ZAKAT PROFESI
Oleh: Dr. Ahmad
Rivauzi, MA
A. Pendahuluan
Zakat profesi termasuk zakat yang banyak diperselisihkan oleh para ulama di
masa sekarang, baik tentang keberadaannya atau pun tentang aturan-aturan dan
berbagai ketentuannya. Para ulama fikih terutama ulama-ulama mazhab yang empat;
Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Hanbali serta ulama-ulama fikih pada
kitab-kitab fikih klasik mereka tidak atau belum membahas tentang hukum dari zakat
profesi. Zakat ini baru diwacanakan di zaman modern.
Yusuf Al-Qaradawi dalam kitab Fiqhu az-Zakah-nya dan Wahbah
Az-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, menyebut zakat
profesi dan zakat penghasilan dengan istilah zakatu kasb al-amal wa al-mihan
al- hurrah (زكاةُ كَسْبِ العَمَلِ والمـهَنِ الحُرَّةِ),
Dalam prakteknya, zakat profesi sering diwajibkan oleh instansi-instansi
tertentu yang diambil dari potongan gaji pegawai dan karyawannya ketika
seseorang menerima gaji atau upah, tanpa memperhatikan nishab dan haul,
sehingga dalam pelaksanaannya, zakat ini menjadi unik dan sering dipersoalkan oleh sebagian ulama.
Para penentang keberadaan zakat profesi adalah para ulama bahkan dari segi
jumlah, kalau dibandingkan dengan jumlah ulama yang mendukung, jumlah mereka
yang menentang jauh lebih banyak. Ulama yang menentang zakat profesi, selalu
mempersoalkan dan mempertanyakan dalil yang digunakan oleh oleh pendukung
kewajiban zakat profesi, juga mengkritik teknis pelaksanaannya yang rancu.
Karena prinsip ketentuan dasar dan di antara syarat-syarat harta yang wajib
dizakati selain dari harta hasil pertanian dan barang tambang (rikaz) adalah harus
sampai nisabnya dan sampai masa kepemilikan selama satu tahun, yang dikenal
dengan istilah haul.
Dalil berikutnya dari mereka yang menentang keberadaan zakat
profesi adalah bahwa zakat merupakan ibadah mahdhah yang segala
ketentuan dan aturannya wajib merujuk kepada ketentuan dan aturan yang
ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. Kalau ada dalil yang pasti, maka
barulah zakat itu dikeluarkan, sebaliknya bila tidak ada dalilnya, maka
kewajiban zakat tidak boleh dibuat-buat. Prinsipnya, selama tidak ada nash
al-Quran dan nash dari Rasulullah SAW, maka manusia tidak punya wewenang untuk
membuat jenis zakat baru. Meski demikian, para ulama ini bukan menghalangi
orang yang ingin bersedekah atau berinfaq. Hanya yang perlu dipahami, mereka
menolak bila hal itu dimasukkan ke dalam bab zakat, sebab zakat itu sudah punya
aturan yang jelas. Jika ada misalnya, para artis, atlet, dokter, lawyer
atau pegawai, ingin menyisihkan gajinya sebesar 2,5 % per bulan, tentu bukan
hal yang diharamkan, sebaliknya justru sangat dianjurkan, namun namanya bukan
zakat wajib, tetapi sebatas infaq atau shadaqah sunnah saja.
Ulama yang menentang keberadaan zakat profesi juga berargumen, bahwa
selama nyaris 14 abad tidak ada satu pun ulama yang berupaya
melakukan 'penciptaan' jenis zakat baru. Padahal sudah beribu bahkan beratus
ribu kitab fiqih ditulis oleh para ulama, namun tidak ada satu pun dari para ulama tersebut yang menuliskan bab khusus tentang zakat profesi di dalam
kitab mereka. Hal ini tentu bukan karena tidak melihat perkembangan zaman,
namun karena mereka memandang bahwa masalah zakat bukan semata-mata mengacu
kepada rasa-rasa, tetapi yang lebih penting dari itu, zakat adalah sebuah
ibadah yang tidak terlepas dari ritual. Sehingga jenis kekayaaan apa saja yang
wajib dizakatkan, harus mengacu kepada nash yang shahih dan kuat dari
Rasulullah SAW. Dan tidak boleh hanya didasarkan pada sekedar sebuah ijtihad
belaka.
Sementara itu, para pendukung wajibnya zakat profesi juga punya alasan
untuk menegakkan pendirian mereka atas zakat profesi. Pada umumnya, para
pendukung berargumen dan berlindung di balik azas keadilan dan realitas, dan
kemudian mensiasati syarat kepemilikan harta yang harus dimiliki setahun dulu
dengan beberapa cara. Para pendukung wajib zakat profesi juga berpijak pada
penggunaan dalil umum tentang wajibnya orang kaya membayar zakat, tanpa harus
mempertimbangkan jenis dan bentuk kekayaannya.
Para pendukung juga berargumen, Allah SWT tidak menetapkan jenis kekayaan
tertentu untuk kewajiban zakat. Pendeknya, kalau seseorang dianggap kaya
dibandingkan dengan orang lain, dia hidup berkecukupkan, lebih dari orang-orang
pada umumnya, maka otomatis dia wajib membayar zakat, jenis harta tidak
dijadikan pertimbangan, karena bisa saja jenis kekayaan tiap orang berbeda-beda
untuk tiap negeri dan tiap zaman. Argumennya juga diperkuat dengan argumentasi,
“kalau ketentuan zakat dipatok harus sejalan dengan zaman Rasulullah SAW, maka
kebanyakan jenis harta yang dimiliki orang kaya di masa sekarang sangat berbeda
dengan jenis harta yang dimiliki orang kaya di masa beliau SAW., dan hal itu
berarti akan ada begitu banyak orang yang kaya di masa sekarang ini yang tidak
terkena beban kewajiban berzakat. Alasannya karena jenis hartanya tidak
memenuhi kriteria sebagaimana di masa Rasulullah SAW. Dan menurut mereka, hal
ini tidak benar dan tidak adil serta tidak masuk akal.
B. Beberapa Permasalahan Pelaksanaan Zakat Profesi
1. Permasalahan Nisab Zakat Profesi
Berpijak kepada keumuman perintah zakat, maka semua bentuk penghasilan
halal selain tanaman dan harta penambangan, dapat dipandang sebagai harta yang
wajib dikeluarkan zakatnya, dengan syarat telah mencapai nishab dan telah
dimiliki selama satu tahun. Dalam hal ini, maka ketentuan nisabnya
berpatokan kepada nisab emas, yaitu 85 gram dan dikeluarkan sebanyak 2,5 %.
Kerancuan pendapat sebagian pendukung zakat profesi menurut mereka yang
menolaknya adalah seperti pendapat ulama yang mengqiyaskan nishab zakat profesi
bukan kepada emas dengan nisab 85 gram, melainkan disamakan kepada zakat hasil
pertanian dengan nisab 653 kg gabah kering atau 520 kg beras. Namun anehnya
justru jumlah yang dikeluarkan sebagai zakatnya memakai ketentuan jumlah kewajiban
zakat emas yang wajib dikeluarkan 2,5 %. Seharusnya, kalau memang zakat profesi
itu nisabnya disamakan dengan hasil pertanian yang wajib dikeluarkan zakatnya
setiap kali panen, maka kadar zakatnya seharusnya 10 % atau 5 % jika pertanian
tersebut tidak diairi dengan mengandalkan air hujan.
2. Permasalahan Haul
MUI tidak
mensyaratkan harus ada masa kepemilikan selama setahun. Pokoknya kalau jumlah
penghasilan itu mencapai nisab emas, maka wajib langsung dikeluarkan zakatnya.
Ini adalah doktrin dasar zakat profesi. Padahal kalau mengacu kepada fiqih
zakat yang original, harta itu harus dimiliki dulu selama setahun penuh (haul)
sejak awal hingga akhir tahun. Kalau belum dimiliki setahun, belum terkena
zakat.
3. Permasalahan Sosial
Munculnya
himbauan kewajiban pemotongan gaji sebagai zakat terhadap pegawai, karyawan dan
lain sebagainya, juga sesungguhnya menyisakan beberapa persoalan. Misalnya,
kebanyakan para pegawai, karyawan dan lainnya jika dilihat dengan kacamata
fikih, justru mereka tidak dapat dikatakan sebagai orang yang layak disebut
sebagai muzakki (orang kaya yang wajib zakat), tetapi justru lebih tepat
disebut sebagai mustahiq zakat (orang yang berhak menerima zakat) karena
demi memenuhi berbagai hajat dan kebutuhan pokok hidupnya, tidak sedikit di
antara para pegawai, karyawan dan lain sebagainya itu terpaksa untuk berhutang
dan dalam keadaan sulit lainnya dalam hal ekonomi, sehingga penghasilan mereka
sudah tidak lagi memenuhi ketentuan nisab harta yang wajib untuk dikeluarkan
zakatnya.
C. Ketentuan Fiqih Tentang Zakat
1.
Pengertian Zakat
Zakat secara bahasa berarti tumbuh dan bertambah (ziyadah) dan juga sering
dikemukakan untuk makna thaharah (suci) (Wahbah Al-Zuhaly, 2005:82).
Zakat adalah hak Allah berupa sesuatu pemberian dari orang yang kaya
kepada orang-orang fakir. Harta itu disebut dengan zakat karena didalamnya
terkandung penyucian jiwa, pengembangannya dengan kebaikan-kebaikan, dan
harapan untuk mendapat berkah. Hal itu dikarenakan asal kata zakat adalah azzakah
yang berarti tumbuh, suci, dan berkah.
Zakat menurut syara’, berarti hak yang wajib (dikeluarkan dari) harta.
Mazhab Maliki mendefinisikannya dengan, “Mengeluarkan sebagian yang khusus dari
harta yang khusus pula yang telah mencapai nishab (batas kuantitas yang mewajibkan
zakat) kepada orang-orang yang berhak menerimanya(mustahiqq). Dengan catatan,
kepemilikan itu penuh mencapai hawl (setahun) dukan barang tambang dan bukan
pertanian.” Mazhab Hanafi mendefinisikan zakat dengan,”Menjadikan sebagaian
harta yang khusus dari harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus, yang
ditentukan oleh syariat karena Allah SWT. Menurut mazhab Syafi’i, zakat adalah
sebuah ungkapan untuk keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan cara
khusus (Sayyid Sabiq, Jilid 2, 2013: 41)
Al-Qur’an memuat banyak ayat yang secara tegas
memerintahkan pelaksanaan zakat. Perintah Allah
SWT tentang zakat tersebut seringkali beriringan
dengan perintah salat. Perintah zakat dalam
Al-Qur’an ditemukan sebanyak 32 kali, 26
kali diantaranya disebutkan bersamaan dengan kata
salat. Hal ini mengisyaratkan bahwa kewajiban
mengeluarkan zakat seperti halnya kewajiban mendirikan salat. Zakat
diwajibkan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad.
Dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an banyak
menggunakan bentuk amar (perintah) atau intruksi
sebagaimana yang terdapat dalam surat At-Taubah ayat 103.
خُذْ مِنْ
أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ
إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah zakat
dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka, dan mendo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi)
ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
2. Syarat Wajib Zakat
Menurut Wahbah az-Zuhailī (1986: 66), syarat zakat adalah:
a.
Syarat zakat yang berhubungan dengan subyek atau pelaku muzakkī (orang
yang terkena wajib zakat) adalah Islam, merdeka, balig dan berakal.
b.
Syarat-syarat yang berhubungan dengan jenis harta (sebagai obyek zakat)
Sayyid Sabiq (2008: 455-456) menjelaskan bahwa zakat diwajibkan kepada
seorang muslim yang merdeka dan memiliki nisab dari segala jenis harta yang
wajib dizakati. Sebuah harta dianggap telah mencapai nisab apabila memenuhi
kriteria sebagai berikut:
a.
Lebih dari kebutuhan pokok, seperti makan, sandang, tempat tinggal,
kendaraan, dan lat-alat kerja
b.
Telah mencapai haul (masa kepemilikan satu (1) tahun hijriyah).
Permulaan tahun dihitung dari hari memiliki nisab dan harus tetap utuh setahun
penuh. Jika di tengah-tengah tahun nisab berkurang, kemudian sempurna lagi,
maka perhitungan haul dimulai lagi dari waktu sempurna setelah berkurang
tersebut. Hal ini sesuai dengan perkataan Imam Nawawi, bahwa Imam
Syafi”i, Malik, Ahmad, dan mayoritas ulama fikih. Hal ini berbeda dengan Imam
Abu Hanifah yang berpendapat bahwa yang dijadikan patokan adalah terpenuhinya
nisab pada awal tahun dan akhir tahun.
Syarat haul ini hanya berlaku untuk jenis harta seperti emas, perak,
dan lainnya selain dari pada zakat pertanian karena waktu zakat pertanian
adalah ketika masa panennya.
Allah berfirman,
وَهُوَ الَّذِي
أَنشَأَ جَنَّاتٍ مَّعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ
مُخْتَلِفاً أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهاً وَغَيْرَ
مُتَشَابِهٍ كُلُواْ مِن ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُواْ حَقَّهُ يَوْمَ
حَصَادِهِ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Dan Dialah yang
menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma,
tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa
(bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang
bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik
hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (QS.
Al-An’am, 6: 141)
Allah berfirman “mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka
nafkahkan”, maka katakanlah: “yang lebih dari keperluan” (QS al Baqarah: 219).
... وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا
يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبيِّنُ اللّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ
تَتَفَكَّرُونَ
... Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah:
"Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,
3. Konsep Dasar Profesi
Menurut fatwa Ulama, hasil Muktamar Internasional Pertama tentang zakat di
Kuwait pada tanggal 29 Rajab 1404 H yang bertepatan dengan tanggal 30 April
1984 M, bahwa kegiatan yang menghasilkan kekayaan bagi manusia sekarang adalah
kegiatan profesi yang menghasilkan amal yang bermanfaat, baik dilakukan sendiri,
maupun bersama-sama semuanya itu menghasilkan pendapatan atau gaji. Kekayaan
tersebut apabila telah mencukupi nisabnya wajib dizakatkan. Namanya zakat
profesi.
Wahbah al-Zuhaili menyatakan bahwa kegiatan penghasilan atau
pendapatan yang diterima seseorang melalui usaha sendiri, dan juga yang terkait
dengan pemerintah seperti pegawai negeri atau pegawai swasta yang mendapatkan
gaji atau upah dalam waktu yang relatif tetap, seperti sebulan sekali.
Penghasilan atau pendapatan yang semacam ini dalam istilah fiqh dikatakan
al-maal al-mustafaad (Firdaweri, 2014:1-18)
Istilah profesi menurut kamus ilmu pengetahuan adalah pekerjaan dengan
keahlian khusus sebagai mata pencaharian (Kohar, 1988: 200). Profesi juga
berarti suatu bidang pekerjaan yang berdasarkan pendidikan keahlian tertentu
(Salim, 1991: 1192).
Pada umumnya istilah profesi dimaksudkan sebagai suatu keahlian mengenai
bidang tertentu, di mana perolehannya didahului oleh pendidikan dengan
penguasaan pengetahuan, ilmu dan ketrampilan. Dalam hal ini, suatu profesi
merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh nafkah dengan suatu
keahlian tertentu, bukan sekedar menyalurkan kesenangan atau hobi dan bukan
pula sekedar kegiatan awam atau kuli (Muhammad Aziz dan Sholikah,
2014:188-205)
Kewajiban zakat profesi merupakan kewajiban baru dari hasil ijtihad ulama
yang belum ditetapkan sebelumnya, melalui dalil al Quran yang umum ataupun
melalui inspirasi Sunnah yang sejalan dengan prinsip al Quran tersebut
(Muhammad Aziz dan Sholikah, 2015, : 89-115).
D. Perbedaan Pendapat Para Ulama tentang Zakat Profesi
1. Ulama Yang Menolak Kewajiban Zakat Profesi
Salah satu tokoh ulama kontemporer yang menolak adalah Wahbah Al-Zuhaili di
dalam kitabnya, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu (jilid 3: 1949), menulis
sebagai berikut :
والمقرر في
المذاهب الأربعة أنه لا زكاة في المال المستفاد حتى يبلغ نصاباً ويتم حولا
Yang menjadi ketetapan dari empat mazhab bahwa tidak
ada zakat untuk mal mustafad (zakat profesi), kecuali bila telah mencapai
nishab dan haul.
Menurut Wahbah Az-Zuhaili, mewajibkan zakat profesi ini tidak punya
landasan yang kuat dari Al-Quran dan As-Sunnah. Zakat merupakan rukun Islam,
landasannya harus qath’i dan tidak bisa hanya sekedar hasil pemikiran dan
ijtihad pada waktu tertentu. Bagi mereka yang mewajibkan zakat profesi,
kemungkinannya karena merujuk sebagian shahabat seperti Ibnu Abbas, Ibnu
Mas'ud dan Mu'awiyah. Beliau menuliskan sebagai berikut :
ويمكن القول بوجوب الزكاة في المال
المستفاد بمجرد قبضه، ولو لم يمض عليه حول أخذاً برأي بعض الصحابة ابن عباس وابن
مسعود ومعاوية
Dan
dimungkinkan adanya pendapat atas kewajiban zakat pada mal mustafad yang
dibayarkan ketika menerimanya meski tidak sampai satu tahun, karena mengambil
pendapat dari sebagian shahabat seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud dan Mu'awiyah.
Syeikh Abdullah bin Baz dalam Maqalaat Al Mutanawwi'ah (14/134),
mufti Kerajaan Saudi Arabia juga tidak sepakat dengan adanya zakat profesi ini.
Syeikh bin Baz mensyaratkan adanya nishab dan haul, sedangkan pelaksanaan dari
zakat profesi justru meninggalkan kedua syarat tersebut:
Zakat gaji yang
berupa uang, perlu diperinci: Bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu
tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya
kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan
sebelumnya, maka tidak wajib dizakati.
Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin dalam Majmu' Fatawa wa Ar
Rasaa'il 18/178, juga salah seorang ulama di Kerajaan Saudi Arabia juga
berpendapat:
“Zakat gaji
bulanan hasil profesi. Apabila gaji bulanan yang diterima oleh seseorang setiap
pada setiap bulannya dinafkahkan untuk memenuhi hajatnya sehingga tidak ada
yang tersisa sampai bulan berikutnya, maka tidak ada zakatnya. Karena di
antara syarat wajibnya zakat pada suatu harta (uang) adalah sempurnanya haul
yang harus dilewati oleh nishab harta (uang) itu. Jika seseorang menyimpan
uangnya, misalnya setengah gajinya dinafkahkan dan setengahnya disimpan, maka
wajib atasnya untuk mengeluarkan zakat harta (uang) yang disimpannya setiap
kali sempurna haulnya.” .
Majmu' Fatwa Anggota Tetap Komite
Fatwa Kerajaan Saudi Arabia 9/281, No: 1360 memfatwakan:
"Sebagaimana
yang telah diketahui bersama bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah
emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan
perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut.
Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil
ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai
satu nishab atau dengan digabungkan dengan uangnya yang lain dan telah berlalu
satu tahun. Tidak dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi; karena
persyaratan haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan
dalam dalil, maka tidak boleh ada qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat
tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga berlalu satu tahun (haul)."
Dalam Muktamar zakat pada tahun 1984 H di Kuwait, zakat profesi juga
dibahas dan menghasilkan kesimpulan:
“Zakat gaji dan
profesi termasuk harta yang potensial untuk hal-hal yang bermanfaat, seperti
gaji pekerja dan pegawai, dokter, arsitek dan sebagainya".
"Profesi
jenis ini menurut mayoritas anggota muktamar tidak ada zakatnya ketika menerima
gaji, namun digabungkan dengan harta-harta lain miliknya sehingga mencapai
nishab dan haul lalu dikeluarkan zakat untuk semuanya ketika mencapai
nishab".
"Adapun
gaji yang diterima di tengah-tengah haul (setelah nishab) maka dizakati di
akhir haul sekalipun belum sempurna satu tahun penuh. Dan gaji yang diterima
sebelum nishob maka dimulai penghitungan haulnya sejak mencapai nishob lalu
wajib mengeluarkan zakat ketika sudah mencapai haul. Adapun kadar zakatnya
adalah 2,5% setiap tahun“.
2. Ulama yang Berpendapat Wajibnya Zakat Profesi
2. Ulama yang Berpendapat Wajibnya Zakat Profesi
Yusuf Al-Qaradawi adalah salah satu ulama yang paling mempopulerkan zakat
profesi. Sebelumnya sudah ada tokoh-tokoh ulama seperti Abdurrahman Hasan,
Syeikh Muhammad Abu Zahrah, dan juga Abdul Wahhab Khalaf. Namun sosok
Al-Qaradawi lebih dikenal sebagai rujukan utama dalam masalah zakat profesi
karena kitab Fiqhuz-Zakah yang ditulisnya. Menurut al-Qaradhawi, penghasilan
atau gaji profesi wajib dikeluarkan zakatnya pada saat diterima, jika sampai
pada nishab setelah dikurangi hutang. Dan zakat profesi bisa dikeluarkan
harian, mingguan, atau bulanan.
Abdul Wahab Khalaf adalah seorang ulama besar di Mesir (1888-1906), dikenal
sebagai ahli hadits, ahli ushul fiqih dan juga ahli fiqih. Salah satu karya
utamanya adalah kitab Ushul Fiqih, Ahkam Al-Ahwal Asy-Syakhshiyah, Al-Waqfu
wa Al-Mawarits, As-Siyasah Asy-Syar'iyah, dan juga dalam masalah tafsir, Nur
min Al-Islam.
Abdul Wahab Khalaf adalah orang yang memberi inspirasi pemikiran dan ide
dicetuskannya zakat profesi kepada Yusuf Al-Qaradawi. Hanya saja, bagi
Abdul Wahab Khalaf, zakat profesi itu wajib, namun harus memenuhi syarat haul
dan nishab terlebih dahulu:
أما كسب العمل والمهن فإنه يؤخذ منه
زكاة إن مضى عليه حَوْلٌ وبلغ نِصَبا
Sedangkan penghasilan kerja dan profesi diambil
zakatnya apabila telah dimiliki selama setahun dan telah mencapai nishab.
Selain Abdul Wahhab Khalaf, Al-Qaradawi juga menyebutkan bahwa Syeikh Abu
Zahrah termasuk orang yang dirujuknya tentang adanya zakat profesi. Syeikh
Muhammad Abu Zahrah (1898- 1974) adalah guru dari Al-Qaradawi. Abu Zahrah
adalah sosok ulama yang terkenal dengan pemikirannya yang luas, serta banyak
melakukan perjalanan ke luar negeri melihat realitas kehidupan manusia.
Muhammad Al-Ghazali dalam Majalah Jami’atu Al-Malik Suud, jilid 5
hal. 116, mengatakan bahwa orang yang penghasilannya lebih tinggi di atas
penghasilan petani yang terkena kewajiban zakat, maka dia pun wajib berzakat.
Sehingganya, doker, pengacara, insinyur, produsen, pegawai dan sejenisnya
diwajibkan untuk mengeluarkan zakat dari harta mereka.
Ketika membahas tentang nishab zakat profesi ini, al Qaradhawi sedikit
berbeda pendapat dengan Muhammad al Ghazali, yang cenderung menqiyaskan zakat
profesi dengan zakat al zuru’ (zakat tanaman dan buah-buahan). al
Qardawi berpendapat bahwa orang memperoleh gaji dan pendapatan dalam bentuk
uang, maka yang paling baik adalah menetapkan nishab gaji itu berdasarkan
nishab uang (al Qardawi, 1996: 482).
Oleh karenanya, berdasarkan pendapat al Qardawi tersebut nishab dan
prosentase zakat profesi adalah disamakan dengan zakat uang, emas, senilai 85
gram dan kadarnya 2,5%. Sistem yang dipergunakan dalam pengeluaran zakatnya
adalah dengan mengumpulkan gaji atau penghasilan yang diterima berkali-kali
dalam waktu tertentu sampai mencapai nisab (85 gr emas) (al Qardawi, 1973:
484).
Oleh karenanya, ketentuan setahun diberlakukan dalam zakat. Maka zakat
penghasilan bersih dari seorang pegawai dan golongan profesi dapat diambil dari
dalam setahun penuh jika pendapatan tersebut sudah mencapai nishab. Masih
menurut al Qardawi, zakat profesi tersebut diambilkan dari sisa pendapatan
bersih setahun, yang dimaksudkan supaya bila ada hutang dan biaya hidup
terendah serta yang menjadi tanggungan seseorang bias dikeluarkan. Karena biaya
terendah kehidupan seseorang merupakan kebutuhan pokok seseorang.
Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam Musyawarah Nasional Tarjih XXV pada
tanggal 3 – 6 Rabiul Akhir 1421 H bertepatan dengan tanggal 5 – 8 Juli 2000 M
bertempat di Pondok Gede Jakarta Timur dan dihadiri oleh anggota Tarjih Pusat,
pada lampiran 2 Keputusan Munas Tarjih XXV, Tentang Zakat Profesi dan Zakat
Lembaga memutuskan bahwa Zakat Profesi hukumnya wajib dengan nisab zakat
profesi setara dengan 85 gram emas 24 karat, dan kadar zakat Profesi sebesar
2,5 %
Majelis Ulama
Indonesia (MUI), dalam fatwa MUI pada 7 Juni tahun 2003 menetapkan bahwa
:
Semua bentuk
penghasilan halal wajib dikeluarkan zakatnya dengan syarat telah mencapai
nishab dalam satu tahun, yakni senilai emas 85 gram.1) Zakat penghasilan dapat
dikeluarkan pada saat menerima jika sudah cukup nishab. 2) Jika tidak mencapai nishab, maka semua penghasilan dikumpulkan
selama satu tahun; kemudian zakat dikeluarkan jika penghasilan bersihnya sudah
cukup nishab. Fatwa MUI ini menarik dikaji dan setidaknya ada dua catatan
yang menarik.
Salah satu icon zakat profesi yang cukup terkenal di Indinesia adalah Dr.
K.H.Didin Hafidhuddin, M.Sc. Guru Besar IPB dan Ketua Umum BAZNAS ini mencoba
mendefinisikan profesi ialah setiap keahlian atau pekerjaan apapun yang halal,
baik yang dilakukan sendiri maupun yang terkait dengan pihak lain, seperti
seorang pegawai atau karyawan. Melalui disertasi doktornya yang berjudul Zakat
dalam Perekonomian Modern, yang berhasil diraihnya lewat Universitas Islam
Negeri Jakarta, paling tidak dia menyebutkan bahwa setidaknya ada sepuluh jenis
zakat di masa modern, yaitu:
- Zakat Profesi
- Zakat Perusahaan
- Zakat Surat Berharga
- Zakat Perdagangan Mata Uang
- Zakat Hewan Ternak yang Diperdagangkan
- Zakat Madu dan Produk Hewani
- Zakat Investasi properti
- Zakat Asuransi Syari’ah
- Zakat Usaha Tanaman Angrek, Walet, Ikan Hias
- Zakat Sektor Rumah Tangga.
C. Penutup dan
Kesimpulan
1. Zakat profesi dapat dilakukan dan dipandang sebagai sebuah kewajiban dengan
syarat harus tetap memperhatikan aturan-aturan sebagaimana yang sudah
dijelaskan oleh ulama-ulama fikih dengan memperhatihan prinsip-prinsip
ketika gaji tersebut sudah kelebihan dari kebutuhan pokok, seperti makan,
sandang, tempat tinggal, kendaraan, dan lat-alat kerja serta kercapaian nisab
yang diqiyaskan kepada nisab emas dengan jumlah nisabnya 85 gram dan haul (kepemilikan
satu tahun)
2. Bagi yang tidak memenuhi ketentuan dan persyaratan kewajiban zakat
sebagaimana disebutkan di atas, maka para pegawai, karyawan dan lain sebagainya
dapat dihimbau untuk ikut bersedia dilakukan pemotongan gaji dengan niat
berinfaq atau bersedekah sunah dengan jumlah yang disanggupi oleh para pegawai
atau karyawan dan lainnya dengan niat ibadah kepada Allah Swt.
Abhats wa A’mal Mu’tamar Zakat Awal hlm. 442-443, dari Abhats Fiqhiyyah fi Qodhoya Zakat al-Mua’shiroh
1/283-284.
Ahkamul Fuqaha fi Muqarrarat Mu’tamarat Nahdhatil
Ulama, hal. 556-557
Ali Yafie,
Pengembangan Manajemen Zakat, (Lampung, Proyek Pengembangan IAIN Raden Intan
Lampung: 1990)
Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian
Modern
Firdaweri,
“ASPEK-ASPEK FILOSOFIS ZAKAT PROFESI”, dalam Jurnal Pengembangan Masyarakat,
Ijtimaiyya, Vol. 7, No. 1, Februari 2014 (1-18),.
Kumpulan Keputusan Sidang Dewan Hisbah Persatuan Islam
(PERSIS) tentang Akidah dan Ibadah, hal. 443
Majalah Jami’atu Al-Malik Suud, jilid 5
Majmu' Fatawa wa Ar Rasaa'il 18/178
Majmu' Fatwa Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi
Arabia 9/281, fatwa no: 1360
Maqalaat Al Mutanawwi'ah 14/134
Muhammad Aziz
dan Sholikah, “ZAKAT PROFESI DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN
2011 DAN HUKUM ISLAM”, Ulul Albab Volume 15, No.2 Tahun 2014 (188-205),
Muhammad Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunnah I, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008
Wahbah Al-Zuhaly, Zakat kajian berbagai mazhab,
(Bandung; PT Remaja Rosdakarya, 2005),
Wahbah
Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid 3
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh az-Zakah, (Kairo: Maktabah
Wahbah, cet. 25, 2006), vol. 1,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar