Rabu, 28 Maret 2018

ISLAM DAN EKONOMI


ISLAM DAN EKONOMI
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.(Q.S. Ali Imran, 3:133-134)
Islam adalah suatu sistem nilai dan jalan hidup yang utuh dan terpadu (a comprehensive way of live ). Islam memberikan panduan yang dinamis dan lugas terhadap semua aspek kehidupan, termasuk sektor bisnis dan transaksi keuangan. Islam sebagai agama, merupakan bentuk rahmat dari Allah, agar kehidupan umat manusia berjalan dengan baik dan berkesejahteraan dalam berekonomi (Ahmad Rivauzi, 2015: 273)
Menurut Syafi’i Antonio (2008: 3), Islam bukanlah agama yang hannya berurusan dengan ritual semata. Islam merupakan agama yang komprehensif dan mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk masalah pembangunan ekonomi serta industri perbankan yang dianggap sebagai salah satu motor penggerak roda perekonomian (Ahmad Rivauzi, 2015: 273)
A.  Pengertian Ekonomi Islam
Endang Saifuddin Anshari (2004:142) memberikan dua pengertian tentang ekonomi, yaitu: Pertama, sebagai kegiatan manusia untuk menggunakan unsur-unsur produksi dengan sebaik-baiknya guna memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Kedua, proses produksi dan penghasilan produksi (Ahmad Rivauzi, 2015: 274)
Berdasarkan pengertian di atas, maka ekonomi Islam dapat diartikan sebagai semua kegiatan manusia untuk menggunakan unsur-unsur produksi dengan sebaik-baiknya dan proses produksi serta penghasilan produksi guna memenuhi berbagai kebutuhan manusia berdasarkan nilai-nilai Islam (Ahmad Rivauzi, 2015: 274)
Sumitro Djohohadikusumo yang dikutip Endang Saifuddin Anshari (2004:142) dalam  Ahmad Rivauzi (2015: 274) menjelaskan unsur-unsur produksi atau ekonomi itu adalah sebagai berikut:
1)   Kekayaan alam yang meliputi tanah, keadaan iklim, hutan, kekayaan bawah tanah (tambang), dan air yang merupakan sumber tenaga penggerak, pengangkutan, pengairan, dan lain sebagainya.
2)   Modal, yang meliputi barang-barang yang dipergunakan dalam peroses produksi seperti peralatan, mesin, gedung, pabrik, alat pengangkutan, alat pengolahan, tempat penjualan.
3)   Tenaga kerja, yaitu peranan manusia dalam proses produksi
4)   Skill, yaitu kepandaian, keahlian, kecerdasan yang dibutuhkan untuk mengerjakan usaha-usaha ekonomi.
Endang Saifuddin Anshari (2004: 142) dalam Ahmad Rivauzi (2015: 274-275)   proses produksi dalam kegiatan ekonomi meliputi hal-hal sebagai berikut:
1)   Proses produksi barang dan jasa (pendapatan)
2)   Penukaran pendapatan
3)   Pembagian pendapatan-pendapatan antara golongan-golongan dalam masyarakat
4)   Pemakaian atau konsumsi barang-barang dan jasa dalam kehidupan sehari-hari.
B.  Nilai dan Prinsip Dasar Ekonomi dalam Islam
Dasar hidup memiliki makna, sebagai pandangan hidup yang melandasi seluruh aktivitas. Dasar adalah menyangkut masalah ideal dan fundamental sehingga pandangan hidup yang melandasi kehidupan dengan berbagai aspeknya tersebut harus kokoh dan komprehensif, serta tidak berobah (Ahmad Rivauzi, 2015: 275).
Menurut Achmadi sebagaimana dikutip Nata (2005:50), menjelaskan bahwa pandangan hidup seorang muslim adalah al-Quran dan Hadits, maka dasar dari kehidupan ekonomi di dalam Islam adalah al-Quran dan Hadits. Dua sumber dan dasar ini diyakini mengandung kebenaran mutlak yang bersifat transendental, universal, dan eternal (abadi), sehingga secara akidah diyakini akan selalu sesuai dengan fitrah manusia dan akan selalu memenuhi kebutuhan manusia kapan saja dan dimana saja (Ahmad Rivauzi, 2015: 275).
Menurut Abuddin Nata, (2005: 50-53), dari dasar al-Quran dan Hadits melahirkan nilai-nilai dasar yang dapat diklasifikasikan kepada nilai dasar intrinsik dan nilai dasar instrumental. Nilai intrinsik adalah nilai yang ada dengan sendirinya, bukan prasyarat atau alat bagi nilai yang lainnya. Nilai intrinsik , fundamental, dan menempati posisi paling tinggi adalah tauhid.  Sedangkan kesungguhan dalam ibadah, shabar, syukur dan lain sebagainya adalah nilai intrumental untuk mencapai tauhid (Ahmad Rivauzi, 2015: 275).
Dalam konteks kehidupan di bidang ekonomi, dengan dasar tauhid, seluruh kegiatan ekonomi di dalam Islam dijiwai oleh norma-norma ilahiyah dan sekaligus dimotivasi sebagai ibadah. Dengan ibadah, aktivitas ekonomi menjadi lebih bermakna, tidak hannya makna material tetapi juga makna spiritual (Ahmad Rivauzi, 2015: 276).

Ahmad Rivauzi (2015: 276) menulis, disamping nilai dasar tauhid sebagaimana disebutkan di atas, Islam juga memuat nilai-nilai instrumental dan prinsip-prinsip[i] dasar yang mengatur kehidupan ekonomi. Nilai dan prinsip-prinsip tersebut adalah:
1.    Ekonomi dalam Islam harus bertujuan kepada kebaikan dan kemaslahatan umat manusia dunia dan kahirat (QS. Al-Baqarah, 2 : 201-202 ) [ii]
2.    Pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di bumi ini adalah Allah.[iii]
3.    Alam semesta adalah karunia Allah untuk umat manusia dan boleh dimamfaatkan dengan cara-cara yang tidak melampaui batas[iv]. Dengan demikian, di dalam Islam, kepemilikan perseorangan diakui.[v] Dalam hal ini, harta dalam pandangan Islam berfungsi sebagai perhiasan,[vi] ujian,[vii] sebagai bekal untuk beribadah[viii] kepada Allah Swt.
4.    Cara kepemilikan harta harus diperoleh secara halal yang sesuai dengan aturan Allah (an taradhin) [ix],  dilarang perolehan harta secara bathil [x] seperti penipuan [xi], perjudian serta jual beli barang yang diharamkan [xii], pencurian [xiii], riba [xiv], curang dalam timbangan dan takaran [xv], menimbun harta [xvi], dan semua hal yang merugikan orang lain.
5.    Di dalam harta si kaya terdapat hak si miskin.[xvii]
6.    Keadilan ekonomi.
Islam bertujuan untuk membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid. Dalam tatanan itu, setiap individu diikat oleh persaudaraan dan kasih sayang. Semua ini harus ditopang oleh nilai dan prinsip keadilan.[xviii] Secara sosial, semua manusia sama dalam pandangan Allah. Sehingga semua manusia juga harus sama di depan hukum. Prinsip keadilan ini sangat penting di dalam kehidupan ekonomi. Tanpa ini, keadilan sosial tidak akan terwujud.  Dengan keadilan ekonomi, setiap individu harus akan mendapatkan haknya sesuai dengan kontribusinya dan usahanya masing-masing. Setiap indivudu harus bebas dari eksploitasi orang lain. Setiap individu dijamin untuk mendapatkan haknya dan dilarang mengambil hak orang lain (Antonio, 2008: 14-15).
Rasulullah Saw., bersabda:
قال رسول الله ص. م . أيها الناس اتّقوا الظُّلْمَ فأنه ظُلُماتٌ يوم القيامة (رواه احمد)
Wahai manusia, takutlah akan kezaliman (ketidak adilan), sebab sesungguhnya dia akan menjadi kegelapan pada hari kiamat nanti. (Ahmad)[xix]
Dalam keadilan di bidang ekonomi juga meliputi keadilan dalam distribusi pendapatan. Dalam hal ini, Islam menghendaki bahwa setiap individu berhak mendapatkan imbalan sesuai dengan amal dan karyanya. Dalam kaitan ini, Islam juga membolehkan seseorang memiliki kekayaan yang lebih dari yang lainnya, sepanjang kekayaan tersebut diperoleh secara benar dan yang bersangkutan juga harus menunaikan kewajibannya bagi kesejahteraan masyarakat dalam bentuk zakat dan amal-amal sosial lainnya (Antonio,  2008: 16).
C.  Mamfaat Kegiatan Ekonomi Berdasarkan Islam
Kegiatan ekonomi dalam Islam jelas ditujukan untuk kesejahteraan bersama. Kegiatan ekonomi yang dijalankan dengan nilai dan prinsip-prinsip Islam akan menjamin terwujudnya sebuah kehidupan yang baik (Ahmad Rivauzi, 2015:282).
Allah berfirman:
مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl, 16: 97)
Sebaliknya, jika umat manusia enggan untuk memperhatikan tuntunan Islam dalam kehidupan ekonominya, maka akan berdampak kepada kesenjangan kesejahteraan, ketidak adilan, kekacauan ekonomi, perampokan, penipuan dan berbagai dampak yang akan merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat (Ahmad Rivauzi, 2015:283).
Dalam hal ini, Allah berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى , قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنتُ بَصِيراً , قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنسَى
Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta".Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?" 126. Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan". (QS. Thaha, 20:124-126)
...أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاء مَن يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
... Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Baqarah, 2:85)
D. Riba dalam Islam
Riba secara bahasa berarti tambahan (زيادة  ). Riba juga berarti tumbuh dan membesar Menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Antonio menyimpulkan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam (Antonio, 2008: 37).
Menurut Ibnu al-Arabi al-Maliki sebagaimana dikutip Antonio (2008: 38), menjelaskan:
والربا في اللغة هو الزيادة والمراد به في الاية ( لاتأ كلوا أموالكم بينكم بالباطل) كل زيادة لم يقابلها عوض
            Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat (an-Nisa’:29) adalah setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi yang bersifat pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan oleh syara’
Yang dimaksud dengan transaksi yang bersifat pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut  secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil dalam proyek (Syafii Antonio, 2008: 38). Dengan demikian, transaksi pengganti dan penyeimbang di sini juga dapat diartikan dengan mamfa’at yang dapat diambil oleh pembeli, nasabah, atau orang yang berhutang sekaligus mamfaat tersebut berimbang dengan jasa penjual, atau menurunnya nilai ekonomis barang yang dimiliki pemilik barang dalam sewa dan lain sebagainya (Ahmad Rivauzi, 2015:284).
Zaid Bin Aslam sebagaimana dikutip Antonio (2008: 40), dalam menjelaskan praktek riba pada zaman jahiliyah mengungkapkan sebagai berikut:
أنما كان ربا الجاهلية في تضعيف و في السن يكون للرجل فضل دين فيأتيه أذا حل الأجل فيقول تقضيني أو تزيدني
Yang dimaksud dengan riba jahiliyyah yang berimplikasi pelipat gandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas seseorang, pada saat jatuh tempo, ia berkata, “bayar sekarang atau tambah!”.
Menurut Syafii Antonio (2008: 41) sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015:285), terdapat beberapa jenis riba di dalam Islam. Secara garis besar, riba dapat terjadi pada utang-piutang dan jual-beli.
a.    Riba Qardh (ربا القرض  ). Yaitu suatu mamfaat atau kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang (muqtaridh).
b.    Riba Jahiliyyah (ربا الجا هلية). Yaitu sebuah utang ang dibayar lebih dari pokok (modal) karena sipeminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
c.    Riba Fadhl (ربا الفضل). Yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda.
d.    Riba Nasi’ah (ربا النسيئة ). Yaitu penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi[xx] yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya yang disebabkan oleh karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Antonio (2008:4854) dikutip Ahmad Rivauzi (2015: 285-287) menjelaskan bahwa pelarangan riba di dalam al-Quran tidak dilakukan secara sekaligus. Terdapat empat tahapan pelarangan riba dalam al-Quran. Tahap Pertama, al-Quran menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang seolah-olah menolong, namun pada dasarnya tidak dinilai Allah sebagai sesuatu yang dapat mendekatkan diri si pemberi pinjaman kepada Allah. Hal ini berbeda dengan zakat misalnya yang dapat mendekatkan diri orang yang berzakat kepada Allah. Firman Allah:
وَمَا آتَيْتُم مِّن رِّباً لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِندَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُم مِّن زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (QS. Ar-Rum, 30:39)
Tahap kedua, al-Quran menggambarkan bahwa riba itu merupakan sesuatu yang buruk, dan Allah mengancam orang yang memakan riba. Hal terdapat pada firman Allah:
فَبِظُلْمٍ مِّنَ الَّذِينَ هَادُواْ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَن سَبِيلِ اللّهِ كَثِيراً , وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُواْ عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَاباً أَلِيماً
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (QS. An-Nisa’, 4:160-161)
Tahap ketiga, riba dilarang karena disifati dengan pelipat gandaan pengambilan bunga. Pelipat gandaan ini bukanlah syarat pelarangan, namun merupakan gambaran dari sifat riba itu sendiri. Hal ini dijumpai pada firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Ali Imran, 3: 130)
Tahap keempat, Allah melarang riba dengan tegas
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ, فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. 279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. Al-Baqarah, 2: 278-279)
Dalam banyak Hadits, Rasulullah juga memberikan kecaman yang keras terhadap riba:
عن جابر قال لعن رسول الله  ص.م. اَكِلَ الربا ومُؤْكِلَه  وكاتبه وشاهديه وقال هم سواء
Jabir berkata bahwa Rasulullah saw melaknat orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, orang yang mencatatnya, dan orang yang menjadi saksinya. Kemudian Rasulullah bersabda lagi, “mereka semua sama”. (HR Muslim, No 2995, Kitab al-Masaqqah)
Dalam kaitannya dengan bunga Bank, walupun ayat al-Quran dan Hadits shahih telah menetapkan keharaman riba, namun terdapat juga di kalangan cendikiawan muslim yang menghalalkan bunga Bank dengan beberapa alasan:
a.    Halal karena darurat
b.    Yang haram adalah yang berlipat ganda, jika suku bungan rendah, maka jadi halal karena dianggap tidak menzhalimi
c.    Bank sebagai lembaga tidak masuk kategori mukallaf, sehingga Bank tidak terkena khitab ayat atau hadits (Antonio, 2008: 54).
d.    Praktek bunga Bank dianggap berbeda dengan praktek riba di zaman jahiliyyah, karena pada pembayaran bunga Bank sekarang terjadi kerelaan kedua belah pihak, hal ini tidak terjadi pada praktek riba pada masyarakat jahiliyyah dulu (Ahmad Rivauzi, 2015:288).
Jika diperhatikan fatwa  Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang kedua di Karachi, Pakistan, Desember 1970, maka hukum transaksi sistem bunga Bank konvensional dipandang tidak sesuai dengan syari’ah Islam. Hasil kesepakatan OKI inilah yang melatar belakangi berdirinya Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB) (Syafii Antonio, 2008: 65).
Begitu juga dengan keputusan ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) dalam Konferensi II KKID yang diselenggarakan di Universitas al-Azhar, Kairo pada bulan Muharram 1385 H/ Mei 1965 M., memutuskan bahwa tidak ada keraguan atas keharaman praktik pembungaan uang seperti yang dilakukan oleh bank-bank Konvensional. Di antara ulama yang hadir dalam konferensi ini adalah Syekh al-Azhar Prof. Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa, Dr. Yusuf Qardhawi, dan sekitar tiga ratus ulama besar dunia lainnya (Syafii Antonio, 2008: 66).
Menurut Antonio (2008:67), di antara dampak negatif ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang. Dampak lainnya adalah bahwa utang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas utang tersebut dibungakan (Ahmad Rivauzi, 2015:289).
.
E.  Bentuk-Bentuk dan Prinsip Kegiatan Ekonomi dalam Islam
Abuddin Nata (2011: 427) dikutip Ahmad Rivauzi, 2015:  menyebut bentuk-bentuk kegiatan ekonomi Islam dengan istilah lembaga keuangan dalam Islam. Lembaga keuangan tidak semata-mata diartikan sebagai lembaga atau institusi fisik seperti perbankan, perpajakan, penggadaian atau lainnya, melainkan lembaga keuangan termasuk pula yang bersifat nonfisik, namun memiliki sistem dan metode kerja tertentu.
Ahmad Rivauzi (2015: 289-296) menjelaskan bentuk-bentuk dan prinsip-prinsip kegiatan ekonomi yang berdasarkan nilai-nilai Islam, yaitu:
1.     Titipan (al-Wadi’ah)
Al-wadi’ah adalah titipan murni dari satu pihak kepada pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja sipenitip menghendakinya (Antonio, 2008: 85).
Dasar dari al-wadi’ah adalah:
إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. An-Nisa’, 4: 58)
عن ابي هريرة قال قال النبي ص.م . أَدِّ الأمانة الي منِ ائتَمَنك ولا تَخُنْ من خانك (رواه ابو داود)
Abu hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw.,bersabda ,”sampaikanlah amanah kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang mengkhianatimu (Abu Daud)
Pada dasarnya, penerima titipan disebut yad al-amanah (tangan amanah). Maksudnya, penerima titipan tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan selama hal tersebut tidak disebabkan karena kelalaian atau kecerobohan  si penerima titipan. Si penerima titipan dapat juga mengenakan biaya kepada si penitip atas jasa pemeliharaan titipan. Sebagaimana dilansir Antonio, dalam aktivitas perekonomian modern, si penerima titipan mempergunakan titipan tersebut dalam aktivitas perekonomian tertentu. Oleh karena itu, si penerima titipan harus meminta izin kepada si pemberi titipan untuk mempergunakan harta tersebut dengan catatan ia akan mengembalikan aset tersebut secara utuh. Dengan demikian, si penerima titipan telah berobah status dari yad al-amanah menjadi yad adh-dhamanah (tangan penanggung) yang bertanggunh jawab atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang tersebut. Berikut digambarkan skema yad al-amanah dan yad adh-dhamanah (Syafii Antonio, 2008: 86-88).

2.    Bagi Hasil
a.    Musyarakah
Al-Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk satu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau amal dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan (Antonio, 2008:90).
Allah berfirman:
قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَى نِعَاجِهِ وَإِنَّ كَثِيراً مِّنْ الْخُلَطَاء لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ وَظَنَّ دَاوُودُ أَنَّمَا فَتَنَّاهُ فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَخَرَّ رَاكِعاً وَأَنَابَ
Daud berkata: "Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini". Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. (QS. Shaad, 38: 24)
عن أبي هريرة رفعه قال أن الله يقول أنا ثالث الشريكين مالم يخُنْ أحدُهما صاحبه (رواه أبو داود)
Dari Abu Hurairah, Rsulullah bersabda, “ Sesungguhnya Allah telah berfirman, , ‘ Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati yang lain (R. Abu Daud no 2936, dalam kitab al-Buyu’, dan Hakim)
Musyarakah terdiri dari dua jenis. Pertama, musyarakah kepemilikan dan kedua, musyarakah akad (kontrak). Musyarakah kepemilikan terjadi karena faktor warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan kepemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Sedangkan musyarakah akad terjadi karena adanya kesepakatan antara dua orang atau lebih yang bersepakat bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal dan bersepakat terhadap berbagi keuntungan dan kerugian. Musyarakah dapat dalam bentuk tidak sama dalam porsi atau jumlah modal yang diberikan dan besar keuntungan yang diterima (شركة العنان ), atau dapat juga sama porsi modal dan besar tanggung jawab serta keuntungan (شركة الموافضة), atau kesepakatan serikat dalam kontrak kerja atau proyek   ( شركة الأعمال). (Syafii Antonio, 2008: 91-92).
b.    Mudharabah
Menurut Muhammad Rawas Qal’aji (1985), mudharabah berasal dari kata dharb, yang berarti memukul atau berjalan dengan pengertian proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Menurut Antonio (2008: 95) yang mengutip pendapat Ahmad Syarbasyi, mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak. Pihak pertama dalam hal ini menyediakan modal usaha, sedangkan pihak lainnya bertindak sebagai pengelola. Keuntungan usaha dibagi sesuai dengan kesepakatan. Jika usaha tersebut rugi, maka kerugian ditanggung oleh pemilik modal, namun jika kerugian tersebut akibat kelalaian pengelola, maka si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
c.    Mazara’ah
Muzara’ah adalah kerja sama pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap. Muzara’ah kadang didentikkan dengan mukhabarah. Letak perbedaannya adalah jika benih dari pemilik lahan, maka dinamakan dengan muzara’ah. Sedangkan jika benih dari pemilik penggarap, maka disebut dengan mukhabarah. Terdapat bentuk lain dari jenis muzara’ah yaitu musaqah. Musaqah adalah bentuk yang paling sederhana dari muzara’ah. Pada musaqah, si penggarap hanya bertanggung jawab dalam hal penyiraman dan pemeliharaan (Syafii Antonio, 2008: 99).
3.    Jual Beli
Menurut Ataul Haque (1987), terdapat beberapa bentuk jual beli yang dijadikan sebagai sandaran pokok dalam kegiatan jual beli. Yaitu bai’ al-murabahah, bai’ al-salam, dan bai’ al-istshna’ (Safi’i Antonio, 2008: 101). Bai’ al-murabahah adalah jual beli barang dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Bai’ al-salam adalah pembelian barang yang diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Sedangkan bai’ al-istihna adalah kontrak jual beli antara pembeli dengan agen pengadaan barang. Dalam kontrak ini,  agen menerima pesanan dari pembeli kemudian berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati.  
4.    Sewa (Ijarah)
Menurut Sayyid Sabiq (2008), al-ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang tersebut.
5.    Jasa
Terdapat beberapa bentuk jasa:
a.    Wakalah (pendelegasian, jasa mewakili),
Wakalah secara harfiah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat. Praktek wakalah dalam perbankan secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut: Seorang nasabah menyerahkan dananya kepada bank, kemudian pihak bank menyerahkan dana tersebut kepada investor, perusahaan dan sebagainya (Abuddin Nata, 2011: 436).
b.    al-kafalah (jasa jaminan mengambil tanggungan)
al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua.
c.    al-hawalah yaitu memindahkan utang dari seseorang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Bentuk hawalah sederhana adalah A memberi pinjaman kepada B yang memiliki piutang pada C. Karena C berutang pada B, maka si A memindahkan tanggung jawab pelunasan hutang kepada si C.
d.    Al-Rahn (jaminan atas utang atau gadai)
Al-Rahn adalah menahan salah satu harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis, sehingga pihak pemberi pinjaman memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.[xxi]
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُقَاتِلٍ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا زَكَرِيَّاءُ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ، إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ، إِذَا كَانَ مَرْهُونًا، وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ»   (رواه البخاري)
  ...Rasulullah bersabda, apabila ada ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki (oleh penerima gadai), karena ia telah mengeluarkan biaya untuk menjaganya, air susunya boleh diminum. Kepada orang yang naik dan air minum susunya, ia harus mengeluarkan biaya perawatannya. (RH. Al-Bukhari, no 2512)[xxii]
e.    Al-Qard
Al-Qard adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta lagi (meminjamkan) tanpa mengharapkan imbalan. [xxiii] Keuntungan bagi orang yang meminjamkan adalah pahala dari Allah Swt.

Sumber:
Ahmad Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman; Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, (Ciputat: Penerbit Sakata Cendikia, 2015), Cet. I
Antonio, Muhammad Syafi’i,  Bank Syari’ah; Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2008), Cet XII



                [i]Bandingkan dengan prinsip-prinsip sistem ekonomi menurut Syafruddin Prawiranegara yaitu: Tercapainya pemuasan semua keperluan manusia dan tercapai hasil sebesar-besarnya dengan tenaga, ongkos  sekecil-kecilnya dalam waktu  sesingkat mungkin menurut ukuran akal rasio. Baca,  Syafruddin Prawiranegara, Sistem Ekonomi Islam, Jakarta, 1967:10-11
                [ii] (QS. Al-Baqarah,2 : 201-202 )
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا ءَاتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ أُولَئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Dan di antara mereka ada orang yang berdo`a: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka".Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian dari apa yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya. (QS. Al-Baqarah,2 : 201-202 )
                [iii] Allah adalah pemilik segala sesuatu.
لِلّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَا فِيهِنَّ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.(QS. Al-Maidah, 5: 120)
                [iv] Alam semesta adalah karunia Allah untuk manusia.
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ النَّاسِ مَن يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُّنِيرٍ
Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu ni`mat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan. (QS. Luqman: 20 )
وَسَخَّر لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَآئِبَينَ وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ , وَآتَاكُم مِّن كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِن تَعُدُّواْ نِعْمَتَ اللّهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ الإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ ,وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَـذَا الْبَلَدَ آمِناً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ
Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung ni`mat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (ni`mat Allah). Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.( QS. Ibrahim: 33-35)
                [v] Islam mengakui kepemilikan perseorangan .
وَلاَ تَتَمَنَّوْاْ مَا فَضَّلَ اللّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُواْ وَلِلنِّسَاء نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُواْ اللّهَ مِن فَضْلِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيماً
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. QS. An-Nisa’: 32
وَاللّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْرِّزْقِ فَمَا الَّذِينَ فُضِّلُواْ بِرَآدِّي رِزْقِهِمْ عَلَى مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَهُمْ فِيهِ سَوَاء أَفَبِنِعْمَةِ اللّهِ يَجْحَدُونَ
Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka mengapa mereka mengingkari ni`mat Allah? (QS. An-Nahal: 71)
                [vi] Harta adalah perhiasan. QS. Ali Imran,
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاء وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali Imran, 3: 14)
                [vii] Harta dan anak-anak adalah ujian. (QS. Al-Anfal, 8: 28)
وَاعْلَمُواْ أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (QS. Al-Anfal, 8: 28)
                [viii] Harta benda berfungsi sebagai alat beribadah kepada Allah.
انْفِرُواْ خِفَافاً وَثِقَالاً وَجَاهِدُواْ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
 Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Taubah, 9: 41)
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Taubah, 9:60)
وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ , الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِي السَّرَّاء وَالضَّرَّاء وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (Ali Imran, 3: 133-134)
الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُم بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرّاً وَعَلاَنِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. QS. Al-Baqarah: 274
                [ix] Proses mendapatkan harta harus memiliki prinsip an taradhin.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS.an-Nisa’: 29)
[x] Dilarang memperoleh harta dengan cara yang bathil. (QS. Al-Baqarah,2: 188
وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah, 2: 188)
                [xi] Dilarang memperoleh harta dengan cara menipu.
وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِن بَعْدِ قُوَّةٍ أَنكَاثاً تَتَّخِذُونَ أَيْمَانَكُمْ دَخَلاً بَيْنَكُمْ أَن تَكُونَ أُمَّةٌ هِيَ أَرْبَى مِنْ أُمَّةٍ إِنَّمَا يَبْلُوكُمُ اللّهُ بِهِ وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu. (QS. An-Nahl: 92)
                [xii] Dilarang berjudi dan memperdagangkan yang diharamkan. (QS. Al-Maidah, 5: 90)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.(QS. Al-Maidah,5: 90)
                [xiii] Dilarang mencuri (QS.al-Maidah: 38)
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُواْ أَيْدِيَهُمَا جَزَاء بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.al-Maidah: 38)
                [xiv] Diharamkan riba. (QS.al-Baqarah2: 275)
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah, 2:275)
                [xv] Dilarang curang dalam timbangan dan takaran.
وَلاَ تَقْرَبُواْ مَالَ الْيَتِيمِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُواْ الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لاَ نُكَلِّفُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُواْ وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللّهِ أَوْفُواْ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfa`at, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat, QS. Al-An’am: 152
وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ , الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُواْ عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ , وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ
 Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. (QS. Al-Muthaffifin, 83: 1-3)
                [xvi] Dilarang menimbun harta. (QS. Al-Hasyar: 7)
مَّا أَفَاء اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاء مِنكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.
                [xvii]Di dalam harta si kaya terdapat hak si miskin. (QS. Adz-Dzariyat: 19)
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian. (QS. Adz-Dzariyat: 19
                [xviii] Keadilan ekonomi
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
. Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah, 5: 8)
                [xix] Hadits no 5404, Musnad al-Mukatstsirin min Shahabah, dalam Muhammad Syafi’i Antonioio,  2008: 15
                [xx] Yang termasuk barang ribawi secara umum adalah: Emas dan perak baik dalam bentuk uang, maupun dalam bentuk lainnya; bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, jagung, bahan makanan tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan dan lain sebagainya. Syafii Antonio, Bank Syari’ah, 2008: 42
[xxi] QS. Al-Baqarah, 2: 283
وَإِن كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِباً فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضاً فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ تَكْتُمُواْ الشَّهَادَةَ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu`amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah, 2: 283)
[xxii] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ al-Musnad al-Shahih (Shahih al-Bukhari), Muhaqqiq: Muhammad Zuhair bin Nashir al-Nashir, (Dar Thuq al-Najah, 1422, Juz 3) hlm. 143
[xxiii] QS. Al-Hadid, 57:11
مَن ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضاً حَسَناً فَيُضَاعِفَهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيمٌ
Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak,