemukjizatan
pengobatan yang ada di dunia ini, masih banyak kemukjizatan lain untuk
menyembuhkan penyakit pincang, lumpuh, buta yang tidak dapt disembuhkan oleh
obat dokter, operasi atau psikiater. Bahkan ada ribuan kasus yang belum bisa
ditangani oleh dokter terkenal atau dokter yang pandai sekalipun, tetapi justru
penyembuhannya melalui kemukjizatan shalat”.
Berdasarkan beberapa pernyataan di
atas, maka nampak bahwa shalat yang dilakukan dengan baik, jasmani dan ruhani
memberikan mamfaat yang sangat besar terhadap kesehatan (Ahmad Rivauzi, 2015:127). Menurut Abdullah Coleem, yang
masuk Islam karena shalat, dan telah mengislamkan banyak orang, aspek shalat
jama’ah memberikan kesan luar biasa pada orang yang melihat, serta memberikan
kekhusu’an terhadap orang yang shalat. Semuanya akan memberikan pengaruh secara
langsung maupun tidak langsung kepada sehatnya jiwa dan fisik manusia (Hili
al-Khuli, 2007: 95)
Prof. Ahmad Muhammad Marzuq, pakar
olah raga Mesir mengatakan, di antara mamfaat shalat adalah bahwa shalat
merupakan olah raga yang cocok untuk otot-otot dan persendian-persendian tubuh.
Gerakan shalat sebagai olah raga lebih pas dan lebih sesuai untuk segala usia
dan jenis kelamin (Hilmi al-Khuli, 2007: 105).
Hilmi al-Khuli (2007:108-109) mengutip pernyataan Dr.
As-Sayyid al-Jumaili yang mengatakan bahwa tubuh manusia terbentuk dari tulang,
persendian, otot daging, nadi darah, urat dan syaraf. Semuanya membutuhkan
pelumasan setiap hari dengan cara digerakkan. Tersendatnya urat kedua kaki,
bisul pada pungung terdapat pada orang-orang yang kebanyakan istirahat. Otot
pada tubuh manusia berjumlah ratusan, sedangkan urat syaraf banyak tersebar
membentuk jaringan dan bercabang-cabang sebagaimana jaringan listrik. Jumlah
tulang pada manusia mencapai 360 tulang. Dalam hal ini, shalat merupakan olah
raga fisik istimewa yang menggerakkan persendian, otot, dan mengaktifkan aliran
darah (Ahmad Rivauzi, 2015:127).[i]
Hilmi al-Khuli (2007: 119)
memaparkan bahwa shalat
juga dapat mencegah faktor penyebab penyakit vaises. Hal ini dikarenakan, pertama,
gerakan shalat mampu memperkecil
tekanan pada dinding-dinding yang lemah pada urat-urat kaki bgian luar, kedua
shalat dapat mengaktifkan kerja pemompaan urat-urat bagian samping sehingga
meringankan tekanan pada urat-urat bagian luar, dan ketig shalat dapat
memperkuat dinding-dinding urat yang lemah melalui peningkatan kemampuan
zat-zat makanan pembangun tubuh dalam kaitannya dengan pembentukan organ-organ seluruh
tubuh oleh zat-zat makanan (Ahmad Rivauzi, 2015:128).
Di samping dampak shalat yang sangat
besar terhadap kesehatan, menurut Henry Corbin (1981:260), dikutip
Yunasril Ali (2009: 74-75), para sufi juga memiliki
tafsiran esoteris berkaitan dengan segala gerak shalat. Bagi para sufi, gerak
pemujaan yang ditampilkan dalam shalat masing-masingnya mewakili gerak pemujaan
makhluk kepada Tuhan. Sujud berkaitan dengan sikap tumbuh-tumbuhan, rukuk
dengan sikap hewan, dan sikap tegak adalah sikap manusia. Manusia dengan
gerakan shalatnya mewakili seluruh bentuk pemujaan makhluk-makhluk Allah (Ahmad Rivauzi, 2015:128).
Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi (w. 378
H/ 988 M) dalam al-Luma (1960:203) sebagaimana dikutip Yunasril Ali juga
mengartikan shalat dengan menghubungkannya dengan makna wushlah yang
berarti hubungan, pertemuan, atau bersatunya hamba dengan Tuhan. Shalat
diartikan sebagai hubungan karena ia merupakan sarana bagi manusia untuk
berhubungan, bertemu, dan bahkan bersatu secara spiritual dan langsung dengan
Allah (Yunasril Ali, 2009: 75).
Yunasril
Ali (2009: 76-82) menggambarkan hubungan antara Allah dan hamba-Nya dalam
shalat. Dikatakan bahwa Allah menciptakan makhluk karena kerinduan Allah yang
azali. Allah rindu ntuk dikenal dari luar diri-Nya. Allah menciptakan makhluk
agar dapat mengenali-Nya (Ahmad Rivauzi, 2015:129). Dalam sebuah Hadits Qudsi
disebutkan:
كنت كنزا مخفيًّا فأحببت أن أُعرف فخلقت الخلق
فَبي عَرَفوني
Aku
adalah perbendaharaan terpendam, maka Aku rindu agar dapat dikenali, maka Aku
ciptakan makhluk, maka dengan Aku (bantuan Aku), mereka mengenaliku.[ii]
Hadits Qudsi di atas menjelaskan
bahwa manusia tidak akan mampu mengenal Allah dengan sempurna. Hanya manusia
yang menjadikan shalat sebagai sarana untuk memohon rahmat Allah dan atas
rahmat serta pertolongan Allah, maka manusia dapat mengenal dan berhubungan
dengan Allah karena “shalat adalah mi’rajnya orang yang beriman” (Al-Hujwiri, 1992: 271).
Yunasril Ali (2009: 77-79)
menjelaskan, melalui shalat, manusia melepaskan dirinya dari belenggu hawa
nafsu duniawi, melepaskan segala daya material, dan dengan ruh yang suci
manusia dapat mi’raj ke haribaan Allah sehingga tercapai musyahadah (penyaksian)
di hadapan Allah. Yunasril Ali menambahkan bahwa dalam shalat yang sempurna,
maka segenap daya pikir terputus dari alam material dan panca indra melepaskan
diri dari segala peristiwa yang mengitarinya sehingga elektron-elektron pikiran
berhenti berputar dan kembali menjadi ether yang dilepaskan ruhani. Dan juga
saraf indrawi tidak mengantarkan getaran listrik yang datang dari panca indra.
Dalam shalat, daya ruhani menjelma menjadi nur (cahaya). Cahaya batin (ruhani)
ini yang mampu kembali ke pangkalannya yaitu cahaya Allah sehingga menimbulkan
kekuatan yang dahsyat melebihi kekuatan jasmani. Cahaya-cahaya material,
seperti cahaya matahari, cahaya bulan dan lain sebagainya hanya mampu menerangi
dunia material yang dengannya indra jasmani manusia dapat melihat. Cahaya
material ini hanyalah cahaya idhafi (fenomenal), yang hanya memancar
atas ketentan serta kehendak dan izin Allah. Lain halnya dengan cahaya Allah
yang merupakan cahaya hakiki dengan daya yang tidak terbatas ruang dan waktu.
Seseorang yang mendekati cahaya Allah dengan ubudiyah maka ia akan mendapatkan
penerangan mata batin (bashirah) sehingga ia mampu membedakan antara kebenaran
dengan kebathilan, kebaikan dan keburukan, bahkan pantulan cahaya tersebut akan
mengimbas pada tubuh lahir sehingga cahaya tersebut mampu pula memberikan sinar
kepada alam sekitarnya. Cahaya Allah hanya dapat dicapai dengan mujahadah
ibadah kepada Allah Swt (Ahmad Rivauzi, 2015:129-130).
Allah
berfirman:
اللَّهُ نُورُ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ
الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ
مِن شَجَرَةٍ مُّبَارَكَةٍ زَيْتُونِةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ
يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُّورٌ عَلَى نُورٍ
يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَن يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ
وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Allah
(Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah
seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.
Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya)
seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak
berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu)
dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir
menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis),
Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah
memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu. (QS. An-Nur, 24: 35)
Shalat harus dilakukan pada
waktu yang telah ditentukan. Waktu secara harfiah berarti al-waqt
yang berarti batasan sesuatu, baik dalam pengertian esensi maupun masa
(Yunasril Ali, 2009: 82). Allah Swt berfirmn,
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَاذْكُرُواْ
اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنتُمْ
فَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً
مَّوْقُوتاً
Maka
apabila kamu telah menyelesaikan shalat (mu), ingatlah Allah di waktu berdiri,
di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman,
maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah
kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS An-Nisa’,
4:103)
Menurut Dawut al-Fathani (1991) dalam Yunasril
Ali (2009), sebagian ahli hikmah mengaitkan tentang ketetapan lima waktu shalat
dan jumlah rakaat shalat dengan peristiwa historis yang dialami oleh para Nabi
dan Rasul. Waktu shalat shubuh memiliki hubungan historis dengan peristiwa
turunnya Nabi Adam a.s dari surga pada saat kegelapan, kemudian muncul cahaya
fajar waktu subuh yang membawa kegembiraan pada Adam. Jumlah rakaatnya dua yang
dikaitkan dengan syukur Nabi Adam atas dua hal yaitu terbebasnya dari kegelapan
dan syukur atas nikmatnya cahaya siang. Waktu shalat zhuhur berkaitan dengan
peristiwa pengorbanan Nabi Ismael oleh Nabi Ibrahim yang terjadi pada waktu
tergelincirnya matahari. Rakaat shalat zhuhur empat yang dikaitkan dengan
syukur Nabi Ibrahim atas empat hal, yaitu syukur atas tebusan pengorbanan,
hilangnya duka cita, munculnya tebusan, dan diterimanya pengorbanan Ibrahim. Waktu
shalat ‘asar dikaitkan dengan peristiwa keluarnya Nabi Yunus dari perut ikan
yang terjadi pada saat ‘asar. Jumlah rakaat shalat asar empat rakaat yang
dikaitkan dengan syukur Nabi Yunus atas empat hal yaitu terbebasnya dari
gelapnya kesalahan, terbebas dari gelapnya samudera, terbebas dai kegelapan
malam, dan terbebasnya dari kegelapan perut ikan. Waktu shalat magrib dikaitkan
dengan peristiwa selamatnya Nabi Isa dari penyaliban yang terjadi saat matahari
terbenam. Jumlah rakaat shalat magrib tiga rakaat yang dikaitkan dengan syukur
Nabi Isa atas tiga hal yaitu kesuksesan dia dalam penyangkalan ketuhanan
dirinya, sukses dalam menyangkal tuduhan berzina atas ibunya, dan kesuksesan
dia dalam membuktikan keesaan Allah. Dan shalat isya dihubungkan dengan
peristiwa selamatnya Nabi Musa bersama istrinya setelah tersesat di tengah
padang pasir. Jumlah rakaat isya empat rakaat yang dikaitkan dengan sukur Nabi
Musa atas empat hal, yaitu hilangnya kegelisahan istrinya, kegelisahan Harun
saudaranya, hilangnya keraguan Firaun atas kemunculan Musa, dan hilangnya
keraguan anak turunan Firaun bahwa Musa masih hidup dan masih berdakwah di
jalan Allah (Ahmad Rivauzi, 2015:131-132).[iii]
Ibn ‘Arabi dalam Futuhat sebagaimana
dikutip Yunasril (2009: 91-92) membagi kelima waktu shalat kepada tiga bagian.
Yaitu, shalat di waktu siang, shalat di waktu malam, dan shalat di waktu
siang-malam (barzakh). Shalat di waktu siang adalah zhuhur dan ‘asar, shalat di
waktu malam adalah isya, dan shalat di waktu barzakh adalah magrib dan shubuh.
Tiga waktu ini dikaitkan dengan tiga bagian alam; alam syahadah (nyata,
kongkret, empiris), alam ghaib (abstrak, immateri), dan alam barzakh (batas
antara dua alam) (Ahmad Rivauzi, 2015:132-133).
Pandangan Ibn ‘Arabi tersebut sebagaimana
dikutip Ahmad Rivauzi (2015:133) memaparkan, pertama, di waktu siang;
Allah dengan nama-Nya al-Zhahir (Yang Mahanyata), tajalli (nyata)
pada alam empiris, sehingga mushalli tenggelam pada hadhirat Allah dan melebur
dalam salah satu asma-Nya, al-Zhahir.
Kedua, menurut Ibn ‘Arabi, waktu malam mengacu
kepada alam ghaib, yaitu alam akal pikiran. Pada waktu malam, mushalli
tenggelam dalam asma’ Allah al-Bathin. Dalam kegelapan dan kesunyian
malam, akal pikiran terbebas dari belenggu material, dan ruhani mushalli
menembus sekat-sekat alam empiris menuju hadhirat Allah yang al-Bathin
(Yang Tersembunyi).
Ketiga, waktu barzkah adalah waktu pertemuan
antara siang dan malam. Waktu shubuh adalah di ujung malam menjelang siang dan
waktu maghrb adalah di ujung siang menuju malam. Waktu shubuh melambangkan
tenggelamnya alam ghaib ke alam nyata, waktu maghrib melambangkan tenggelamnya
alam nyata ke alam ghaib. Pada waktu siang mushalli menyaksikan tanda-tanda
Ilahiyah secara empiris, dan pada waktu malam mushalli menyingkap hadhirat
Allah dengan indrawi bathin.
Waktu barzakh melambangkan pentingnya penyatuan
antara dua indrawi; empiris dan indera batin ini untuk menyingkap dan hadir di hadirat Allah,
al-Zhahir dan al-Bathin.
Jika ditinjau dari aspek kesehatan, waktu-waktu
shalat yang ditentukan Allah untuk melaksanakan shalat pada waktunya juga
sangat bermamfaat bagi manusia untuk terpeliharanya kesehatannya baik jasmani
maupun ruhani. Abdul Rozaq Naufal menjelaskan bahwa pada waktu-waktu shalat
adalah waktu yang paling pas untuk melakukan olah raga melalui shalat. Pada
saat matahri belum terbit, udara masih dalam keadaan bersih. Pada saat udara
yang masih bersih sangat dibutuhkan tubuh untuk berolah raga dalam shalat. Pada
saat zuhur, tubuh butuh istirahat, sehingga melalui shalat seseorang bisa
mendapat kebugaran. Pada saat asar, di saat manusia sudah hampir dapat
menyelesaikan pekerjaannya dan berada dalam keadaan yang lelah, maka melalui
shalat kebugaran bisa kembali didapatkan. Bigutu juga dengan waktu magrib dan
isya, manusia sudah lelah dan letih dan bersiap untuk istirahat, maka pada saat
ini manusia dapat memperoleh kebugaran badan dan melancarkan perearan darah
melalui olah raga shalat (Hilmi al-Khuli, 2007: 127).
Dr. Zahir Qarami juga
mengungkapkan hasil analisis medis tentang keutamaan melaksanakan shalat asar
pada waktunya. Beliau mengatakan bahwa shalat asar dapat menghindarkan
seseorang dari beberapa penyakit jiwa dan fisik. Shalat asar dapat menurunkan
Hormon Adrenaline yang memuncak produksinya pada batas antara jam 15.00 sampai
jam 16.00, yang dapat menimbulkan berbagai penyakit. Dalam penelitiannya
ditemukan bahwa ketika manusia menghadapi kesulitan, dan tidak melakukan
gerakan dan reaksi fisi, maka hal itu dapat menimbulkan penyakit jiwa dan fisik
karena meningkatnya Hormon Adrenaline secara terus menerus. Ketika seseorang
meninggalkan shalat asar pada waktunya, maka dapat menimbulkan beberapa
penyakit jiwa mupun fisik seperti; tekanan darah, saraf jantung, kegemukan,
lemah syahwat, keguguran, kelenjar thiroid, kesulitan datang bulan, migren,
katarah, dan lain sebagainya. Qarami juga menegaskan bahwa shalat asar dapat
menyembuhkan berbagai penyakit moderen. Qarami menambahkan bahwa terdapat dua
hormon tubuh yang berperan untuk mengahadapi segala perubahan yang muncul pada
tubuh karena pengaruh lingkungan atau kejiwaan yaitu Hormon Cortezon dan
Adrenaline. Homon Adrenaline aktif dalam kondisi bergerak, semangat, dan
lain-lain. Tempat keluarnya hormon ini adalah pada jaringan syaraf perut di
atas kedua buah pinggang dan perangkat Simbawi di bawah pengendalian
Hypotalamus. Waktu keluarnya hormon ini secara alami dalam jumlah yang sesuai,
bermamfaat untuk mengaktifkan fisiologi. Hormon ini juga bisa keluar secara
tidak alami dan tidak pada waktu yang tepat seperti ketika seseorang dalam
kondisi tegang. Shalat asar dapat berfungsi mencegah penyakit-penyakit yang
timbulkan oleh hormon ini (Hilmi al-Khuli, 2007: 128-132). Berkaitan dengan
penjelasan Qarami ini, Allah juga berfirman:
حَافِظُواْ عَلَى الصَّلَوَاتِ
والصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُواْ لِلّهِ قَانِتِينَ
Peliharalah
segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah
(dalam shalatmu) dengan khusyu`. (QS. Al-Bawarah, 2: 238)
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para
ulama tentang yang dimaksud dengan shalat wustha. Al-Qarami sebagaimana
telah dijelaskan di atas, memahaminya dengan shalat asar.
Jalaluddin As-Suyuthi dan Jalaluddin
al-Mahallyi menjelaskan dalam Tafsir Jalalain tentang QS. Al-Baqarah, 2:238) di
atas:
(Peliharalah semua salatmu), yakni yang lima
waktu dengan mengerjakannya pada waktunya (dan salat wustha atau pertengahan).
Ditemui beberapa pendapat, ada yang mengatakan salat asar, subuh, zuhur, asar
atau selainnya dan disebutkan secara khusus karena keistimewaannya. (Jalaluddin
As-Suyuthi dan Jalaluddin Muhammad Ibn Ahmad al-Mahallyi; Tafsir al-Jalalain)
Menghadap kiblat merupakan salah satu syarat
shah shalat. Qiblat secara harfiah berarti arah, atau pusat pandangan. Dalam
peristilahan agama Islam, kiblat bermakna arah berhadapnya seorang mushalli
dalam shalatnya yaitu Ka’bah di Makkah. Kesatuan arah kiblat mengisyaratkan
tauhid, bahwa hanya satu Tuhan yang di sembah yaitu Allah. Ka’bah adalah pusat
bumi sehingga kesatuan arah dalam shalat melambangkan alam semesta berbaris
teratur sujud akan keesaan Allah. Manusia adalah makhluk ruhani dan jasmani,
sehingga arah kiblat dalam shalat juga memiliki dua makna, yaitu kiblat lahir
dan kiblat batin. Kiblat lahir adalah Ka’bah, sedang kiblat bathin adalah Allah
Swt.(Yunasril Ali, 2009: 116-123).
Ahmad
Rivauzi (2015:136-148) menulis secara gamblang bahwa rukun dan gerakan shalat
mengandung hikmah dan makna rahasia atau makna ruhani. Berikut
dijelaskan makna ruhani atau makna rahasia yang terkandung dalam rukun shalat
tersebut.
1. Niat.
Niat adalah ruhnya shalat. Niat (niyyah)
berarti menyengaja, bermaksud untuk melakukan suatu tindakan. Niat adalah
menyengaja sesuatu yang disertai dengan melakukannya (قصد شيئ مقترنا بفعله ). Dalam fikih syafi’i, niat harus memenuhi
tiga unsur yaitu qasd (menyengaja), ta’arudh (penentuan jenis
shalat), dan ta’yin (penentuan jumlah rakaat). Niat pada hakikinya
adalah amalan hati, namun sunnah hukumnya kalau dibaca (Yunasril Ali, 2009:
124)
Dalam
beragama, sesuatu akan dinilai ibadah oleh Allah jika niatnya adalah untuk
beribadah. Dalam niat setiap ibadah yang termasuk di dalamnya shalat, maka
memelihara kesucian niat untuk hanya mengharapkan rahmat dan redha Allah
menjadi sangat penting. Allah berfirman:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ
الْقَيِّمَةِ
Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS.
Al-Bayyinah, 98: 5)
Pada
ayat lain Allah juga berfirman,
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الأَرْضِ
وَلأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ , إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ
الْمُخْلَصِينَ
Iblis
berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat
pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma`siat) di muka bumi,
dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali
hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka".( QS. Al-Hijr, 15:
39-40)
2. Qiyam
(berdiri )
Qiyam secara harfiyah berarti
berdiri tegak. Di dalam shalat, sikap qiyam disesuaikan dengan kondisi mushalli.
Bagi orang yang sehat, maka posisi tegak berdiri adalah bentuk qiyamnya. Namun
bagi orang yang sedang sakit, maka duduk dan berbaring merupakan bentuk
qiyamnya.
Qiyam di samping memiliki makna
lahir, juga memiliki makna bathin. Makna batin tersebut adalah terdapatnya tiga
tingkatan makna qiyam, yaitu, qa’im (berdiri) yang bermakna berdiri
tegak penuh keikhlasan di hadapan Allah yang melambangkan kesiapan untuk
memikul amanah dari Allah, qawwam (penegak, tiang, junjungan) yang
bermakna kesiapan untuk menjadi penegak kebenaran agama Allah, dan qayyum ( Maha Mandiri) yang bermakna tajallinya
sifat qayyum Allah pada pribadi mushalli. Dengan ikhlas menerima dan
melaksanakan amanah aturan agama Allah dengan penuh kesetiaan dan keikhlasan,
maka akan lahir kekuatan yang aktif dalam diri seseorang untuk menjadi wakil
Allah dalam penegakan kebenaran dan pada akhirnya, seorang mushalli akan
melebur dalam sifat qayyum Allah
sehingga mushalli akan dikokohkan Allah dengan istiqamah, komitmen, dan
berbagai kekuatan batiniyah (Yunasril Ali, 2009: 133-137)
Jika ditinjau dari segi kesehatan,
dalam posisi qiyan (berdiri) dalam shalat, seorang muslim berdiri tegak dan
tidak kaku. Antara kaki (tulang kering) merenggang selebar jarak antara dua
bahu. Tangan kanan memegang tangan kiri. Dalam posisi ini, otot yang berada di
punggung memberi kesempatan kepada tulang punggung pada posisi lurus (Hilmi
al-Khuli, 2007: 98). Ini jelas memberikan dampak yang sangat baik untuk
kesehatan jasmani seseorang.
Sagiran (2013:47-49) menjelaskan
bahwa pada saat berdiri dalam shalat, terdapat beberapa unsur medis untuk
kesehatan yaitu dengan posisi tegak berdiri dengan tumpuan berat badan yang
merata akan membuat kompaksitas susunan tulang-tulang penyangga tumbuh menjadi
rata yang bermamfaat terhadap resiko terjadinya patah tulang yang begitu mudah
terjadi meski hanya dengan terpeleset di kamar mandi, turun tangga, dan
lain-lain. Ditambah dengan terdapatnya titik-titik refleksi atau akupunktur
pada telapak kaki akan bermamfaat untuk menstimulasi organ-organ dalam tubuh.
3. Takbiratul
Ihram
Takbiratul ihram adalah ucapan
takbir yang mengawali shalat, yang disertai dengan mengangkat tangan ke arah
kiblat. Takbir mengandung makna penegasan kebesaran Allah dan juga mengandung
makna sucinya Allah dari berbagai sifat kekurangan dan keterbatasan (Yunasril
Ali, 2009: 138-139).
Ketika manusia (mushalli) telah membesarkan
Allah, maka segala sesuatu selain Allah akan menjadi dan terasa kecil.
Keyakinan dan membesarkan Allah akan membawa manusia untuk musyahadah (penyaksian)
akan kebesaran, keagungan dan kesempurnaan Allah karena setiap tabir pembatas antara
hamba dengan Allah akan terbuka ketika manusia bertakbir dan hanya membesarkan
Allah.
Sagiran (2013: 51-53) beberapa memaparkan tinjauan
medis tentang takbiratul ihram sebagai berikut:
a. Seorang
ahli psikologi Belanda, Prof. Vander Hoven (2002) membuktikan temuannya tentang
pengaruh membaca al-Quran dan pengucapan berulang-ulang kata “Allah” baik pada
pasien maupun pada orang normal. Kesimpulan temuannya adalah, muslim yang
membaca al-Quran dengan teratur dapat mencegah penyakit-penyakit psikologis. Lebih
lanjut Hoven menjelaskan bahwa setiap huruf dari kata “Allah” mempengaruhi
penyembuhan psikologis. Secara fisiologis, pengucapan huruf “A” melapangkan
sistem pernafasan, berfungsi mengontrol gerak nafas. Ketika mengucapkan “LLA” sesuai dengan pengucapan Arab, akan membentuk
ruang tetentu di rongga mulut. Dengan adanya jeda tertahan dalam pengucapannya
akan menimbulkan pengaruh terhadap relaksasi pernafasan. Pada sa’at pengucapan
“H” akan membuat kontak antara paru-paru dan jantung dan pada gilirannya kontak
ini dapat mengontrol denyut jantung.
b. Rongga
dada melebar. Pada saat takbiratul ihram terjadi pelebaran rongga dada sehingga
tekanan udara di dalam rongga mengecil dan memudahkan udara nafas masuk dengan
cepat.
c. Sekat
rongga badan (diafragma) terlatih. Pada saat rangga dada melebar karena gerakan
badan dalam bertakbir, pada saat yangbersamaan, juga diucapkan kalimat takbir.
Untuk pengucapan satu kata, udara harus mengalir ke luar guna menggetarkan pita
suara. Sehingga terjadi sinergisme yang rapi dan efektif dan berpengaruh
terhadap fungsi-fungsi fisiologis lainnya.
d. Pada
saat takbir, ketiak dibuka. Ketiak adalah stasiun regional utama bagi peredaran
limfe (getah bening) yang merupakan kumpulan dari keseluruhan anggota
gerak bagian atas (tangan, lengan bawah, lengan atas, dan bahu). Sehingga
takbir adalah gerakan “active pumping” yang sangat bermamfaat.
4. Tawjih
dan doa iftitah
Doa iftitah pada dasarnya merupakan tawajuh
berhadapnya kesadaran batin dengan Allah. Doa iftitah pada umumnya memuat
ungkapan yang membesarkan Allah, puji-pujian, tasbih dan doa-doa.
Menurut Ibn ‘Arabi sebagaimana dikutip
Yunasril, kandungan makna doa-doa iftitah merupakan gambaran ahwal (keadaan
ruhani) yang dicapai dalam perjalanan ruhani menuju Allah. Ahwal
tersebut dimulai dari Allah (الله من ) yang bermakna bahwa manusia
berasal dari Allah dan manusia perlu menyadari bahwa hanya Allah sebagai pusat kesadaran ruhani, dengan
Allah (بالله
) yang
bermakna dengan Allah manusia memohon pertolongan, kepada Allah tujuan ( الي الله ) yang bermakna bahwa
Allah adalah ghayah (tujuan) , bersama Allah ( مع الله ) yang bermakna bahwa
Allah adalah selalu menyertai hamba-Nya, pada Allah ( في الله ) yang bermakna pada Allah
tertuang harapan, bagi Allah (لله ) yang bermakna karena Allah mushalli bertaqarrub,
atas Allah ( علي الله ) yang
bermakna atas atau kepada Allah mushalli bertawakkal dan berpegang teguh
(Unasril Ali, 2009: 147-149).
5. Membaca al-Fatihah
Al-Fatihah memiliki kandungan makna
yang luas dan dalam. Ketika seorang mushalli membaca al-Fatihah, maka ia sedang
berdialog dengan Allah. Dalam sebuah Hadits Qudsi dijelaskan:
“Aku
telah membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku. Separuh darinya untuk-Ku dan
separuh lagi untuk ham-Ku, dan hamba-Ku menerima apapun yang ia minta. Hamba
berucap “Bismillahirrahmanirrahim”, Allah berfirman, “hamba-Ku telah berzikir
kepada-Ku. Hamba berucap “alhamdulillahirabbil’alamin”, Allah berfirman,
“Hamba-Ku telah memujiku”. Hamba berucap “ al-Rahman al-Rahim”¸Allah berfirman,
“Hamba-Ku telah memuliyakan-Ku. Hamba berucap, “ Maliki yaumiddin”, Allah
berfirman, “Hamba-Ku telah menyerahkan kepada-Ku”, Hamba berucap, “ Iyya ka
na’budu wa iyyaka nasta’in”, Allah berfirman, “ini adalah antara diri-Ku dan
hamba-Ku, dan hamba-Kuakan menerima apa yang ia minta. Ketika hamba berucap,
“ihdina al-shiratha al-mustaqim, shiratha allazina an’amta ‘alaihim
ghairilmaghdhubi ‘alaihim wala al-dhallin”, Allah berfirman, “ ini adalah untuk
hamba-Ku dan hamba-Ku akan memperoleh apa yang ia minta” ( HR. Muslim)
6. Rukuk
Secara harfiah, ruku’ berarti
tunduk. Secara syara’, ruku’ dalam
shalat adalah menundukkan kepala dan leher sejajar dengan punggung dan pantat,
sementara tangan ditumpukan ke lutut dengan pandangan ke arah tempa sujud.
Ruku’ merupakan bentuk ketundukan, kepatuhan, kepasrahan, kehinaan dan
kefakiran diri di hadapan Allah. Bacaan tasbih yang dibaca dalam ruku’
mengandung makna pengagungan Allah. Menundukkan tubuh dan kepala di hadapan
Allah mengandung arti penundukan hawa nafsu dan hasrat diri. Selama hawa nafsu
tidak bisa ditundukkan, selama itu pula manusia
tidak bisa dan tidak mampu melaksanakan perintah Allah dengan baik. Rukuk juga bermakna menundukkan keangkuhan
dan kesombongan, menundukkan hasrat dan dorongan hawa nafsu, dan penyirnaan
diri (fana) di hadapan Allah Sang Maha Agung (Yunasril Ali, 2009:
161-164).
Ketika manusia sampai pada titik
terendah penghambaan dirinya kepada Allah, pada saat yang sama ia menemukan
awal titik baliknya menemukan gerbang Ketuhanan (Rububiyah). Rukuk adalah
simbol simbol ketundukan dan kepatuhan kepada Allah dan merupakan jalan bagi
ruhani untuk sampai kepada Allah. Puncak makna ruku’ yaitu ketundukan yang
ikhlas dan sirna dalam keagungan Allah. Seseorang yang tunduk dan patuh secara
ikhlas laksana sebuah bola yang dilemparkan ke dinding dan kemudian kembali ke
titik awal (Yunasril Ali, 2009: 165-166).
Titik awal adalah ketundukan ikhlas adalah pasrah kepada qudrat dan
iradah Allah, dan titik akhirnya adalah sirna dalam keagungan Allah.
Mamfaat rukuk untuk kesehatan sebagaimana
diungkapkan oleh Dr. Taufiq Ulwan. Ia menggambarkan posisi rukuk yang ideal;
secara mudah hendaknya tubuh berubah dari posisi berdiri ke posisi badan
membentuk sudut yang lurus dengan kedua kaki tetap berdiri. Posisi punggung
kokoh, lurus, tidak loyo, dan tidak membungkuk. Posisi leher tetap sejajar
dengan badan antara mengangkat dan menundukkan kepala (Hilmi al-Khuli, 2007:
99).
Ketika seseorang rukuk, maka posisi
jantung berada dalam satu garis horizontal dengan pembuluh darah tulang besar
sebagai ganti dari letak asalnya dalam posisi yang lebih tinggi dari pada
pembuluh darah tulang tersebut. Posisi rukuk ini akan memudahkan aliran darah
untuk kembali ke jantung karena pengaruh aktivitas penarikan oleh urat-urat
jantung. Sehingga jantung dapat leluasa menarik darah tanpa rintangan gaya
gravitasi bumi (Hilmi al-Khuli, 2007: 120-121).
Sagiran (2013: 54-55) menambahkan
bahwa ketika seseorang rukuk, maka terjadi pengurangan kompresi antar ruas-ruas
tulang belakang atau terjadi gerakan anti peradangan.
7. I’tidal
I’tidal adalah bangkit dari ruku’.
I’tidal adalah kembali ke posisi qiyam. I’tidal harus disertai sikap tuma’ninah
(diam sejenak) dalam keadaan berdiri. I’tidal mengandung makna tajdid
al-iman ( pembaharuan iman). Maksudnya adalah memperbaharui keyakinan akan
kebesaran Allah dan kehinaan diri yang telah dibangun dalam rukuk. Dalam
i’tidal seseorang membangun kembali kesiapan untuk menerima tugas kehambaan
diri kepada Allah dengan membangun kesadaran kebesaran Allah dengan memuji-Nya
dan menyadari bahwa segala sesuatu adalah milik Allah (Yunasril Ali, 2009:
166-170).
Dalam tinjauan kesehatan, i’tidal
membantu menarik nafas yang dalam lalu diikuti mengeluarkan nafas tersebut dari
arah yang berlawanan dengan kuat. Diafragma (sekat rongga badan antara dada
dengan perut) kembali dalam posisi lebih tinggi. Rongga perut tertekan ke
tempat yang lebih rendah, dada berada dalam posisi lebih tinggi dari desakan udara,
sehingga mengurangi terpencarnya darah yang menuju dada. Aliran darah yang
berada pada kedua kaki mempunyai kesempatan leluasa untuk berjalan cepat menuju
rongga perut yang urat-uratnya sedang lunak dan siap untuk menerima darah yang
tengah berjalan dari kaki menuju jantung (hilmi al-Khuli, 2007: 122-123)
8. Sujud
Sujud adalah simbol ketundukan dan
pengakuan kehinaan diri yang dalam di hadapan Allah. Dalam sujud, mushalli
harus menuundukkan kepala sampai menyentuh tanah (tempat sujud) sehingga posisi
pantat lebih tinggi dari kepala. Sujud dalam shalat dilakukan dua kali
berturut-turut. Al-Jawadi menuturkan asal dua sujud dalam shalat tersebut
adalah brkaitan dengan peristiwa isra’ dan mi’raj Nabi Muhammad Saw. Dalam
peristiwa tersebut dijelaskan bahwa Nabi Muhammad bersujud kepada Allah ketika
beliau menyaksikan keagungan Allah. Saat mengangkat kepala dari sujudnya,
beliau kembali memandang keagungan Allah sehingga beliau sujud sekali lagi
(Yunasril Ali, 2009: 171-174).
Sujud melambangkan siklus kehidupan
manusia, yang berasal dari tanah, dikembalikan kepada tanah, dan akan
dibangkitkan kembali dari tanah. Ketika mencium tanah saat sujud, manusia
diingatkan bahwa asal wujud jasmaninya bukanlah dari sesuatu yang tinggi dan
mulia, namun berasal dari sesuatu yang rendah (Yunasril Ali, 2009: 176-177).
Kesadaran ini akan membawa mushalli untuk tidak membesarkan alam material
karena semua materi berasal dari unsur yang sama yaitu tanah. Kesadaran akan
kehinaan alam material akan membawa mushalli dapat memasuki kesadaran ruh untuk
sirna dalam keagungan Allah. Sebaliknya, ketika manusia masih membesarkan dan
memuliakan alam materi, maka pada saat itu juga manusia tidak mampu menyaksikan
kebesaran dan keagunngan Allah.
Di tinjau dari segi kesehatan, sujud merupakan
gerakan yang mamfaatnya meliputi banyak perangkat tubuh. Membengkokkan kedua
lutut bermamfaat mencegah terjadinya kejang (kaku) pada kedua lutut.
Membengkokkan badan ke depan dan meletakkan dahi pada tanah merupakan gerakan
yang paling bermamfaat dalam proses pemijatan terhadap perut dan perangkat
pencernaan, sehingga membantu proses pencernaan. Bagi wanita, gerakan sujud ini
menempatkan rahim pada posisinya yang lami dan mencegah terjadinya kerusakan
dan kelainan (Hilmi al-Khuli, 2007: 106-107)
Sujud juga dapat mencegah penumpukan minyak
penyebab kegemukan di samping juga memperkuat otot perut, mencegah pengerutan
serta pengendoran otot-otot tertentu pada perut. Sujud juga mampu mengaktifkan
dan melancarkan aliran darah pada paru-paru dan kepala dan mengaktifkan
perangkat pencernaan lain yang tidak dijangkau oleh gerakan rukuk (Hilmi
al-Khuli, 2007: 111)
Gerakan turun dari berdiri menuju sujud,
berdampak membangkitkan semua proses pemompaan darah oleh urat samping
semaksimal dan seaktif mungkin, serta penuh keselarasan dan keseimbangan.
Gerakan tersebut memompa pada urat kaki, menyemprot betis, menyemprot paha dari
samping ke samping, juga menyemprot perut. Pengerutan otot-otot pada darah
mempengaruhi diperasnya darah urat yang terdapat dalam jaringan darah menuju
urat kecil dan diteruskan ke urat-urat besar (hilmi al-Khuli, 2007: 123).
Sagiran (2013: 57-58) juga menulis, sujud yang
sempurna akan berpengaruh terhadap peredaran darah di otak. Elastisitas
pembuluh darah merupakan faktor terpenting yang dapat mempertahankan tekanan
darah. Pada akhirnya gerakan sujud akan menjadi gerakan anti strok. Strok
terjadi bila terdapat sumbatan pada pembuluh darah atau pecah sehingga sebagian
otak mengalami gangguan dan bisa berdampak pada kelumpuhan. Begitu juga posisi
sujud dan rukuk juga berpengaruh terhadap organ-organ dalam menguatkan ikatan
tergantungnya organ-organ tersebut pada dinding rongga tempat rongga itu
berada. Secara anatomis terutama di dalam perut, argan dalam yang ada
penggantungnya akan diperkuat dengan dilatihnya secara terus menerus dengan
perubahan posisi berdiri, rukuk, san sujud.
9. Duduk
antara Dua Sujud
Duduk antara dua sujud dilakukan
dalam posisi iftirasy (bersimpuh). Posisi duduk antara dua sujud laksana
seorang budak yang duduk di depan tuannya. Duduk antara dua sujud menyiratkan
makna penting bagi mushalli yaitu kesadaran diri sebagai hamba Allah. Posisi
duduk antara dua sujud adalah posisi duduk mengharap belas kasih bukan posisi
memberi. Bacaan dalam duduk antara dua sujud jelas merupakan doa penuh harap
kepada Allah akan keampunan, kasih sayang Allah, agar dicukupkan Allah, mohon
ditinggikan oleh Allah, mohon rezki dari Allah, mohon petunjuk, mohon kesehatan,
dan kema’afan dari Zat Yang Maha Memberi yaitu Allah Swt. (Yunasril Ali, 2009:
180-184).
Al-Khuli (2007: 124) menjelaskan dari tinjauan
kesehatan, ketika seseorang bangun dari sujud yang diikuti pengambilan nafas
yang dalam, membantu aktivitas pemompaan dada seperti yang terjadi saat
i’tidal. Pada posisi duduk antara dua sujud ini, kedua kaki terlipat,
otot-ototnya melembek dan memberikan kesempatan kepada darah yang ada di
permukaan untuk mendapatkan jalan menuju aliran bagian dalam. Otot-otot paha
memeras daging yang melindungi tulang betis dan urat-urat betis yang juga
memeras darah. Proses pengembalian darah itu juga dibarengi pula dengan
pemompaan darah pada kedua telapak kaki dengan tekanan yang kuat. Pada sujud
kedua, sirkulasi darah kembali terulang sebagaimana pada sujud yang pertama .
10. Tasyahud
Secara harfiah, tasyahud berarti
persaksian. Tasyuahud adalah kesaksian kan keesaan Allah dan kerasulan Nabi
Muhammad saw yang diucapkan dalam posisi duduk akhir (tawaruk) dalam
shalat. Rukun tasyahud mengandung makna batin yang dalam, baik dari posisi
duduknya, mapupun dari bacaan yang dilafalkan di dalamnya. Posisi duduk yang
lebih berat ke kiri dimaknai oleh Ali Bin Abi Thalib dengan kalimat “ Ya Allah,
matikanlah yang bathil dan hidupkanlah yang hak”. Al-Quran juga menyebutkan
kanan sebagai jalan kebenaran, dan kiri sebagai jalan kebathilan. Duduk tawaruk
melambangkan usaha sungguh-sungguh untuk menegakkan kebenaran. Diangkatnya
telunjuk kanan juga mengandung makna bathin yang mendalam yaitu keteguhan
tauhid. Telunjuk adalah jari yang sering dipakai oleh manusia untuk
mengisyaratkan sesuatu (Yunasril Ali, 2009: 184-197). Tasyahud juga
mengisayaratkan makna kehadiran hati yang dipahami dari makna harfiah dari kata
tasyahud tersebut. Sehingga kebermaknaan sesuatu tidak bisa dilepaskan dari
kehadiran hati.
11. Salam
Secara etimologis, salam mengabdung
arti tidak bercacat, selamat, sejahtera, damai, atau aman. Dengan membaca salam
sebagai penutup shalat, seorang mushalli. Salam mengandung makna penegasan hati
bagi setiap mushalli untuk menjadi sumber dan pembawa keselamatan serta
kedamaian bagi semesta alam.
Ibn Sina menggambarkan pengembaraan
dan laku ruhani kepada empat tingkatan. Pertama, perjalanan dari makhluk
menuju Allah. Perjalanan ini dimulai dengan penyucian diri, diiringi dengan
kemauan yang kuat serta latihan-latihan ruhani dan perjuangan yang kenal lelah.
Kedua, perjalanan dari Tuhan dalam Tuhan. Dalam perjalanan ini seorang
mukmin merasakan kedekatan dengan Allah, merasakan sifat-sifat dan asma Allah. Ketiga,
perjalanan kembali kepada makhluk tanpa terpisah dari Allah. Inilah saat
seorang mukmin merasa membawa misi suci ketuhanan, yaitu menyebar salam kepada
segenap makhluk. Keempat, perjalanan dalam makhluk bersama Allah. Di
sini seorang mukmin menjadi penebar salam dan pembawa pelita bagi semesta alam
(Yunasril Ali, 2009: 200-201). Empat tingkatan perjalan ruhani ini harus
dilakoni oleh setiap mushalli agar ia dapat menjadi hamba Allah yang sempurna
dalam pandangan Allah.
Secara anatomis, leher adalah bagian
tubuh yang amat vital menghubungkan kepala dan batang tubuh. Trachea,
esofagus, vasa carotica (pemasok darah ke otak), nervus vagus (saraf
otonom kepala yang mengatur alat-alat dalam), kelenjar dan saluran getah
bening, kelenjar gondok, parathyroid dan lain-lain. Rangka leher terdiri
dari tujuh ruas tulang belakang dengan otot-otot yang cukup tebal melindungi
struktur bawahnya. Gerakan salam berfungsi melatih kelenturan leher dan
memperkuat otot-otot dan seluruh struktur leher berikut fungsi
refleks-refleksnya (Sagiran, 2013: 60-61).
Sumber:
Ahmad
Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman: Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik
Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, (Ciputat:
Sakata Cendikia, 2015), Cet. I
[i]
Menurut Henry Netter (1906),ruas tulang
orang dewasa berjumlah 206. Menurut Leslie Brainerd Arey (1934), secara
embriologis pusat penulangan semasa kehidupan janin dalam kandungan berjumlah
350-an, yang kemudian banyak pusat-pusat penulangan tersebut menyatu, membentuk
satu tulang dewasa. Jumlah tulang ini dekat dengan jumlah hari dalam setahun.
Baca, Sagiran, Mukjizat Gerakan Shalat, (Jakarta: QultumMedia, 2013), cet II.,
h.42
[ii]
Ibn Taymiyah menganggap ini bukan Hadits, lihat Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa
(Beirut: Dar a-‘Arabiyyah, 1398 H ), jilid XVIII, h. 132. Berbeda halnya dengan
Ibn ‘Arabai yang memandang Hadits ini sebagai Hadits Shahih. Lihat Ibn ‘Arabi,
Futuhat, jilid II, h. 399. Baca juga: Yunasril Ali, (2009: 76)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar