Minggu, 08 Juli 2018

POKOK-POKOK AJARAN ISLAM TENTANG AKIDAH


POKOK-POKOK AJARAN ISLAM TENTANG AKIDAH
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA

Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka  itulah orang-orang  yang bertakwa.(QS. Al-Baqarah, 2:177)

Menurut Abuddin Nata (2011: 127), ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad dapat diumpamakan laksana pohon yang terdiri dari akar, batang, dahan, ranting, daun, dan buah. Masing-masing dari bagian pohon ini namanya  berbeda namun memiliki kesamaan fungsional dan membentuk satu kesatuan yang padu. Pokok-pokok ajaran Islam sebagaimana yang akan dijelaskan di bawah ini dapat diibaratkan sebagai akar atau pondasi pada sebuah bangunan yang di atasnya berdiri batang, cabang-cabang, dan lainnya. Ajaran cabang inilah yang sering disebut sebagai ajaran Islam pokok (ushuliyah) yang apabila dilanggar dapat membawa kepada murtad atau keluar dari Islam. Misalnya beriman kepada keesaan Allah, kewajiban mendirikan shalat, kewajiban puasa Ramadhan merupakan termasuk ajaran pokok. Sementara untuk ajaran-ajaran cabang, yang dikenal dengan istilah furu’iyyah, terbuka peluang untuk terdapat perbedaan pendapat dan perbedaan pendapat tersebut tidak akan membawa kepada keluar dari Islam. Di antara ajaran cabang tersebut misalnya terdapatnya perbedaan pendapat tentang jumlah sifat Allah antara 13, 30 atau 99 sifat. Apakah sifat Allah melekat pada dirinya atau terpisah dan lain sebagainya. Termasuk juga kategori ajaran cabang misalnya tentang kapan jatuhnya 1 Ramadhan dan 1 Syawal, shalat subuh pakai qunut atau tidak dan lain sebagainya (Ahmad Rivauzi, 2015: 81).
Secara umum, sistematika agama Islam tergambar pada skema di bawah ini:

Sumber: Endang Saifuddin Anshari (2004: 47)
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy (1986: 42-44), tiap-tiap manusia memiliki akidah, sedikit ataupun banyak. Semakin banyak pengalamannya, semakin subur juga ma’rifat keyakinannya. Semakin bertambah ilmunya, semakin bertambah pula i’tiqadnya  Aqidah merupakan ilham yang tumbuh dengan sendirinya tanpa disadari, tumbuh dari sebab-sebab yang terlepas dari pengaruh kemauan. Sedangkan ilmu hasil dari akal yang diperoleh dari memperhatikan sesuatu secara mendalam. Aqidah tumbuh di dalam hati, kemudian penganutnya berusaha mempergunakan akal untuk membenarkannya (Ahmad Rivauzi, 2015: 82-83).
Aqidah (العقيدة) dari segi bahasa (etimologis) berasal dari Bahasa Arab (عَقَدَ) yang bermakna 'ikatan' atau 'sangkutan' atau menyimpulkan sesuatu ( Ohan Sudjana, 1994:8). Aqidah juga diartikan al-Ibraam (pengesahan), al-ihkam (penguatan),  at-tawatstsuq (menjadi kokoh, kuat),  asy-syaddu biquwwah (pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk (pengokohan) dan al-itsbaatu (penetapan). Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin (keyakinan) dan al-jazmu (penetapan) (Nasruddin Razak,  1989: 30)
Hasbi Ash-Shiddieqy (1986: 52) menjelaskan bahwa dalam ketentuan bahasa Arab, aqidah adalah sesuatu yang dipegang teguh terhunjam kuat di dalam lubuk jiwa dan tidak dapat beralih dari padanya. Menurut ulama Islam, aqidah (i’tiqad), ilmu, dan ma’rifat kadang dipandang satu pengertian, yaitu iman yang sesuai dengan kenyataan yang dapat dikuatkan dengan dalil. Iman adalah kepercayaan yang kuat yang tidak dipengaruhi oleh syak (ragu-ragu dalam meyakini sesuatu antara ada dan tidak dengan porsi sama berat), waham (suatu persangkaan), atau zhan (suatu persangkaan walau punya alasan yang kuat)  (Ahmad Rivauzi, 2015: 83).
Menurut Hasan Al-Banna dalam Majmu’ah ar-Rasail,
اَلْعَقَائِدُ هِيَ اْلاُمُوْرُ الَّتِيْ يَجِبُ أَنْ يُصَدِّقَ بهَا قَلْبُكَ وَتَطْمَئِنَّ اَلَيْهَا نَفْسُكَ وَ تَكُوْنَ يَقِيْناً عِنْدَكَ لاَ يُمَازِجُهُ رَيْبٌ وَلاَ يُخَالِطُهُ شَكُّ
Aqaid (bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib di yakini kebenaranya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikit pun dengan keragu-raguan”.
Menurut Abu bakar Jabir al-Jazairy dalam kitab ‘Aqidah al-Mukmin,
اَلْعَقِيْدَةُ هِيَ مَجْمُوْعَةٌ مِنْ قَضَايَا اْلحَقَّ اْلبَدَهِيَّةِ اْلمُسَلَّمَةِ بِاْلعَقْلِ وَالَّسمْعِ وَاْلفِطْرَةِ يَعْقِدُ عَلَيْهَا اْلاِنْسَاُن قَلْبَهَا وَيُثْنِي عَلَيْهَا صَدْرَهُ جَازِمًا بِصِحَّتِهَا قَاطِعًا بِوُجُوْدِهَا وَثُبُوْتِهَا لاَ يُرَي خِلاَفُهَا أَنَّهُ يُصِحُّ اَنْ يَكُوْنَ أَبَداً.
“Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum (aksioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan di dalam hati serta diyakini kesahihan dan keberadaanya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu”.
Dengan demikian, akidah merupakan doktrin, konsepsi ketuhanan, atau rumusan teologi yang didapatkan dengan penalaran filosofis dan melalui dalil-dalil. Akidah itu rumusan baku, dan tidak berubah, dapat dipelajari dan dinalar. Sementara iman itu naik-turun, bertambah-berkurang (yazid wa yanqush). Iman adalah rasa; spiritualitas. Iman tak bertempat di nalar. Iman menghuni jiwa. Iman itu dinamis, sedangkan akidah statis. Iman adalah keyakinan yang menggerakkan. Ukuran iman adalah keyakinan dalam hati, ikrar lisan, dan manifestasi amal lahiriah. Tidak demikian dengan akidah. Akidah adalah konsepsi teologis. Iman adalah penyerahan “loyalitas” kepada Tuhan yang menciptakan kehidupan (Ahmad Rivauzi, 2015: 84).
Sumber aqidah Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Artinya apa saja yang disampaikan oleh Allah dalam al-Qur’an dan Rasulullah dalam sunnah-nya wajib di imani, diyakini, dan diamalkan (Hadis Purba,  2011 : 11).  Ada beberapa dalil tentang aqidah. Pertama, dalil ‘aqli yang diterima apabila sesuatu itu dipandang masuk akal atau logis dan sesuai dengan perasaan, tentunya yang dapat menimbulkan adanya keyakinan. Dengan menggunakan akal manusia merenungkan dirinya sendiri dan alam semesta, yang dengannya ia dapat melihat bahwa dibalik semua itu terdapat adanya Tuhan pencipta yang satu. Kedua, dalil naqli, yaitu dalil yang bersumber dari al-Qur’an. (Ahmad Rivauzi, 2015: 84-85).  Dan dalam hal ini, landasan hukum aqidah yang bersumber dari al-Qur’an antara lain:
قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ. ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ.لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ.وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌ
Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia".( QS. al-Ikhlas,112:1-4):
 وَقَالَ اللّهُ لاَ تَتَّخِذُواْ إِلـهَيْنِ اثْنَيْنِ إِنَّمَا هُوَ إِلهٌ وَاحِدٌ فَإيَّايَ فَارْهَبُونِ
Allah berfirman: "Janganlah kamu menyembah dua tuhan; sesungguhnya Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa, maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut".( QS. an-Nahl, 16: 51)
وَإِلَـهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang ( QS. al-Baqarah, 2:163).
Menurut Hans Wehr dalam A Dictionary of Modern Written Arabic (1974:20), iman dalam bahasa Arab mengandung arti faith (kepercayaan), belief (keyakinan). Dalam bahasa Indonesia sebagaimana ditulis W.J.S Poerwadarminta (1991: 375), iman berarti kepercayaan yang berkaitan dengan agama, yakin percaya kepada Allah, keteguhan hati, keteguhan batin (Abuddin Nata, 2011: 128)
Nasaruddin Razak (1977:119) dalam Abuddin Nata (2011) meneleskan bahwa dalam Islam, iman atau kepercayaan yang asasi disebut ‘aqidah dan bersumberkan kepada al-Quran dan merupakan hal-hal yang bersifat teoritis yang dituntut pertama-tama kali dan paling awal dari segala sesuatu yang harus dipercayai yang tidak boleh dicampuri oleh keragu-raguan dan persangkaan (Abuddin Nata, 2011: 128).
Menurut Imam Syahrastani, kata iman berasal dari kata aamana, yang biasanya diterjemahkan “ia percaya”, jika digunakan menurut wazan bahasa transitif, artinya menganugerahkan ketenteraman atau perdamaian. Tetapi jika digunakan dalam wazan bahasa intransitif maka ia berarti masuk dalam keadaan tenteram dan damai (Abuddin Nata, 2011: 128).
Pokok-pokok keimanan ini di dalam Islam dirumuskan dalam rukun iman sebagaimana dijelaskan Allah sebagai berikut:
لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَـكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّآئِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُواْ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاء والضَّرَّاء وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَـئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah, 2:177)
Dalam ayat di atas, keimanan mencakup rukun iman yang kemudian juga menghendaki perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk ibadah individual dan ibadah sosial kemasyarakatan seperti menyantuni orang miskin dan lain sebagainya (Ahmad Rivauzi, 2015: 87).
Secara tegas penjelasan rukun iman tersebut dijelaskan dalam sebuah Hadits sebagai berikut:
قال فأخبرني عن الإيمان قال أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره (رواه مسلم)
Jibrl berkata:” Ceritakan kepadaku tentang iman!”. Rasul menjawab, “yaitu beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada ketentuan baik-buruk-Nya (Muslim)
Menurut Abuddin Nata (2011:131-138) sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015: 87) menjelaskan bahwa keimanan kepada Allah dan keimanan kepada rukun iman yang lainnya tidak cukup hannya sebatas teoritis saja, namun harus bersifat transforamatif ke dalam diri manusia. Keimanan harus memiliki visi transendental yaitu keyakinan kepada Allah yang tampak dalam amal shaleh yang bermamfaat bagi manusia. Selanjutnya Abuddin memaparkan beberapa karakteristik iman yang transformatif tersebut sebagai berikut: Pertama, iman yang transformatif adalah iman yang berfungsi sebagai faktor yang menjadi motivasi, menjadikan seseorang untuk kreatif, produktif, inovatif, inspiratif, dan evaluatif .
Kedua, iman yang transformatif adalah iman yang mendorong manusia untuk melakukan amal shaleh, yaitu perasaan, pikiran, dan perbuatan yang baik menurut Allah dan Rasul-Nya.
Ketiga, iman yang transformatif adalah iman yang melahirkan optimisme dan rasa percaya diri. Hal ini disebabkan karena orang yang beriman yakin bahwa Allah akan menolongnya, menunjukinya,  dan senantiasa membimbing dan merahmatinya.
Keempat, iman yang transformatif adalah iman yang melahirkan sikap jujur. Hal ini dikarenakan keyakinan orang yang beriman bahwa setiap tindak tanduk dan perbuatannya selalu disaksikan oleh Allah Swt.
Kelima, iman yang transformatif adalah iman yang melahirkan sikap terpercaya (amanah). Sikap ini lahir dari manivestasi dari keyakinan selalu diawasi oleh Allah.
Keenam, iman yang transformatif adalah iman yang melahirkan visi transendental, yaitu sikap yang menganggap bahwa apapun yang diperbuat senantiasa didasarkan semata-mata karena Allah serta ibadah kepa-Nya.
Ketujuh, iman yang transformatif adalah iman yang melahirkan semangat juang yang tinggi. Karena bagi orang yang beriman, semua perbuatan baik yang bermamfaat bagi manusia adalah merupakan bentuk jihadnya di jalan Allah.
Kedelapan, iman yang transformatif adalah iman yang melahirkan akhlak yang mulia yang dihasilkan dari proses mengidentifikasi dan proses internalisasi sifat-sifat agung Allah Swt yang terekam dalam asma al-husna.
Ari Ginanjar (2001:65) menjelaskan bahwa pentingnya seorang yang beriman untuk membangun enam prinsip yang didasarkan dari rukun iman yang enam. Membangun enam prinsip ini setelah sebelumnya seseorang melakukan proses penjernihan pikiran dan hati (fithrah) dari segala macam belenggu. Membangun enam prinsip tersebut adalah membangun prinsip bintang (tauhid), menanamkan prinsip malaikat sehingga setiap mukmin menjadi orang yang dipercaya, membangun prinsip kepemimpinan dari keimanan terhadap iman kepada rasul, membangun prinsip pembelajaran sebagai manifestasi dari keimanan kepada kitab Allah, membangun prinsip masa depan sebagai manifestasi iman kepada hari kiamat, dan membangun prinsip keteraturan sebagai manifestasi iman kepada taqdir.
Transformasi iman berdasarkan keimanan kepada Allah harus dibangun oleh adanya pengakuan yang dalam akan keesaan Allah, keagungan dan kebesaran Allah. (Ahmad Rivauzi, 2015:89).
Allah berfirman:
هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ , هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ , هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْمَاء الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ ,
Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Hasyr, 59: 22-24).
Ary Ginanjar menyebutkan bahwa orang yang beriman kepada Allah adalah orang-orang yang kerena keimanannya mereka menemukan suara hati mereka yang suci yang berasal dari Allah. Mereka senantiasa rindu kepada Allah; Zat Yang Maha Benar. Hati mereka yang jernih dan akan menjadi sumber munculnya keagungan-keagungan dan sifat-sifat yang mulia yang ditiupkan Allah ke dalamnya bersamaan dengan fithrah penciptaannya. Untuk orang yang beriman, ruhnya menjadi tempat yang dijadikan Allah untuk memunculkan sifat-sifat Allah yang Maha Agung dan Mulia. Orang yang beriman kepada Allah juga akan memiliki kebijaksanaan. Hal ini dikarenakan keimanan kuat yang dimiliki menjadikan orang yang beriman terhubung dengan Allah yang memiliki sifat-sifat yang mulia (asma’ al-husna) yang menjadi sumber suara hati mereka.Orang yang beriman dan yang memiliki keyakinan tauhid yang kokoh juga memiliki integritas. Integritas adalah komitmen dan kesungguhan dalam melakukan dan berbuat sesuatu karena bagi seorang yang beriman, kehidupan yang baik adalah merupakan amanah suci dari Allah. Komitmen ini. Mereka yang bertauhid juga akan memiliki rasa aman, selalu mampu beradaptasi dengan berbagai situasi yang selalu berubah, memiliki kepercayaan diri yang kuat karena jiwa mereka hannya tunduk kepada Allah. Segala sesuatu selain Allah dirasakannya menjadi kecil. Keimanan dan keyakinan tauhid kepada Allah juga akan melahirkan intuisi dan motivasi kuat untuk menjadi lebih baik dan sukses. Orang yang beriman kepada Allah menyadari bahwa dia tidak diciptakan untuk kalah, tetapi dia diciptakan oleh Allah untuk menjadi hamba dan wakilnya di permukaan bumi ini. Orang yang beriman kepada Allah yakin bahwa Allah akan menguatkannya ketika dia lemah, akan menunjukinya ketika dia berada dalam kebingungan dan Allah akan menolongnya ketika dia butuh pertolongan. Orang yang beriman kepada Allah menyadari bahwa dia telah diciptakan Allah sebagai makhluk yang mulia sehingga dia menjaga fithrah kehambaannya di hadapan Allah sebagai upaya memelihara kemuliaan penciptaan tersebut. Sebuah temuan ilmu membuktikan bahwa semua makhluk hidup memiliki alfabet DNA yang sama, yaitu A (Adenine), C (Cytosine), G (Guanine) dan T (Thymine). Dalam struktur helix ganda DNA, basa A berpasangan dengan T, sedangkan C dengan G. DI dalam tubug manusia diperkirakan terdapat 100 triliyun sel. Dan di dalam inti setiap sel terdapat 23 pasang kromosom yang disusun oleh tiga milyar hruf alfabet tadi. Jika DNA di dalam setiap tubuh manusia direntangkan, maka panjangnya akan lebih dari 600 kali jarak bumi dan matahari. Betapa dahsyat dan sempurnanya manusia diciptakan oleh Allah Swt. (Ary Ginanjar, 2001: 68-83)
Keimanan kepada malikat Allah pada gilirannya bagi orang yang beriman keyakinan itu akan mendidiknya untuk memiliki loyalitas, komitmen, kebiasaan untuk memberi dan mengawali sesuatu yang baik, kebiasaan menolong, dan saling mempercayai (Ary Ginanjar, 2001: 94). Allah berfirman:
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَداً سُبْحَانَهُ بَلْ عِبَادٌ مُّكْرَمُونَ , لَا يَسْبِقُونَهُ بِالْقَوْلِ وَهُم بِأَمْرِهِ يَعْمَلُونَ , يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى وَهُم مِّنْ خَشْيَتِهِ مُشْفِقُونَ
Dan mereka berkata: "Tuhan Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak", Maha Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah hamba-hamba yang dimuliakan, mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintahNya. Allah mengetahui segala sesuatu yang di hadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya. (QS. Al-Anbiya’, 21: 26-28)
Selanjutnya, iman kepada para Nabi mengandung makna yang sangat luhur dan mendidik orang yang beriman untuk menjadi pemimpin sejati. Pemimpin sejati adalah seseorang yang selalu mencintai dan memberi perhatian kepada orang lain sehingga dia menjadi pribadi yang dicintai. Memiliki integritas yang kuat sehingga ia dipercaya oleh pengikutnya. Selalu membimbing dan mengajari pengikutnya. Memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten serta mendidik seseorang untuk memimpin berlandaskan suara hati fithrah (Ary Ginanjar, 2001: 114).
Keimanan kepada kitab suci juga memiliki makna bahwa bagi orang beriman, memahami dan mengamalkan pesan-pesan suci dalam kitan suci merupakan sebuah keniscayaan. Di antara pesan yang dimuat dalam kitab suci adalah perintah membaca (selalu belajar). Orang yang beriman secara benar adalah orang-orang yang memiliki prinsip pembelajaran. Seseorang yang beriman kepada kitab suci, dituntut untuk membiasakan membaca, membiasakan berpikir kritis, membiasakan diri dengan mengevaluasi diri, membiasakan diri dengan selalu menyempurnakan, dan yang pasti orang beriman kepada kitab suci (firman Allah) adalah orang-orang yang memiliki pedoman dalam kehidupannya (Ary Ginanjar, 2001: 136)
Orang yang beriman kepada hari kiamat dididik oleh Allah untuk memiliki prinsip masa depan. Keimanan kepada hari akhir mendidik seseorang untuk selalu berorientasi kepada tujuan akhir dalam setiap langkah yang dibuat, melakukan setiap langkah secara optimal, memiliki kendali diri dan sosial, memiliki kepastian terhadap masa depan yang baik karena telah membiasakan kebaikan, dan memiliki ketenangan batin karena segala sesuatu akan kembali kepada Allah dan Allah yang akan membalasi segala sesuatu secara adil (Ary Ginanjar, 2001: 150).
Selanjutnya dari keimanan terhadap ketentuan Allah sesungguhnya mendidik manusia untuk selalu memiliki kesadaran, ketenangan dan keyakinan dalam berusaha, karena adanya kepastian hukum dan ketentaun Allah (sunnatullah). Keimanan kepada ketentaun Allah mendidik seseorang untuk memiliki kesadaran akan adanya hukum alam dan hukum sosial, kesadaran akan arti proses, berorientasi kepada pembentukan sistem dan sinergisitas, dan berorientasi  kepada upaya menjaga sistem yang sudah dibentuk (Ary Ginanjar, 2001: 169).
Dengan demikian, keyakinan dan keimanan yang terkandung dalam rukun iman yang enam akan membentuk dan membangun mentalitas dan kepribadian yang kokoh dan kuat yang sangat dibutuhkan oleh seseorang dalam meraih kesuksesan baik pada kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat (Ahmad Rivauzi, 2015: 93).
Sumber:
Ahmad Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman: Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, (Ciputat: Sakata Cendikia, 2015), Cet. I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar