Minggu, 08 Juli 2018

Al-QURAN SEBAGAI SUMBER UTAMA AJARAN ISLAM

Al-QURAN SEBAGAI SUMBER UTAMA AJARAN ISLAM
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA

            Menurut Hans Wehr (1974: 15) sebagaimana dikutip Abuddin Nata (2011:25), dalam bahasa Arab, sumber disebut dengan mashdar yang jamaknya adalah mashadir, yang dapat diartikan sebagai titik tolak, sumber asli, asli, tidak terbatas, atau tujuan yang bersifat internal. Dengan demikian, sumber dapat diartikan sebagai tempat yang darinya dapat diperoleh bahan yang dilukan untuk membuat sesuatu (Ahmad Rivauzi, 2015: 53).
            Islam sebagai agama, yang di dalamnya terdapat nilai-nilai, ajaran, petunjuk hidup, dan lain sebagainya, membutuhkan sumber yang darinya diambil bahan-bahan yang diperlukan guna terekonstruksinya ajaran Islam tersebut (Abuddin Nata, 2011:25). Allah Swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’, 4:59)
Nabi Muhammad Saw., juga berpesan kepada umat Islam:
تركت فيكم أمرين ما تمسكتم بهما لن تضلوا أبدا كتاب الله وسنة رسوله (رواه أبو داود)
            Aku tinggalkan dua perkara untuk kamu semua, jikakamu berpegang teguh kepada keduanya, nscaya kamu tidak akan esat selama-lamanya. Yaitu kitab Allah dan sunnah Rasulnya (Abu Daud)
            Di samping keterangan ayat dan Hadits di atas, sebuah riwayat juga menyebutkan tentang penugasan dari Rasulullah kepada Muaz bin Jabal ketika akan diutus ke negeri Yaman untuk menjadi qadhi. Pada waktu itu Rasulullah bertanya kepada Muaz: “Dengan apa engkau memutus perkara?” Muaz menjawab: “Dengan al-Quran”. Rasulullah bertanya lagi “Bagaimana jika di dalam al-Quran tidak dijumpai jawabannya?” Muaz menjawab: “Dengan sunnah”. Rasulullah bertanya lagi: “Bagimana kalau di dalam sunnah juga tidak ada jawabannya?” Muaz menjawab: “Saya akan berijtihad dengan menggunakan al-ra’yu”. Mendengarkan jawaban Muz, Rasulullah menepuk bahu Muaz sebagai tanda setuju atas inisiatif Muaz (Abuddin Nata, 2011:27).
            Menurut Ahmad Rivauzi (2015: 55), berdasarkan penjelasan ayat al-Quran, Hadits serta riwayat Rasulullah dan Muaz di atas, maka secara garis besar sumber ajaran Islam ada tiga, yaitu al-Quran, Sunnah (Hadits), dan ijtihad.
A.  Al-Quran
1.     Pengertian dan Keistimewaan al-Quran         
            Al-Quran adalah risalah Allah kepada manusia semuanya yang diturunkan melalui Muhammad Rasulullah Saw. Pada sebuah Hadits diungkapkan:
مثلي ومثل الانبياء من قبلي كمثل رجل بني بيتا فأحسنه وأجمله الا موضع لبنة من زاوية فجعل الناس يطوفون به ويعجبون منه ويقولون لو لا هذه اللبنة فأنا اللبنة وأنا خاتم النبيين (متفق عليه)
Perumpamaan diriku dengan para nabi sebelumku adalah bagaikan orang yang membangun sebuah rumah, dibuat dengan baik dan diperindahnya rumah itu, kecuali letak satu bata di sebuah sudutnya. Maka orang-orang pun mengelilingi rumah itu, mereka mengagiminya dan berkata: seandainya bukan karena batu bata ini, tentulah rumah itu sudah sempurna. Maka akulah batu bata itu, dan akulah penutup para nabi”
Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad berfungsi sebagai penyempurna dari risal-risalah Allah yang diturunkan kepada para nabi yang datang sebelum Nabi Muhammad (Ahmad Rivauzi, 2015: 55)
Al-Quran diturunkan dan diperuntukkan kepada semua manusia:
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعاً الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ لا إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ يُحْيِـي وَيُمِيتُ فَآمِنُواْ بِاللّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ     
Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk". (QS. Al-A’raf [7]: 158)
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيراً
Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam, (QS. Al-Furqan [25]: 1)
            Menurut Quraish Shihab (2007:3), al-Quran secara harfiah berarti “bacaan yang sempurna”. Tidak ada satu bacaanpun sejak manusia megenal tulis baca yang dapat menandingi al-Quran. Al-Quran dibaca oleh ratusan juta orang bahkan dihafal huruf demi hurufnya, dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan kata-katanya, tetapi juga kandungan yang tersurat dan tersirat bahkan sampai kepada kesan yang ditimbulkannya yang semuanya itu dituangkan dalam jutaan jilid buku dari generasi  demi generasi (Ahmad Rivauzi, 2015: 56)
Quraish Shihab (2007:4) menjelaskan bahwa Al-Quran terdiri 114 surat, dan 6,236 ayat. Hal ini berbeda dengan anggapan kebanyakan masyarakat muslm yang menganggap jumlah ayat al-Quran  6,666. Semua surah,  selain surah ke 9 (At-Taubah), diawali dengan "bismillah. Namun hanya “bismillah” dalam Al-Fatihah yang dihitung sebagai satu ayat. Al-Quran juga terdiri dari 77.439 kata dengan 323.015 huruf yang seimbang jumlah kata-katanya, baik antara kata dengan padanannya, maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya. Misalnya, kata “hayat” terulang dengan antonimnya “maut”, masing-masing 145 kali, kata “akhirat” dan kata “dunia” berulang sebanyak 115 kali, kata “malaikat” dan kata “syaitan” berulang sebanyak 88 kali. Keseimbangan lainnya juga terlihat  pada kata hari (yaum) berulang sebanyak 365 kali yang merupakan jumlah hari-hari dalam setahun, kata bulan (syahr) berulang sebanyak 12 kali yang juga merupakan jumlah bulan dalam setahun (Ahmad Rivauzi, 2015: 56-57).
Al-Quran diturunkan memiliki keistimewaan yang tidak tertandingi. Allah memberikan tantangan kepada siapa saja yang mampu membuat semacam al-Quran:
قُل لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ الإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَن يَأْتُواْ بِمِثْلِ هَـذَا الْقُرْآنِ لاَ يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيراً
Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". (QS. Al-Isra’ [17]: 88)
H.A.R Gibb sebagaimana dikutip Quraish Shihab (2007: 4) mengatakan: “ tidak ada seorangpun dalam seribu lima ratus tahun ini telah memainkan alat bernada nyaring yang demikian mampu dan memiliki demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang dibaca Muhammad (al-Quran)” (Murniyetti, 2013: 22).
Waheduddin Khan ( 1983:187) memaparkan sebagaimana dikutip Abuddin Nata (2011: 30-31), tentang satu hal yang diungkap oleh seorang orientalis, Wallacestone. Peristiwa tersebut, demikian Wallacestone mengugkapkan, terjadi ketika sekelompok zindik dan tidak beragama tidak senang melihat pengaruh alQuran terhadap masyarakat. Kaum Zindik ini memutuskan untuk menjawab tantangan al-Quran. Untuk itu, mereka menawarkan keada Abdullah Ibn Muqaffa (w.727 M), seorang sastrawan besar dan penulis terkenal agar bersedia membuat karya tulis semacam al-Quran. Karena yakin dengan kemampuannya, Ibn Muqaffa menerima tawaran itu dan berjanji akan menyelesaikan tugasnya dalam tempo waktu satu tahun. Sebagai imbalannya, biaya hidup Ibn Muqaffa selama satu tahun menjadi tanggungan pihak peminta Ibn Muqaffa. Setelah berjalan setengah tahun, kaum zindik mendatangi Ibn Muqaffa. Mereka ingin mengetahui hasil yang telah dikerjakan oleh sastrawan besar asal Persia itu. Pada waktu memasuki kamar Ibn Muqaffa ini, mereka menemukan Ibn Muqaffa sedang duduk memegang pena, tenggelam dalam alam pikirannya. Alat-alat tulis bertebaran di lantai dan kamarnya penuh dengan sobekan kertas yang ditulisi. Ibn Muqaffa menemukan kebuntuan dan akhirnya menyerah serta mengakui kegagalannya untuk menulis semisal satu ayat saja semisal al-Quran (Ahmad Rivauzi, 2015: 58).
Contoh lain dari orang yang berusaha menandingi al-Quran sebagaimana dijelaskan Abuddin Nata (2011: 31), seorang nabi palsu Musailamah juga pernah mencoba untuk membuat semisal al-Quran. Dia mencoba membuat semacam sya’ir sebagai berikut:
يا ضفدع بنت ضفدعين  نقي ما تنقين  أعلاك في الماء وأسفلك في الطين
            Hai katak, anak dua ekor katak. Bersihkanlah apa yang akan engkau bersihkan, agian atasmu adalah di air, dan bagian bawahmu di tanah.
Al-Jahidz, salah seorang sastrawan Arab terkemuka memberi komentar terhadap karya Musailamah ini dengan mengatakan: “Saya tidak engerti apa yang menggerakkan hati Musailamah dengan menyebut katak dan lain sebagainya itu. Alangkah kotornya gubahan yang dilakukan Musailamah yang dikatakannya sebagai ayat yang diwahyukan kepadanya” (Ahmad Rivauzi, 2015: 59).
Demikian bukti tidak tertandinginya al-Quran. Berikutnya, ayat pertama turun adalah perintah membaca “iqra’”. Hasbi Ash-Shiddieqy (1974:15) mengatakan bahwa kata “Al-Quran” itu sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu mashdar dari kata “qa-ra-a” yang diartikan dengan bacaan atau yang dibaca (mashdar yang diartikan dengan arti isim maf 'ul  yaitu “maqru'“ artinya yang dibaca). Menurut Moenawar Chalil (1969:174), secara istilah, al-Quran dapat diartikan firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad dengan bahasa Arab untuk diperhatikan dan diambil pelajarannya oleh manusia, dinukilkan oleh (dipindahkan) kepada kita dengan jalan khabar mutawatir, yang dituliskan dalam mushhaf dimulai dengan surat al-Fatihah dan disudahi dengan surat al-Nas (Nasrul HS, dkk., 2011:31).
Kata iqra’ terambil dari akar kata yang berarti “menghimpun” dan juga berarti membaca teks tertulis dengan aksara tertentu.  Dari makna “menghimpun” lahir aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menela’ah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca teks tertulis maupun yang tidak tertulis. Masa diturunkannya al-Quran adalah 22 tahun, 2 bulan, 22 hari.  (Quraish Shihab, 2007:5).
Salah seorang  guru besar Harvard University sebagaimana dikutip Quraish Shihab (2007:5) mengungkapkan penelitiannya tentang faktor kemajuan dan kemunduran sebuah negara, yang dilakukannya pada 40 negara. Dia  menemukan bahwa bacaan generasi muda pada masa 20 tahun sebelum kemajuan dan kemunduran sebuah negara merupakan faktor yang menentukan kemajuan dan kemunduran sebuah negara tersebut. Dengan demikian, suatu bacaan dan pelajaran yang diberikan kepada generasi muda akan terlihat setelah masa lebih kurang 20 tahun, hal ini menujukkan masa yang sama dengan masa turunnya al-Quran (Ahmad Rivauzi, 2015: 59-60).
Al-Quran berbeda dengan Hadits. al-Quran merupakan kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan bernilai ibadah ketika membacanya. Sedangkan hadits nabawi adalah semua yang disandarkan kepada Nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan atau sifat.  Hadits qudsi menurut Khalil al-Qaththan (2011:17-25) adalah sesuatu yang oleh Nabi saw disandarkan kepada Allah. Nabi meriwayatkan bahwa itu adalah perkataan Allah. Dalam hal ini, Rasulullah menjadi perawi dari perkataan Allah tersebut dengan lafazh dari Nabi sendiri. Bila seseorang meriwayatkan hadits qudsi, maka dia meriwayatkannya dari Rasulullah dengan disandarkan kepada Allah, dengan mengatakan: “Rasulullah saw mengatakan, bahwa Allah telah berfirman ..(Murniyetti, 2013: 24)
            Contoh hadits qudsi itu adalah:
عن ابى هريرة رضي الله عنه ان رسول الله ص.م . قال : يقول الله تعالى : انا عند ظنّ عبدي بي وانا معه اذا ذكر ني فأن ذكرني في نفسه ذكرته في نفسي وأن ذكرني في ملأٍ ذكرته في ملأ خير منه (أخرجه البخار ومسلم )
Dari Abu Harairah r.a. bahwa Rasulullah saw berkata: Allah ta’ala berfirman: Aku menurut sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya bila dia menyebut-Ku. Bila ia menyebut-Ku di dalam dirinya, maka Aku pun menyebutnya di dalam diri-Ku. Dan bila ia menyebut-Ku di kalangan orang banyak, maka Aku pun menyebutnya di kalangan orang banyak yang lebih baik dari itu. (Bukhari Muslim)
Perbedaan al-Quran dengan Hadits Qudsi dapat dilihat dari tabel di bawah ini:
NO
Al-Quran
Hadits Qudsi
1
Al-Quran berfungsi sebagai mu’jizat
Hadits Qudsi tidak berfungsi sebagai mu’jizat
2
Lafazh dan isi al-Quran dinisbakan kepada Allah
Hadits Qudsi Cuma isinya saja yang dinisbahkan kepada Allah, sedangkan lafazhnya berasal dari rasul
3
A-Quran                        dinukilkan secara mutawatir
Hadits Qudsi kebanyakan dinukilkan melaui khabar ahad sehingga kepastiannya masih bersifat dugaan. Adakalanya shahih, hasan, atau bahkan ada yang dha’if
4
Membaca al-Quran bernilai ibadah, membaca 1 huruf dinilai 10 kebaikan
Membaca Hadts Qudsi diberi pahala secara umum saja oleh Allah
            Menurut al-Qaththan  dalam Murniyetti (2013: 25) Hadits Nabawi itu terbagi kepada dua: Pertama, tauqifi, yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah dari wahyu, lalu ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Hadits dalam bentuk tauqifi ini dalam penukilannya lebih dinisbahkan kepada rasulullah itu sendiri. Kedua, taufiqi, yaitu kesimpulan pemahaman rasulullah terhadap wahyu karena Rasulullah berfungsi sebagai penjelas wahyu. Jika ada kekeliruan dalam kesimpulan pemahaman Rasul, maka akan turun wahyu untuk membetulkannya. Contohnya adalah dalam hal urusan tawanan perang Badar. Rasulullah saw mengambil pendapat Abu Bakar dan menerima tebusan dari mereka. Maka turunlah wahyu yang mencela tindakan Nabi sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Anfal [8]: 67
مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الأَرْضِ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللّهُ يُرِيدُ الآخِرَةَ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Anfal [8]: 67)
     Dari penjelasan di atas, hadits nabawi itu, baik tauqifi maupun taufiqi pada dasarnya bersumber dari wahyu. Inilah yang dimaksudkan oleh firman Allah:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى  , إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (QS. An-Najm [53]: 3-4)
2.    Pemeliharaan al-Quran
Allah menjamin untuk terpeliharanya al-Quran. Allah berirman,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr [15]: 9)
            Menurut Hasan Zaini, 2010: 48) pemeriharaan Al-Qur’an merupakan ikhtiar untuk menjaga kelestarian dan keotentikan Al-Qur’an. Pada masa rasulullah SAW ikhtiar tersebut dikenal dengan istilah jam’u al-Qur’an.
Jam’ul-Qur`ân  berarti  pengumpulan al-Qur`an yang mencakup dua pengertian,  yaitu hifzhuhu ( penghafalan) dan   kitâbatuhu kullihi (penulisannya secara keseluruhan) (Nashruddin Syarief,  1973 : 118-119).
Menurut Ibn Hajar al-’Asqalaniy Jam’ul- Qur`ân dalam  kaitannya dengan proses pengumpulan al-Qur`an, maknanya menjadi khusus, yakni mengumpulkan al-Qur`an ke dalam shuhuf di zaman Abu Bakar dan mengumpulkannya kembali ke dalam mushhaf di zaman ‘Utsman.  al-Bukhariy dalam kitabnya, al-Jâmi’ as-Shahîh, menjelaskan sebuah pernyataan Zaid ibn Tsabit (al-’Asqalaniy,  2000: 13):
قبض النبي  ولم يكن القرآن جمع في شيء
          Nabi Saw wafat dan al-Qur`an tidak terkumpul pada sesuatu apapun.
Pemeliharaan Al-Quran pada masa Rasulullah terlihat dengan setiap kali Nabi selesai menerima ayat-ayat Al-Quran yang diwahyukan kepadanya, Nabi lalu memerintahkan kepada para shahabat tertentu untuk menuliskannya di samping juga menghafalnya (Ahmad Rivauzi, 2015: 63). 
Penulisan ayat-ayat Al-Qur’an oleh sahabat dilakukan di bawah pengawasan dan koordinasi Nabi dengan perintah agar sahabat menulis wahyu saja dan tidak menulis hadits (Murniyetti, 2013: 29). Sebagaimana Hadits Nabi yang diriwayatkan Muslim: 
لاتكتبواعنى ومن كتب عنى غير القران فليمحوه (رواه البخارى و مسلم)
”Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali Al-Qur’an. Barang siapa telah menulis dariku selain Al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya”.  (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi senantiasa menganjurkan para sahabat untuk menghafal al-Quran, sehingga banyak di antara sahabat yang hafal Al-Quran 30 juz. Menurut  riwayat yang diketengahkan oleh al-Bukhari dalam shahihnya yang mengatakan bahwa terdapat tujuh orang para shahabat yang hafal Al-Quran pada masa hidup Rasulullah. Mereka itu adalah abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka’ab, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda’ (Khalil al-Qaththan (2011:180).  Penyebutan tujuh orang huffaz (para penghapal) Al-Quran yang nama-namanya disebut dalam beberapa riwayat itu tidak berarti pembatasan, karena beberapa keterangan dalam kitab-kitab syarah lainnya menunjukkan bahwa para  shahabat berlomba-lomba menghafalkan Al-Quran, dan mereka memerintahkan anak-anak dan isteri-isteri mereka untuk menghafalkannya di rumah masing-masing. Mereka membacanya dalam sholat di tengah malam, sehingga alunan suara mereka terdengar bagaikan suara kumbang. Rasulullah pun sering melewati rumah-rumah orang Anshar dan berhenti untuk mendengarkan alunan suara mereka yang membaca Al-Quran di rumah-rumahnya. Bukhary meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Musa al-‘Asy’ary bahwasanya  Rasulullah Saw. bersabda kepadanya  :
لو رأیتنى البارحة وأنا أستمع لقرأتك لقدأعطیت مزمارا من مزامیر داود
“Andaikan engkau melihat aku tadi malam ketika aku mendengarkan bacaanmu, sungguh kau telah menghiasi pendengaranku dengan sebuah tiupan seruling dari seruling Nabi Daud”.
     Menurut al-Qaththan ( 2011: 188-190), setelah Nabi Muhammad SAW. wafat dan Abu Bakar diangkat sebagai Khalifah, banyak terjadi gerakan-gerakan yang menimbulkan perpecahan dan meresahkan umat Islam, seperti gerakan keluar dari agama Islam yang dipimpin Musailamah Alkadzab dan lainnya. Untuk menumpas ini, maka terjadilah peperangan. Dalam perang itu menimbulkan banyak korban dari pihak Islam yaitu 70 orang sahabat yang hafal Al-Quran terbunuh. Kondisi ini mendorong Umar bin Khattab memberikan usulan kepada Abu Bakar agar mengumpulkan dan membukukan al-Quran.  Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk melakukan usulan Umar bin Khattab mengingat kedudukannya dalam qiraat, penulisan, pemahaman dan kecerdasannya. Zaid memulai tugasnya dengan berpegang kepada hafalan yang ada dalam hati para qurra dan catatan yang ada di tangan para sahabat.  Hasil kerja Zaid ini akhirnya disimpan di rumah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar wafat pada tahun 13 H., al-Quran tersebut disimpan di ruah Umar sampai wafatnya. Setelah wafat Umar al-Quran itu pindah ke tangan Hafsah putri Umar, dan pada masa Usman al-Quran tersebut diminta oleh Usman. Dalam melaksanakan tugasnya,  Zaid tidak  mau menerima tulisan ayat ayat Al-Quran, kecuali disaksikan oleh 2 orang saksi yang adil  dan meyakini bahwa ayat itu benar benar ditulis dihadapan Nabi Muhammad dan atas perintah dan petunjuknya (Ahmad Rivauzi, 2015: 64-65).
Pada masa Khalifah Usman, penyebaran Islam semakin luas. Pada saat terjadinya peperangan di Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Iraq, Huzaifah bin al-Yaman menyaksikan banyaknya perbedaan dalam cara membaca al-Quran. Sebagian dari bacaan itu telah bercampur dengan kesalahan, namun masing-masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya dan saling menyalahkan bacaan yang lain yang berbeda bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat kenyataan tersebut Huzaifah melaporkannya kepada Usman. Usman dapat menerima usul Hudzaifah, kemudian di bentuk panitia yang terdiri dari 4 orang, yaitu: Zaid bin Tsabit, Sa’id bin Ash, Abdullah bin Zubair, dan Abdurrahman bin Harits. (al-Qaththan,  2011: 193)
Al-Qaththan (2011: 197-199) menjelaskan, tim tersebut menyalin al-Quran tersebut menjadi 5 buah menurut pendapat yang masyhur dan mengirimkanya ke daerah-daerah dengan meninggalkan satu buah di tangan Usman. Setelah penyalinan selesai, al-Quran yang disalin pada masa Abu Bakar dikembalikan ke tangan Hafsah. Perbedaan pengumpulan mushaf Al-Quran pada masa Abu Bakar dan Ustman ada dalam hal motif dan caranya. Motif pengumpulan Al-Quran pada masa Abu Bakar adalah kehawatiran akan hilangnya Al-Quran karena banyak nya para huffadz yang gugur dalam peperangan, sedangkan motif pada masa Utsman adalah karena banyaknya perbedaan cara membaca Al-Quran, sedangkan dalam perbedaan dari segi cara, yaitu pada masa Abu Bakar ialah memindahkan tulisan atau catatan Al-Quran yang semula bertebaran pada kulit binatang, tulang, pelepah kurma dsb. kemudian dikumpulkan dalam mushaf dengan ayat dan surat yang tersusun serta terbatas pada bacaan yang tidak dimansuhk dan mencakup ke tujuh huruf (dialek) sebagai mana Al-Quran diturunkan. sedang cara pengumpulan yang dilalukan pada masa Utsman adalah menyalinnya dalam satu dialek dengan tujuan  untuk mempersatukan kaum muslimin (Murniyetti, 2013: 37-38).
Mushaf Usmani tidak memakai tanda baca, titik dan syakal, karena pada masa itu belum dibutuhkan tanda baca. Namun pada masa sesudahnya, kebutuhan tersebut baru mulai dirasakan di tengah-tengah masyarakat muslim Al-Qaththan (2011: 218). Menurut Supiana (2002; 238), dalam masa setelah Usman, terjadilah berbagai perluasan dan pembukaan wilayah baru. Konsekwensi dari perluasan wilayah inilah banyaknya orang-orang non Arab yang kemudian masuk kedalam Islam, di samping itu tentu saja meningkatkan interaksi muslim Arab dengan orang non muslim Arab ataupun orang non muslim. Akibatnya kekeliruan dalam menentukan jenis huruf dan kesalahan dalam membaca harkat huruf menjadi sebuah fenomena yang tak terhindarkan, tidak hanya dikalangan orang non muslim Arab namun juga dikalangan orang Arab sendiri, hal ini menjadi kekhawatiran terhadap penguasa kaum muslimin (Murniyetti, 2013:38).
Para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang melakukan usaha pertama untuk melakukan pemberian tanda baca tersebut (Murniyetti 2013: 39-40). Di antara pendapat para ulama tersebut menyebutkan bahwa yang pertama melakukan hal tersebut adalah Abu Aswad ad-Duali atas permintaan Ali bin Abi Thalib (al-Qaththan, 2011:218). Riwayat lain sebagaimana dijelaskan Kamaluddin Marzuki (1994: 82-84), yang pertama kali mendapatkan ide tanda baca terhadap Al-Qur’an adalah Ziyad bin Abihi salah seorang gubernur yang diangkat oelh Muawiyah bin Abi Sufiyan untuk wilayah Basrah (45-53 H). Kisah munculnya ide itu diawali ketika Muawiyah menulis surat kepadanya agar mengutus putranya Ubaidillah, untuk menghadapnya, Muawiyah terkejut bahwa anak muda itu banyak melakukan kesalahan dalam bahasa pembicaraannya, Muawiyah mengirim surat teguran kepada Ziyad. Lalu Ziyad mengirim surat kepada Abu Aswad Ad-Duali dengan pernyataan bahwa sesungguhnya orang-orang non Arab itu semakin banyak telah merusak bahasa orang-orang Arab, maka cobalah anda melakukan suatu hal untuk memperbaiki bahasa orang itu dan membuat meraka membaca Al-Qur’an dengan benar, kemudian Abu Aswad menolak permintaan Ziyad.  Abu Aswad akhirnya menerima permintaan Ziyad setelah mendengar seseorang salah dalam membaca al-Quran (Ahmad Rivauzi, 2015: 67).
Abu aswad menunjuk seorang dari suku al-Qais untuk membantunya dari 30 orang yang di Ajukan Ziyad. Abu Aswad kemudian memerintahkan juru tulis itu mengambil mushaf dan Zat pewarna yang berbeda dengan yang digunakan untuk berpesan kepada stafnya itu:” jika kau lihat bibirku terbuka waktu menyebut huruf bersuara a (fatah) letakanlah satu titik diatasnya, dan jika kesuan bibirku agak terkatup (bersuara i) letakkanlah satu titik di bawahnya, jika bibirku mencuat kemuka (bersuara u) maka letakkanlah satu titik ditengah huruf dan jika bibirku bersuara (Ghunnah) letakkanlah dua titik diatasnya”. Sementara itu Abu Aswat membaca Al-Qur’an dengan perlahan dan stafnya pun sibuk bekerja sesuai dengan perintanya. Apabila mereka mendapatkan salah satu huruf  halaq, mereka melatakkan salah satu titik lebih tinggi dari pada yang lain, sebagai tanda suara (nun) jelas, jika tidak jelas mereka meletakkan disamping, sebagai tanda apabila suara (nun) tidak terdengar (tersembunyi). Dan setiap kali usai satu halaman, Abu Aswad pun memeriksanya kembali sebelum melanjutkan kehalaman berikutnya (Ahmad Rivauzi, 2015: 67-68).


Sumber:
Ahmad Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman: Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, (Ciputat: Sakata Cendikia, 2015), Cet. I


Tidak ada komentar:

Posting Komentar