ISLAM DAN KEBUDAYAAN
Oleh: Dr. Ahmad
Rivauzi, MA
Islam sebagai sebuah doktrin adalah satu. Namun sebagai ekspresi
kultural, Islam itu beragam. Islam bisa saja tampil dalam rona muka yang
bervariasi. Ada Islam Indonesia yang berbingkai Pancasila, Islam Pakistan,
Islam Arab, Islam Malaysia dan lainnya.. (Ma’arif, 1997:15-25)
A. Pengertian
Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat (1965:77-78), Secara
bahasa,
kebudayaan berasal dari bahasa sansakerta buddhayah yang
merupakan bentuk jamak dari ”buddhi” yang berarti budi atau akal
(Koentjaraningrat, 1965 : 77-78). Menurut Qardhawi (2001: 20), dalam bahasa Arab, kebudayaan
disebut tsaqafah, dan peradaban disebut dengan hadharah. Dalam Mu’jam
al-Wasith, kebudayaan (tsaqafah) diartikan sebagai ilmu pengetahuan
dan berbagai bidang kehidupan manusia yang membutuhkan kecakapan. Secara
bahasa, tsaqafah itu sendiri berarti kepintaran, kecakapan, kecerdasan,
atau pelurusan (Ahmad Rivauzi, 2015: 229).
Yusuf Qardhawi (2001: 20) menjelaskan ada kalangan yang
memahami tsaqafah sebatas bidang pengetahuan seperti ilmu, pemikiran,
etika, dan seni, ada juga yang memahami bahwa budaya berkaitan dengan aspek
individu, sedangkan peradaban berkaitan dengan aspek social, dan ada juga yang
menjelaskan bahwa budaya berkaitan dengan non materi, sedangkan peradaban
berkaitan dengan materi. Dalam konteks ini, Qardhawi tidak membedakan antara
budaya dengan peradaban dan kalau masih harus dibedakan juga, maka dengan melihat
keluasan cakupan konsepsi budaya yang diberikannya, dapat dikatakan bahwa
peradaban merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri. Dengan demikian, tsaqafah adalah
berbagai pemikiran, pengetahuan, dan pencapaian yang dicampur dengan
nilai-nilai, keyakinan, dan perasaan yang sering disebut dengan akhlak dan
ibadah, adab dan prilaku, juga ilmu, seni, hal-hal yang bersifat materi, dan
spiritual (Ahmad
Rivauzi, 2015: 229-230).
Dari penjelasan di atas, kebudayaan Islam dapat diartikan
sebagai berbagai pemikiran, pengetahuan, dan pencapaian yang dicampur dengan
nilai-nilai, keyakinan, dan perasaan yang sering disebut dengan akhlak dan
ibadah, adab dan prilaku, juga ilmu, seni, hal-hal yang bersifat materi, dan
spiritual yang didasarkan kepada nilai-nilai dan ajaran Islam yang bersifat
universal (Ahmad Rivauzi, 2015: 230).
Pemikiran, pengetahuan, dan pencapaian umat Islam,
keyakinan, dan perasaan mereka, adab dan
prilaku mereka tidak selamanya sesuai dengan ajaran Islam. Dengan demikian,
kebudayaan umat Islam adakalanya tidak dapat dikatakan sebagai kebudayaan Islam
manakala kebudayaan mereka bertentangan dengan nilai-nilai Islam (Ahmad Rivauzi, 2015: 230)..
Ma’arif (1997:15-25)
menjelaskan bahwa kebudayaan Islam merupakan sesuatu yang dinamis. Dalam hal
budaya, Islam Cuma mengataur nilai-nilainya, sedangkan bentuknya dapat saja
mencul dalam berbagai bentuk dan corak. Islam sebagai sebuah doktrin adalah satu. Namun
sebagai ekspresi kultural, Islam itu beragam. Islam bisa saja tampil dalam rona
muka yang bervariasi. Ada Islam Indonesia yang berbingkai Pancasila, Islam
Pakistan, Islam Arab, Islam Malaysia dan lainnya. Bermacam-macam ekspresi
kultural ini muncul sebagai akibat yang logis dari lingkungan sejarah dan
feografis yang berbeda-beda. Sejauh Islam kultural ini tidak melanggar prinsip tauhid
dan prinsip-prinsip dasar Islam, maka keberagaman tersebut seyogyanya diterima
sebagai bentuk penafsiran ke-Islaman yang berjalan secara alamiah. Yang perlu
dijaga adalah agar wajah-wajah Islam yang beragam tersebut tidak merusak
bangunan tauhid dan persaudaraan universal umat. Mereka yang menganggap Islam
sebagai sistem kultur yang monolitik adalah keliru dan perlu diluruskan
pemahamannya, karena mereka buta untuk melihat kekayaan Islam sebagai ajaran
yang universal sebagaimana telah termanifestasikan dalam pelbagai periode
sejarah (Ahmad Rivauzi, 2015: 230-231)..
Pemahaman
keagamaan umat Islam dapat juga tampil
dalam berbagai bentuk rona yang beragam. Munculnya mazhab-mazhab fikih,
apresiasi pemahaman keagamaan Ormas Islam semisal Muhammadiyah, Nahdatul Ulama,
Perti dan lain sebagainya merupakan contoh keberagamaan yang harus disikapi dan
diterima dengan lapang dada sebagai bentuk dari rahmat Allah yang disyukuri.
Tidak boleh perbedaan-perbedaan tersebut membawa kepada perpecahan umat (Ahmad
Rivauzi, 2015: 231).
Perbedaan
paham keagamaan akan menjadi tidak dapat ditolerir apabila perbedaan tersebut
berada pada tingkat ajaran-ajaran dasar atau prinsip-prinsip dasar Islam.
Prinsip-prinsip tersebut adalah hal-hal dasar yang berhubungan dengan
prinsip-prinsip keimanan dan ke-Islaman sebagaimana termaktup pada rukun iman
dan rukun Islam. Pada wilayah ini tidak boleh ada perbedaan paham. Kalau
seseorang telah mengaku beragama Islam, maka keyakinannya harus satu dan wajib
sama dengan muslim lainnya; misalnya keyakinan bahwa tidak ada tuhan selain
Allah Yang Esa Zat, Shifat dan Af’al-Nya serta meyakini
Nabi Muhammad adalah rasulullah. Begitu juga halnya dengan aspek rukun Islam;
dia harus ta’at dan patuh menjalankan perintah Allah untuk shalat lima kali
sehari dan semalam, wajib puasa pada bulan Ramadhan, kewajiban bayar Zakat dan
haji bagi yang mampu dan lain sebagainya. Hal-hal ini merupakan ajaran dasar
dalam Islam sehingga tidak boleh ada perbedaan dalam pemahaman dan keyakinan
karena sudah diatur tegas oleh Allah serta rasul-Nya dan ini tidak membutuhkan
ijtihad.
Perbedaan dapat ditolerir selama perbedaan tersebut berada pada aspek ijtihadiyah
atau furu’iyah dalam kehidupan beragama dan itu dibolehkan selama
perbedaan tersebut punya landasan syar’i dan tidak bertentangan dengan
dalil-dalil syar’i (Ahmad Rivauzi, 2015: 231-232).
Menurut Syafi’i Ma’arif (1997:176), agama harus dipahami secara substantif agar
pesannya dapat didaratkan secara bermakna. Sikap beragama yang artifisial tidak
akan menolong keadaan bangsa yang kusut. Sebuah agama, yang sudah kehilangan
fungsi transendentalnya pada diri pemeluknya, tidak akan berdaya memberi
kekuatan moral kepada peradaban. Ketika
fungsi ini tersingkir, maka kegalauan dan kebiadaban peradaban tidak mungkin
dibendung lagi. (Ahmad
Rivauzi, 2015: 232)
B. Prinsip
dan Karakteristik Kebudayaan Islam
Yusuf Qardawi (2001:
35-54), sebagaimana dikutip Ahmad
Rivauzi (2015: 232-234) menjelaskan karakteristik muslim dan kebudayaanya. Karakteristik tersebut adalah:
a. Rabbaniyah
Kebudayaan
Islam merupakan kebudayaan yang padu dengan aspek ke-Tuhanan. Visi keimanan,
khususnya tauhid menyatu dengan seluruh sisi kebudayaan tersebut, mengalir di
dalamnya sebagaimana aliran darah dalam-pembuluh-pembuluh darah kapiler.
Sehingga, sya’ir, sains, falsafah, seni dan lain sebaginya akan dijiwai oleh
nilai tauhid sebagai ruhnya yang akan menjadikan kebudayaan tersebut membawa
rahmat dan kemulyaan pada umat manusia.
b. Akhlaqiyah
Kebudayaan
Islam memiliki dimensi dan tujuan moral yang tinggi. Akhlak dalam Islam
menempati posisi yang sangat mulia dan berharga.
c. Insaniyah
Kebudayaan
Islam menempatkan dan menjadikan manusia sebagai makhluk yang mulia.
d. Al-‘Alamiyah
Kebudayaan
Islam itu bersifat universal. Walaupun kebudayaan Islam itu bisa tampil dalam
bentuk yang beragam, namun nilai-nilai budayanya sangat luas dan menjadi rahmat
bagi semesta alam.
e. At-Tasamuh
Kebudayaan
Islam adalah kebudayan yang menjunjung tinggi nilai toleransi. Dua hal yang di
ajarkan Islam berkenaan dengan pentingnya toleransi ini. Pertama, bahwa
perbedaan umat manusia dalam agama dan lainnya terjadi atas kehendak Allah
(Hud: 118-119). Kedua, bahwa perhitungan atas kesesatan dan atau
penyelewengan yang dilakukan umat manusia diserahkan pada hukum Allah dan Allah
adalah Yang Maha Menghakimi, bukan kehendak nafsu manusia (Asy-Syura:15). Kedua
hal inilah yang mendorong umat Islam untuk mampu berbeda dalam keberagaman.
f. Keberagaman
Keberagaman
dalam rona dan tampilan sebagai manivestasi apresiasi keta’atan kepada Allah
dan Rasul-Nya selama perbedaan tersebut memiliki dasar keta’atan syar’iyyah
kepada Allah.
g. Al-Wasathiyah
Kebudayaan
Islam merepresentasikan jalan pertengahan dan keseimbangan.
h. At-Takamul
Kebudayaan
Islam merupakan kebudayaan yang menyempurnakan antara satu bagian dengan bagian
lainnya. Wawasan bahasa mendukung wawasan agama, humaniora dan lainnya. Islam
tidak menciptakan kebudayaan dari nol, namun menyempurnakan
kebudayaan-kebudayaan yang ada sebagaimana al-Qur’an menyempurnakan kitab-kitan
samawi yang datang sebelumnya.
i. Al-I’tizaz bi adz-Dzat
Berikutnya karakteristik
kebudayaan Islam itu adalah bahwa ia bangga dengan kepribadian dan keistimewaannya,
dengan sumber-sumbernya yang Rabbani, tujuan-tujuan kemanusiaannya,
orientasi dan celupan moralnya. Kebudayaan Islam bukan kebudayaan yang mengekor
tetapi
memimpin dinamika budaya dan peradaban manusi.
Sumber:
Ahmad
Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman: Memahami Universalitas Islam untuk
Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin,
(Ciputat: Sakata Cendikia, 2015), Cet. I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar