Minggu, 15 Juli 2018

MAKNA BATIN YANG TERKANDUNG DALAM IBADAH HAJI


MAKNA BATIN YANG TERKANDUNG DALAM IBADAH HAJI
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA
            Menurut Ary Ginanjar (2001: 262-363), ibadah haji merupakan suatu lambang dari puncak ketangguhan pribadi dan puncak ketangguhan sosial. Secara prinsip, haji merupakan suatu konsep berfikir yang berpusat kepada Allah Yang Maha Esa. Haji mengajarkan makna membangun kesadaran diri dan suara hati yang berpusat kepada Allah. Haji merupakan simbol dari lingkaran kehidupan manusia yang diawali dengan kelahiran yang fithrah, dan diakhiri dengan kematian yang fithrah juga. Hasil akhir dari ibadah haji adalah suatu potret yang jelas dan kongkret tentang impian manusia yang sesungguhnya, yaitu suatu idealisme prinsip dan idealisme praktis (Ahmad Rivauzi, 2015:158).
            Ali Shariati (2002:9) menggambarkan haji sebagai cerminan kepulangan manusia kepada fithrah Allah. Pulang kepada Allah adalah sebuah gerakan menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan, dan nilai-nilai. Menurut Shariati (2002: 100-102) sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015:159), ibadah haji dan ritual-ritual yang terdapat di dalamnya pada dasarnya adalah isyarat-isyarat dan lambang-lambang, sehingga yang paling utama diperhatikan oleh jama’ah haji di samping melakukan upacara ritual adalah berkonsentrasi kepada makna-makna dari semua yang dilakukan dalam haji.  Jika seseorang tidak menyadari esensi ibadah haji yang dilakukannya tidak akan berfaedah dan sekembalinya dari Makkah yang dibawanya hanyalah jiwa yang kosong dan koper-koper yang penuh dendan cendra mata. Sehingga ketika melakukan ibadah haji, maka makna yang harus diperhatikan di dalamnya adalah:
ü  Menyatakan tauhid dengan melakukan thawaf
ü  Mengulangi perjuangan Hajar dengan sa’i
ü  Menunjukkan kejatuhan Adam dari Sorga dengan meninggalkan Ka’bah menuju ‘Arafah
ü  Menyelami filsafat penciptaan manusia, evolusi pemikiran dari sains murni (pengetahuan) menjadi cinta murni (kesadaran ruhani), dan kenaikan manusia dari lumpur menuju Allah, dengan meninggalkan ‘Arafah dan pergi ke Mina.
ü  Memainkan peran Ibrahim dalam berkorban.
            Selanjtnya secara lebih luas, Ali Shariati (2002) dikutip Ahmad Rivauzi (2015:  159-166) mengungkapkan makna dalam dari ibadah haji. Berikut di bawah dipaparkan rahasia makna yang terkandung dalam ritual-ritual ibadah haji dan hal-hal yang berhubungan dengan haji yang disarikan dari tulisan Ali Shariati dalam bukunya Haji dan merujuk kepada tulisan Ahmad Rivauzi (2015:  159-166) sebagai berikut:
1.     Ibadah haji berawal dari miqat .
            Di miqat ini manusia harus mengganti pakaian. Pakaian adalah simbol dari sesuatu yang menutupi diri dan watak manusia. pakaian melambangkan pola, preferensi, status, perbedaan-perbedaan. Pakaian menciptakan batas antara setiap pribadi manusia dengan keakuannya. Mengganti pakaian dengan pakaian ihram, seseorang melepaskan keakuannya dan melebur laksana menjadi setetes air yang melebur ke tengah lautan. Setiap orang yang berhaji, berpaling dari dirinya dan menghadap kepada Allah (Ahmad Rivauzi, 2015: 160).
Di miqat, seorang yang berhaji harus menegaskan niat. Hal-hal yang perlu ditegaskan dalam niat adalah membangun kesadaran meninggalkan rumah untuk menuju rumah ummat manusia; meninggalkan hidup untuk meraih cinta, meninggalkan keakuan untuk berserah diri kepada Allah, meninggalkan penghambaan diri kepada makhluk untuk kemerdekaan dengan cara menghambakan diri semata kepada Allah, meninggalkan diskriminasi rasial untuk persamaan, ketulusan, kebenaran, meninggalkan pakaian kesombongan dan menggantinya dengan kesucian ihram, meninggalkan kebiaasaan mementingkan diri sendiri untuk menjadi hidup yang penuh bakti dan tanggung jawab (Ahmad Rivauzi, 2015: 160).
Di miqat ini juga seseorang harus melakukan menunajat. Dalam munajat ini, sebaiknya seorang yang berhaji bermunajat dan berkata-kata dengan Allah dengan munjah:
“Ya Allah, aku tidak lagi menyembah berhala-berhala keduniawian, aku juga tidak lagi menghambakan diri kepada manusia lain. Aku berhadap kepada-Mu sebagai laksana Ibrahim hamba-Mu dengan memakai pakaian yang sama dengan pakaian yang nanti akan dipakai ketika menghadap-Mu”.
2.    Ka’bah dan Thawaf
            Dalam kegiatan haji, Ka’bah dikelilingi oleh lautan manusia. Ka’bah laksana matahari yang merupakan pusat dari sistem tata surya dan manusia yang mengelilingi laksana planet dan bintang-bintang yang mengelilinginya. Ka’bah melambangkan keabadian Allah, sedangkan manusia yang berbondong-bondong merupakan lambang aktivitas dan transisi makhluk-makhluk ciptaan-Nya (Shariati, 2002). Kegiatan thawaf mengelilingi Ka’bah mengandung makna simbol aktivitas gerak, keteraturan, semangat juang yang berbasis kepada tauhid (Ahmad Rivauzi, 2015: 161).
3.    Sa’i
            Sa’i adalah berlalri-lari kecil dari bukit safa ke marwa. Kegiatan sa’i mengajarkan kepada manusia untuk menauladani Siti Hajar dan berperan sebagai Siti Hajar. Sa’i adalah simbol perjuangan untuk mencari air kehidupan. Sa’i juga mengajarkan kepada manusia untuk tidak berpangku tangan, namun berjuang dan berlari untuk mencapai dan mencari sesuatu yaitu air. Ali Shariati (2002) memaknai sa’i sebagai simbol kebutuhan alam material, air adalah sumber kehidupan alam material.  Perjuangan mencari air ini bukan untuk diri sendiri, namun perjuangan cinta untuk Ismael (Ahmad Rivauzi, 2015: 161).
4.    Arafah
            Arafah adalah sebuah padang perkumpulan tempat Nabi Adam dan Hawa dipertemukan oleh Allah setelah mereka diturunkan ke dunia. Arafah mengandung makna pengetahuan. Waktu wuqufnya jamaah haji dilakukan mulai dari siang hari sampai tergelincir matahari pada tanggal 9 Zulhijjah. Hal ini menurut Shariati mengisyaratkan sebuah makna pengetahuan. Pengetahuan membutuhkan cahaya di luar diri agar manusia dapat mengenali realitas objektif (Ahmad Rivauzi, 2015: 161).
5.    Masy’ar Haram, Mina, dan Jumrah
            Setelah matahari tergelincir, jamaah haji meninggalkan ‘arafah menuju masy’ar. Jika wuquf dilakukan di siang hari yang merupakan lambang dari pengetahuan, maka masy’ar dilakukan di malam sehingga ia memiliki makna simbolik yaitu kesadaran. Jika ‘arafah merupakan tahap pengalaman objektivitas pengetahuan, maka masy’ar adalah tahap wawasan subjektivitas. Arafah adalah tahap pemikiran yang bersih, masy’ar adalah saat untuk membangun kesadaran intuitif yang dipenuhi oleh tanggung jawab, kesucian, keshalehan. Shariati menggambarkan kesadaran tersebut laksana cahaya hikmah yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang dirahmati-Nya. Untuk membangun kesadaran, seseorang tidak membutuhkan cahaya matahari, karena yang dibutuhkan adalah cahaya ruhani yang diberikan Allah ke dalam diri manusia(Ahmad Rivauzi, 2015: 162).
            Saat bermalam di Masy’ar al-Haram, jama’ah haji laksana sepasukan besar tentara Allah. Masy’ar adalah tempat dan waktu yang digunakan oleh jamaah haji sebagai tentara Allah untuk merenung dan ibadah, membangun semangat dan kesadaran sebagai hamba dan sekaligus sebagai pejuang karena keesokan harinya setelah terbitnya matahari pada tanggal 10 Zulhijjah, semua jamaah haji akan bertolak ke mina untuk melontar jumrah yang merupakan lambang dari musuh Allah. Dalam hal ini, jamaah haji harus mempersiapkan kerikil sebagai senjata untuk berperang di mina yang dilambangkan dengan pelontaran jumrah. Jumrah adalah batu atau patung yang menjadi lambang keberhalaan dan syetan atau simbol dari musuh-musuh Allah atau semua hal yang menggelincirkan manusia untuk menjauh dari Allah (Ahmad Rivauzi, 2015: 162).
            Tiga jumrah yang terdapat di Mina merupakan lambang dari syetan yang telah berusaha untuk memperdaya Ibrahim. Shariati juga menjelaskan bahwa pada dasarnya setiap manusia juga harus menempuh tiga tahap sebelum ia mampu membebaskan dirinya dari segala macam perbudakan dan penghambaan kepada selain Allah. Tiga tahapan tersebut adalah, seseorang harus membuang ketamakan, mengalahkan sifat kebinatangan (berorintasi pada diri sendiri dan mementingkan diri sendiri), dan selanjutnya naik ke tingkat maqam Ibrahim dengan melakukan setiap sesuatu demi Allah (Shariati, 2002: 122). 
            Tiga berhala di Mina juga melambangkan trinitas. Menurur Shariati, pada dasarnya sejarah manusia menggambarkan bahwa monotheisme (tauhid) adalah asal semua agama, tetapi sistem-sistem sosial mengubah monoteheisme menjadi politheisme (syirik). Sejarah umat manusia menjelaskan bahwa manusia pertama Adam mengajarkan ketauhidan. Selanjutnya Kabil mengganti ketauhidan kepada Syirik. Kabil membunuh adiknya Habil karena ketamakan dan kecintaan pada kehendak syahwati. Dalam perkembangan sejarah manusia, Kabil menampilkan wajahnya ke dalam tiga wajah. Firaun sebagai simbol kekuasaan, Karun sebagai simbol kekayaan, dan Balam sebagai simbol kecerdikan kemunafikan (Shariati, 2002: 124). Tiga wajah dan tiga kekuatan ini sering menjadi berhala bagi umat manusia dan menghalangi manusia untuk bertauhid kepada Allah (Ahmad Rivauzi, 2015: 163).
            Shariati (2002: 141) mengungkapkan, pada tanggal 10 Zulhijjah ini, jama’ah Haji melakukan pelontaran jumrah ‘aqabah dengan tujuh lemparan. Hal ini melambangkan sebagai jalan untuk melakukan pengorbanan (menjadi Ibrahim). Setelah itu, jama’ah haji boleh membuka pakaian ihram dan merayakan kemenangan. Pada hari kedua pelemparan jumrah dilanjutkan, tetapi harus melempari tiga jumrah; pertama, wustha, dan ‘aqabah dan dilanjutkan pada hari ke tiga. Pada hari ke empat (13 Zulhijjah), jamah haji boleh memilih antara meninggalkan Mina atau tetap,. Jika jamaah haji memilih tetap di Mina, maka pelontaran jumrah harus tetap dilanjutkan seperti pada hari ke dua dan hari ke tiga. Ini mengandung makna; pada 10 Zulhijjah, jama’ah haji naik ke tingkat Ibrahim yang memperoleh keberanian dan keyakinan untuk mengorbankan Ismael dengan mengalahkan syethan di basis kekuatannya yang terakhir di dalam penyerangan jumrah ‘aqabah, terus berkorban, menanggalkan pakaian ihram, dan keluar sebagai pemenang. Namun jama’ah haji harus tetap tinggal di Mina sampai pada tanggal 13 Zulhijjah untuk melanjutkan penyerangan dan pelemparan terhadap tiga jumrah. Hal ini bermakna, walaupun syetan telah kalah, namun syetan tetap hidup dan perjuangan mengalahkan syetan harus tetap dilanjutkan (Ahmad Rivauzi, 2015: 163-164).
6.    Berkorban
            Ali Shariati (2002: 101-102) menguraikan, dahulu Ibrahim membawa putranya Ismael untuk dikorbankan di Mina. Dan pada dasarnya semua manusia juga memiliki ismael-ismaelnya masing-masing. Jika bagi Ibrahim ismaelnya adalah putranya dan kelemahan Ibrahim adalah kecintaannya terhadap putranya yang sudah sangat didambakannya kehadiran sampai tuanya. Maka bagi manusia yang lain ismaelnya boleh jadi kedudukannya atau pangkat, harga dirinya, profesinya, uang, rumah, kebun, mobil, cinta, keluarga, pengetahuan, kelas sosial, seni, pakaian, nama, hidup, kekuasaan, keelokan paras, dan banyak lagi yang lainnya. Bagimanakah seseorang mengetahui siapa dan apa ismaelnya? Ismael manusia adalah setiap sesuatu yang melemahkan iman, setiap sesuatu yang menghalangi perjalanan menuju Allah, setiap sesuatu yang membuat umat manusia enggan untuk menerima tanggung jawab, setiap sesuatu yang membuat manusia memikirkan dirinya sendiri, setiap sesuatu yang membuat manusia tidak mau atau menjadikan seseorang enggan mendengarkan dan menjalankan perintah Allah, setiap sesuatu yang membutakan mata dan hatinya            Shariati (2002) menyatakan, dalam kisah Ibrahim terdapat pelajaran yang sangat berharga, selama dua hari Ibrahim terombang ambing dalam keraguan untuk mengorbankan putranya. Dia bimbang untuk mematuhi perintah Allah yang diterimanya melalui mimpi, dan syetan selalu berusaha membisikkan keragua-raguan pada Ibrahim sehingga kecintaan Ibrahim pada anaknya semakin bertambah. Pada hari ketiga Ibrahim baru memperoleh keyakian yang kokoh dan memutuskan untuk mengorbankan putranya. Dia mulai mendialogkannya dengan putranya dan Ismael dengan kesantunan dan keimanannya yang juga kokoh kepada Allah mengikhlaskan dirinya untuk dikorbankan demi mematuhi perintah Allah (Ahmad Rivauzi, 2015: 163-164-165).
            Pada saat yang mencekampun datang, Ibrahim menggandeng tangan Ismael dengan tangan kirinya, pisau tajam di tangan kanannya, menyuruh anaknya untuk berbaring di tanah, Ibrahim menginjak tangan dan kaki anaknya, dan dengan menjambak rambut anaknya mendongakkan kepalanya agar urat-urat nadi di lehernya terlihat. Dengan nama Allah Ibrahim menaroh pisau di leher anaknya dan ia berusaha menyemblih anaknya secepat mungkin. Namun sebuah keajaiban terjadi, pisau Ibrahim tidak dapat melukai leher Ibrahim. Dengan kesal Ibrahim melemparkan pisaunya dan kemudian mengambilnya lagi karena kecintaannya untuk melaksanakan perintah Allah. Namun sebelum pisau Ibrahim menyentuh Ismael, tiba-tiba muncullah seekor domba yang disertai dengan seruan: “Wahai Ibrahim! Sesungguhnya Allah tidak menghendaki agar engkau mengorbankan Ismael. Inilah seeokor domba sebagai tebusannya. Engkau telah melaksanakan perintah! Sesungguhnya Allah adalah Maha Besar!” (Ahmad Rivauzi, 2015: 165).
            Dalam berkorban ini juga mengandung makna yang dalam. Berkorban berarti membunuh sifat kebinatangan. Bagi jama’ah haji, berkorban merupakan proklamasi untuk merealisasikan pesan suci dalam berkorban yaitu menjadikan kehidupannya bermamfaat untuk umat manusia (Ahmad Rivauzi, 2015: 165-166). Hal ini terisyarat dalam firman Allah:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
supaya mereka menyaksikan berbagai manfa`at bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. (QS. Al-Hajj, 22:28)
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi`ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur. (QS. Al-Hajj,
Sumber:
Ahmad Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman: Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, (Ciputat: Sakata Cendikia, 2015), Cet. I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar