MAKNA
BATIN YANG TERKANDUNG DALAM IBADAH HAJI
Oleh:
Dr. Ahmad Rivauzi, MA
Menurut Ary Ginanjar (2001: 262-363),
ibadah haji merupakan suatu lambang dari puncak ketangguhan pribadi dan puncak
ketangguhan sosial. Secara prinsip, haji merupakan suatu konsep berfikir yang
berpusat kepada Allah Yang Maha Esa. Haji mengajarkan makna membangun kesadaran
diri dan suara hati yang berpusat kepada Allah. Haji merupakan simbol dari
lingkaran kehidupan manusia yang diawali dengan kelahiran yang fithrah, dan
diakhiri dengan kematian yang fithrah juga. Hasil akhir dari ibadah haji adalah
suatu potret yang jelas dan kongkret tentang impian manusia yang sesungguhnya,
yaitu suatu idealisme prinsip dan idealisme praktis
(Ahmad Rivauzi, 2015:158).
Ali Shariati (2002:9) menggambarkan
haji sebagai cerminan kepulangan manusia kepada fithrah Allah. Pulang kepada
Allah adalah sebuah gerakan menuju kesempurnaan, kebaikan, keindahan, kekuatan,
pengetahuan, dan nilai-nilai. Menurut Shariati (2002: 100-102) sebagaimana
dikutip Ahmad Rivauzi (2015:159), ibadah haji dan ritual-ritual yang terdapat
di dalamnya pada dasarnya adalah isyarat-isyarat dan lambang-lambang, sehingga
yang paling utama diperhatikan oleh jama’ah haji di samping melakukan upacara
ritual adalah berkonsentrasi kepada makna-makna dari semua yang dilakukan dalam
haji. Jika seseorang tidak menyadari
esensi ibadah haji yang dilakukannya tidak akan berfaedah dan sekembalinya dari
Makkah yang dibawanya hanyalah jiwa yang kosong dan koper-koper yang penuh
dendan cendra mata. Sehingga ketika melakukan ibadah haji, maka makna yang
harus diperhatikan di dalamnya adalah:
ü Menyatakan
tauhid dengan melakukan thawaf
ü Mengulangi
perjuangan Hajar dengan sa’i
ü Menunjukkan
kejatuhan Adam dari Sorga dengan meninggalkan Ka’bah menuju ‘Arafah
ü Menyelami
filsafat penciptaan manusia, evolusi pemikiran dari sains murni (pengetahuan)
menjadi cinta murni (kesadaran ruhani), dan kenaikan manusia dari lumpur menuju
Allah, dengan meninggalkan ‘Arafah dan pergi ke Mina.
ü Memainkan
peran Ibrahim dalam berkorban.
Selanjtnya secara lebih luas, Ali
Shariati (2002) dikutip Ahmad Rivauzi (2015: 159-166) mengungkapkan makna dalam dari ibadah haji.
Berikut di bawah dipaparkan rahasia makna yang terkandung dalam ritual-ritual ibadah
haji dan hal-hal yang berhubungan dengan haji yang disarikan dari tulisan Ali
Shariati dalam bukunya Haji dan merujuk kepada tulisan Ahmad Rivauzi
(2015: 159-166) sebagai berikut:
1. Ibadah
haji berawal dari miqat .
Di miqat ini manusia harus mengganti
pakaian. Pakaian adalah simbol dari sesuatu yang menutupi diri dan watak
manusia. pakaian melambangkan pola, preferensi, status, perbedaan-perbedaan.
Pakaian menciptakan batas antara setiap pribadi manusia dengan keakuannya.
Mengganti pakaian dengan pakaian ihram, seseorang melepaskan keakuannya dan
melebur laksana menjadi setetes air yang melebur ke tengah lautan. Setiap orang
yang berhaji, berpaling dari dirinya dan menghadap kepada Allah
(Ahmad Rivauzi, 2015: 160).
Di miqat, seorang yang berhaji harus menegaskan
niat. Hal-hal yang perlu ditegaskan dalam niat adalah membangun kesadaran
meninggalkan rumah untuk menuju rumah ummat manusia; meninggalkan hidup untuk
meraih cinta, meninggalkan keakuan untuk berserah diri kepada Allah,
meninggalkan penghambaan diri kepada makhluk untuk kemerdekaan dengan cara
menghambakan diri semata kepada Allah, meninggalkan diskriminasi rasial untuk
persamaan, ketulusan, kebenaran, meninggalkan pakaian kesombongan dan
menggantinya dengan kesucian ihram, meninggalkan kebiaasaan mementingkan diri
sendiri untuk menjadi hidup yang penuh bakti dan tanggung jawab (Ahmad Rivauzi,
2015: 160).
Di miqat ini juga seseorang harus melakukan
menunajat. Dalam munajat ini, sebaiknya seorang yang berhaji bermunajat dan
berkata-kata dengan Allah dengan munjah:
“Ya
Allah, aku tidak lagi menyembah berhala-berhala keduniawian, aku juga tidak
lagi menghambakan diri kepada manusia lain. Aku berhadap kepada-Mu sebagai
laksana Ibrahim hamba-Mu dengan memakai pakaian yang sama dengan pakaian yang
nanti akan dipakai ketika menghadap-Mu”.
2. Ka’bah
dan Thawaf
Dalam kegiatan haji, Ka’bah
dikelilingi oleh lautan manusia. Ka’bah laksana matahari yang merupakan pusat
dari sistem tata surya dan manusia yang mengelilingi laksana planet dan
bintang-bintang yang mengelilinginya. Ka’bah melambangkan keabadian Allah,
sedangkan manusia yang berbondong-bondong merupakan lambang aktivitas dan
transisi makhluk-makhluk ciptaan-Nya (Shariati, 2002). Kegiatan thawaf
mengelilingi Ka’bah mengandung makna simbol aktivitas gerak, keteraturan, semangat
juang yang berbasis kepada tauhid (Ahmad Rivauzi, 2015:
161).
3. Sa’i
Sa’i adalah berlalri-lari kecil dari
bukit safa ke marwa. Kegiatan sa’i mengajarkan kepada manusia untuk menauladani
Siti Hajar dan berperan sebagai Siti Hajar. Sa’i adalah simbol perjuangan untuk
mencari air kehidupan. Sa’i juga mengajarkan kepada manusia untuk tidak
berpangku tangan, namun berjuang dan berlari untuk mencapai dan mencari sesuatu
yaitu air. Ali Shariati (2002) memaknai sa’i sebagai simbol kebutuhan alam
material, air adalah sumber kehidupan alam material. Perjuangan mencari air ini bukan untuk diri
sendiri, namun perjuangan cinta untuk Ismael (Ahmad
Rivauzi, 2015: 161).
4. Arafah
Arafah adalah sebuah padang
perkumpulan tempat Nabi Adam dan Hawa dipertemukan oleh Allah setelah mereka
diturunkan ke dunia. Arafah mengandung makna pengetahuan. Waktu wuqufnya jamaah
haji dilakukan mulai dari siang hari sampai tergelincir matahari pada tanggal 9
Zulhijjah. Hal ini menurut Shariati mengisyaratkan sebuah makna pengetahuan. Pengetahuan
membutuhkan cahaya di luar diri agar manusia dapat mengenali realitas objektif (Ahmad Rivauzi, 2015: 161).
5. Masy’ar
Haram, Mina, dan Jumrah
Setelah
matahari tergelincir, jamaah haji meninggalkan ‘arafah menuju masy’ar. Jika
wuquf dilakukan di siang hari yang merupakan lambang dari pengetahuan, maka masy’ar
dilakukan di malam sehingga ia memiliki makna simbolik yaitu kesadaran. Jika
‘arafah merupakan tahap pengalaman objektivitas pengetahuan, maka masy’ar
adalah tahap wawasan subjektivitas. Arafah adalah tahap pemikiran yang bersih,
masy’ar adalah saat untuk membangun kesadaran intuitif yang dipenuhi oleh
tanggung jawab, kesucian, keshalehan. Shariati menggambarkan kesadaran tersebut
laksana cahaya hikmah yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang
dirahmati-Nya. Untuk membangun kesadaran, seseorang tidak membutuhkan cahaya
matahari, karena yang dibutuhkan adalah cahaya ruhani yang diberikan Allah ke
dalam diri manusia(Ahmad Rivauzi, 2015: 162).
Saat bermalam di Masy’ar al-Haram,
jama’ah haji laksana sepasukan besar tentara Allah. Masy’ar adalah tempat dan
waktu yang digunakan oleh jamaah haji sebagai tentara Allah untuk merenung dan
ibadah, membangun semangat dan kesadaran sebagai hamba dan sekaligus sebagai
pejuang karena keesokan harinya setelah terbitnya matahari pada tanggal 10 Zulhijjah,
semua jamaah haji akan bertolak ke mina untuk melontar jumrah yang merupakan
lambang dari musuh Allah. Dalam hal ini, jamaah haji harus mempersiapkan
kerikil sebagai senjata untuk berperang di mina yang dilambangkan dengan
pelontaran jumrah. Jumrah adalah batu atau patung yang menjadi lambang
keberhalaan dan syetan atau simbol dari musuh-musuh Allah atau semua hal yang
menggelincirkan manusia untuk menjauh dari Allah (Ahmad Rivauzi, 2015: 162).
Tiga jumrah yang terdapat di Mina
merupakan lambang dari syetan yang telah berusaha untuk memperdaya Ibrahim.
Shariati juga menjelaskan bahwa pada dasarnya setiap manusia juga harus
menempuh tiga tahap sebelum ia mampu membebaskan dirinya dari segala macam
perbudakan dan penghambaan kepada selain Allah. Tiga tahapan tersebut adalah,
seseorang harus membuang ketamakan, mengalahkan sifat kebinatangan (berorintasi
pada diri sendiri dan mementingkan diri sendiri), dan selanjutnya naik ke
tingkat maqam Ibrahim dengan melakukan setiap sesuatu demi Allah (Shariati,
2002: 122).
Tiga berhala di Mina juga
melambangkan trinitas. Menurur Shariati, pada dasarnya sejarah manusia
menggambarkan bahwa monotheisme (tauhid) adalah asal semua agama, tetapi
sistem-sistem sosial mengubah monoteheisme menjadi politheisme (syirik).
Sejarah umat manusia menjelaskan bahwa manusia pertama Adam mengajarkan
ketauhidan. Selanjutnya Kabil mengganti ketauhidan kepada Syirik. Kabil
membunuh adiknya Habil karena ketamakan dan kecintaan pada kehendak syahwati.
Dalam perkembangan sejarah manusia, Kabil menampilkan wajahnya ke dalam tiga
wajah. Firaun sebagai simbol kekuasaan, Karun sebagai simbol kekayaan, dan
Balam sebagai simbol kecerdikan kemunafikan (Shariati, 2002: 124). Tiga wajah
dan tiga kekuatan ini sering menjadi berhala bagi umat manusia dan menghalangi
manusia untuk bertauhid kepada Allah (Ahmad Rivauzi, 2015:
163).
Shariati (2002: 141) mengungkapkan,
pada tanggal 10 Zulhijjah ini, jama’ah Haji melakukan pelontaran jumrah ‘aqabah
dengan tujuh lemparan. Hal ini melambangkan sebagai jalan untuk melakukan
pengorbanan (menjadi Ibrahim). Setelah itu, jama’ah haji boleh membuka pakaian
ihram dan merayakan kemenangan. Pada hari kedua pelemparan jumrah dilanjutkan,
tetapi harus melempari tiga jumrah; pertama, wustha, dan ‘aqabah dan
dilanjutkan pada hari ke tiga. Pada hari ke empat (13 Zulhijjah), jamah haji
boleh memilih antara meninggalkan Mina atau tetap,. Jika jamaah haji memilih
tetap di Mina, maka pelontaran jumrah harus tetap dilanjutkan seperti pada hari
ke dua dan hari ke tiga. Ini mengandung makna; pada 10 Zulhijjah, jama’ah haji
naik ke tingkat Ibrahim yang memperoleh keberanian dan keyakinan untuk
mengorbankan Ismael dengan mengalahkan syethan di basis kekuatannya yang
terakhir di dalam penyerangan jumrah ‘aqabah, terus berkorban, menanggalkan
pakaian ihram, dan keluar sebagai pemenang. Namun jama’ah haji harus tetap tinggal
di Mina sampai pada tanggal 13 Zulhijjah untuk melanjutkan penyerangan dan
pelemparan terhadap tiga jumrah. Hal ini bermakna, walaupun syetan telah kalah,
namun syetan tetap hidup dan perjuangan mengalahkan syetan harus tetap
dilanjutkan (Ahmad Rivauzi, 2015: 163-164).
6. Berkorban
Ali Shariati (2002: 101-102)
menguraikan, dahulu
Ibrahim membawa putranya Ismael untuk dikorbankan di Mina. Dan pada dasarnya
semua manusia juga memiliki ismael-ismaelnya masing-masing. Jika bagi Ibrahim
ismaelnya adalah putranya dan kelemahan Ibrahim adalah kecintaannya terhadap
putranya yang sudah sangat didambakannya kehadiran sampai tuanya. Maka bagi
manusia yang lain ismaelnya boleh jadi kedudukannya atau pangkat, harga
dirinya, profesinya, uang, rumah, kebun, mobil, cinta, keluarga, pengetahuan,
kelas sosial, seni, pakaian, nama, hidup, kekuasaan, keelokan paras, dan banyak
lagi yang lainnya. Bagimanakah seseorang mengetahui siapa dan apa ismaelnya?
Ismael manusia adalah setiap sesuatu yang melemahkan iman, setiap sesuatu yang
menghalangi perjalanan menuju Allah, setiap sesuatu yang membuat umat manusia
enggan untuk menerima tanggung jawab, setiap sesuatu yang membuat manusia
memikirkan dirinya sendiri, setiap sesuatu yang membuat manusia tidak mau atau
menjadikan seseorang enggan mendengarkan dan menjalankan perintah Allah, setiap
sesuatu yang membutakan mata dan hatinya Shariati
(2002) menyatakan, dalam kisah Ibrahim terdapat pelajaran yang sangat berharga,
selama dua hari Ibrahim terombang ambing dalam keraguan untuk mengorbankan
putranya. Dia bimbang untuk mematuhi perintah Allah yang diterimanya melalui
mimpi, dan syetan selalu berusaha membisikkan keragua-raguan pada Ibrahim
sehingga kecintaan Ibrahim pada anaknya semakin bertambah. Pada hari ketiga
Ibrahim baru memperoleh keyakian yang kokoh dan memutuskan untuk mengorbankan
putranya. Dia mulai mendialogkannya dengan putranya dan Ismael dengan
kesantunan dan keimanannya yang juga kokoh kepada Allah mengikhlaskan dirinya
untuk dikorbankan demi mematuhi perintah Allah (Ahmad Rivauzi, 2015: 163-164-165).
Pada saat yang mencekampun datang,
Ibrahim menggandeng tangan Ismael dengan tangan kirinya, pisau tajam di tangan
kanannya, menyuruh anaknya untuk berbaring di tanah, Ibrahim menginjak tangan
dan kaki anaknya, dan dengan menjambak rambut anaknya mendongakkan kepalanya
agar urat-urat nadi di lehernya terlihat. Dengan nama Allah Ibrahim menaroh
pisau di leher anaknya dan ia berusaha menyemblih anaknya secepat mungkin.
Namun sebuah keajaiban terjadi, pisau Ibrahim tidak dapat melukai leher
Ibrahim. Dengan kesal Ibrahim melemparkan pisaunya dan kemudian mengambilnya
lagi karena kecintaannya untuk melaksanakan perintah Allah. Namun sebelum pisau
Ibrahim menyentuh Ismael, tiba-tiba muncullah seekor domba yang disertai dengan
seruan: “Wahai Ibrahim! Sesungguhnya Allah tidak menghendaki agar engkau
mengorbankan Ismael. Inilah seeokor domba sebagai tebusannya. Engkau telah
melaksanakan perintah! Sesungguhnya Allah adalah Maha Besar!” (Ahmad Rivauzi,
2015: 165).
Dalam
berkorban ini juga mengandung makna yang dalam. Berkorban berarti membunuh
sifat kebinatangan. Bagi jama’ah haji, berkorban merupakan proklamasi untuk
merealisasikan pesan suci dalam berkorban yaitu menjadikan kehidupannya
bermamfaat untuk umat manusia (Ahmad Rivauzi, 2015: 165-166). Hal ini
terisyarat dalam firman Allah:
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ
مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا
وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
supaya mereka menyaksikan berbagai manfa`at
bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah
ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang
ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah
untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. (QS. Al-Hajj, 22:28)
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُم مِّن شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا
خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا
لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu
sebahagian dari syi`ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya,
maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan
berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah
sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya
(yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah
menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur. (QS.
Al-Hajj,
Sumber:
Ahmad
Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman: Memahami Universalitas Islam untuk
Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin,
(Ciputat: Sakata Cendikia, 2015), Cet. I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar