Minggu, 15 Juli 2018

ISLAM DAN KEBUDAYAAN


ISLAM DAN KEBUDAYAAN
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA

Islam sebagai sebuah doktrin adalah satu. Namun sebagai ekspresi kultural, Islam itu beragam. Islam bisa saja tampil dalam rona muka yang bervariasi. Ada Islam Indonesia yang berbingkai Pancasila, Islam Pakistan, Islam Arab, Islam Malaysia dan lainnya.. (Ma’arif, 1997:15-25)

A.  Pengertian Kebudayaan
            Menurut Koentjaraningrat (1965:77-78), Secara bahasa, kebudayaan berasal dari bahasa sansakerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari ”buddhi” yang berarti budi atau akal (Koentjaraningrat, 1965 : 77-78). Menurut Qardhawi (2001: 20), dalam bahasa Arab, kebudayaan disebut tsaqafah, dan peradaban disebut dengan hadharah. Dalam Mu’jam al-Wasith, kebudayaan (tsaqafah) diartikan sebagai ilmu pengetahuan dan berbagai bidang kehidupan manusia yang membutuhkan kecakapan. Secara bahasa, tsaqafah itu sendiri berarti kepintaran, kecakapan, kecerdasan, atau pelurusan (Ahmad Rivauzi, 2015: 229).
Yusuf Qardhawi (2001: 20) menjelaskan ada kalangan yang memahami tsaqafah sebatas bidang pengetahuan seperti ilmu, pemikiran, etika, dan seni, ada juga yang memahami bahwa budaya berkaitan dengan aspek individu, sedangkan peradaban berkaitan dengan aspek social, dan ada juga yang menjelaskan bahwa budaya berkaitan dengan non materi, sedangkan peradaban berkaitan dengan materi. Dalam konteks ini, Qardhawi tidak membedakan antara budaya dengan peradaban dan kalau masih harus dibedakan juga, maka dengan melihat keluasan cakupan konsepsi budaya yang diberikannya, dapat dikatakan bahwa peradaban merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri. Dengan demikian, tsaqafah adalah berbagai pemikiran, pengetahuan, dan pencapaian yang dicampur dengan nilai-nilai, keyakinan, dan perasaan yang sering disebut dengan akhlak dan ibadah, adab dan prilaku, juga ilmu, seni, hal-hal yang bersifat materi, dan spiritual (Ahmad Rivauzi, 2015: 229-230).
Dari penjelasan di atas, kebudayaan Islam dapat diartikan sebagai berbagai pemikiran, pengetahuan, dan pencapaian yang dicampur dengan nilai-nilai, keyakinan, dan perasaan yang sering disebut dengan akhlak dan ibadah, adab dan prilaku, juga ilmu, seni, hal-hal yang bersifat materi, dan spiritual yang didasarkan kepada nilai-nilai dan ajaran Islam yang bersifat universal (Ahmad Rivauzi, 2015: 230).
Pemikiran, pengetahuan, dan pencapaian umat Islam, keyakinan, dan perasaan mereka,  adab dan prilaku mereka tidak selamanya sesuai dengan ajaran Islam. Dengan demikian, kebudayaan umat Islam adakalanya tidak dapat dikatakan sebagai kebudayaan Islam manakala kebudayaan mereka bertentangan dengan nilai-nilai Islam (Ahmad Rivauzi, 2015: 230)..
Ma’arif (1997:15-25) menjelaskan bahwa kebudayaan Islam merupakan sesuatu yang dinamis. Dalam hal budaya, Islam Cuma mengataur nilai-nilainya, sedangkan bentuknya dapat saja mencul dalam berbagai bentuk dan corak. Islam sebagai sebuah doktrin adalah satu. Namun sebagai ekspresi kultural, Islam itu beragam. Islam bisa saja tampil dalam rona muka yang bervariasi. Ada Islam Indonesia yang berbingkai Pancasila, Islam Pakistan, Islam Arab, Islam Malaysia dan lainnya. Bermacam-macam ekspresi kultural ini muncul sebagai akibat yang logis dari lingkungan sejarah dan feografis yang berbeda-beda. Sejauh Islam kultural ini tidak melanggar prinsip tauhid dan prinsip-prinsip dasar Islam, maka keberagaman tersebut seyogyanya diterima sebagai bentuk penafsiran ke-Islaman yang berjalan secara alamiah. Yang perlu dijaga adalah agar wajah-wajah Islam yang beragam tersebut tidak merusak bangunan tauhid dan persaudaraan universal umat. Mereka yang menganggap Islam sebagai sistem kultur yang monolitik adalah keliru dan perlu diluruskan pemahamannya, karena mereka buta untuk melihat kekayaan Islam sebagai ajaran yang universal sebagaimana telah termanifestasikan dalam pelbagai periode sejarah (Ahmad Rivauzi, 2015: 230-231)..
Pemahaman keagamaan umat Islam dapat juga tampil dalam berbagai bentuk rona yang beragam. Munculnya mazhab-mazhab fikih, apresiasi pemahaman keagamaan Ormas Islam semisal Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Perti dan lain sebagainya merupakan contoh keberagamaan yang harus disikapi dan diterima dengan lapang dada sebagai bentuk dari rahmat Allah yang disyukuri. Tidak boleh perbedaan-perbedaan tersebut membawa kepada perpecahan umat (Ahmad Rivauzi, 2015: 231).
Perbedaan paham keagamaan akan menjadi tidak dapat ditolerir apabila perbedaan tersebut berada pada tingkat ajaran-ajaran dasar atau prinsip-prinsip dasar Islam. Prinsip-prinsip tersebut adalah hal-hal dasar yang berhubungan dengan prinsip-prinsip keimanan dan ke-Islaman sebagaimana termaktup pada rukun iman dan rukun Islam. Pada wilayah ini tidak boleh ada perbedaan paham. Kalau seseorang telah mengaku beragama Islam, maka keyakinannya harus satu dan wajib sama dengan muslim lainnya; misalnya keyakinan bahwa tidak ada tuhan selain Allah Yang Esa Zat, Shifat dan Af’al-Nya serta meyakini Nabi Muhammad adalah rasulullah. Begitu juga halnya dengan aspek rukun Islam; dia harus ta’at dan patuh menjalankan perintah Allah untuk shalat lima kali sehari dan semalam, wajib puasa pada bulan Ramadhan, kewajiban bayar Zakat dan haji bagi yang mampu dan lain sebagainya. Hal-hal ini merupakan ajaran dasar dalam Islam sehingga tidak boleh ada perbedaan dalam pemahaman dan keyakinan karena sudah diatur tegas oleh Allah serta rasul-Nya dan ini tidak membutuhkan ijtihad. Perbedaan dapat ditolerir selama perbedaan tersebut berada pada aspek ijtihadiyah atau furu’iyah dalam kehidupan beragama dan itu dibolehkan selama perbedaan tersebut punya landasan syar’i dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar’i (Ahmad Rivauzi, 2015: 231-232).
Menurut Syafi’i Ma’arif (1997:176), agama harus dipahami secara substantif agar pesannya dapat didaratkan secara bermakna. Sikap beragama yang artifisial tidak akan menolong keadaan bangsa yang kusut. Sebuah agama, yang sudah kehilangan fungsi transendentalnya pada diri pemeluknya, tidak akan berdaya memberi kekuatan  moral kepada peradaban. Ketika fungsi ini tersingkir, maka kegalauan dan kebiadaban peradaban tidak mungkin dibendung lagi. (Ahmad Rivauzi, 2015: 232)
B.  Prinsip dan Karakteristik Kebudayaan Islam
Yusuf Qardawi (2001: 35-54), sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015: 232-234) menjelaskan karakteristik muslim dan kebudayaanya. Karakteristik tersebut adalah:
a.    Rabbaniyah
Kebudayaan Islam merupakan kebudayaan yang padu dengan aspek ke-Tuhanan. Visi keimanan, khususnya tauhid menyatu dengan seluruh sisi kebudayaan tersebut, mengalir di dalamnya sebagaimana aliran darah dalam-pembuluh-pembuluh darah kapiler. Sehingga, sya’ir, sains, falsafah, seni dan lain sebaginya akan dijiwai oleh nilai tauhid sebagai ruhnya yang akan menjadikan kebudayaan tersebut membawa rahmat dan kemulyaan pada umat manusia.
b.    Akhlaqiyah
Kebudayaan Islam memiliki dimensi dan tujuan moral yang tinggi. Akhlak dalam Islam menempati posisi yang sangat mulia dan berharga.
c.      Insaniyah
Kebudayaan Islam menempatkan dan menjadikan manusia sebagai makhluk yang mulia.
d.    Al-‘Alamiyah
Kebudayaan Islam itu bersifat universal. Walaupun kebudayaan Islam itu bisa tampil dalam bentuk yang beragam, namun nilai-nilai budayanya sangat luas dan menjadi rahmat bagi semesta alam.
e.     At-Tasamuh
Kebudayaan Islam adalah kebudayan yang menjunjung tinggi nilai toleransi. Dua hal yang di ajarkan Islam berkenaan dengan pentingnya toleransi ini. Pertama, bahwa perbedaan umat manusia dalam agama dan lainnya terjadi atas kehendak Allah (Hud: 118-119). Kedua, bahwa perhitungan atas kesesatan dan atau penyelewengan yang dilakukan umat manusia diserahkan pada hukum Allah dan Allah adalah Yang Maha Menghakimi, bukan kehendak nafsu manusia (Asy-Syura:15). Kedua hal inilah yang mendorong umat Islam untuk mampu berbeda dalam keberagaman.
f.     Keberagaman
Keberagaman dalam rona dan tampilan sebagai manivestasi apresiasi keta’atan kepada Allah dan Rasul-Nya selama perbedaan tersebut memiliki dasar keta’atan syar’iyyah kepada Allah.
g.     Al-Wasathiyah
Kebudayaan Islam merepresentasikan jalan pertengahan dan keseimbangan.
h.    At-Takamul
Kebudayaan Islam merupakan kebudayaan yang menyempurnakan antara satu bagian dengan bagian lainnya. Wawasan bahasa mendukung wawasan agama, humaniora dan lainnya. Islam tidak menciptakan kebudayaan dari nol, namun menyempurnakan kebudayaan-kebudayaan yang ada sebagaimana al-Qur’an menyempurnakan kitab-kitan samawi yang datang sebelumnya.
i.      Al-I’tizaz bi adz-Dzat
Berikutnya karakteristik kebudayaan Islam itu adalah bahwa ia bangga dengan kepribadian dan keistimewaannya, dengan sumber-sumbernya yang Rabbani, tujuan-tujuan kemanusiaannya, orientasi dan celupan moralnya. Kebudayaan Islam bukan kebudayaan yang mengekor tetapi
memimpin dinamika budaya dan peradaban manusi.

Sumber:
Ahmad Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman: Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, (Ciputat: Sakata Cendikia, 2015), Cet. I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar