Al-QURAN
SEBAGAI SUMBER UTAMA AJARAN ISLAM
Oleh: Dr.
Ahmad Rivauzi, MA
Menurut
Hans Wehr (1974: 15) sebagaimana dikutip Abuddin Nata (2011:25), dalam bahasa
Arab, sumber disebut dengan mashdar yang jamaknya adalah mashadir, yang
dapat diartikan sebagai titik tolak, sumber asli, asli, tidak terbatas, atau
tujuan yang bersifat internal. Dengan demikian, sumber dapat diartikan sebagai
tempat yang darinya dapat diperoleh bahan yang dilukan untuk membuat sesuatu
(Ahmad Rivauzi, 2015: 53).
Islam
sebagai agama, yang di dalamnya terdapat nilai-nilai, ajaran, petunjuk hidup,
dan lain sebagainya, membutuhkan sumber yang darinya diambil bahan-bahan yang
diperlukan guna terekonstruksinya ajaran Islam tersebut (Abuddin Nata,
2011:25). Allah Swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ
وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah
dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(QS. An-Nisa’, 4:59)
Nabi Muhammad Saw., juga berpesan kepada umat
Islam:
تركت فيكم أمرين ما تمسكتم بهما لن تضلوا أبدا كتاب الله
وسنة رسوله (رواه
أبو داود)
Aku tinggalkan dua perkara untuk
kamu semua, jikakamu berpegang teguh kepada keduanya, nscaya kamu tidak akan
esat selama-lamanya. Yaitu kitab Allah dan sunnah Rasulnya (Abu Daud)
Di
samping keterangan ayat dan Hadits di atas, sebuah riwayat juga menyebutkan tentang
penugasan dari Rasulullah kepada Muaz bin Jabal ketika akan diutus ke negeri
Yaman untuk menjadi qadhi. Pada waktu itu Rasulullah bertanya kepada
Muaz: “Dengan apa engkau memutus perkara?” Muaz menjawab: “Dengan al-Quran”.
Rasulullah bertanya lagi “Bagaimana jika di dalam al-Quran tidak dijumpai
jawabannya?” Muaz menjawab: “Dengan sunnah”. Rasulullah bertanya lagi:
“Bagimana kalau di dalam sunnah juga tidak ada jawabannya?” Muaz menjawab:
“Saya akan berijtihad dengan menggunakan al-ra’yu”. Mendengarkan jawaban
Muz, Rasulullah menepuk bahu Muaz sebagai tanda setuju atas inisiatif Muaz
(Abuddin Nata, 2011:27).
Menurut
Ahmad Rivauzi (2015: 55), berdasarkan penjelasan ayat al-Quran, Hadits serta
riwayat Rasulullah dan Muaz di atas, maka secara garis besar sumber ajaran
Islam ada tiga, yaitu al-Quran, Sunnah (Hadits), dan ijtihad.
A. Al-Quran
1.
Pengertian dan
Keistimewaan al-Quran
Al-Quran adalah risalah
Allah kepada manusia semuanya yang diturunkan melalui Muhammad Rasulullah Saw.
Pada sebuah Hadits diungkapkan:
مثلي ومثل
الانبياء من قبلي كمثل رجل بني بيتا فأحسنه وأجمله الا موضع لبنة من زاوية فجعل
الناس يطوفون به ويعجبون منه ويقولون لو لا هذه اللبنة فأنا اللبنة وأنا خاتم
النبيين (متفق عليه)
Perumpamaan diriku dengan para nabi sebelumku adalah bagaikan orang yang
membangun sebuah rumah, dibuat dengan baik dan diperindahnya rumah itu, kecuali
letak satu bata di sebuah sudutnya. Maka orang-orang pun mengelilingi rumah
itu, mereka mengagiminya dan berkata: seandainya bukan karena batu bata ini,
tentulah rumah itu sudah sempurna. Maka akulah batu bata itu, dan akulah
penutup para nabi”
Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa al-Quran yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad berfungsi sebagai penyempurna dari risal-risalah Allah yang
diturunkan kepada para nabi yang datang sebelum Nabi Muhammad (Ahmad Rivauzi,
2015: 55)
Al-Quran diturunkan dan diperuntukkan kepada
semua manusia:
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللّهِ
إِلَيْكُمْ جَمِيعاً الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ لا إِلَـهَ
إِلاَّ هُوَ يُحْيِـي وَيُمِيتُ فَآمِنُواْ بِاللّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ
الأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ
تَهْتَدُونَ
Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya
aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan
langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang
menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya,
Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya
(kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk". (QS.
Al-A’raf [7]: 158)
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ
لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيراً
Maha Suci Allah yang telah menurunkan
Al-Furqaan (Al Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan
kepada seluruh alam, (QS. Al-Furqan [25]: 1)
Menurut Quraish Shihab (2007:3), al-Quran
secara harfiah berarti “bacaan yang sempurna”. Tidak ada satu bacaanpun sejak
manusia megenal tulis baca yang dapat menandingi al-Quran. Al-Quran dibaca oleh
ratusan juta orang bahkan dihafal huruf demi hurufnya, dipelajari bukan hanya
susunan redaksi dan pemilihan kata-katanya, tetapi juga kandungan yang tersurat
dan tersirat bahkan sampai kepada kesan yang ditimbulkannya yang semuanya itu
dituangkan dalam jutaan jilid buku dari generasi demi generasi (Ahmad Rivauzi, 2015: 56)
Quraish Shihab (2007:4) menjelaskan bahwa Al-Quran terdiri 114 surat,
dan 6,236 ayat. Hal ini berbeda dengan anggapan kebanyakan masyarakat muslm
yang menganggap jumlah ayat al-Quran 6,666. Semua surah, selain surah ke 9 (At-Taubah), diawali dengan
"bismillah. Namun hanya “bismillah” dalam Al-Fatihah yang
dihitung sebagai satu ayat. Al-Quran juga terdiri dari 77.439 kata dengan
323.015 huruf yang seimbang jumlah kata-katanya, baik antara kata dengan
padanannya, maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya. Misalnya, kata “hayat”
terulang dengan antonimnya “maut”, masing-masing 145 kali, kata “akhirat”
dan kata “dunia” berulang sebanyak 115 kali, kata “malaikat” dan
kata “syaitan” berulang sebanyak 88 kali. Keseimbangan lainnya juga
terlihat pada kata hari (yaum)
berulang sebanyak 365 kali yang merupakan jumlah hari-hari dalam setahun, kata
bulan (syahr) berulang sebanyak 12 kali yang juga merupakan jumlah bulan
dalam setahun (Ahmad Rivauzi, 2015: 56-57).
Al-Quran diturunkan memiliki keistimewaan
yang tidak tertandingi. Allah memberikan tantangan kepada siapa saja yang mampu
membuat semacam al-Quran:
قُل لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ الإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَن
يَأْتُواْ بِمِثْلِ هَـذَا الْقُرْآنِ لاَ يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ
بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيراً
Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat yang serupa Al Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang
serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian
yang lain". (QS. Al-Isra’ [17]: 88)
H.A.R Gibb sebagaimana dikutip Quraish Shihab
(2007: 4) mengatakan: “ tidak ada seorangpun dalam seribu lima ratus tahun ini
telah memainkan alat bernada nyaring yang demikian mampu dan memiliki demikian
luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang dibaca Muhammad (al-Quran)”
(Murniyetti, 2013: 22).
Waheduddin Khan ( 1983:187) memaparkan
sebagaimana dikutip Abuddin Nata (2011: 30-31), tentang satu hal yang diungkap
oleh seorang orientalis, Wallacestone. Peristiwa tersebut, demikian
Wallacestone mengugkapkan, terjadi ketika sekelompok zindik dan tidak beragama
tidak senang melihat pengaruh alQuran terhadap masyarakat. Kaum Zindik ini
memutuskan untuk menjawab tantangan al-Quran. Untuk itu, mereka menawarkan
keada Abdullah Ibn Muqaffa (w.727 M), seorang sastrawan besar dan penulis
terkenal agar bersedia membuat karya tulis semacam al-Quran. Karena yakin
dengan kemampuannya, Ibn Muqaffa menerima tawaran itu dan berjanji akan menyelesaikan
tugasnya dalam tempo waktu satu tahun. Sebagai imbalannya, biaya hidup Ibn
Muqaffa selama satu tahun menjadi tanggungan pihak peminta Ibn Muqaffa. Setelah
berjalan setengah tahun, kaum zindik mendatangi Ibn Muqaffa. Mereka ingin
mengetahui hasil yang telah dikerjakan oleh sastrawan besar asal Persia itu.
Pada waktu memasuki kamar Ibn Muqaffa ini, mereka menemukan Ibn Muqaffa sedang
duduk memegang pena, tenggelam dalam alam pikirannya. Alat-alat tulis
bertebaran di lantai dan kamarnya penuh dengan sobekan kertas yang ditulisi.
Ibn Muqaffa menemukan kebuntuan dan akhirnya menyerah serta mengakui
kegagalannya untuk menulis semisal satu ayat saja semisal al-Quran (Ahmad
Rivauzi, 2015: 58).
Contoh lain
dari orang yang berusaha menandingi al-Quran sebagaimana dijelaskan Abuddin
Nata (2011: 31), seorang nabi palsu Musailamah juga pernah mencoba untuk
membuat semisal al-Quran. Dia mencoba membuat semacam sya’ir sebagai berikut:
يا ضفدع بنت ضفدعين
نقي ما تنقين أعلاك في الماء
وأسفلك في الطين
Hai
katak, anak dua ekor katak. Bersihkanlah apa yang akan engkau bersihkan, agian
atasmu adalah di air, dan bagian bawahmu di tanah.
Al-Jahidz, salah seorang sastrawan Arab
terkemuka memberi komentar terhadap karya Musailamah ini dengan mengatakan:
“Saya tidak engerti apa yang menggerakkan hati Musailamah dengan menyebut katak
dan lain sebagainya itu. Alangkah kotornya gubahan yang dilakukan Musailamah
yang dikatakannya sebagai ayat yang diwahyukan kepadanya” (Ahmad Rivauzi, 2015:
59).
Demikian bukti tidak tertandinginya al-Quran.
Berikutnya, ayat pertama turun adalah perintah membaca “iqra’”. Hasbi
Ash-Shiddieqy (1974:15) mengatakan bahwa kata “Al-Quran” itu sendiri berasal
dari bahasa Arab yaitu mashdar dari kata “qa-ra-a” yang diartikan
dengan bacaan atau yang dibaca (mashdar yang diartikan dengan arti isim
maf 'ul yaitu “maqru'“
artinya yang dibaca). Menurut Moenawar Chalil (1969:174), secara istilah,
al-Quran dapat diartikan firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad
dengan bahasa Arab untuk diperhatikan dan diambil pelajarannya oleh manusia,
dinukilkan oleh (dipindahkan) kepada kita dengan jalan khabar mutawatir, yang
dituliskan dalam mushhaf dimulai dengan surat al-Fatihah dan disudahi dengan
surat al-Nas (Nasrul HS, dkk., 2011:31).
Kata iqra’ terambil dari akar kata
yang berarti “menghimpun” dan juga berarti membaca teks tertulis dengan aksara
tertentu. Dari makna “menghimpun” lahir
aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menela’ah, mendalami, meneliti,
mengetahui ciri sesuatu, dan membaca teks tertulis maupun yang tidak tertulis.
Masa diturunkannya al-Quran adalah 22 tahun, 2 bulan, 22 hari. (Quraish Shihab, 2007:5).
Salah seorang
guru besar Harvard University sebagaimana dikutip Quraish Shihab
(2007:5) mengungkapkan penelitiannya tentang faktor kemajuan dan kemunduran
sebuah negara, yang dilakukannya pada 40 negara. Dia menemukan bahwa bacaan generasi muda pada
masa 20 tahun sebelum kemajuan dan kemunduran sebuah negara merupakan faktor
yang menentukan kemajuan dan kemunduran sebuah negara tersebut. Dengan
demikian, suatu bacaan dan pelajaran yang diberikan kepada generasi muda akan
terlihat setelah masa lebih kurang 20 tahun, hal ini menujukkan masa yang sama
dengan masa turunnya al-Quran (Ahmad Rivauzi, 2015: 59-60).
Al-Quran berbeda dengan Hadits. al-Quran
merupakan kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan bernilai
ibadah ketika membacanya. Sedangkan hadits nabawi adalah semua yang disandarkan
kepada Nabi saw baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan atau sifat. Hadits qudsi menurut Khalil al-Qaththan
(2011:17-25) adalah sesuatu yang oleh Nabi saw disandarkan kepada Allah. Nabi
meriwayatkan bahwa itu adalah perkataan Allah. Dalam hal ini, Rasulullah
menjadi perawi dari perkataan Allah tersebut dengan lafazh dari Nabi sendiri.
Bila seseorang meriwayatkan hadits qudsi, maka dia meriwayatkannya dari
Rasulullah dengan disandarkan kepada Allah, dengan mengatakan: “Rasulullah saw
mengatakan, bahwa Allah telah berfirman ..(Murniyetti, 2013: 24)
Contoh
hadits qudsi itu adalah:
عن ابى هريرة رضي الله عنه ان رسول الله ص.م . قال : يقول الله تعالى : انا
عند ظنّ عبدي بي وانا معه اذا ذكر ني فأن ذكرني في نفسه ذكرته في نفسي وأن ذكرني
في ملأٍ ذكرته في ملأ خير منه (أخرجه
البخار ومسلم )
Dari Abu Harairah r.a. bahwa Rasulullah saw berkata: Allah ta’ala
berfirman: Aku menurut sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya bila dia
menyebut-Ku. Bila ia menyebut-Ku di dalam dirinya, maka Aku pun menyebutnya di
dalam diri-Ku. Dan bila ia menyebut-Ku di kalangan orang banyak, maka Aku pun
menyebutnya di kalangan orang banyak yang lebih baik dari itu. (Bukhari Muslim)
Perbedaan al-Quran dengan Hadits Qudsi dapat
dilihat dari tabel di bawah ini:
NO
|
Al-Quran
|
Hadits Qudsi
|
1
|
Al-Quran berfungsi sebagai mu’jizat
|
Hadits Qudsi tidak berfungsi sebagai mu’jizat
|
2
|
Lafazh dan isi al-Quran dinisbakan kepada Allah
|
Hadits Qudsi Cuma isinya saja yang dinisbahkan kepada Allah, sedangkan
lafazhnya berasal dari rasul
|
3
|
A-Quran
dinukilkan secara mutawatir
|
Hadits Qudsi kebanyakan dinukilkan melaui khabar ahad sehingga
kepastiannya masih bersifat dugaan. Adakalanya shahih, hasan, atau bahkan ada
yang dha’if
|
4
|
Membaca al-Quran bernilai ibadah, membaca 1 huruf dinilai 10 kebaikan
|
Membaca Hadts Qudsi diberi pahala secara umum saja oleh Allah
|
Menurut
al-Qaththan dalam Murniyetti (2013: 25)
Hadits Nabawi itu terbagi kepada dua: Pertama, tauqifi, yaitu yang
kandungannya diterima oleh Rasulullah dari wahyu, lalu ia menjelaskan kepada
manusia dengan kata-katanya sendiri. Hadits dalam bentuk tauqifi ini
dalam penukilannya lebih dinisbahkan kepada rasulullah itu sendiri. Kedua,
taufiqi, yaitu kesimpulan pemahaman rasulullah terhadap wahyu karena
Rasulullah berfungsi sebagai penjelas wahyu. Jika ada kekeliruan dalam
kesimpulan pemahaman Rasul, maka akan turun wahyu untuk membetulkannya.
Contohnya adalah dalam hal urusan tawanan perang Badar. Rasulullah saw
mengambil pendapat Abu Bakar dan menerima tebusan dari mereka. Maka turunlah
wahyu yang mencela tindakan Nabi sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Anfal [8]:
67
مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَكُونَ لَهُ
أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الأَرْضِ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللّهُ
يُرِيدُ الآخِرَةَ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat
melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah
sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Anfal [8]: 67)
Dari penjelasan di atas,
hadits nabawi itu, baik tauqifi maupun taufiqi pada dasarnya
bersumber dari wahyu. Inilah yang dimaksudkan oleh firman Allah:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى , إِنْ
هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)
(QS. An-Najm [53]: 3-4)
Allah menjamin untuk terpeliharanya al-Quran.
Allah berirman,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ
لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr [15]: 9)
Menurut Hasan Zaini, 2010: 48)
pemeriharaan Al-Qur’an merupakan ikhtiar untuk menjaga kelestarian dan
keotentikan Al-Qur’an. Pada masa rasulullah SAW ikhtiar tersebut dikenal dengan
istilah jam’u al-Qur’an.
Jam’ul-Qur`ân berarti pengumpulan al-Qur`an yang mencakup dua
pengertian, yaitu hifzhuhu
( penghafalan) dan kitâbatuhu
kullihi (penulisannya secara keseluruhan) (Nashruddin Syarief,
1973 : 118-119).
Menurut Ibn Hajar al-’Asqalaniy Jam’ul- Qur`ân dalam
kaitannya dengan proses pengumpulan al-Qur`an, maknanya menjadi khusus,
yakni mengumpulkan al-Qur`an ke dalam shuhuf di zaman Abu Bakar dan
mengumpulkannya kembali ke dalam mushhaf di zaman ‘Utsman.
al-Bukhariy dalam kitabnya, al-Jâmi’ as-Shahîh, menjelaskan sebuah pernyataan
Zaid ibn Tsabit (al-’Asqalaniy, 2000: 13):
قبض النبي ولم يكن القرآن جمع في شيء
Nabi Saw wafat dan
al-Qur`an tidak terkumpul pada sesuatu apapun.
Pemeliharaan Al-Quran pada masa Rasulullah terlihat dengan setiap kali
Nabi selesai menerima ayat-ayat Al-Quran yang diwahyukan kepadanya, Nabi lalu
memerintahkan kepada para shahabat tertentu untuk menuliskannya di samping juga
menghafalnya (Ahmad Rivauzi, 2015: 63).
Penulisan ayat-ayat Al-Qur’an oleh sahabat
dilakukan di bawah pengawasan dan koordinasi Nabi dengan perintah agar sahabat
menulis wahyu saja dan tidak menulis hadits (Murniyetti, 2013: 29). Sebagaimana
Hadits Nabi yang diriwayatkan Muslim:
لاتكتبواعنى ومن كتب عنى غير القران فليمحوه (رواه البخارى و مسلم)
”Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali Al-Qur’an.
Barang siapa telah menulis dariku selain Al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya”. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Nabi senantiasa menganjurkan para sahabat untuk menghafal al-Quran,
sehingga banyak di antara sahabat yang hafal Al-Quran 30 juz. Menurut
riwayat yang diketengahkan oleh al-Bukhari dalam shahihnya yang mengatakan
bahwa terdapat tujuh orang para shahabat yang hafal Al-Quran pada masa hidup
Rasulullah. Mereka itu adalah abdullah bin Mas’ud, Salim, Mu’adz bin Jabal,
Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka’ab, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda’ (Khalil
al-Qaththan (2011:180). Penyebutan tujuh orang huffaz (para
penghapal) Al-Quran yang nama-namanya disebut dalam beberapa riwayat itu tidak
berarti pembatasan, karena beberapa keterangan dalam kitab-kitab syarah lainnya
menunjukkan bahwa para shahabat berlomba-lomba menghafalkan Al-Quran, dan
mereka memerintahkan anak-anak dan isteri-isteri mereka untuk menghafalkannya
di rumah masing-masing. Mereka membacanya dalam sholat di tengah malam,
sehingga alunan suara mereka terdengar bagaikan suara kumbang. Rasulullah pun
sering melewati rumah-rumah orang Anshar dan berhenti untuk mendengarkan alunan
suara mereka yang membaca Al-Quran di rumah-rumahnya. Bukhary meriwayatkan
sebuah hadits dari Abu Musa al-‘Asy’ary bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda
kepadanya :
لو رأیتنى البارحة وأنا أستمع لقرأتك لقدأعطیت مزمارا من مزامیر داود
“Andaikan engkau melihat aku tadi malam ketika aku mendengarkan
bacaanmu, sungguh kau telah menghiasi pendengaranku dengan sebuah tiupan
seruling dari seruling Nabi Daud”.
Menurut al-Qaththan ( 2011:
188-190), setelah Nabi Muhammad SAW. wafat dan Abu Bakar diangkat sebagai Khalifah, banyak
terjadi gerakan-gerakan yang menimbulkan perpecahan dan meresahkan umat Islam,
seperti gerakan keluar dari agama Islam yang dipimpin Musailamah Alkadzab dan
lainnya. Untuk menumpas ini, maka terjadilah peperangan. Dalam perang itu
menimbulkan banyak korban dari pihak Islam yaitu 70 orang sahabat yang hafal
Al-Quran terbunuh. Kondisi ini mendorong Umar bin Khattab memberikan usulan
kepada Abu Bakar agar mengumpulkan dan membukukan al-Quran. Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk
melakukan usulan Umar bin Khattab mengingat kedudukannya dalam qiraat,
penulisan, pemahaman dan kecerdasannya. Zaid memulai tugasnya dengan berpegang
kepada hafalan yang ada dalam hati para qurra dan catatan yang ada di
tangan para sahabat. Hasil kerja Zaid
ini akhirnya disimpan di rumah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar wafat pada tahun 13
H., al-Quran tersebut disimpan di ruah Umar sampai wafatnya. Setelah wafat Umar
al-Quran itu pindah ke tangan Hafsah putri Umar, dan pada masa Usman al-Quran
tersebut diminta oleh Usman. Dalam melaksanakan tugasnya, Zaid
tidak mau menerima tulisan ayat ayat Al-Quran, kecuali disaksikan oleh 2
orang saksi yang adil dan meyakini bahwa ayat itu benar benar ditulis
dihadapan Nabi Muhammad dan atas perintah dan petunjuknya (Ahmad Rivauzi, 2015: 64-65).
Pada masa
Khalifah Usman, penyebaran Islam semakin luas. Pada saat terjadinya peperangan
di Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Iraq, Huzaifah bin al-Yaman
menyaksikan banyaknya perbedaan dalam cara membaca al-Quran. Sebagian dari
bacaan itu telah bercampur dengan kesalahan, namun masing-masing mempertahankan
dan berpegang pada bacaannya dan saling menyalahkan bacaan yang lain yang
berbeda bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat kenyataan tersebut Huzaifah
melaporkannya kepada Usman. Usman dapat menerima usul Hudzaifah, kemudian di
bentuk panitia yang terdiri dari 4 orang, yaitu: Zaid bin
Tsabit, Sa’id bin Ash, Abdullah bin Zubair, dan Abdurrahman bin Harits.
(al-Qaththan, 2011: 193)
Al-Qaththan (2011: 197-199) menjelaskan, tim tersebut menyalin al-Quran
tersebut menjadi 5 buah menurut pendapat yang masyhur dan mengirimkanya ke
daerah-daerah dengan meninggalkan satu buah di tangan Usman. Setelah penyalinan
selesai, al-Quran yang disalin pada masa Abu Bakar dikembalikan ke tangan
Hafsah. Perbedaan pengumpulan mushaf Al-Quran pada masa Abu Bakar dan Ustman
ada dalam hal motif dan caranya. Motif pengumpulan Al-Quran pada masa Abu Bakar
adalah kehawatiran akan hilangnya Al-Quran karena banyak nya para huffadz yang
gugur dalam peperangan, sedangkan motif pada masa Utsman adalah karena
banyaknya perbedaan cara membaca Al-Quran, sedangkan dalam perbedaan dari segi
cara, yaitu pada masa Abu Bakar ialah memindahkan tulisan atau catatan Al-Quran
yang semula bertebaran pada kulit binatang, tulang, pelepah kurma dsb. kemudian
dikumpulkan dalam mushaf dengan ayat dan surat yang tersusun serta terbatas
pada bacaan yang tidak dimansuhk dan mencakup ke tujuh huruf (dialek)
sebagai mana Al-Quran diturunkan. sedang cara pengumpulan yang dilalukan pada
masa Utsman adalah menyalinnya dalam satu dialek dengan
tujuan untuk mempersatukan kaum muslimin (Murniyetti, 2013: 37-38).
Mushaf Usmani tidak memakai tanda baca, titik dan syakal, karena pada
masa itu belum dibutuhkan tanda baca. Namun pada masa sesudahnya, kebutuhan
tersebut baru mulai dirasakan di tengah-tengah masyarakat muslim Al-Qaththan
(2011: 218). Menurut Supiana (2002; 238), dalam masa setelah Usman, terjadilah
berbagai perluasan dan pembukaan wilayah baru. Konsekwensi dari perluasan wilayah inilah
banyaknya orang-orang non Arab yang kemudian masuk kedalam Islam, di samping itu tentu
saja meningkatkan interaksi muslim Arab dengan orang non muslim Arab ataupun
orang non muslim. Akibatnya kekeliruan dalam menentukan jenis huruf dan
kesalahan dalam membaca harkat huruf menjadi sebuah fenomena yang tak terhindarkan,
tidak hanya dikalangan orang non muslim Arab namun juga dikalangan orang Arab
sendiri, hal ini menjadi kekhawatiran terhadap penguasa
kaum muslimin (Murniyetti, 2013:38).
Para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang melakukan usaha pertama
untuk melakukan pemberian tanda baca tersebut (Murniyetti 2013: 39-40). Di antara
pendapat para ulama tersebut menyebutkan bahwa yang pertama melakukan hal
tersebut adalah Abu Aswad ad-Duali atas permintaan Ali bin Abi Thalib
(al-Qaththan, 2011:218). Riwayat lain sebagaimana dijelaskan Kamaluddin
Marzuki (1994: 82-84), yang pertama kali mendapatkan ide tanda baca
terhadap Al-Qur’an adalah Ziyad bin Abihi salah seorang gubernur yang diangkat
oelh Muawiyah bin Abi Sufiyan untuk wilayah Basrah (45-53 H). Kisah munculnya
ide itu diawali ketika Muawiyah menulis surat kepadanya agar mengutus putranya
Ubaidillah, untuk menghadapnya, Muawiyah terkejut bahwa anak muda itu banyak
melakukan kesalahan dalam bahasa pembicaraannya, Muawiyah mengirim surat
teguran kepada Ziyad. Lalu Ziyad mengirim surat kepada Abu Aswad Ad-Duali
dengan pernyataan bahwa sesungguhnya orang-orang non Arab itu semakin banyak
telah merusak bahasa orang-orang Arab, maka cobalah anda melakukan suatu hal
untuk memperbaiki bahasa orang itu dan membuat meraka membaca Al-Qur’an dengan
benar, kemudian Abu Aswad menolak permintaan Ziyad. Abu Aswad
akhirnya menerima permintaan Ziyad setelah mendengar seseorang salah dalam
membaca al-Quran (Ahmad Rivauzi, 2015: 67).
Abu aswad menunjuk seorang dari suku al-Qais untuk
membantunya dari 30 orang yang di Ajukan Ziyad. Abu Aswad kemudian
memerintahkan juru tulis itu mengambil mushaf dan Zat pewarna yang berbeda
dengan yang digunakan untuk berpesan kepada stafnya itu:” jika kau lihat
bibirku terbuka waktu menyebut huruf bersuara a (fatah) letakanlah satu titik
diatasnya, dan jika kesuan bibirku agak terkatup (bersuara i) letakkanlah satu
titik di bawahnya, jika bibirku mencuat kemuka (bersuara u) maka letakkanlah
satu titik ditengah huruf dan jika bibirku bersuara (Ghunnah) letakkanlah dua
titik diatasnya”. Sementara itu Abu Aswat membaca Al-Qur’an dengan perlahan dan
stafnya pun sibuk bekerja sesuai dengan perintanya. Apabila mereka mendapatkan
salah satu huruf halaq, mereka
melatakkan salah satu titik lebih tinggi dari pada yang lain, sebagai tanda
suara (nun) jelas, jika tidak jelas mereka meletakkan disamping, sebagai
tanda apabila suara (nun) tidak terdengar (tersembunyi). Dan setiap kali
usai satu halaman, Abu Aswad pun memeriksanya kembali sebelum melanjutkan
kehalaman berikutnya (Ahmad Rivauzi, 2015: 67-68).
Sumber:
Ahmad Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman:
Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang
Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, (Ciputat: Sakata Cendikia, 2015), Cet.
I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar