Sabtu, 19 Oktober 2013

Kematian dalam Pandangan Islam

Kematian dalam Pandangan Islam
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA

Kematian oleh para ulama didefinisikan sebagai  “ketiadaan hidup”. Di dalam al-Quran ditemukan penjelasan tentang  hidup dan mati ini. Berikut kupasan tentang kematian dalam penjelasan al-Quran dan hadits.Al-Quran menggambarkan naluri manusia yang enggan menghadapi kematian. Bahkan Iblis melakukan bujuk rayu kepada Adam dan Hawa melalui “pintu” keiinginan untuk hidup kekal selama-lamanya (Ahmad Rivauzi, 2015: 39-40).
فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَاآدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَا يَبْلَى
“Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?"  QS. Thaha [20]: 120

Ahmad Rivauzi (2015: 40) mengutip Quraish Shihab yang menjelaskan beberapa alasan yang menyebabkan seseorang enggan atau takut hadapi kematian. Ada orang yang enggan dan takut mati karena ia tidak tidak mengetahui apa yang akan dihadapinya setelah kematian; atau karena menganggap bahwa yang dimiliki di dunia ini lebih baik dari pada yang akan dihadapi setelah mati; atau karena membayangkan sulit dan pedihnya kematian; atau disebabkan oleh karena tidak memahami makna hidup dan mati.[1] Dengan demikian penjelasan tentang kehidupan dan kematian ini penting dipahami oleh manusia yang masih hidup di alam dunia ini. 


                                                                         
1.        Hidup dan mati itu masing-masing 2 kali
            Firman Allah, QS. Ghafir [40]: 11,
قَالُوا رَبَّنَا أَمَتَّنَا اثْنَتَيْنِ وَأَحْيَيْتَنَا اثْنَتَيْنِ فَاعْتَرَفْنَا بِذُنُوبِنَا فَهَلْ إِلَى خُرُوجٍ مِنْ سَبِيلٍ
 “ Mereka menjawab: "Ya Tuhan kami Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka Adakah sesuatu jalan (bagi kami) untuk keluar (dari neraka)?" QS. Ghafir [40]: 11,
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?”. QS. Al-Baqarah [2]:28

            Berdasarkan keterangan ayat di atas, dapat dipahami bahwa manusia menjalani hidup dan mati itu masing-masing dua kali. Kematian pertama dialami manusia sebelum kelahirannya atau sebelum Allah meniupkan ruh kepada jasad manusia (sebelum empat bulan dalam kandungan). Sedangkan kematian yang kedua dialami manusia saat ia meninggalkan dunia fana ini. Kehidupan pertama dimulai di saat ruh ditiupkan Allah sampai datangnya ajal, dan kehidupan kedua dimulai setelah dia meninggalkan dunia ini memasuki alam barzakh, atau alam akhirat.[2]
             
2.    Hakikat kematian merupakan proses alami untuk memasuki alam kesempurnaan

Kehidupan setelah mati digambarkan Allah dalam al-Quran jauh lebih baik dari pada kehidupan di dunia. Firman Allah,
 ...قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا
"Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun”. QS. An-Nisa’ [4]:77
وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَى
“ dan sesungguhnya akhirat itu lebih baik bagimu dari pada dunia”. QS. Al-Dhuha [93]:4

Ar-Raghib al-Ishahani menegaskan, “kematian, yang dikenal dengan berpisahnya ruh dari badan, merupakan sebab yang mengantarkan manusia menuju kenikmatan abadi. Kematian adalah berpindah dari satu negeri ke negeri lain”.[3]
Al-Quran menyebut juga kematian dengan istilah wafat yang berarti sempurna dan imsak yang berarti menahan.  Sehingga dengan kematian manusia memperoleh kesenpurnaan seperti menetasnya ayam dari telurnya.
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Allah menyempurnakan jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang Telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir”. (Qs. Az-Zumar [39]: 42)

3.    Hikmah adanya kehidupan dan kematian
Adanya hidup dan mati pada dasarnya merupakan ujian kepada manusia. Siapa di antara manusia yang lebih baik dalam ber’amal dan berprilaku dalam kehidupan di dunia ini. Allah berfirman dalam QS. Al-Mulk [67]: 1-3
تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ , الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ , الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَاتٍ طِبَاقًا مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ
Maha Suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,yang Telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka Lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?

4.    Kematian hanya Ketiadaan Hidup di Dunia
Kematian hanya sebatas berpindahnya alam kehidupan manusia dari alam dunia ke alam lain dengan cara yang tidak dapat diketahui manusia sepenuhnya.
وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. QS. Al-Baqarah [2]: 154
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki”. (QS. Ali Imran [3]: 169)

            Seorang sejarawan Ibn Ishak meriwayatkan bahwa ketika orang-orang musyrik Quraisy yang tewas dalam peperangan Badar dikuburkan pada satu perigi oleh  Rasulullah bersama para sahabat, Rasulullah bertanya kepada mereka yang telah dikuburkan itu, “ Wahai penghuni perigi (sumur kotor dan berbau), wahai Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Umayyah bin Khallaf, Abu Jahal bin Hisyam, (seterusnya beliau menyebut nama-nama orang-orang yang ada dalam perigi tersebut satu persatu). Wahai penghuni perigi! Adakah kamu telah menemukan apa yang dijanjikan tuhanmu itu benar-benar ada? Aku telah mendapati apa yang telah dijanjikan Tuhanku.” Para sahabat bertanya, “ Ya Rasul, mengapa engkau berbicara dengan orang yang sudah meninggal? Rasul menjawab, “kamu sekalian tidak lebih mendengar dari mereka, tetapi mereka tidak mampu menjawabku.[4]
            Riwayat di atas menunjukkan bahwa orang yang sudah mati, ruhnya tetap hidup dan bahkan lebih mampu mendengar daripada orang yang masih hidup di alam dunia ini.

5.    Keadaan orang menjelang mati
Fakhruddin ar-Razi mengatakan, “ tidur dan mati merupakan dua hal dari jenis yang sama. Hanya saja kematian adalah putusnya hubungan secara sempurna, sedang tidur adalah putusnya hubungan tidak sempurna dilihat dari beberapa segi”. Karena tidur itu merupakan salah satu bentuk nikmat dan kelezatan yang diberikan kepada manusia, sehingga dengan demikian mati itupun sesungguhnya lezat dan nikmat. Namun demikian, seperti halnya tidur, ada faktor-faktor yang tentunya dapat menjadikan tidur menjadi terganggu atau bahkan ada tidur yang diganggu mimpi yang mengerikan. Dengan demikian, kematian juga seperti itu. Amal perbuatan di dunia akan menjadi faktor-faktor menjadikan kematian seseorang terasa sangat menyakitkan dan mengerikan. [5]
Al-Quran memberikan gambaran tentang kondisi yang dialami oleh orang meninggal. Untuk orang yang mukmin digambarkan Allah,
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ(30)   فصلت
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu". (QS. Fushshilat [41]: 30
Nabi Muhammad Saw., dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad menjelaskan bahwa, “Seorang mukmin, saat menjelang kematiannya, akan didatangi oleh malaikat sambil menyampaikan dan memperlihatkan kepadanya apa yang bakal dialaminya setelah kematian. Ketika itu tidak ada yang lebih disenanginya kecuali bertemu dengan Tuhan (mati). Berbeda halnya dengan orang kafir yang juga diperlihatkan kepadanya apa yang bakal dihadapinya, dan ketika itu tidak ada sesuatu yang lebih dibencinya daripada bertemu dengan Tuhan”. [6]
Tentang apa yang akan dialami oleh orang yang kufur kepada Allah ini, al-Quran juga menjelaskan dalam QS. Al-Anfal [8]: 50,
وَلَوْ تَرَى إِذْ يَتَوَفَّى الَّذِينَ كَفَرُوا الْمَلَائِكَةُ يَضْرِبُونَ وُجُوهَهُمْ وَأَدْبَارَهُمْ وَذُوقُوا عَذَابَ الْحَرِيقِ(50) الانفال
“Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata): "Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar", (tentulah kamu akan merasa ngeri)”.
... وَلَوْ تَرَى إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلَائِكَةُ بَاسِطُو أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنْفُسَكُمُ الْيَوْمَ تُجْزَوْنَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ وَكُنْتُمْ عَنْ ءَايَاتِهِ تَسْتَكْبِرُونَ
“... Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu". Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.(QS. Al-An’am [6]: 93
Berdasarkan paparan di atas, seyogyanyalah hamba yang beriman kepada Allah dan beramal shaleh tidak merasa takut dan khawatir untuk menghadapi kematian. Dengan banyak berubudiyah dan mengingat Allah akan membawa kedamaian dan kebahagiaan kepada jiwa (ruh atau nafs). Kedamaian serta kebahagiaan hati ini akan berlansung sampai saat-saat kematian dan akan merasakan kelezatan dan nikmat sebagaimana telah dijelaskan Al-Quran.
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Tiap-tiap yang berjiwa (nafs) akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran [3]: 185)
6.    Alam barzakh (Qubur)

Alam Barzakh merupakan pembatas antara alam dunia dan akhirat.  Keberadaan di alam barzakh merupakan kehidupan yang dapat menyaksikan nasibnya kelak dan dapat juga menyaksikan kehidupan di pentas dunia. Dalam hal ini Allah berfirman,
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ . لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada pemisah (barzakh) sampai hari mereka dibangkitkan”.(QS. Al-Mukminun [23]: 99-100)

Dari segi bahasa, “barzakh” berarti “pemisah”. Para ulama mengartikan alam barzakh sebagai “periode antara kehidupan dunia dan akhirat”. Keberadaan pada alam ini memungkinkan seseorang untuk melihat kehidupan dunia dan akhirat. Kehidupan alam barzakh bagaikan keberadaan pada suatu ruangan terbuat kaca. Ke depan dia bisa melihat keadaannya yang akan datang, sedang ke belakang ia dapat menyaksikan kehidupan yang berlangsung pada pentas dunia. Quraish Shihab mengutip beberapa riwayat menjelaskan hal ini sebagaimana paparan di bawah ini.[7] 
Sebuah riwayat dari Imam Ahmad ibn Hambal, Ath-Thabrani, Ibn Abi ad-Dunya, Ibn Majah dari Abu Sa’id al-Khudri. Rasul bersabda:
ا ن الميت ليعرف من يغسله ويحمله و يكفنه ومن ىدليه في حفرته
( رواه احمد والطبرانى وابن ابى الدنيا عن ابى سعيد الخدرى)  
“Sesungguhnya mayat mengenali siapa saja yang memandikannya, mengangkat dan mengkafaninya dan orang yang menurunkannya ke liang kubur”.
Riwayat lain dari Imam Bukhari juga menjelaskan,
اذا مات احدكم عرض مقعده بالغداة والعشى ان كان من اهل الجنة فمن اهل الجنة وان كان من اهل النار فمن اهل النار فيقال له هذا مقعدك حتى يبعثك الله
“Apabila salah seorang di antara kamu meninggal, maka diperlihatkan kepadanya tempat tinggalnya kelak (di hari kiamat). Kalau dia penghuni surga, maka diperlihatkan kepadanya tempat ahli surga; dan jika penghuni neraka,  maka diperlihatkan tempat ahli neraka. Lalu disampaikan kepadanya, inilah tempat tinggalmu sampai Allah membangkitkanmu kelak”.

Imam Muslim juga meriwayatkan bahwa masruq berkata:

سأ لنا او سأ لت عبد الله ابن مسعود عن هذه الأية "لا تحسبنّ الذين قتلوا فى سبيل الله امواتا" فقال سألنا عن ذالك رسول الله فقال ارواحهم فى جوف طير خضر لها قناديل معلقة بالعرش تسرح من الجنة حيث شاء ت ثم تأوى الى تلك القنا ديل فا طلع عليهم ربهم اطلاعة فقال هل تستهون شيأ ؟ فقالوا أى شيئ نستهى ونحن نسرح من الجنة حيث شئنا ففعل ذلك بهم ثلاث مرات فلما راوا أنهم لن يتركوا من ان يسألوا قالوا يارب نزيد ان تردّ ارواحنا فى اجسا دنا حتى نقتل فى سبيلك مرة اخرى فلما رأى ان ليس لهم حاجة تركوا رواه مسلم والترمزى

Kami bertanya kepada Abdullah bin Mas’ud tentang ayat QS Ali Imran: 169 (di atas) . Abdullah bin Mas’ud berkata,: “Sesungguhnya kami telah menanyakan hal itu kepada Rasulullah, dan beliau bersabda:” Arwah mereka di dalam rongga burung berwarna hijau dengan pelita-pelita yang tergantung di bawah ‘Arasy, terbang ke sorga dengan mudah kemanapun mereka kehendaki kemudian kembali lagi kepada pelita-pelita itu. Tuhan mereka mengunjungi mereka dan berfirman, “Apakah kalian menginginkan sesuatu? Mereka menjawab, “Apalagi yang kami inginkan sedangkan kami terbang dengan mudahnya di Sorga, ke manapun kami menghendaki?” Tuhan melakukan hal yang demikian tiga kali dan ketika mereka sadar bahwa mereka tidak dibiarkan tanpa meminta sesuatu, mereka berkata: “Wahai Tuhan, kami ingin agar arwah kami dikembalikan ke jasad kami, sehingga kami dapat gugur di jalan-Mu untuk kali yang kedua. Setelah Tuhan melihat bahwa mereka tidak memiliki keinginan lagi di sana (lebih dari apa yang mereka peroleh selama ini) maka mereka dibiarkan”.

Ali ibn Abi Thalib juga pernah berkomentar kepada seorang sahabat yang bernama Yunus bin Zibyan,
سبحان الله المؤمن اكرم على الله من ان يجعل روحه في حصولة طير احضر يا يونس المؤمن اذا قبضه الله صير روحه في قالب كفال به فى الدنيا فيأكلون ويشربون فأذا قدم عليهم القادم عرفوه بتلك صورة التى كان عليها في الدنيا
“Maha suci Allah, seorang mukmin lebih mulia di sisi Allah untuk ditempatkan ruhnya di rongga burung hijau wahai Yunus! Seorang mukmin bila diwafatkan Allah, ruhnya ditempatkan pada suatu wadah sebagaimana wadahnya pada waktu di dunia. Mereka makan dan minum, sehingga bila ada yang datang kepadanya, mereka mengenalnya dengan keadaannya semasa di dunia”

Demikianlah beberapa tamsilan yang digambarkan oleh beberapa riwayat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa seorang mukmin yang sudah meninggal akan memperoleh kebebasan oleh Allah pada alam ruh untuk pergi ke mana saja mereka suka. Dengan pengertian mereka tidak terikat dan dikurung.
Terdapat kesulitan untuk memberikan penjelasan tentang hal-ihwal alam barzakh secara konkret sbagaimana juga dikaui oleh pakar tafsir Quraish Shihab walapun ada juga ulama yang mencoba mengilmiyahkannya.
Mustafa al-Kik, berpendapat bahwa manusia memiliki jasad berganda. Pertama, jasad duniawi, dan kedua jasad barzakhi (berwujud ruhani). Mustafa menjelaskan bahwa ada teori frekuensi dan gelombang-gelombang suara. Contohnya adalah radio yang dapat menangkap sekian banyak suara berbeda melalui gelombang suara yang berbeda pula. Walaupun ia saling memasuki, namun ia tidak menyatu dan tetap berbeda. Hal ini juga yang menyebabkan manusia yang hidup di dunia tidak dapat melihat sesuatu yang “ada” namun tidak dapat dilihat karena berbedanya frekuensi dan gelombang-gelombang itu. Berdasarkan pendapat ini, bisa juga alam barzakh itu keberadaanya sebatas berbedanya frekunsi dan gelombang-gelombang suara dengan lam dunia ini. Manusia tidak dapat mendengar, melihat hal-ihwal yang ada pada alam barzakh, namun penduduk alam barzakh dapat mendengar, melihat hal-ihwal yang ada di alam dunia.
7.        Alam akhirat
Kehidupan lam akhirat dimulai dengan peniupan sangkakala pertama yang mematikan semua yang bernyawa
فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ نَفْخَةٌ وَاحِدَةٌ . وَحُمِلَتِ الْأَرْضُ وَالْجِبَالُ فَدُكَّتَا دَكَّةً وَاحِدَةً . فَيَوْمَئِذٍ وَقَعَتِ الْوَاقِعَةُ . وَانْشَقَّتِ السَّمَاءُ فَهِيَ يَوْمَئِذٍ وَاهِيَةٌ
Maka apabila sangkakala ditiup sekali tiup.  Dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali bentur. Maka pada hari itu terjadilah hari kiamat, dan terbelahlah langit, karena pada hari itu langit menjadi lemah.(QS. Al-Haqqah [69]: 13-16)
وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَصَعِقَ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ إِلَّا مَنْ شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ نُفِخَ فِيهِ أُخْرَى فَإِذَا هُمْ قِيَامٌ يَنْظُرُونَ
“ Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi Maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing)”. (QS. Al-Zumar [39]: 68)

Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa ketika sangkakala ditiup, maka semua yang hidup akan mati. Inilah yang disebut dengan kiamat besar. Terdapat jarak antara tiupan sangkakal pertama dengan yang kedua, namun hanya Allah yang mengetahui kadar lamanya. Pada waktu itu, Allah berseru,
يَوْمَ هُمْ بَارِزُونَ لَا يَخْفَى عَلَى اللَّهِ مِنْهُمْ شَيْءٌ لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ
“ (yaitu) hari (ketika) mereka keluar (dari kubur); tiada suatupun dari keadaan mereka yang tersembunyi bagi Allah. (Lalu Allah berfirman): "Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?" Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan”. (QS. Ghafir [40]: 16)

Setelah sangkakala kedua, maka manusia bangkit dari kuburnya masing-masing dan digiring menuju mahsyar.
وَجَاءَتْ كُلُّ نَفْسٍ مَعَهَا سَائِقٌ وَشَهِيدٌ.
“Dan datanglah tiap-tiap diri, bersama dengan dia seorang malaikat penggiring dan seorang malaikat penyaksi”. (QS. Qaf [50]: 21)

Para ulama menafsirkan pengiring pada ayat di atas dengan malaikat dan penyaksi pada ayat di atas dengan kesaksian diri mereka sendiri yang dapat mengelak, atau amal perbuatan mereka masing-masing.
يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.





[1]  M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, 
[2] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an 
[3] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an 
[4]Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Alli Audah,  Lihat juga,  M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an. Dalam riwayat lain disebutkan sahabat yang bertanya kepada Rasulullah itu adalah Umar. Umar bertanya kepada Rasul, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau berbicara dengan jasad-jasad yang tidak lagi mempunyai ruh? Rasulullah, “Demi yang diri Muhammad ada di tangan-Nya, kalian tidak lebih bisa mendengar daripada mereka, tetapi mereka tidak bisa menjawab”. Lihat, Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakhfury, Sirah Nabawiyyah, Penj.Kathur Suhardi, 
[5] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an 
[6] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an
[7] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an

Sumber: Ahmad Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman; Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, (Ciputat: Sakata Cendikia, 2015) Cet I

Sabtu, 28 September 2013

MAKNA IBADAH BAGI SEORANG MUSLIM

MAKNA IBADAH BAGI SEORANG MUSLIM
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA.
            Ibadah merupakan satu pola hubungan yang menghubungkan diri seorang hamba dengan tuhannya. Dengan beribadah, seseorang menjadi terhubung dengan Allah. Hal ini bermakna bahwa Allah dengan segala keagungan dan kebesaran-Nya, akan terhubung keagungan dan kebesaran itu dengan manusia melalui ibadah. Dengan memahami makna ibadah, seorang muslim dapat terhubung dengan kasih sayang Allah, karunia dan perlindungan Allah, pertolongan dan pemeliharaan-Nya yang maha luas. Allah adalah sumber segala-galanya (Ahmad Rivauzi, 2015: 101).
            Menurut Yunasril Ali (2009: 7), sejatinya, dengan ibadah, manusia memperoleh pencerahan dan membuat hidupnya menjadi  lebih baik. Sayangnya, kebanyakan umat Islam mempersepsikan ibadah semata-mata sebagai kewajiban rutin. Akibatnya, ibadah tidak mengubah sifat, perilaku, dan akhlaknya. Tidak mengherankan jika kemudian banyak orang merasa jenuh dan lelah beribadah. Lama-lama, mereka meninggalkan ibadah karena semua bentuk ketaatan itu tidak melahirkan mamfaat dan perubahan pada dirinya dan kehidupannya (Ahmad Rivauzi, 2015: 102).
            Yunasril Ali (2009:11) menjelaskan bahwa agar ibadah menjadi bermakna, maka dituntut pengetahuan dan pemahaman yang bersifat spiritual (esoterik) sebagai satu bentuk pencerahan pengetahuan dan pemahaman (kasyaf) yang datang langsung dari Allah. Al-Ghazali (w.505 H/1111 M) mengatakan bahwa kasyaf adalah kebalikan dari pembuktian rasional yang dipraktekkan oleh para teolog dan filosof yang membuat kesimpulan (pengetahuan) berdasatkan premis-premis yang ada. Kasyaf adalah pengetahuan yang tak ubahnya laksana cahaya yang dilimpahkan Allah ke dalam qalbu seseorang. Hal ini diperoleh jka seseorang memiliki sikap zuhud terhadap dunia, pembebasan hati dari belenggu dunia dan penghambaan diri pada Allah sepenuh hati dan ikhlash. Barang siapa yang menjadi milik Allah, niscaya Allah menjadi miliknya (Ahmad Rivauzi, 2015: 102).
            Pengetahuan dan pemahaman yang bersifat spiritual, atau kasyaf (esoterik) ini akan diperoleh ketika seseorang mengamalkan ilmu eksoteriknya (syari’ah) yang terhimpun dalam aturan-aturan syariat (al-Quran dan Hadits). dengan begitu, Allah akan membukakan sekat dari hati dan memasukkan ke dalamnya pengetahuan dan pemahamanan yang tinggi yang berasal dari-Nya (Ahmad Rivauzi, 2015: 102).
Dalam hal ini Allah berfirman,
... وَاتَّقُواْ اللّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّهُ وَاللّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
...dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. Al-Baqarah, 2: 282)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَآمِنُوا بِرَسُولِهِ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِن رَّحْمَتِهِ وَيَجْعَل لَّكُمْ نُوراً تَمْشُونَ بِهِ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (QS, Al-Hadid, 57: 28)
Menurut Ibn ‘Arabi, sebagaimana dikutip Yunasril Ali (2009:12), ada tiga pendekatan ilmu dalam Islam. Pertama,  pendekatan melalui penalaran yang hasilnya disebut ilmu akal yang meliputi objek fisik dan meta fisik termasuk dalil-dalil agama. Kedua, pendekatan melalui dzawq baik lahir (pengetahuan fisikal-empiris) maupun batin (psikis) yang menghasilkan ilmu ahwal. Ketiga, pendekatan melalui penyucian hati yang menghasilkan ilmu asrar (ilmu rahasia) berupa pancaran pengetahuan ketuhanan ke dalam hati manusia (Ahmad Rivauzi, 2015: 103)
Dengan demikian, maka semua bentuk ketaatan kepada Allah dan pelaksanaan syari’at harus disertai penghayatan batin sehingga hamba mencapai kedekatan kepada Allah. Penghayatan batin dapat dicapai melalui pemahaman terhadap segala bentuk ibadah yang diamalkan. Bentuk lahiriyah ibadah adalah lambang yang menyimpan makna batin. Makna batin itulah yang dihayati para pelaku ibadah sehingga memberi arti khusus dalam kehidupan. Bentuk lahir keber-agamaan laksana wadah, sementara makna batin adalah air yang mengisinya (Ahmad Rivauzi, 2015: 103).
Allah berfirman,
لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Hajj, 22: 37)
Yunasril Ali menulis (2009: 15), berdasarkan ayat di atas menjelaskan bahwa yang menjadikan seseorang dekat kepada Allah bukanlah lahiriyah ibadah semata, tetapi batiniyah ibadah. Batiniyah ibadah akan diperoleh ketika seseorang melakukan ibadah yang disertai dengan penghayatan batin (dzawq). Dalam hal ini dikenal ungkapan para sufi :من لم يذوق لم يعرف ( orang yang tak pernah merasakan, tidak akan mengenal) (Ahmad Rivauzi, 2015: 104)
Dari segi kebahasaan, “ibadah” berasal dari kata bahasa Arab ‘ibadah yang berarti pengabdian, penghambaan, ketundukan, dan kepatuhan. Dari akar kata yang sama dikenal istilah ‘abd (hamba, budak) yang menghimpun makna kekurangan, kehinaan, dn kerendahan (Yusaril Ali menulis, 2009: 17). Dengan demikian, hakikat ibadah adalah pengungkapan rasa kekurangan, kehinaan, dan kerendahan diri dalam bentuk pengangungan, penyucian, dan syukur atas segala nikmat dengan perbuatan dan tindakan baik bersifat jasmani maupun ruhani (Ahmad Rivauzi, 2015: 104). 
Dari sisi keagamaan, menurut Yunasril Ali (2009: 18), ibadah adalah ketundukan atau penghambaan diri kepada Allah yang meliputi semua bentuk kegiatan manusia di dunia ini, yang dilakukan dengan niat pengabdian dan penghambaan diri hannya kepada Allah untuk meraih keredhaan-Nya (Ahmad Rivauzi, 2015: 104). Allah berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Al-Dzariyat, 51: 56)
Dengan demikian, semua tindakan seorang mukmin yang diniatkan untuk untuk meraih redha Allah walaupun sepele atau bahkan dianggap tabu jika dibicarakan kepada orang lain seperti buang hajat, melakukan hubungan seks (hubungan suami istri) dan lain sebagainya merupakan ibadah kepada Allah. Inilah makna umum dari ibadah (‘ibadah ‘ammah).  Sebuah riwayat dari Abu Dzarr bahwa beberapa sahabat bertanya kepada Nabi saw., tentang pahala shalat, puasa, dan sedekah. Rasulullah saw menjelaskan bahwa bukan hannya itu perbuatan yang diberi pahala, melainkan juga memerintahkan yang baik, melarang yang buruk, dan bahkan hubungan seks yang dilakukan suami istri juga diberi pahala oleh Allah. Bahkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw bersabda: “sorang muslim yang menanam pohon atau tumbuhan, kemudian buahnya dimakan oleh burung, manusia, atau binatang, semuanya itu menjai sedekah baginya (Yunasril Ali, 2009: 18) .
Yunasril Ali (2009: 20-21) mengutip Abd al-Hamid Hakim (1949: 215), adapun ibadah dalam makna khusus (‘ibadah khashshah) adalah ibadah yang meliputi bentuk-bentuk  ritual tertentu yang diajarkan syara’ seperti thaharah, shalat, puasa, zakat, dan haji. Ibadah khusus ini memiliki ruang lingkup, batasan, dan aturan-aturannya diatur oleh syara’. Dalam ibadah khusus ini,seseorang tidak boleh keluar dari aturan syara’. Jika seseorang malakukan sesuatu yang diluar ketentuan syara’, maka inilah dienal dengan prilaku bid’ah  yang ditolak dan dikecam oleh Rasulullah saw. Berdasarkan inilah maka para ulama dan fuqaha membuat rumusan yang berbunyi “hukum asal ibadah adalah haram (tidak boleh) sehingga ada dalil yang memerintahkannya”. Dengan kata lain, seseorang tidak boleh membuat suatu bentuk ibadah khusus (‘ibadah mahdhah) tanpa ada dalil al-Quran dan sunnah yang memerintahkannya. Hal ini berbeda dengan ibadah umum (ghairu mahdhah) yang biasa disebut dengan ibadah mu’amalah, maka para ulama membuat rumusan “ segala tindakan manusia pada dasrnya dibolehkan salama tidak ada dalil al-Quran dan sunnah yang melarangnya” . Dengan demikian, secara umum, semua tindakan manusia dapat menjadi ibadah jika memenuhi dua syarat yaitu: Pertama, niat ibadah kepada Allah. Kedua, tindakan yang dilakukan tidak bertentangan dengan syara’ (Ahmad Rivauzi, 2015: 105-106).
Ibadah merupakan hakikat keberadaan dan inti keber-agamaan manusia. semakin tulus seseorang beribadah, semakin dekat ia kepada Allah. Dengan demikian ibadah tidak boleh hanya dilakukan secara lahiriyah semata tanpa melibatkan kesadaran hati. Ibadah yang benar adalah di saat gerakan tubuh dilakukan, pada saat itu juga gerakan tubuh tersebut menyatu dengan gerakan hati. Nilai ibadah tidak ditentukan oleh bentuk lahirnya, tetapi tergantung pada kesadaran batin pelakunya (Ahmad Rivauzi, 2015: 105-106)..
            Nurcholis Madjid (1992: 63) menulis, manusia lahir telah membawa beberapa kecenderungan alami yang tidak berubah. Salah satunya ialah mengabdi kepada Yang Mahakuasa sekaligus mengagungkan-Nya. Dalam kenyataannya menunjukkan bahwa hampir tidak ada seorang pun yang bebas sepenuhnya dari bentuk ekspresi pengagungan yang mengandung nilai ibadah dan ketundukan. Jika seseorang tidak melakukan suatu bentuk ibadah tertentu, ia pasti sedang melakukan bentuk ibadah yang lain. Perjanalan sejarah manusia juga telah membuktikan, dari yang paling primitif hingga yang moderen, bahwa tidak ada seorang atau satu bangsa pun yang terlepas dari bentuk pengabdian. Manusia primitif mungkin melakukan ritual pengabdian karena didasari oleh rasa takut kepada kekuatan dan kedahsyatan alam, dan manusia modern melakukannya karena ketidakmampuan pikirannya menghadapi impitan kehidupan yang tak habis-habisnya (Ahmad Rivauzi, 2015: 106-107).
            Nurcholis Madjid (1992: 63) menambahkan, kalangan ateis mungkin dapat dikatakan sebagai kelompok manusia modern yang berupaya keras menafikan serta menentang semua bentuk ekspresi dan rasa keagamaan. Namun kenyataannya, mereka tidak pernah lepas sepenuhnya dari sesuatu yang berciri keagamaan. Pengagungan mereka terhadap para pemimpin dan ajaran ateis juga merupakan bentuk ritual ketundukan mereka. Firaun dalam sejarah klasik Mesir terkenal sebagai orang yang mengaku sebagai Tuhan, tetapi ketika tenggelam di Laut Merah, ia meraung-raung menyeru Tuhan Musa a.s. Manusia, kendati memiliki kemampuan berpikir yang luar biasa, tetap saja memiliki keterbatasan. Karena itulah ketika sampai pada batas akhir kemampuannya ia akan mengakui adanya sesuatu Yang Mahakuasa dan Mahaagung. Itulah Tuhan. Akhirnya, dengan penuh kepasrahan ia akan mengakui kekerdilan dirinya sembari mengagungkan Tuhan dan mengadukan ketidakberdayaannya (Ahmad Rivauzi, 2015: 107).
            Manusia memang merupakan makhluk Tuhan yang paling mulia dan paling pintar. Namun, ia tidak akan mampu menggapai kebenaran secara sempurna, apalagi yang berkaitan dengan persoalan metafisika dan eskatologi yang serba gaib. Ia memerlukan pertolongan dan bimbingan agar mampu meraih kebenaran. Karena itulah melalui perantaraan para rasul, Tuhan menurunkan Kitab Suci untuk membimbing manusia menuju kebenaran dan kebaikan sejati. Salah satu ajaran Kitab Suci ialah ibadah kepada Tuhan, yang tujuannya untuk penyempurnaan dan pemeliharaan diri manusia itu sendiri.  Ajaran dan tuntunan Ilahi itu diturunkan agar manusia senantiasa berada di atas fitrah kebenaran (Ahmad Rivauzi, 2015: 107).
            Ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu fitrah manusia. Hal ini sudah dijelaskan Allah dalam firmannya:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفاً فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, QS . al-Rum [30]:  30).

            Ayat di atas berkaitan dengan ayat lain tentang janji primordial manusia yang  meyakini keberadaan Tuhan:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتَ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", (QS. Al-A’raf, 7: 172)

            Al-Junayd al-Baghdadi, sufi abad ketiga Hijriah, sebagaimana dikutip Yunasril Ali (2009: 25), mengatakan bahwa sebelum manusia memiliki wujud seperti di dunia ini ia telah memiliki wujud ruhani, yang disebutnya sebagai wujud Rabbani. Dengan kata lain, sebelum dilahirkan ke dunia, manusia telah mengenal adanya Tuhan. Para nabi dan rasul diutus ke dunia ini untuk mengingatkan manusia terhadap pengetahuan dan keyakinannya di masa lalu. Fitrah keagamaan yang senantiasa  memunculkan ketundukan dan pengagungan kepada Tuhan Yang Mahakuasa merupakan pembawaan dan pengetahuan asali manusia sehingga ia akan tetap hidup dalam jiwa manusia. Fitrah itu merupakan hakikat keberadaan manusia. Karena itu, dalam situasi dan kondisi apa pun, selama masih ada manusia yang hidup di dunia ini, agama tidak akan pernah mati dan sirna. Sekeras apa pun manusia berusaha menghapus dan membunuh agama, ia tidak akan pernah mati.  Will Durant' seorang sarjana Amerika, ketika membahas sejarah dan agama dalam karyanya The Lesson of History, mengatakan, “Agama memiliki seratus jiwa. Segala sesuatu akan mati untuk selama-lamanya bila ia dibunuh. Sedangkan agama, dibunuh ratusan kali pun ia akan muncul lagi dan hidup kembali setelah itu" (Ahmad Rivauzi, 2015: 108-109)





Dikutip dari Sumber :  
Ahmad Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman; Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, Ciputat: Sakata Cendikia, 2015 Cet I

Rabu, 20 Maret 2013

BIOGRAFI SYAIKH ALI IMRAN BIN HASAN (1926-2017 M) ; Pendiri Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan Pakandangan Padang Pariaman


Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA
Pondok Pesantren Nurul Yaqin terletak di Jorong Ringan-ringan kenagarian Pakandangan, Kecamatan Enam Lingkung Kabupaten Padang Pariaman. Sebelah Timur berbatasan dengan Lubuk Alung, sebelah Barat berbatasan dengan Sintuak, sebelah Selatan berbatasan dengan Pauah Kamba, sebelah Utara berbatasan dengan Sicincin.
            Syaikh Ali Imran adalah pendiri Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-ringan Pakandangan. Dari salah satu sumber berupa catatan wawancara Tuanku Nafriandi dan Muzilatunil Isma,[1] diperoleh keterangan tentang Biografi Syaikh Ali Imran.
            Nafriandi menulis, [2] Syaikh Ali Imran lahir pada waktu subuh, tanggal 30 Juni 1926 di Tanjung Aur. Ayah beliau bernama Pakiah Hasan dan ibunya Siti Marin.
            Latar belakang penamaan beliau dengan nama Ali Imran adalah ketika ayah beliau (Pakiah Hasan) menghadiri suatu perdebatan di Pariaman antara ulama Lahore berusia 70 tahun dengan ulama Pariaman yang bernama Ali Imran yang berusia 25 tahun. Tema perdebatan tersebut adalah tentang keberadaan Nabi Isa. Ulama Lahore berpendapat bahwa Nabi Isa mati dan dikuburkan, sedangkan Ali Imran menyatakan bahwa Nabi Isa dinaikkan ke langit dan kelak akan turun di akhir zaman.  Perdebatan tersebut dimenangkan oleh Ali Imran.
            Setelah pulang ke rumah, Pakiah Hasan mendapati anaknya telah lahir, maka kemudian anak itu diberinya nama Ali Imran dengan harapan agar kelak setelah dewasanya, anaknya tersebut selalu menang dalam segala perdebatan.
            Pada tahun 1927, seorang ulama besar Pakandangan yang bernama Syaikh Mato Air meningal dunia. Setahun sebelum beliau meninggal dunia, Syaikh Mato Air meminta kepada Piak Banyak (nenek Ali Imran) untuk membawa cucunya (Ali Imran) kepada beliau. Di hadapan Syaikh Mato Air Piak Banyak menyerahkan Ali Imran kecil kepada Syaikh Mato Air. Piak Banyak berkata,” Iko cucu ambo mak Ungku” (ini cucu saya Ungku). Syaikh Mato Air menjawab, “Oh, iko cucu engkau Piak Banyak, anak Pakiah Hasan dan Marin? (Oh ini cucumu Piak Banyak, anak dari Pakiah Hasan dan Marin?). Maka kemudian Syaikh Mato Air menggendong Ali Imran kecil dan meniupkan beberapa kali ke arah Ali Imran. Kemudian Syaikh Mato Air berkata, “Iko cucu engkau Piak Banyak, paliharo baiak-baiak, iko nan ka managakkan kaji awak kudian (ini cucu engkau hai Piak Banyak, peliharalah baik-baik, karena dia yang akan meneguhkan paham pengajian kita kelak).[3]
            Piak Banyak kemudian bertanya, “ba a caro mamaliharonya mak Ungku? (bagaimana cara memeliharanya, mak Ungku?). Syaikh Mato Air menjawab, “kok sakik capek diubek, kok lapar capek diagiah makan, kok haus capek diagiah minum” (kalau dia sakit cepat diberi obat, kalau dia lapar, cepat diberi makan, dan kalau dia haus, cepat diberi munum).
            Setelah memperingati 100 hari wafatnya Syaikh Mato Air, ninik mamak dari kaum beliau mengadakan musyawarah. Di antara yang ikut dalam musyawarah tersebut adalah Pakiah Hasan. Pada saat musyawarah tersebut, Datuak Barawuang (mamak pamuncak Majolelo) berkata, “ Ba a lai, inyiak ungku lah maningga, urang siak banyak, surau lai panuah, ba a dek kito? ( Bagaimana lagi, Syaik Ungku ( Syaikh Mato Air) sudah meninggal dunia, orang yang belajar agama banyak, surau penuh, apa yang harus kita lakukan)”.
            Mendengar perkataan Datuak Majolelo tersebut, Pakiah Hasan menanggapi dan berkata, “ Kito tiru Ampalu Tinggi, di sinan, kalau buyanyo maningga, diwasiatkan kepado anaknyo ,’ Saindak den bisuak, labai yang maaja di siko, itu parak karambia 1000 warisan den, sawah 1000 sabitan, ambiak dek waang, jan kana-kana pancarian yang lain! (kita ikuti yang terjadi di Surau Ampalu Tinggi. Di sana, jika gurunya meninggal dunia, beliau berwasiat kepada anaknya, ‘setelah aku tiada nanti, Labai yang mengajar di sini, itu ada kebun kelapa 1000 batang, aku wariskan sawah 1000 sabitan, semuanya engkau ambil, jangan memikirkan pekerjaan lain). Pakiah Hasan melanjutkan, “ Surau Mato Air, kito cari ulama yang pandai maaja, dan inyiak Syaikh punyo sawah, mako kito sadaqahkan kepado beliau” (Surau Mato Air, kita carikan ulama yang pandai mengajar, maka kita sedekahkan sawah milik Syaikh Mato Air tersebut kepada ulama tersebut). Mendengar ungkapan Pakiah Hasan, lalu ninik mamak saling berbisik dan berkata, “ kok inyo nee ndak? (dia;Pakiah Hasan ingin sadaqah itu untuk dirinya). Mendengar bisik dan perkataan ninik mamak tersebut, Pakiah Hasan menceraikan Siti Marin (istrinya).[4]  
            Silsilah kepemimpinan di Surau Ampalu Tinggi yaitu: Syaikh Usman, Syaikh Labai, Syaikh Katapiang, Syaikh Talawi, Syaikh Muhammad Yasin Mudik Padang
            Pada tahun 1932, Siti Marin menikah dengan seorang laki-laki yang bernama Labai Ma’ruf yang tinggal di Punggung Kasik. Dalam perkawinan ini lahirlah seorang anak laki-laki yang bernama  Muslim Rasyid. Satu tahun kemudian Siti Marin bercerai dengan Labai Ma’ruf.
            Ali Imran dan adiknya Muslim Rasyid berbeda warna kulit. Ali Imran memimilki kulit yang hitam, sedangkan adiknya Muslim Rasyid memiliki kulit yang putih.
            Pada satu ketika, dalam tahun 1935 di saat Ali Imran menggendong adiknya di Kampung Pandan, salah seorang tetangganya berkata kepada Ongah (andung Piak Banyak), “Ba a cucu Ongah ko, takah gagak manjunjung busa” (bagaimana cucu Ongah tu, seperti gagak menjunjung busa). Setelah berumur 9 tahun, kata-kata ini terdengar lagi oleh Ali Imran sewaktu dia menggendong adiknya. Karena sedihnya, Ali Imran tinggalkan adiknya dan berkata, “ Ambo buruak karano ayah ambo buruak, adiak ambo rancak karano ayahnyo rancak. Bialah ambo pai jo ayah ambo, inyo pai jo ayahnyo” (saya jelek karena ayah saya jelek, adik saya gagah karena ayahnya gagah. Biarlah saya ikut dengan ayah saya, dan dia ikut dengan ayahnya).
            Sesampainya di Tanjung Aur, Ali Imran bertemu dengan andungnya yang sedang menggendong cucu dan diikuti oleh adik Ali Imran Muslim Rasyid dari belakang. Kemudian datang ayahnya Pakiah Hasan yang telah bergelar Tuanku Bagindo dan berkata kepada Piak Banyak, “Ma Miran? (mana Ali Imran). Lalu piak Banyak menjawab sambil memanggil Ali Imran, “Ran, ayah lah tibo” (Ali Imran, ayahmu sudah datang). Kemudian Ali Imran dibawa ayahnya ke Sitanang III Koto Lubuk Basung. Di sini Ali Imran mengaji dan menamatkan kelas lima Sekolah Dasar pada tahun 1940.
            Pada tahun 1941, Pakiah Hasan (Tuanku Bagindo) pindah ke Tapian Kandih di daerah Palembayan Matur, Agam. Pada tahun itu juga Tuanku Bagindo dan Ali Imran pulang ke ringan-ringan. Aktivitas Ali Imran di Ringan-ringan adalah bertani dan menjual ternak. Di samping bertani dan beternak, Ali Imran juga mengaji (belajar ilmu agama) dengan ayahnya.[5] Walaupun Ali Imran mengaji dengan ayahnya, namun kegiatan mengaji ini tidak rutin dan dapat dikatakan intensitasnya kurang. Karena kondisi inilah kemudian Ali Imran berfikir, kalau tetap di kampung terus menerus, maka tentunya tidak akan pernah bisa menjadi pandai dan ‘alim dalam ilmu agama. Sehingga kemudian Ali Imran membulatkan tekat untuk pergi merantau menuntut ilmu agama. Keiinginan ini disampaikannya kepada ayahnya. Dengan rasa takut Ali Imran berkata, “Yah, ambo pai mangaji ka nagari urang” (ayah, saya mau pergi belajar agama ke negeri orang). Tuanku Bagindo menjawab, “di rumah selah waang mangaji, malin se ang tu. Caliak si Razak”(di rumah sajalah kamu belajar ilmu agama, nanti kamu akan menjadi orang yang alim, coba perhatikan si Razak [6]). Mendengar saran dari ayahnya, Ali Imran tetap pada keiinginannya untuk merantau menmpelajari ilmu agama. Ali Imran meyakini, jika tetap bertahan di kampung, pekerjaan banyak dan tentunya waktu akan lebih banyak dihabiskan untuk bertani dan lain sebagainya.
            Suatu ketika, Ali Imran menyampaikan maksudnya kepada ibu tirinya yang bernama Aliyah. Ali Imran menyampaikan maksudnya sambil menghadap ke arah rel kereta api dan berkata, “ uwai, tolong katokan ke ayah, ambo pai mangaji ka nagari urang” (Ibu, tolong sampaikan ke ayah saya, saya mau pergi belajar agama ke negeri orang). Ibu tiri Ali Imran beranggapan Ali Imran mau bunuh diri pada rel kereta api jika tidak peroleh izin dari ayahnya. Maka berkatalah ibu tiri Ali Imran kepada Tuanku Bagindo, “Ungku, suruahlah anak pai mangaji, kalau indak inyo ka giliang diri di rel kereta api” (Ungku, suruhlah anak pergi belajar agama! Sebab kalau tidak, ia akan menggilaskan dirinya di rel kereta api).
            Akhirnya ayah Ali Imran memberi izin kepada Ali Imran untuk pergi belajar agama. Tuanku Bagindo berkata, “Ran, ang den sarahkan ka kawan den, Tuanku Haji Ibrahim Koto Baru Padang Panjang” (Ran, engkau saya serahkan belajar agama kepada kawan saya yang bernama Tuanku Ibrahim di Koto Baru Padang Panjang).
            Pada tahun 1944, pada masa pendudukan Jepang, Wali Nagari Koto Baru berselisih paham dengan Tuanku Haji Ibrahim. Tuanku Haji Ibrahim adalah ulama yang beraliran kuno (kaum tua), sedangkan wali nagari beraliran modern (kaum muda). Setiap Jepang meminta tenaga gotong royong (Romusha), Wali Nagari selalu mengajukan orang siak ( sebutan untuk orang-orang Kaum Tua). Pada suatu hari, Haji Ibrahim berkata, “ Apabila mereka lakukan hal ini lagi, saya akan pindah ke Padang”. Dua orang murid Haji Ibrahim yang berasal dari Payakumbuh berkata kepada Ali Imran, “Guru kito, Ungku akan pindah ke Padang, ka pai pulo kito ka Padang?” (Guru kita, Ungku akan pindah ke Padang. Apakah kita akan ikuti beliau ke Padang). Ali Imran menjawab, “Indak. Dari siko, Padang adalah rantau, tambah ka dareknyo” (Tidak, kalau dari sini, Padang itu adalah daerah rantau. Saya ingin lebih ke arah darek). Salah seorang teman Ali Imran berkata, “ kakak den seangkatan dengan ungku lo, duru muridnyo banyak, kini tingga sambilan. Ka baliau kito mangaji” (kakak saya seangkatan dengan anda, dulu muridnya banyak, sekarang tinggal sembilan, kepada beliau saja kita belajar agama). Maka Ali Imran bersama dua temannya berangkat ke Mungo yaitu kepada Ajo Diris dan seorang guru tuo Sasak untuk menuntut ilmu kepada Syaikh Syahidan Syarbaini.[7]
            Selama di Mungo, guru yang mengajar di kelas tertinggi adalah guru tuo Pontang. Ali Imran belajar agama kepada beliau. Banyak pertanyaan Ali Imran yang tidak terjawab oleh guru tuo Pontang. Hal ini menyebabkan beliau langsung belajar agama kepada Syaikh Syahidan Syarbaini. Karena merasa tidak enak hati, guru tuo Pontang meminta ijazah kepada Syaikh. Selama di Mungo Ali Imran tidak banyak kesempatan belajar dengan Syaikh karena Syaikh Syahidan Syarbaini memiliki penyakit wasir. Ali Imran mendalami Ilmu Sharaf di Mungo selama Tiga tahun yaitu pada tahun 1944 – 1946.
            Dalam catatan Tuanku Nafriandi, Syaikh Ali Imran mengisahkan beberapa pengalaman pahit beliau. Di antaranya adalah pengalaman pahit beliau di Mungo.
            Pengalaman Pahit Syaikh Ali Imran di Mungo ini juga pernah disampaikan oleh Syaikh Ali Imran sewaktu penulis berkunjung ke Ringan-ringan pada hari Rabu, tanggal 8 Februari 2012.
            Sewaktu di Mungo ini, Syaikh Ali Imran bertekad untuk tidak akan pernah pacaran. Di samping terdapat larangan syara’ yang mengharamkan pacaran, Syaikh Ali Imran juga memiliki beberapa pertimbangan dan alasan lain. Di antaranya beliau berkata, “ awak buruak, ayah jauah, mamak tidak ada, miskin dan tidak memiliki harta benda” (saya jelek, ayah juga jauh, mamak juga tidak ada, miskin dan tidak memiliki harta benda).
            Syaikh Ali Imran menuturkan bahwa ada seorang perempuan yang sudah punya anak empat bernama Painun. Suaminya bernama Khatib Beradok (Khatib Adok). Suatu hari Ali Imran pergi ke pasar Payakumbuh dengan berjalan kaki. Kemudian lewat Painun dan suaminya dengan menaiki bendi. Painun berkata kepada suaminya, “ Naikkan Ali Imran tu” (beri tompangan Ali Imran itu). Suami Painun berkata, “ Di ma ka diduduakkan?” (di mana mau di suruh duduk dia?). Painun menjawab, “di siko, dakek ambo” (di sini di samping saya).
            Ali Imran menolak tawaran tersebut. Namun Painun bersikeras, dan berkata, “Kalau indak, ambo samo bajalan kaki jo inyo” (kalau dia tidak mau, saya akan jalan kaki bersamanya). Karena Ali Imran tetap tidak mau menerima ajakan Painun, akhirnya Painun turun dari bendinya dan mengikuti Ali Imran dengan berjalan kaki. Tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut Ali Imran. Ketika perjalanan sudah sampai di Labuah Basilanag, Painun berkata, “Urang Cino yang ancak tu lai katuju dek Ungku? (Orang Cina yang cantik itu, apakah Ungku menyukainya?). Ali Imran menjawab, “Tidak”. Painun berkata lagi, “samo. Awak indak pulo katuju (sama, saya juga tidak suka)”. Painun terus mengikuti Ali Imran sampai ke pasar. Setibanya di toko yang menjual kopiah (peci), Ali Imran duduk di warung tersebut dan Painun pergi mencari suaminya.
            Sesampainya di rumah, Khatib Adok bertengkar dengan istrinya, sehingga karena marahnya, Painun ditendang ke luar rumah. Karena Khatib Adok adalah seorang guru silat, maka ia memerintahkan 20 orang muridnya untuk mengasah pisau  dan berkata, “Dabiah rang Piaman tu! (Bunuh orang Pariaman itu).
            Ali Imran mohon perlindungan kepada Allah Swt. Seseorang yang bernama Ande Ja’i melaporkan rencana Khatib Adok kepada ninik mamak Korong Bukik Gombak. Ja’i berkata, “Usialah Khatib Adok dan Painun! (Usirlah Khatib Adok dan Painun)”.
            Khatib Adok dan Painun adalah warga kayu berjajar (kojojo). Awalnya dia memiliki harta pusaka, namun karena tidak memiliki rumah, maka harta tersebut habis terjual untuk membangun rumah. Tidak lama setelah itu, Khatib Adok menderita penyakit stroke, dan Painun mencari pemenuhan kebutuhan hidup dengan melacurkan diri. Khatib Adok berkata kepada Painun, “Dulu pitih den banyak, kau sayang. Tapi kini pitih den lah habih, kau buek mode iko (dulu uang saya banyak, kamu sayang padaku. Tapi sekarang uang saya sudah habis, kamu melakukan ini padaku). Painun menjawab, “Kini ba a lai? Jo apo ka diagiah makan paruik tu? (sekarang bagaimana, dengan apa perut itu harus diisi). Painun mengajak masuk teman laki-lakinya. Khatib Adok melakukan tindakan nekat, dia menggerakkan-gerakkkan kepalanya sehingga lampu dama togok (lampu minyak) yang terletak di atas pembaringganya jatuh ke lantai. Akibatnya, rumah dan isinya hangus terbakar.
            Pada akhir tahun 1946, Ali Imran pindah ke Tiakar Payobasuang, Payakumbuh. Di sini Ali Imran belajar di Madrasah Islamiyah (MI) dan diterima di kelas V. Di sini Ali Imran belajar sampai tahun 1948 dan tamat kelas VII.
            Pada tahun 1949, dibuka kuliah di Padang Jopang Payakumbuh yang bernama Training College. Pimpinan lembaga ini adalah Syaikh Haji Nasharuddin Thaha. Ali Imran dan dua orang temannya yang bernama Bakhtiar dan Ali Nurdin mengikuti perkuliahan. Di sini, Ali Imran mendapat pujian dari kepala dosen (direktur). Sang Direktur mengatakan, “ Kapalo ang gadang. Hati-hatilah kuliah sampai lima tahun, ang ka dapek titel” (kepala kamu besar atau cerdas, rajinlah kuliah, setelah lima tahun engkau akan mendapatkan jabatan).
            Pada tahun 1950, Belanda angkat kaki. Ali Imran bersama dua temannya yang berna Ali Umar dan M. Nur Rauzi pindah ke Gunung Rajo X Koto. Kemudian pindah ke Tarbiyah Islamiyah Padang Lawas Malalo di bawah pimpinan Syaikh Zakariya Labai Sati.
            Di Malao ini Ali Imran diterima di kelas VII. Setelah belajar selama dua hari, guru kelas III sakit. Maka Ali Imran diminta untuk menggantikan guru yang sakit tersebut mengajar di kelas III. Namun karena guru yang sakit tersebut meninggal dunia, maka Buya Zakariya menetapkan Ali Imran mengajar di kelas III.
            Pada akhir tahun pelajaran, santri kelas III enggan untuk dinaikkan ke kelas IV karena tetap ingin belajar dengan Ali Imran. Akhirny Buya Zakariya Labai Sati memindahkan Ali Imran untuk mengajar di kelas IV. Di Malalo ini Ali Imran mengajar selama 10 tahun sampai tahun 1960. Masa 10 tahun mengajar di Malalo tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Kelas
Lama Mengajar
III
1 tahun
IV
2 tahun
V
2 tahun
VI
2 tahun
VII
3 tahun

            Nafriandi juga mencatat penuturan Syaikh Ali Imran, pada tahun 1958 perang PRRI mulai pecah. Di Nagari Malao Paninggahan telah tersiar melalui radio suara Presiden Soekarno yang mengatakan bahwa Malalo Paninggahan adalah sarang pemberontak. Hal ini memang sesuai dengan realita pada sa’at itu, kawasan Malao-Paninggahan dikuasai oleh tentara PRRI.
            Pada suatu pagi, di hari raya ‘Idul Adha, tepatnya di Korong Tangah XX tempat Ali Imran mengajar kedatangan seorang komandan tentara berpangkat Letnan. Sebelumnya, Pakiah Bagindo meminta Ali Imran untuk membaca khutbah di suraunya. Belum sempat Ali Imran permintaan Pakiah Bagindo, Mak Tan Ibrahim juga meminta Ali Imran setelah shalat ‘id agar datang ke rumahnya untuk berdo’a.        Belum juga sempat dijawab Ali Imran, pada sa’at itulah sang Letnan tentara masuk dan bertanya, “Kih orang mana?”. Adik Ali Imran yang bernama Idris, “orang Pakandangan Pak”. Letnan bertanya lagi, “Lai tantu Dullah Po” (apakah anda kenal dengan Dullah Po?). Idris menjawab lagi, “Lai pak (iya kenal pak)”. Setelah mendengar jawaban Idris, Letnan tersebut turun dan bertanya kepada seseorang yang bernama Zamzami, “Urang PKI ndak Pakiah tu Mi? (apakah pakiah itu termasuk anggota PKI)”. Zamzami kemudian menjawab, “Indak pak. Bahkan dek karano PKI makonyo beliau ka siko (Tidak Pak, bahkan karena inging menghindar dari PKI makanya beliau berada di sini)”.
            Akirnya Ali Imran ditetapkan dan diputuskan akan ditembak mati pada pukul 17.00 sore. Setelah pukul 16.00 sore, Ali Imran pergi ke surau untuk melaksanakan shalat ashar dan mandi, lalu beliau tertidur. Sekitar pukul 16.30 Wib, datang sepasukan tentara berjumlah 60 orang, dan siap menembak dari belakang mihrab surau. Sesa’at sebelum eksekusi tembak mati terhadap Ali Imran dilakukan, datang surat yang berbunyi:
“Sedapat surat ini, segera berangkat ke Padang Simawang, dan seluruh tentara berkumpul untuk pergi ke Padang Simawang Ombilin”

            Akhirnya selamatlah Ali Imran dari pembunuhan. Ketika Ali Imran terbangun dari tidurnya, teman-teman Ali Imran telah cemas dan bertanya kepada Ali Imran, “Lai tau Ungku, tadi ado tantara 60 orang siap menembak Ungku? (Apakah Ungku mengetahui, kalau tadi ada 60 orang tentara bersiap menembak Ungku)”. Ali Imran menjawab, “Tidak”.
            Esok harinya, tentara PRRI masuk ke daerah Simawang, kemudian disusul oleh tentara pusat. Letnan yang merencanakan pembunuhan terhadap Ali Imran tertangkap dan dibawa ke Padang Panjang. Setelah diinterogasi, kemudian dia dilepas. Si Letnan kembali ke Simawang, namun kemudian tentara PRRI mencurigai dia dan menangkap serta merampas senjatanya. Sewaktu tentara pusat masuk ke Simawang, dia tertangkap lagi dan hingga sampai sekarang tidak diketahui lagi di mana keberadaannya.         
            Pada tahun 1960, Ali Imran pulang ke ringan-ringan. Pada suatu hari, tepatnya hari Selasa, Ali Imran shalat zhuhur di Surau Murao Tambolong dekat Pasar Malalo. Setelah selesai shalat, murid-murid beliau datang menghampiri dan bertanya, “Buya lai ka pulang?” (apakah Buya nanti pulang). Ali Imran menjawab, “pulang kama?” (pulang kemana). Mereka menjawab, “ka Ringan-ringan” (pulang ke Ringan-ringan). Ali Imran menjawab, “satinggi-tinggi tabang bangau, pulangnyo ka kubang juo” (setinggi-tingginya terbang bangau, pulangnya ke kubangan juga).
            Ketika terjadi pergolakan PRRI memuncak, Buya Labai Sati pergi ke Aceh sehingga kegiatan belajar berhenti. Ali Imran berkata kepada Buya Zakariya Labai Sati, “ Ayah ambo Tuanku Bagindo di Ringan-ringan lai maaja pulo, manjalang Buya tibo, ambo mangaji se jo ayah ambo dulu” (Ayah saya Tuanku Bagindo pun mengajar agama di Ringan-ringan. Menjelang Buya pulang, biar saya belajar saja kepada ayah saya dulu).
            Bersama Ali Imran ikut murid-muridnya sebanyak 30 orang yang berasal dari Aceh, Riau, Jambi, dan Lintau. Sedangkan di Ringan-ringan sudah ada santri sebanyak 40 orang.
            Pada bulan Juli 1960 berdirilah Pondok Pesantren Nurul Yaqin. Pada tahun 2013 ini Syaikh Ali Imran  sudah berusia 87 tahun.
            Nafriandi juga mencatat, penuturan Syaikh Ali Imran, bahwa pada tahun 1960 tersebut, seorang tokoh PKI Guru Rahab (Ketua PKI) yang berkuasa di 2 x 11 Enam Lingkung Pariaman tertangkap. Dia diinterogasi oleh PRRI di Simpang Galanggang tentang orang-orang Pakandangan yang akan dibunuh. Tokoh PKI tersebut menjawab bahwa ada 100 nama yang didaftar untuk di bunuh. Empat di antaranya adalah Tuanku Abdurrazak, Tuanku Ali Imran, Tuanku Andah, dan Tuanku Shaliah Pengka.
            Kawan-kawan Tuanku Andah berkata kepada Tuanku Andah,” Ungku malam kini ka dibunuah PKI (Ungku malam akan dibunuh oleh PKI)”. Tuanku Andah menanggapi, “ Den indak ka lari. Kalau den lari, kacau Pakandangan ko (saya tidak akan melarikan diri. Kalau saya melarikan diri, maka Pakandangan akan kacau)”. Tuanku Andah memilih tetap di Surau dan semua pintu dibuarkan terbuka. Ketika subuh datang, Tuanku Andah pergi mengambil air wudhu’, PKI hanya diam mengawasi gerak gerik Tuanku Andah dan akhirnya pergi. Sedangkan Buya Ali Imran memilih tetap di rumah dan telah mempersiapkan sebuah pisau yang ditempatkan pada tonggak pintu.
            Dtuturkan oleh Syaikh Ali Imran, bahwa Pakandangan pada waktu itu dikuasai oleh PKI dan yang menjabat sebagai wali nagari adalah Inyiak Mak Eza. Sedangkan assistenya adalah Abu Bakar (seorang PKI). adapun tim screning di nagari tersebut adalah Sofyan. Ali Imran bermaksud meminta kartu di Pakandangan. Setelah sampai di kantor wali nagari, Ali Imran dibentak-bentak oleh Sofyan sehingga maksud Ali Imran tidak membuahkan hasil. Karena gagal, maka Haji Muslim (adik Ali Imran) berkomentar, “mungkin nio pitih pulo si Bakar ndak (mungkin si Bakar menginginkan uang sebagai pelicin urusan)”. Syaikh Ali Imran menjawab, “Tidak”.
            Pada satu kali, ada rapat dengan wali nagari di Ringan-ringan, di antara pembicaraan dalam rapat tersebut adalah pembicaraan tentang Ali Imran sendiri. Ali Imran menyampaikan maksud dan keinginannya. Wali nagari menanggapi maksud Ali Imran ingin membuat kartu tersebut. Tanggapan wali nagari adalah, “Hari Kamis mintak (hari Kamis saja mintak kartu tersebut)”.
            Pada hari Kamis yang dimaksud oleh wali nagari tersebut, Ali Imran datang ke kantor wali nagari. Sesampainya di sana, wali nagari sedang tidak ada di kantor. Ali Imran Cuma beretemu dengan Abu Bakar dan bertanya kepada Ali Imran, “ Apa kabar?”. . Ali Imran berkata, “ Ambo disuruah inyiak wali nagari  ka siko untuak mambuek kartu (saya disuruh oleh wali nagari untuk datang guna  membaut kartu)”. Akhirnya Ali Imran mendapatkan kartu itu juga.
             Pada tahun 2000, tepatnya pada bulan Februari, Syaikh Ali Imran pergi menunaikan ibadah haji. Pada akhir tahun 2001, Syaikh Ali Imran mengalami gangguan penglihatan (buta) sampai sekarang.
            Nafriandi dalam catatan wawancaranya dengan Syaikh Ali Imran menerangkan tentang prinsip-prinsip yang dimiliki oleh Syaikh Ali Imran dalam menuntut ilmu. Prinsip-prinsip itu adalah:
a)    Ketika belajar di Koto Baru, Syaikh Ali Imran berprinsip, “Pantang pulang sebelum ‘alim”.
b)   Di Mungo Syaikh Ali Imran bekerja di sawah, mengangkat padi sedangkan kitab dibawa ke rumah Syaikh untuk belajar agama.
c)    Ketika di Tiakar, Syaikh Ali Imran hannya fokus belajar menuntut ilmu. Syaikh Ali Imran memberikan perumpamaan, “ketika seseorang sedang memotret sesuatu, kemudian di saat memotret tersebut melintas seekor anjing, maka gambar yang tertangkap pastilah gambar anjing yang melintas”. Atas dasar cara pandang ini, maka Syaikh Ali Imran dalam hal makan, minum, dan pakaian beliau serahkan kepada Allah.
d)   Ali Imran kadang berjalan-jalan di perkampungan penduduk, dan sering orang kampung meminta beliau singgah ke rumah untuk memberikan pengajian dan berdoa. Setelah memberikan nasehat dan berdoa, kepada beliau diberikan masayarakat beras dan lain sebagainya.
            Bagi Syaikh Ali Imran, seorang guru haruslah ‘alim dan mendapat tempat di hati murid-murid dan masyarakatnya. Seorang guru yang tidak disenangi murid-murid dan masyarakat, dipandang sama dengan orang mandul yang tidak bisa memiliki anak.  Dalam hal ini, Nafriandi mencatat, bahwa Syaikh Ali Imran mengisahkan, pada satu ketika, ayah beliau Pakiah Hasan Tunaku Bagindo mengunjungi beliau yang kebetulan pada sa’at itu sedang menderita sakit kudis. Ayah beliau berkata, “Pai jo den beko! (ikut dengan saya nanti!)”.
            Atas dasar ajakan ayahnya itu, maka Syaikh Ali Imran mengikuti ayahnya. Ketika sampai di pasar, beliau istirahat di Surau Dagang Pariaman. Setelah melakukan shalat shubuh, beliau bersama ayah berangkat ke Bukittingi dengan berjalan kaki. Setelah 10 jam melakukan perjalaan kaki, beliau sampai di simpang Kapau. Pada sa’at itu berencanalah beliau dan ayahnya singgah ke rumah salah seorang murid ayah beliau (murid Tuanku Bagindo). Sesampainya di rumah tersebut, Syaikh Ali Imran melihat rumah tersebut bagus, kitab-kitab sangat banyak, di sekitar rumah juga terdapat air yang sangat jernih. Cuma sayangnya, murid-muridnya sedikit. 
            Tuanku Bagindo berkata dan memperkenalkan muridnya tersebut kepada Ali Imran, “ Iko murid den, pandai mangaji. Lai namuah ang mangaji? (ini murid saya, dia alim dan pandai dalam ilmu agama. Apakah kamu mau belajar kepadanya?). Ali Imran menolak tawaran ayahnya untuk belajar kepada murid ayahnya tersebut. Ali Imran menjawab, “Orang mandul tidak pandai baranak. (Orang yang mandul, tidak akan punya anak)”. Syaikh Ali Imran berpendapat, seorang yang alim, kalau tidak memiliki murid, sama artinya dengan orang mandul yang tidak pandai punya anak.
            Menurut Syaikh Muda Zulhamdi Tuanku Kerajaan Nan Shaliah, sebagaimana ditulis Nafriandi,[8] terdapat sejumlah nama yang kepadanya Syaikh Ali Imran menuntut ilmu. Nama-nama guru Syaikh Ali Imran bin Hasan Tuanku Bagindo  tersebut adalah:
1)      Syaikh Muhammad Amin bin Abdullah Mata Air Pakandangan
2)      Ungku Pakandangan
3)      Tuanku Sutan Pakandangan
4)      Ungku Andah Pakandangan
5)      Syaikh Muhammad Yatim Tuanku Sutan Ampalu Tinggi Tandikat Mudik Padang Pariaman
6)      Syaikh Muhammad Yasin Qadhi Koto Tujuah Malin Mandaro *
7)      Syaikh Hasan bin Muhammad Rahim Tuanku Bagindo Ringan-ringan*
8)      Tuanku Itam Muhammad Zein Surau Andaleh Ringan-ringan
9)      Syaikh Zakariya Labai Sati Padang Lawas Malalo
10)  Syaikh Syahidan Syarbaini Mungo Padang Mangateh Payakumbuh
11)  Syaikh Ibrahim Harun Tiakar Payobasung Payakumbuh
12)  Syaikh Shalih al-Mukarram Pasar Panjang Sungai Sariak Pariaman
13)  Syaikh Durra Angku Angin Padang Magek Batu Sangkar
14)  Syaikh Abu Bakar Sampan VII Koto Pariaman
15)  Syaikh Haji Ibrahim Ampalu Tinggi Pariaman
16)  Syaikh Muhamma Yunus Ungku Sasak Pasaman
17)  Syaikh Ungku Sidi Talue Sampan Pariaman
           Sedangkan dalam silsilah guru tarekatnya, nama-nama silsilah guru [9] Syaikh Ali Imran sampai kepada Syaikh Adurrauf Singkel adalah: 
Abdurrauf Singkel (W. 1105 H/1693 M)
Burhanuddin Ulakan
1056-1111 /1646-1699
Syekh Qadhi Padang Gantiang
Syekh Cupak
Syekh Muhammad Shalih Talawi
Syekh Ismael Padang Gantiang
Syaikh M. Yasin Qadhi Koto Tujuah Malin Mandaro
(1227-1367 H/ 1806-1946 M)
Syaikh Hasan bin Muhammad Rahim Tuangku Bagindo Ringan-Ringan Pakandangan (w. 1400 H/ 1980 M),
Syaikh Ali Imran bin Hasan ( lahir 1926 M)

Syekh H. Ali Imran Hasan wafat pada hari Rabu, tanggal 12 April 2017 M,  pukul 04.00 WIB. Syekh H. Ali Imran Hasan wafat di kediamannya yang berada di komplek Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan. Kabar duka ini cepat menyebar melalui media sosial dan pesan singkat hingga kawasan Pesantren Nurul Yaqin dipadati masyarakat yang datang berbagai daerah. 

Sumber: Ahmad Rivauzi, Pemikiran Abdurrauf Singkel tentang Pendidikan dan Implikasinya pada Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan Pakandangan Padang Pariaman, (Disertasi), Padang: PPs IAIN Imam Bonjol Padang, 2014         



 
               [1] Tuanku Nafriandi adalah salah seorang alumni Pondok Pesantren Nurul Yaqin dan pernah menjadi salah seorang tenaga pengajar pada Pesantren ini. Menurut keterangan Tuanku Zakirman pada tanggal 9 Februari 2013, sesa’at sebelum mempertemukan penulis dengan Nafriandi mengatakan bahwa Tuanku Nafriandi adalah orang yang diserahi amanat untuk menulis Biografi Syaikh Ali Imran. Namun sampai sa’at penulis menulis Biografi Syaikh Ali Imran pada Disertasi ini, Tuanku Nafriandi mengatakan bahwa dia baru berkesempatan menulis Biografi tersebut dalam bentuk catatan tangan hasil wawancaranya dengan Syaikh Ali Imran. Sehingga kepada penulis diberikan Biografi tersebut masih dalam bentuk catatan tangan hasil wawancara tersebut. Catatan Tuanku Nafriandi ini sangat membantu penulis dan sekaligus menjadi pelengkap catatan wawancara penulis dengan Syaikh Ali Imran pada awal Januari 2012.
                [2] Catatan wawancara Tuanku Nafriandi dan Muzilatunil Isma Wawancara  pada hari Selasa, tanggal 6 April 2010, pukul 14.00 Wib

                [3] Paham yang dimaksudkan adalah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, bermazhab Imam Syafi’i, dan bertarikat Syathariyyah
                [4] Dalam kultur Minang, seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dan tinggal di rumah keluarga perempuan sebagai seorang sumando. Pada masa dahulu, mamak istri atau saudara laki-laki dari istri sebagai mamak dalam kaumnya memiliki kekuasaan dan pengaruh besar terhadap kaum si istri. Berdasarkan realitas kultural seperti ini, maka sering kali ketika urang sumando berselisih paham atau berselisih dengan mamak kaum istrinya, maka sang suami atau urang sumando tersebut menceraikan istrinya sebagai bentuk dan reaksi ketidak sukaan atau ketidak senangannya terhadap ninik mamak kaum istrinya.
                [5] Wawancara penulis dengan Syaikh Ali Imran pada hari Rabu tanggal 11 Januari 2012
                [6] Tuanku Razak adalah salah seorang ulama Ringan-ringan Pakandangan dan merupakan keponakan dari ayah Ali Imran 
                [7] Catatan wawancara Nafriandi dengan Syaikh Ali Imran pada hari Selasa, tanggal 13 April 2010, pukul 14.00 Wib
                [8] Data diperoleh dalam catatan Nafriandi.  Tuanku Kerajaan  menuturkan nama-nama guru Syaikh Ali Imran kepada Nafriandi pada hari Sabtu, 8 Maei 2010, pukul 12.30
[9] Sumber: Naskah Pengajian Tarekat Syaikh Ali Imran Ringan-ringan Pakandangan dan keterangan murid beliau Tuanku Kerajaan pada hari Sabtu, 01 Oktober 2011