POKOK-POKOK AJARAN ISLAM TENTANG AKIDAH
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA
Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada
Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan
harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang
yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang
benar (imannya); dan mereka itulah
orang-orang yang bertakwa.(QS.
Al-Baqarah, 2:177)
Menurut Abuddin Nata (2011:
127), ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad dapat diumpamakan laksana
pohon yang terdiri dari akar, batang, dahan, ranting, daun, dan buah.
Masing-masing dari bagian pohon ini namanya
berbeda namun memiliki kesamaan fungsional dan membentuk satu kesatuan
yang padu. Pokok-pokok ajaran Islam sebagaimana yang akan dijelaskan di bawah
ini dapat diibaratkan sebagai akar atau pondasi pada sebuah bangunan yang di
atasnya berdiri batang, cabang-cabang, dan lainnya. Ajaran cabang inilah yang
sering disebut sebagai ajaran Islam pokok (ushuliyah) yang apabila dilanggar
dapat membawa kepada murtad atau keluar dari Islam. Misalnya beriman kepada
keesaan Allah, kewajiban mendirikan shalat, kewajiban puasa Ramadhan merupakan
termasuk ajaran pokok. Sementara untuk ajaran-ajaran cabang, yang dikenal
dengan istilah furu’iyyah, terbuka peluang untuk terdapat perbedaan
pendapat dan perbedaan pendapat tersebut tidak akan membawa kepada keluar dari
Islam. Di antara ajaran cabang tersebut misalnya terdapatnya perbedaan pendapat
tentang jumlah sifat Allah antara 13, 30 atau 99 sifat. Apakah sifat Allah
melekat pada dirinya atau terpisah dan lain sebagainya. Termasuk juga kategori
ajaran cabang misalnya tentang kapan jatuhnya 1 Ramadhan dan 1 Syawal, shalat
subuh pakai qunut atau tidak dan lain sebagainya (Ahmad Rivauzi, 2015: 81).
Secara umum, sistematika
agama Islam tergambar pada skema di bawah ini:
Sumber: Endang Saifuddin
Anshari (2004: 47)
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy
(1986: 42-44), tiap-tiap manusia memiliki akidah, sedikit ataupun banyak.
Semakin banyak pengalamannya, semakin subur juga ma’rifat keyakinannya. Semakin
bertambah ilmunya, semakin bertambah pula i’tiqadnya Aqidah merupakan ilham yang tumbuh dengan
sendirinya tanpa disadari, tumbuh dari sebab-sebab yang terlepas dari pengaruh
kemauan. Sedangkan ilmu hasil dari akal yang diperoleh dari memperhatikan
sesuatu secara mendalam. Aqidah tumbuh di dalam hati, kemudian penganutnya
berusaha mempergunakan akal untuk membenarkannya (Ahmad Rivauzi, 2015: 82-83).
Aqidah (العقيدة) dari segi bahasa (etimologis)
berasal dari Bahasa Arab (عَقَدَ) yang bermakna 'ikatan' atau 'sangkutan' atau
menyimpulkan sesuatu ( Ohan Sudjana, 1994:8). Aqidah juga diartikan al-Ibraam (pengesahan), al-ihkam
(penguatan), at-tawatstsuq (menjadi kokoh,
kuat), asy-syaddu biquwwah (pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk (pengokohan)
dan al-itsbaatu (penetapan). Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin (keyakinan) dan al-jazmu (penetapan) (Nasruddin Razak, 1989:
30)
Hasbi Ash-Shiddieqy (1986: 52)
menjelaskan bahwa dalam ketentuan bahasa Arab, aqidah adalah sesuatu
yang dipegang teguh terhunjam kuat di dalam lubuk jiwa dan tidak dapat beralih
dari padanya. Menurut ulama Islam, aqidah (i’tiqad), ilmu, dan ma’rifat kadang
dipandang satu pengertian, yaitu iman yang sesuai dengan kenyataan yang dapat
dikuatkan dengan dalil. Iman adalah kepercayaan yang kuat yang tidak
dipengaruhi oleh syak (ragu-ragu dalam meyakini sesuatu antara ada dan
tidak dengan porsi sama berat), waham (suatu persangkaan), atau zhan
(suatu persangkaan walau punya alasan yang kuat) (Ahmad Rivauzi, 2015: 83).
Menurut Hasan Al-Banna dalam Majmu’ah ar-Rasail,
اَلْعَقَائِدُ هِيَ
اْلاُمُوْرُ الَّتِيْ يَجِبُ أَنْ يُصَدِّقَ بهَا قَلْبُكَ وَتَطْمَئِنَّ
اَلَيْهَا نَفْسُكَ وَ تَكُوْنَ يَقِيْناً عِنْدَكَ لاَ يُمَازِجُهُ رَيْبٌ وَلاَ
يُخَالِطُهُ شَكُّ
“Aqaid (bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib di
yakini kebenaranya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan
yang tidak bercampur sedikit pun dengan keragu-raguan”.
Menurut Abu bakar Jabir
al-Jazairy dalam kitab ‘Aqidah al-Mukmin,
اَلْعَقِيْدَةُ هِيَ مَجْمُوْعَةٌ مِنْ قَضَايَا
اْلحَقَّ اْلبَدَهِيَّةِ اْلمُسَلَّمَةِ بِاْلعَقْلِ وَالَّسمْعِ وَاْلفِطْرَةِ
يَعْقِدُ عَلَيْهَا اْلاِنْسَاُن قَلْبَهَا وَيُثْنِي عَلَيْهَا صَدْرَهُ جَازِمًا
بِصِحَّتِهَا قَاطِعًا بِوُجُوْدِهَا وَثُبُوْتِهَا لاَ يُرَي خِلاَفُهَا أَنَّهُ
يُصِحُّ اَنْ يَكُوْنَ أَبَداً.
“Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat
diterima secara umum (aksioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fitrah.
Kebenaran itu dipatrikan di dalam hati serta diyakini kesahihan dan
keberadaanya secara pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan
kebenaran itu”.
Dengan demikian, akidah merupakan doktrin,
konsepsi ketuhanan, atau rumusan teologi yang didapatkan dengan penalaran
filosofis dan melalui dalil-dalil. Akidah itu rumusan baku, dan tidak berubah,
dapat dipelajari dan dinalar. Sementara iman itu naik-turun,
bertambah-berkurang (yazid wa yanqush). Iman adalah rasa; spiritualitas.
Iman tak bertempat di nalar. Iman menghuni jiwa. Iman itu dinamis, sedangkan
akidah statis. Iman adalah keyakinan yang menggerakkan. Ukuran iman adalah
keyakinan dalam hati, ikrar lisan, dan manifestasi amal lahiriah. Tidak
demikian dengan akidah. Akidah adalah konsepsi teologis. Iman adalah penyerahan
“loyalitas” kepada Tuhan yang menciptakan kehidupan (Ahmad Rivauzi, 2015: 84).
Sumber
aqidah Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.
Artinya apa saja yang disampaikan oleh Allah
dalam al-Qur’an
dan Rasulullah
dalam sunnah-nya wajib di imani, diyakini, dan diamalkan (Hadis Purba, 2011 : 11).
Ada beberapa dalil tentang aqidah. Pertama, dalil ‘aqli yang diterima apabila
sesuatu itu
dipandang masuk akal atau logis dan sesuai dengan perasaan, tentunya yang dapat
menimbulkan adanya keyakinan.
Dengan menggunakan akal manusia merenungkan dirinya sendiri dan alam
semesta, yang dengannya ia dapat melihat bahwa dibalik semua itu terdapat
adanya Tuhan pencipta yang satu.
Kedua, dalil naqli, yaitu dalil yang
bersumber dari al-Qur’an.
(Ahmad Rivauzi, 2015: 84-85).
Dan dalam hal ini, landasan hukum
aqidah yang bersumber dari al-Qur’an antara lain:
قُلْ هُوَ ٱللَّهُ
أَحَدٌ. ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ.لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ.وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌ
Katakanlah:
"Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan
tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia".( QS. al-Ikhlas,112:1-4):
وَقَالَ اللّهُ لاَ تَتَّخِذُواْ إِلـهَيْنِ
اثْنَيْنِ إِنَّمَا هُوَ إِلهٌ وَاحِدٌ فَإيَّايَ فَارْهَبُونِ
Allah berfirman: "Janganlah kamu menyembah dua tuhan; sesungguhnya
Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa, maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut".( QS. an-Nahl, 16: 51)
وَإِلَـهُكُمْ إِلَهٌ
وَاحِدٌ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang ( QS. al-Baqarah, 2:163).
Menurut Hans Wehr dalam A
Dictionary of Modern Written Arabic (1974:20), iman dalam bahasa Arab
mengandung arti faith (kepercayaan), belief (keyakinan). Dalam
bahasa Indonesia sebagaimana ditulis W.J.S Poerwadarminta (1991: 375), iman
berarti kepercayaan yang berkaitan dengan agama, yakin percaya kepada Allah,
keteguhan hati, keteguhan batin (Abuddin Nata, 2011: 128)
Nasaruddin Razak (1977:119)
dalam Abuddin Nata (2011) meneleskan bahwa dalam Islam, iman atau kepercayaan
yang asasi disebut ‘aqidah dan bersumberkan kepada al-Quran dan merupakan
hal-hal yang bersifat teoritis yang dituntut pertama-tama kali dan paling awal
dari segala sesuatu yang harus dipercayai yang tidak boleh dicampuri oleh
keragu-raguan dan persangkaan (Abuddin Nata, 2011: 128).
Menurut Imam Syahrastani,
kata iman berasal dari kata aamana, yang biasanya diterjemahkan “ia
percaya”, jika digunakan menurut wazan bahasa transitif, artinya
menganugerahkan ketenteraman atau perdamaian. Tetapi jika digunakan dalam wazan
bahasa intransitif maka ia berarti masuk dalam keadaan tenteram dan damai (Abuddin Nata, 2011: 128).
Pokok-pokok
keimanan ini di dalam Islam dirumuskan dalam rukun iman sebagaimana dijelaskan
Allah sebagai berikut:
لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ
وَالْمَغْرِبِ وَلَـكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ
ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ
وَالسَّآئِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ
وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُواْ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاء
والضَّرَّاء وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَـئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَـئِكَ هُمُ
الْمُتَّقُونَ
Bukanlah menghadapkan wajahmu
ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan
itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah
orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah, 2:177)
Dalam ayat di atas, keimanan
mencakup rukun iman yang kemudian juga menghendaki perwujudannya dalam
kehidupan sehari-hari dalam bentuk ibadah individual dan ibadah sosial
kemasyarakatan seperti menyantuni orang miskin dan lain sebagainya (Ahmad
Rivauzi, 2015: 87).
Secara
tegas penjelasan rukun iman tersebut dijelaskan dalam sebuah Hadits sebagai berikut:
قال فأخبرني عن
الإيمان قال أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره
وشره (رواه مسلم)
Jibrl berkata:” Ceritakan
kepadaku tentang iman!”. Rasul menjawab, “yaitu beriman kepada Allah, para
malaikat-Nya, kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada
ketentuan baik-buruk-Nya (Muslim)
Menurut Abuddin Nata
(2011:131-138) sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015: 87) menjelaskan bahwa keimanan
kepada Allah dan keimanan kepada rukun iman yang lainnya tidak cukup hannya
sebatas teoritis saja, namun harus bersifat transforamatif ke dalam diri
manusia. Keimanan harus memiliki visi transendental yaitu keyakinan kepada
Allah yang tampak dalam amal shaleh yang bermamfaat bagi manusia. Selanjutnya
Abuddin memaparkan beberapa karakteristik iman yang transformatif tersebut
sebagai berikut: Pertama, iman yang transformatif adalah iman yang
berfungsi sebagai faktor yang menjadi motivasi, menjadikan seseorang untuk
kreatif, produktif, inovatif, inspiratif, dan evaluatif .
Kedua, iman yang
transformatif adalah iman yang mendorong manusia untuk melakukan amal shaleh,
yaitu perasaan, pikiran, dan perbuatan yang baik menurut Allah dan Rasul-Nya.
Ketiga, iman yang
transformatif adalah iman yang melahirkan optimisme dan rasa percaya diri. Hal
ini disebabkan karena orang yang beriman yakin bahwa Allah akan menolongnya,
menunjukinya, dan senantiasa membimbing
dan merahmatinya.
Keempat, iman yang
transformatif adalah iman yang melahirkan sikap jujur. Hal ini dikarenakan
keyakinan orang yang beriman bahwa setiap tindak tanduk dan perbuatannya selalu
disaksikan oleh Allah Swt.
Kelima, iman yang
transformatif adalah iman yang melahirkan sikap terpercaya (amanah). Sikap ini
lahir dari manivestasi dari keyakinan selalu diawasi oleh Allah.
Keenam, iman yang
transformatif adalah iman yang melahirkan visi transendental, yaitu sikap yang
menganggap bahwa apapun yang diperbuat senantiasa didasarkan semata-mata karena
Allah serta ibadah kepa-Nya.
Ketujuh, iman yang
transformatif adalah iman yang melahirkan semangat juang yang tinggi. Karena
bagi orang yang beriman, semua perbuatan baik yang bermamfaat bagi manusia
adalah merupakan bentuk jihadnya di jalan Allah.
Kedelapan, iman yang
transformatif adalah iman yang melahirkan akhlak yang mulia yang dihasilkan
dari proses mengidentifikasi dan proses internalisasi sifat-sifat agung Allah
Swt yang terekam dalam asma al-husna.
Ari Ginanjar (2001:65) menjelaskan
bahwa pentingnya seorang yang beriman untuk membangun enam prinsip yang
didasarkan dari rukun iman yang enam. Membangun enam prinsip ini setelah
sebelumnya seseorang melakukan proses penjernihan pikiran dan hati (fithrah)
dari segala macam belenggu. Membangun enam prinsip tersebut adalah membangun
prinsip bintang (tauhid), menanamkan prinsip malaikat sehingga setiap mukmin
menjadi orang yang dipercaya, membangun prinsip kepemimpinan dari keimanan
terhadap iman kepada rasul, membangun prinsip pembelajaran sebagai manifestasi
dari keimanan kepada kitab Allah, membangun prinsip masa depan sebagai
manifestasi iman kepada hari kiamat, dan membangun prinsip keteraturan sebagai
manifestasi iman kepada taqdir.
Transformasi iman berdasarkan
keimanan kepada Allah harus dibangun oleh adanya pengakuan yang dalam akan
keesaan Allah, keagungan dan kebesaran Allah. (Ahmad Rivauzi, 2015:89).
Allah
berfirman:
هُوَ اللَّهُ
الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ
الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ , هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا
هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ
الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ , هُوَ اللَّهُ
الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْمَاء الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ
مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ ,
Dia-lah Allah Yang tiada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang
nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dia-lah Allah Yang tiada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha
Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha
Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dari
apa yang mereka persekutukan.
Dia-lah
Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai
Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di
bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Hasyr, 59:
22-24).
Ary Ginanjar menyebutkan
bahwa orang yang beriman kepada Allah adalah orang-orang yang kerena
keimanannya mereka menemukan suara hati mereka yang suci yang berasal dari
Allah. Mereka senantiasa rindu kepada Allah; Zat Yang Maha Benar. Hati mereka
yang jernih dan akan menjadi sumber munculnya keagungan-keagungan dan
sifat-sifat yang mulia yang ditiupkan Allah ke dalamnya bersamaan dengan
fithrah penciptaannya. Untuk orang yang beriman, ruhnya menjadi tempat yang
dijadikan Allah untuk memunculkan sifat-sifat Allah yang Maha Agung dan Mulia.
Orang yang beriman kepada Allah juga akan memiliki kebijaksanaan. Hal ini
dikarenakan keimanan kuat yang dimiliki menjadikan orang yang beriman terhubung
dengan Allah yang memiliki sifat-sifat yang mulia (asma’ al-husna) yang menjadi
sumber suara hati mereka.Orang yang beriman dan yang memiliki keyakinan tauhid
yang kokoh juga memiliki integritas. Integritas adalah komitmen dan kesungguhan
dalam melakukan dan berbuat sesuatu karena bagi seorang yang beriman, kehidupan
yang baik adalah merupakan amanah suci dari Allah. Komitmen ini. Mereka yang
bertauhid juga akan memiliki rasa aman, selalu mampu beradaptasi dengan berbagai
situasi yang selalu berubah, memiliki kepercayaan diri yang kuat karena jiwa
mereka hannya tunduk kepada Allah. Segala sesuatu selain Allah dirasakannya
menjadi kecil. Keimanan dan keyakinan tauhid kepada Allah juga akan melahirkan intuisi
dan motivasi kuat untuk menjadi lebih baik dan sukses. Orang yang beriman
kepada Allah menyadari bahwa dia tidak diciptakan untuk kalah, tetapi dia
diciptakan oleh Allah untuk menjadi hamba dan wakilnya di permukaan bumi ini.
Orang yang beriman kepada Allah yakin bahwa Allah akan menguatkannya ketika dia
lemah, akan menunjukinya ketika dia berada dalam kebingungan dan Allah akan
menolongnya ketika dia butuh pertolongan. Orang yang beriman kepada Allah
menyadari bahwa dia telah diciptakan Allah sebagai makhluk yang mulia sehingga
dia menjaga fithrah kehambaannya di hadapan Allah sebagai upaya memelihara
kemuliaan penciptaan tersebut. Sebuah temuan ilmu membuktikan bahwa semua
makhluk hidup memiliki alfabet DNA yang sama, yaitu A (Adenine), C (Cytosine),
G (Guanine) dan T (Thymine). Dalam struktur helix ganda DNA, basa A berpasangan
dengan T, sedangkan C dengan G. DI dalam tubug manusia diperkirakan terdapat
100 triliyun sel. Dan di dalam inti setiap sel terdapat 23 pasang kromosom yang
disusun oleh tiga milyar hruf alfabet tadi. Jika DNA di dalam setiap tubuh
manusia direntangkan, maka panjangnya akan lebih dari 600 kali jarak bumi dan
matahari. Betapa dahsyat dan sempurnanya manusia diciptakan oleh Allah Swt.
(Ary Ginanjar, 2001: 68-83)
Keimanan
kepada malikat Allah pada gilirannya bagi orang yang beriman keyakinan itu akan
mendidiknya untuk memiliki loyalitas, komitmen, kebiasaan untuk memberi dan
mengawali sesuatu yang baik, kebiasaan menolong, dan saling mempercayai (Ary
Ginanjar, 2001: 94). Allah berfirman:
وَقَالُوا اتَّخَذَ
الرَّحْمَنُ وَلَداً سُبْحَانَهُ بَلْ عِبَادٌ مُّكْرَمُونَ , لَا
يَسْبِقُونَهُ بِالْقَوْلِ وَهُم بِأَمْرِهِ يَعْمَلُونَ ,
يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا
لِمَنِ ارْتَضَى وَهُم مِّنْ خَشْيَتِهِ مُشْفِقُونَ
Dan mereka berkata:
"Tuhan Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak", Maha Suci
Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah hamba-hamba yang dimuliakan, mereka itu tidak mendahului-Nya dengan
perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintahNya. Allah mengetahui segala sesuatu yang di hadapan
mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat
melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati
karena takut kepada-Nya. (QS. Al-Anbiya’, 21: 26-28)
Selanjutnya, iman kepada para
Nabi mengandung makna yang sangat luhur dan mendidik orang yang beriman untuk
menjadi pemimpin sejati. Pemimpin sejati adalah seseorang yang selalu mencintai
dan memberi perhatian kepada orang lain sehingga dia menjadi pribadi yang
dicintai. Memiliki integritas yang kuat sehingga ia dipercaya oleh pengikutnya.
Selalu membimbing dan mengajari pengikutnya. Memiliki kepribadian yang kuat dan
konsisten serta mendidik seseorang untuk memimpin berlandaskan suara hati fithrah
(Ary Ginanjar, 2001: 114).
Keimanan kepada kitab suci
juga memiliki makna bahwa bagi orang beriman, memahami dan mengamalkan
pesan-pesan suci dalam kitan suci merupakan sebuah keniscayaan. Di antara pesan
yang dimuat dalam kitab suci adalah perintah membaca (selalu belajar). Orang
yang beriman secara benar adalah orang-orang yang memiliki prinsip
pembelajaran. Seseorang yang beriman kepada kitab suci, dituntut untuk
membiasakan membaca, membiasakan berpikir kritis, membiasakan diri dengan
mengevaluasi diri, membiasakan diri dengan selalu menyempurnakan, dan yang
pasti orang beriman kepada kitab suci (firman Allah) adalah orang-orang yang
memiliki pedoman dalam kehidupannya (Ary Ginanjar, 2001: 136)
Orang yang beriman kepada
hari kiamat dididik oleh Allah untuk memiliki prinsip masa depan. Keimanan
kepada hari akhir mendidik seseorang untuk selalu berorientasi kepada tujuan
akhir dalam setiap langkah yang dibuat, melakukan setiap langkah secara
optimal, memiliki kendali diri dan sosial, memiliki kepastian terhadap masa
depan yang baik karena telah membiasakan kebaikan, dan memiliki ketenangan
batin karena segala sesuatu akan kembali kepada Allah dan Allah yang akan
membalasi segala sesuatu secara adil (Ary Ginanjar, 2001: 150).
Selanjutnya dari keimanan terhadap
ketentuan Allah sesungguhnya mendidik manusia untuk selalu memiliki kesadaran,
ketenangan dan keyakinan dalam berusaha, karena adanya kepastian hukum dan
ketentaun Allah (sunnatullah). Keimanan kepada ketentaun Allah mendidik
seseorang untuk memiliki kesadaran akan adanya hukum alam dan hukum sosial,
kesadaran akan arti proses, berorientasi kepada pembentukan sistem dan
sinergisitas, dan berorientasi kepada
upaya menjaga sistem yang sudah dibentuk (Ary Ginanjar, 2001: 169).
Dengan demikian, keyakinan
dan keimanan yang terkandung dalam rukun iman yang enam akan membentuk dan
membangun mentalitas dan kepribadian yang kokoh dan kuat yang sangat dibutuhkan
oleh seseorang dalam meraih kesuksesan baik pada kehidupan di dunia maupun
kehidupan di akhirat (Ahmad Rivauzi, 2015: 93).
Sumber:
Ahmad
Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman: Memahami Universalitas Islam untuk
Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin,
(Ciputat: Sakata Cendikia, 2015), Cet. I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar