Rabu, 08 Juli 2015

Hukum Qadha Shalat Fardhu

HUKUM QADHA SHALAT FARDHU
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA

Menurut Muhammad Jawad Mughniyah (2008:132), para ulama fikih sepakat bahwa barangsiapa ketinggalan shalat fardhu, maka wajib meng-qadha’-nya. Baik shalat itu ditinggalkannya dengan sengaja, lupa, maupun karena ketiduran. Sedangkan wanita haidh dan nifas tidak wajib qadha’ walaupun dia memiliki waktu yang lapang. Sebab kewajiban shalat gugur  dari mereka.
Muhammad Jawad Mughniyah (2008:132), juga menjelaskan bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih Cuma terjadi dalam hal kewajiban qadha atas orang gila, pingsan dan orang mabuk.
1.      Menurut mazhab Hanafi, orang yang hilang akal karena disebabkan oleh barang yang diharamkan, maka ia wajib mengqadha shalatnya, namun jiga hilang akal itu disebabkan karena pingsan atau gila, maka kerwajiban qadha menjadi hilang jika pingsan atau gilanya itu berlangsung terus sampai lebih lima kali waktu shalat.
2.     Menurut Maliki, orang gila atau pingsan wajib qadha. Sedangkan orang yang mabuk karena barang yang diharamkan seperti tuak, maka ia wajib qadha. Namun jika disebabkan oleh barang yang halal seperti minum susu asam, maka ia tidak wajib qadha.
3.    Hanbali berpendapat bahwa orang yang pingsan dan mabuk karena benda haram, maka wajib qadha, sedangkan orang yang gila tidak wajib.
4.      Sedangkan Syafi’i berpendapat, orang gila dan orang pingsan tidak wajib qadha jika hilang akalnya itu menghabiskan seluruh waktu shalat dalam satu hari. Adapun mabuk yang disebabkan oleh barang yang haram wajib diqadha.
Penjelasan tentang kewajiban qadha shalat juga dikupas oleh Muhammad Sayyid Sabiq (2008:351). Sabiq menjelaskan bahwa para ulama sepakat bahwa mengqadha shalat wajib hukumnya bagi orang yang lupa atau tertidur. Begitu pula halnya dengan orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, menurut jumhur ulama, ia berdosa dan wajib mengqadhanya.
Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada kewajiban qadha shalat bagi orang yang meninggalkan shalat, semuanya merujuk kepada pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn Hazm. Ibn Taimiyah berpendapat bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat itu tidak diperintahkan untuk mengqadhanya. Jika diqadha pun, tidak sah. Ibn Hazm menjelaskan, orang yang sengaja meninggalkan shalat, tidak dapat mengqadhanya untuk selamanya. Sebagai gantinya, ia harus memperbanyak shalat sunnah agar timbangan amalnya menjadi banyak pada hari Kiamat kelak (Muhammad Sayyid Sabiq, 2008:351). Pendapat Ibn Hazm ini juga dirujuk oleh M. Hasbi Ash-Shiddieqy (2014:377), dan juga berpendapat bahwa tidak ada qadha untuk shalat yang telah ditinggalkan.
Pendapat tentang tidak ada qadha shalat juga merujuk kepada Mazhab Zahiri, Ibnu Hazm dan salah satu riwayat dari Qasim dan Wazir dari mazhab Syi'ah. Mereka berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan bersengaja tidak wajib mengqadha shalatnya yang tertinggal dan kalau juga mereka mengqadha shalatnya, maka shalatnya dianggap tidak sah.[1]
Pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn Hazm ini, serta mazhab Zahiri dan sebagian pendapat kalangan ulama Syi’ah ini sangat bertentangan dengan pendapat ulama mazhab. Abu Hanifah, Malik, dan Syafi’i berpendapat bahwa seseorang harus mengqadha shalat bila waktunya habis. Bahkan Malik dan Abu Hanifah mengatakan bahwa barang siapa yang meninggalkan shalat atau beberapa shalat, ia boleh mengqadha shalat sebelum datang waktu shalat berikutnya. Ini bila yang sengaja ditinggalkan itu lima kali shalat atau kurang, baik waktunya sudah habis maupun belum. Adapun jika lebih dari lima waktu, hendaknya ia memulai dengan shalat yang hadir pada waktunya itu (Sayyid Sabiq, 2008: 351-352).
Adapun dalil-dalil yang dijadikan dasar wajibnya qadha shalat adalah:
أَخْبَرَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ: أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ وَهُوَ ابْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ الْمُغِيرَةِ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَبَاحٍ، عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ، إِنَّمَا التَّفْرِيطُ فِيمَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلَاةَ حَتَّى يَجِيءَ وَقْتُ الصَّلَاةِ الْأُخْرَى حِينَ يَنْتَبِهُ لَهَا»(رواه النسائي و الترمذي و صححه(
...Dari Abu Qatadah, dia berkata, mereka (Shahabat-shahabat) menceritakan kepada Nabi tentang tertidurnya mereka sebelum shalat, maka Nabi saw berkata, Sesungguhnya di dalam tidur tidak ada keteledoran, karena (yang dinamakan keteledoran) itu hanyalah dalam keadaan berjaga. Oleh karena itu, apabila salah seorang di antara kamu lupa shalat atau tertidur, maka shalatlah ketika ingat. (HR. an-Nasa'i dan at-Tirmidzi menshahihkannya. Juga dinilai Shahih oleh al-Bani).[2]
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، قَالاَ: حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ [ص:123] قَالَ: " مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ {وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي} [طه: 14] "، قَالَ مُوسَى: قَالَ هَمَّامٌ: سَمِعْتُهُ يَقُولُ: بَعْدُ: «وَأَقِمِ الصَّلاَةَ للذِّكْرَى»، قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: وَقَالَ حَبَّانُ: حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، حَدَّثَنَا أَنَسٌ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ ) (رواه البخاري(
...dari Anas bin Malik,dari Nabi Saw, Nabi saw, bersabda: Barangsiapa lupa satu shalat, maka shalatlah ketika ingat. Karena sesungguhnya Allah telah berfirman: Dirikanlah shalat karena ingat kepada-Ku. (HR. al-Jama'ah )[3]
حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ فَضَالَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا هِشَامٌ، عَنْ يَحْيَى، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ، جَاءَ يَوْمَ الخَنْدَقِ، بَعْدَ مَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ فَجَعَلَ يَسُبُّ كُفَّارَ قُرَيْشٍ، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كِدْتُ أُصَلِّي العَصْرَ، حَتَّى كَادَتِ الشَّمْسُ تَغْرُبُ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَاللَّهِ مَا صَلَّيْتُهَا» فَقُمْنَا إِلَى بُطْحَانَ، فَتَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ وَتَوَضَّأْنَا لَهَا، فَصَلَّى العَصْرَ بَعْدَ مَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ، ثُمَّ صَلَّى بَعْدَهَا المَغْرِبَ  (رواه لبخاري و مسلم(
...dari Jabir bin Abdillah beliau berkata: bahwasanya Sayidina Umar datang kepada Rasulullah ketika peperangan Khandaq, sesudah terbenam matahari, Saidina Umar ketika itu memaki-maki kafir Quraisy dan berkata kepada Rasulullah: Hai Rasulullah, saya hampir tidak shalat 'Ashar sampai matahari terbenam, maka Nabi menjawab: Demi Allah, saya juga belum shalat 'Ashar. (Berkata Jabir). Maka kami semuanya berangkat ke Balkan maka berwudhulah Nabi dan kami berwudhu pula, lalu Nabi shalat 'Ashar sesudah terbenam matahari dan sesudah itu baru Nabi shalat magrib. (H.R. Bukhari dan Muslim).[4]
Hadits di atas menjelaskan bahwa Umar bin Khatab dan kaum muslimin, karena kesibukan menghadapi peperangan sehingga terlupa shalat dan mereka qadha shalat Ashar pada waktu Magrib. Oleh karena itu, kalau seandainya tidak wajib mengqadha shalat yang tertinggal, niscaya mereka tidak lagi mengerjakan shalat Ashar di luar waktu Ashar.
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ أَبِي بِشْرٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ، جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ، أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ: «نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً؟ اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالوَفَاءِ») رواه البخاري(
...Dari Ibnu Abbas Ra, beliau berkata: Bahwasannya seorang wanita dari suku Juhainah datang kepada Nabi Muhammad Saw. lalu ia bertanya: bahwasanya ibuku bernadzar akan haji, tetapi beliau wafat sebelum membayarkan nadzarnya naik haji itu, apakah boleh saya membayarkan nadzarnya itu, yakni naik haji? Jawab Nabi: Ya boleh, naik hajilah engkau pengganti dia. Coba engkau pikir, kalau ibumu berutang tentu engkau harus membayar utangnya itu, maka utang kepada Tuhan lebih patut untuk dibayar. (H.R. Imam Bukhari).[5]
Hadits di atas memerintahkan membayar setiap hak Allah, termasuk di antaranya shalat yang tertinggal baik disengaja atau tidak, karena keumuman perintah dalam hadits itu.

Kepustakaan:
1.      Abu Aburrahman Ahmad bin Syu’ib bin al-Khurasani (al-Nisa’i), al-Sunan al-Shugra li al-Nisa’i, Tahqiq: Abd al-Fatah Abu Ghudah, (Maktabah al-Mathbu’at al-Islamiyah, Juz I.
2.      Al-Imam Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn ad-Dahak as-Salmi at-Turmuzi, Sunan at-Turmuzi, Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1931
3.      http://hakamabbas.blogspot.com/2014/07/qadha-shalat-yang-ditinggal-dengan.html#sthash.KW3nFj4w.dpuf.
4.      Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umuri Rasulillah (Shahih Bukhari), Muhaqqiq: Muhammad Zuhair bin Nashir al-Nashir, Dar Thuq al-Najah, 1422, Juz I,
5.      Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umuri Rasulillah (Shahih Bukhari), Muhaqqiq: Muhammad Zuhair bin Nashir al-Nashir, Dar Thuq al-Najah, 1422,
6.      Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umuri Rasulillah (Shahih Bukhari), Muhaqqiq: Muhammad Zuhair bin Nashir al-Nashir, Dar Thuq al-Najah, 1422, Juz 3
7.      Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, Judul Asli: Al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Penj: Masykur A.B. dkk. (Jakarta: Penerbit Lentera, 2008), Cet 22
8.      Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah I, Judul Asli: Fiqhus Sunnah, Penj: Ahmad Shiddiq Thabrani, dkk. (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008) Cet I
9.      Syekh al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani, Nail al–Autar Min Ahadisi Sayyidi al-Ahyar Sarh Muntaqa al-Akhbar, Beirut Libanon: Daar al-Qutub al-Ilmiah, 1973
10.  M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2014), Cet. IV




[1]http://hakamabbas.blogspot.com/2014/07/qadha-shalat-yang-ditinggal-dengan.html#sthash.KW3nFj4w.dpuf. Akses tanggal 8 Juli 2015
[2] Lihat: Abu Aburrahman Ahmad bin Syu’ib bin al-Khurasani (al-Nisa’i), al-Sunan al-Shugra li al-Nisa’i, Tahqiq: Abd al-Fatah Abu Ghudah, (Maktabah al-Mathbu’at al-Islamiyah, Juz I. No. 616, Hlm.294. Lihat: Syekh al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad asy-Syaukani, Nail al–Autar Min Ahadisi Sayyidi al-Ahyar Sarh Muntaqa al-Akhbar, Beirut Libanon: Daar al-Qutub al-Ilmiah, 1973, hlm. 28. Al-Imam Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah ibn Musa ibn ad-Dahak as-Salmi at-Turmuzi, Sunan at-Turmuzi, Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1931, hlm. 30.
[3] Lihat: Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umuri Rasulillah (Shahih Bukhari), Muhaqqiq: Muhammad Zuhair bin Nashir al-Nashir, Dar Thuq al-Najah, 1422, Juz I, No. 597, hlm. 122
[4] Lihat: Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umuri Rasulillah (Shahih Bukhari), Muhaqqiq: Muhammad Zuhair bin Nashir al-Nashir, Dar Thuq al-Najah, 1422,
[5] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min Umuri Rasulillah (Shahih Bukhari), Muhaqqiq: Muhammad Zuhair bin Nashir al-Nashir, Dar Thuq al-Najah, 1422, Juz 3, No.1852

Jumat, 01 Mei 2015

POLITIK DAN TATA NEGARA DALAM PANDANGAN ISLAM

POLITIK DAN TATA NEGARA DALAM PANDANGAN ISLAM
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA

A.  Pendahuluan        
Politik dalam bahasa Arab disebut dengan siyasah yang berarti administration (pengaturan), management (pengelolaan), policy (kebijakan), diplomacy (diplomasi atau perdebatan argumentatif untuk memperjuankan misi) (Abuddin Nata, 2011:449).
Menurut W.J.S. Poerwadarminta (1991: 96), politik dapat juga diartikan dengan ilmu pengetahuan ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan, dan sebagainya. Atau dapat juga berarti segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu negara. Ada juga yang mengartikan politik dengan tipu muslihat, dan kelicikan akal (Ahmad Rivauzi, 2015: 259-260).
Berdasarkan pengertian di atas, Abuddin Nata (2011: 449) menjelaskan bahwa politik adalah perilaku manusia yang berkaitan dengan urusan pengaturan, pengelolaan, pengendalian, pemamfaatan, penentuan kebijakan, siasat dalam mengelola kekuasaan, dan ketaanegaraan.
Menurut Munawir Sjadzali (1991:2), sistem politik adalah suatu konsepsi yang memuat ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan negara; siapa pelaksana kekuasaan tersebut; apa dasar dan bagaimana cara untuk untuk menentukan kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan; kepada siapa pelaksana kekuasaan itu bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya (Ahmad Rivauzi, 2015: 260).
Berdasarkan difinisi di atas, maka pembicaraan politik meliputi konsep yang berkisar pada bebera aspek:
1.      Sumber kekuasaan
2.      Siapa pelaksana kekuasaan
3.      Apa dasar kekuasaan tersebut
4.      Mekanisme penentuan kepada siapa kekuasaan itu diserahkan
5.      Kepada siapa pertanggung jawaban diberikan
6.      Bentuk pertanggung jawaban kekuasaan
Menurut Mohammad Husein Haikal dalam Sjadzali (1991: 2), Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam bukanlah kitab politik. Dengan demikan, di dalam Islam tidak terdapat sistem ketata negaraan, namun di dalam Islam terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Pandangan ini dikemukakan oleh  sebagaimana dikutip oleh (Ahmad Rivauzi, 2015: 261) .
Munawir Sjadzali (1991:4-7) menyatakan, di dalam al-Qur’an, terdapat sejumlah ayat yang mengandung petunjuk serta pedoman dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Petunjuk tersebut adalah:
1.    Al-Qur’an berbicara tentang kedudukan manusia di muka bumi.
Penjelasan al-Qur’an tentang kedudukan manusia di muka bumi di antaranya dapat ditemukan dalam QS. Ali Imran: 26, al-Hadid: 5, al-An’am: 165 dan Yunus: 14.
Pada ayat-ayat tersebut dijelaskan beberapa hal di antaranya tentang:
a.    Pemilik kekuasaan dan sumber kekuasaan pada hakikatnya adalah Allah
b.   Manusia diangkat oleh Allah untuk jadi pemimpin yang kepadanya diberikan amanah kekuasaan
c.   Allah meninggikan sebagian manusia dari lainnya sehingga sebagiannya dapat menjadi pemimpin bagi yang lainnya.
2.    Prinsip musyawarah
Perintah bermusyawarah di dalam al-Qur’an dapat ditemukan dalam QS. Ali Imran: 159 dan al-Syura: 38. Pada ayat-ayat ini Allah mengajarkan kepada para pemimpin agar memperhatikan nilai-nilai kesantunan dan lemah lembut serta menyelesaikan urusan-urusan dengan bermusyawarah sehingga ditemukan kebulatan tekat dan pandangan dengan senantiasa bertawakkal kepada Allah.
3.    Keta’atan kepada pemimpin
Allah menyuruh manusia untuk mentaati pemimpin. Perintah ini dapat ditemukan dalam QS. An-Nisa’: 59. Pada ayat ini Allah memberikan pelajaran bahwa keta’atan kepada pemimpin menempati kedudukan yang penting sehingga Allah menempatkannya pada urutan ketiga setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
4.    Keadilan
Keadilan merupakan prinsip yang penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal ini dapat ditemukan dalam al-Qur’an pada QS. An-Nahl: 90 dan an-Nisa: 58.
5.    Persamaan
Asas persamaan ini dapat ditemukan dalam QS. Al-Hujurat: 13. Pada ayat ini Allah menempatkan semua manusia sama derjatnya di hadapan Allah. Tingkat kemuliaan seseorang cuma ditentukan oleh kualitas taqwa seseorang. Diciptakan manusia secara qudrati bersuku-suku, berbangsa-bangsa agar antara satu dengan lainnya dapat saling mengenal sehingga antara satu dan lainnnya dapat saling memperkaya wawasan dan pemahaman masing-masing.
6.    Pola hubungan dengan umat yang berbeda agama.
Dalam konteks hubungan antar umat yang berbeda keyakinan, al-Qur’an juga memberikan pedoman dan tuntunan. Hal ini dapat ditemukan dalam QS. Al-Baqarah: 256, Yunus: 99, Ali Imran: 64 dan al-Mumtahanah: 8-9.
Dari ayat-ayat tersebut terdapat beberapa hal penting untuk dipedomani, yaitu:
a.     Tidak boleh ada pemaksaan dalam memeluk Islam. Sebab, jika Allah kehendaki sudah pasti semua manusia beriman. Namun Allah tidak menghendaki itu.
b.    Dibolehkan untuk melakukan himbauan kepada orang yang beda agama agar pengabdian semata-mata ditujukan kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lainnya. Namun jika hal itu ditolak, maka tampakkanlah sikap yang islami; yang santun dan berserah diri kepada Allah.
c.    Kepada orang-orang yang beda agama namun mereka tidak memusuhi umat Islam, maka mereka harus disikapi dengan adil. Namun jika mereka memusuhi dan memerangi umat Islam, maka tidak boleh menjadikan mereka sebagai teman atau kawan.
            Nasrul Hs., dkk. (2011: 151) juga menyebutkan tiga  prinsip dasar dalam politik Islam. Yaitu tauhid, risalah, dan khailfah. Tauhid adalah keyakinan dasar, risalah adalah pedoman normatif, dan khalifah adalah tugas yang harus disadari oleh setiap muslim bahwa dirinya adalah wakil Allah di permukaan bumi (Ahmad Rivauzi, 2015: 266).
          Ahmad Rivauzi (2015: 266-267), menjelaskan bahwa tauhid adalah pondasi dasar dari politik Islam. Tauhid adalah ruh yang menjadi jiwa dalam politik dan penataan kenegaraan. Tidak dapat dikatakan suatu konsepsi politik itu sebagai konsepsi politik Islam jika pondasi dan jiwanya bukan tauhid. Acuan politik Islam adalah risalah Allah yang dibawa oleh Muhammad Rasulullah. Melalui al-Quran dan Sunnah, ditemukan nilai-nilai yang harus dipedomani oleh umat Islam dalam  politik. Melalui al-Quran dan Sunnah ditemukan nilai-nilai musyawarah, anjuran untuk taat kepada pemimpin, nilai keadilan, persamaan, dan nilai-nilai toleransi. Khilafah adalah missi politik Islam. Khilafah yang dimaksudkan di sini bukanlah khilafah sebagai bentuk ketatanegaraan seperti bentuk ketaanegaraan di zaman kekhalifahan Islam tempo dulu. Tetapi nilai-nilai yang mengajarkan bahwa setiap pribadi muslim pada dasarnya adalah khalifah Allah di permukaan bumi. Setiap pribadi muslim harus menyadari tanggung jawab penciptaannya sebagai khalifah Allah yang memikul amanah untuk menata kehidupan di dunia ini sesuai dengan pesan-pesan suci agama Allah.
B.  Kekhalifahan Substantif  Bukan Kekhalifahan Historis
            Pada dasarnya Islam tidak pernah mengatur secara tegas bentuk negara atau bentuk ketatanegaraan. Islam hanya mengatur norma-norma dasar yang yang harus diperhatikan oleh setiap muslim dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara (Ahmad Rivauzi, 2015: 267).       
            Di kalangan umat Islam, sebagaimana dijelaskan oleh Munawir Sjadzali (1991:1-2), terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan ketatanegaraan. Tiga aliran tersebut adalah:
1.  Aliran yang berpandangan bahwa Islam bukanlah semata-mata agama yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, tetapi Islam adalah suatu agama yang sempurna dan lengkap yang mengatur segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Para penganut aliran ini umumnya berpendirian bahwa Islam adalah agama yang lengkap. Di dalamnya juga terdapat antara lain sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya, dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketaanegaraan Islam dan tidak meniru sistem ketatanegaraan Barat. Sistem ketatanegaraan yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan empat khulafaurrasyidin. Tokoh-tokoh aliran ini antara lain Syekh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan Maulana al-Maududi.
2.   Aliran yang berpandangan bahwa Islam adalah agama yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan  urusan kenegaraan. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul biasa seperti rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal yaitu mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dan berbudi pekerti luhur. Tokoh terkemuka dari golongan ini adalah Ali Abd al-Raziq dan Dr. Thaha Husein.
3.  Golongan yang berpendapat bahwa Islam memang bukan agama yang hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, tetapi Islam juga bukan agama yang memuat segala sesuatu secara detail lengkap seperti sistem ketatanegaraan. Aliran ini berpandangan bahwa di dalam Islam hanya dimuat seperangkat tata nilai bagi kehidupan bernegara. Tokoh dalam golongan ini yang menonjol adalah Muhammad Husein Haikal, penulis buku Hayatu Muhammad.
            Menurut Abuddin Nata (2011: 455), di dalam al-Quran dijumpai beberapa istilah yang berkaitan dengan kepemimpinan atau pemimpin. Sebutan pemimpin dalam al-Quran tersebut adalah ulil amri (pemegang urusan) dalam QS. An-Nisa (4: 59); khalifah (pemimpin atau pengganti) QS. Al-An’am (6: 165); al-muluk (raja); wali (pelindung) dan ra’in sebagaimana termuat dalam Hadits:
كلكم راع وكلكم مسؤل عن رعيته (رواه البخاري ومسلم)
Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan ditanyai tentang kepemimpinannya (Bukhari dan Muslim)
Jika diperhatikan ayat-ayat al-Quran dan Hadits Nabi, maka semua itu menunjukkan bahwa Islam sesungguhnya menganut sistem politik yang fleksibel. Dengan demikian, yang perlu diperhatikan oleh umat Islam adalah nilai-nilai atau norma-norma yang perlu dirujuk oleh umat Islam dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedangkan tentang bentuk negara atau ketatanegaraan boleh disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat muslim itu sendiri (Ahmad Rivauzi, 2015: 269).
Ini berarti pendapat Muhammad Husein Haikal yang mengatakan bahwa Islam hanya memuat seperangkat sistem nilai, bukan mengatur bentuk negara lebih sesuai dengan semangat ajaran Islam itu sendiri yang mengendaki kehidupan umat Islam itu dinamis namun tetap berpijak kepada nilai-nilai Islam (Ahmad Rivauzi, 2015: 269)..
Sebagaimana ditegaskan oleh Abuddin Nata (2011: 456), pendapat Muhammad Husein Haikal ini di dukung oleh fakta sejarah umat Islam, mulai dari zaman Nabi Muhammad sampai sekarang. Pada zaman Nabi Muhammad misalnya, setelah beliau pindah dari Makkah ke Madinah, beliau tidak hanya melaksanakan tugas sebagai rasul Allah, tetapi juga sebagai kepala pemerintahan. Harun Nasution memandang bahwa model pemerintahan atau kepemimpinan Nabi Muhammad adalah theodemocraci (demokrasi ketuhanan). Hal ini didasarkan dengan fakta bahwa setiap kali pengambilan keputusan, Nabi Muhammad selalu bermusyawarah dengan para sahabat, namun keputusan akhirnya adalah keputusan Allah melalui wahyu-Nya.
 Menurut Munawir Sjadzali (1991) masyarakat Madinah di zaman Rasul diikat oleh kesepakatan Piagam Madinah. Isi Piagam Madinah yang berjumlah 47 Pasal tersebut adalah
1.    Umat Islam adalah satu walau berasal dari banyak suku
2.    Hubungan antar agama didasari prinsip:
a.    Bertetangga baik
b.    Saling bantu hadapi musuh bersama
c.    Membela mereka yang teraniaya
d.   Saling menasihati
e.    Kebebasan beragama
f.     Sama di depan hukum
g.    Keadilan
h.    Penyelesaian selisih perkara  adalah ketentuan Allah dan Muhammad Rasulullah
3.  Piagam Madinah tidak memuat agama negara
            Abuddin Nata (2011: 457), menjelaskan bahwa setelah Rasulullah wafat, kepemimpinan negara Islam dipegang oleh khulafaurrasyidin; Abu Bakar memerintah selama ­ + 3 tahun, Umar Ibn Khattab memerintah selama 10 tahun, Usman Ibn ‘Affan selama 12 tahun, dan Ali bin Abi Thalib selama + 5 tahun.  Selama masa khulafaurrasyidin ini, tidak terdapat satu pola yang baku mengenai cara pengangkatan khalifah. Abu Bakar diangkat melalui musyawarah atas usulan Umar, dan Umar melalui penunjukan langsung dari Abu Bakar, Utsman melalui musyawarah dewan (formatur) yang terdiri dari enam orang yang dibentuk oleh Umar, sedangkan Ali bin Abi Thalib dipilih melalui pertemuan terbuka di Madinah tetapi hanya dihadiri oleh beberapa sahabat senior, suasananya kacau, dan keabsahan pemilihan Ali ditentang oleh sebagian masyarakat termasuk Muawiyah. Sebagian pakar berpendapat, sistem ketatanegaran di zaman khulafaurrasyidin adalah sistem aristokrat demokrasi, yaitu demokrasi yang diwakili oleh sekelompok elit masyarakat (Ahmad Rivauzi, 2015: 271)
            Selanjutnya, sistem ketatanegaraan di zaman Muawiyah berbeda lagi dengan sistem keatanegaraan dengan zaman khulafaurrasyidin. Muawiyah mendapatkan kedudukan khalifah tidak melalui musyawarah, dan tidak pula atas persetujuan tokoh-tokoh elit, tetapi melalui ketajaman pedang dan tipu muslihat. Menjelang akhir hayatnya ia menunjuk anaknya Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikannya. Inilah awal model ketatanegaraan monarkhi (kerajaan) di dalam Islam. Sistem ini dilanjutkan oleh dinasti sesudahnya Abbasiyah, hingga kehancuran kekhalifahan Turki Utsmani pada Abad ke 15 M. Setelah ini, maka sistem ketatanegaran di dunia Islam menjadi sangat beragam (Abuddin Nata, 2011: 458).
            Dengan demikian, dalam tinjauan sejarah, Islam tidak menganut sistem kettatanegaran yang baku. Islam sesungguhnya tidak pernah mempersoalkan bentuk atau sistem ketatanegaraan, apakah kerajaan, republik, dan lain sebagainya. Islam sesungguhnya lebih mementingkan isi dari pada bentuk. Atau Islam lebih mementingkan nilai dan prinsip-prinsip. Tentang bentuk dan sistem ketatanegaraan, umat Islam boleh berijtihad sesuai dengan kebutuhan zamannya untuk mensejahterakan masyarakatnya dan terwujudnya kehidupan yang adil dan diredhai oleh Allah Swt (Ahmad Rivauzi, 2015: 272)..
            Dengan demikian yang dimaksudkan dengan kekhalifahan substantif adalah  sistem nilai yang bersifat normatif dan filosofis yang harus dipahami dan diikuti oleh umat Islam. Hal ini mengisyaratkan bahwa setiap manusia adalah wakil Allah di permukaan bumi dan dalam kehidupannya ia harus memegang kuat nilai-nilai yang diajarkan di dalam Islam seperti nilai tauhid, nilai keadilan, persamaan, musyawarah dan lain-lain. Dan ini sangat penting untuk dipahami oleh umat Islam (Ahmad Rivauzi, 2015: 272).
            Sedangkan kekhalifahan historis adalah bentuk-bentuk sistem ketatanegaran yang pernah dimiliki oleh umat Islam dalam perjalanan sejarah panjangnya mulai dari bentuk dan sistem ketatanegaraan dari zaman khulafaurrasyidin sampai dengan zaman kekhalifahan Turki Utsmani. Dan hal ini tentunya tidak ada keharusan bagi umat Islam untuk mengambil bentuk sistem ketaanegaran ini. Untuk bentuk dan sistem ketatanegaran umat Islam perlu berijtihad sesuai dengan kebutuhan zamannya (Ahmad Rivauzi, 2015: 272)


Kepustakaan
Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011, Cet I.
Ahmad Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman; Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, (Ciputat: Sakata Cendikia, 2015) Cet I
Nasrul HS dkk. Pendidikan Agama Islam Bernuansa Soft Skill untuk Perguruan Tinggi, (Padang: UNP Press, 2011)
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran , (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1991), Cet. III

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991