Selasa, 13 Maret 2018

ZAKAT PROFESI

ZAKAT PROFESI
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA
A.   Pendahuluan

Zakat profesi termasuk zakat yang banyak diperselisihkan oleh para ulama di masa sekarang, baik tentang keberadaannya atau pun tentang aturan-aturan dan berbagai ketentuannya. Para ulama fikih terutama ulama-ulama mazhab yang empat; Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Hanbali serta ulama-ulama fikih pada kitab-kitab fikih klasik mereka tidak atau belum membahas tentang hukum dari zakat profesi. Zakat ini baru diwacanakan di zaman modern.
Yusuf Al-Qaradawi dalam kitab Fiqhu az-Zakah-nya dan  Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, menyebut zakat profesi dan zakat penghasilan dengan istilah zakatu kasb al-amal wa al-mihan al- hurrah (زكاةُ كَسْبِ العَمَلِ والمـهَنِ الحُرَّةِ),
Dalam prakteknya, zakat profesi sering diwajibkan oleh instansi-instansi tertentu yang diambil dari potongan gaji pegawai dan karyawannya ketika seseorang menerima gaji atau upah, tanpa memperhatikan nishab dan haul, sehingga dalam pelaksanaannya, zakat ini menjadi unik dan sering dipersoalkan oleh sebagian ulama.
Para penentang keberadaan zakat profesi adalah para ulama bahkan dari segi jumlah, kalau dibandingkan dengan jumlah ulama yang mendukung, jumlah mereka yang menentang jauh lebih banyak. Ulama yang menentang zakat profesi, selalu mempersoalkan dan mempertanyakan dalil yang digunakan oleh oleh pendukung kewajiban zakat profesi, juga mengkritik teknis pelaksanaannya yang rancu. Karena prinsip ketentuan dasar dan di antara syarat-syarat harta yang wajib dizakati selain dari harta hasil pertanian dan barang tambang (rikaz) adalah harus sampai nisabnya dan sampai masa kepemilikan selama satu tahun, yang dikenal dengan istilah haul.
Dalil berikutnya dari mereka yang menentang keberadaan zakat profesi adalah bahwa zakat merupakan ibadah mahdhah yang segala ketentuan dan aturannya wajib merujuk kepada ketentuan dan aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. Kalau ada dalil yang pasti, maka barulah zakat itu dikeluarkan, sebaliknya bila tidak ada dalilnya, maka kewajiban zakat tidak boleh dibuat-buat. Prinsipnya, selama tidak ada nash al-Quran dan nash dari Rasulullah SAW, maka manusia tidak punya wewenang untuk membuat jenis zakat baru. Meski demikian, para ulama ini bukan menghalangi orang yang ingin bersedekah atau berinfaq. Hanya yang perlu dipahami, mereka menolak bila hal itu dimasukkan ke dalam bab zakat, sebab zakat itu sudah punya aturan yang jelas. Jika ada misalnya, para artis, atlet, dokter, lawyer atau pegawai, ingin menyisihkan gajinya sebesar 2,5 % per bulan, tentu bukan hal yang diharamkan, sebaliknya justru sangat dianjurkan, namun namanya bukan zakat wajib, tetapi sebatas infaq atau shadaqah sunnah saja.
Ulama yang menentang keberadaan zakat profesi juga berargumen, bahwa selama nyaris 14 abad tidak ada satu pun ulama yang berupaya melakukan 'penciptaan' jenis zakat baru. Padahal sudah beribu bahkan beratus ribu kitab fiqih ditulis oleh para ulama, namun tidak ada satu pun dari para ulama tersebut yang menuliskan bab khusus tentang zakat profesi di dalam kitab mereka. Hal ini tentu bukan karena tidak melihat perkembangan zaman, namun karena mereka memandang bahwa masalah zakat bukan semata-mata mengacu kepada rasa-rasa, tetapi yang lebih penting dari itu, zakat adalah sebuah ibadah yang tidak terlepas dari ritual. Sehingga jenis kekayaaan apa saja yang wajib dizakatkan, harus mengacu kepada nash yang shahih dan kuat dari Rasulullah SAW. Dan tidak boleh hanya didasarkan pada sekedar sebuah ijtihad belaka.
Sementara itu, para pendukung wajibnya zakat profesi juga punya alasan untuk menegakkan pendirian mereka atas zakat profesi. Pada umumnya, para pendukung berargumen dan berlindung di balik azas keadilan dan realitas, dan kemudian mensiasati syarat kepemilikan harta yang harus dimiliki setahun dulu dengan beberapa cara. Para pendukung wajib zakat profesi juga berpijak pada penggunaan dalil umum tentang wajibnya orang kaya membayar zakat, tanpa harus mempertimbangkan jenis dan bentuk kekayaannya.
Para pendukung juga berargumen, Allah SWT tidak menetapkan jenis kekayaan tertentu untuk kewajiban zakat. Pendeknya, kalau seseorang dianggap kaya dibandingkan dengan orang lain, dia hidup berkecukupkan, lebih dari orang-orang pada umumnya, maka otomatis dia wajib membayar zakat, jenis harta tidak dijadikan pertimbangan, karena bisa saja jenis kekayaan tiap orang berbeda-beda untuk tiap negeri dan tiap zaman. Argumennya juga diperkuat dengan argumentasi, “kalau ketentuan zakat dipatok harus sejalan dengan zaman Rasulullah SAW, maka kebanyakan jenis harta yang dimiliki orang kaya di masa sekarang sangat berbeda dengan jenis harta yang dimiliki orang kaya di masa beliau SAW., dan hal itu berarti akan ada begitu banyak orang yang kaya di masa sekarang ini yang tidak terkena beban kewajiban berzakat. Alasannya karena jenis hartanya tidak memenuhi kriteria sebagaimana di masa Rasulullah SAW. Dan menurut mereka, hal ini tidak benar dan tidak adil serta tidak masuk akal.

B.  Beberapa Permasalahan Pelaksanaan Zakat Profesi

1. Permasalahan Nisab Zakat Profesi

Berpijak kepada keumuman perintah zakat, maka semua bentuk penghasilan halal selain tanaman dan harta penambangan, dapat dipandang sebagai harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, dengan syarat telah mencapai nishab dan telah dimiliki selama satu tahun. Dalam hal ini, maka  ketentuan nisabnya berpatokan kepada nisab emas, yaitu 85 gram dan dikeluarkan sebanyak 2,5 %.
Kerancuan pendapat sebagian pendukung zakat profesi menurut mereka yang menolaknya adalah seperti pendapat ulama yang mengqiyaskan nishab zakat profesi bukan kepada emas dengan nisab 85 gram, melainkan disamakan kepada zakat hasil pertanian dengan nisab 653 kg gabah kering atau 520 kg beras. Namun anehnya justru jumlah yang dikeluarkan sebagai zakatnya memakai ketentuan jumlah kewajiban zakat emas yang wajib dikeluarkan 2,5 %. Seharusnya, kalau memang zakat profesi itu nisabnya disamakan dengan hasil pertanian yang wajib dikeluarkan zakatnya setiap kali panen, maka kadar zakatnya seharusnya 10 % atau 5 % jika pertanian tersebut tidak diairi dengan mengandalkan air hujan.

2. Permasalahan Haul

MUI tidak mensyaratkan harus ada masa kepemilikan selama setahun. Pokoknya kalau jumlah penghasilan itu mencapai nisab emas, maka wajib langsung dikeluarkan zakatnya. Ini adalah doktrin dasar zakat profesi. Padahal kalau mengacu kepada fiqih zakat yang original, harta itu harus dimiliki dulu selama setahun penuh (haul) sejak awal hingga akhir tahun. Kalau belum dimiliki setahun, belum terkena zakat. 

3. Permasalahan Sosial

Munculnya himbauan kewajiban pemotongan gaji sebagai zakat terhadap pegawai, karyawan dan lain sebagainya, juga sesungguhnya menyisakan beberapa persoalan. Misalnya, kebanyakan para pegawai, karyawan dan lainnya jika dilihat dengan kacamata fikih, justru mereka tidak dapat dikatakan sebagai orang yang layak disebut sebagai muzakki (orang kaya yang wajib zakat), tetapi justru lebih tepat disebut sebagai mustahiq zakat (orang yang berhak menerima zakat) karena demi memenuhi berbagai hajat dan kebutuhan pokok hidupnya, tidak sedikit di antara para pegawai, karyawan dan lain sebagainya itu terpaksa untuk berhutang dan dalam keadaan sulit lainnya dalam hal ekonomi, sehingga penghasilan mereka sudah tidak lagi memenuhi ketentuan nisab harta yang wajib untuk dikeluarkan zakatnya. 

C.  Ketentuan Fiqih Tentang Zakat

1.     Pengertian Zakat

Zakat secara bahasa berarti tumbuh dan bertambah (ziyadah) dan juga sering dikemukakan untuk makna thaharah (suci) (Wahbah Al-Zuhaly, 2005:82).  Zakat adalah hak Allah berupa sesuatu pemberian dari orang yang kaya kepada orang-orang fakir. Harta itu disebut dengan zakat karena didalamnya terkandung penyucian jiwa, pengembangannya dengan kebaikan-kebaikan, dan harapan untuk mendapat berkah. Hal itu dikarenakan asal kata zakat adalah azzakah yang berarti tumbuh, suci, dan berkah.
Zakat menurut syara’, berarti hak yang wajib (dikeluarkan dari) harta. Mazhab Maliki mendefinisikannya dengan, “Mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nishab (batas kuantitas yang mewajibkan zakat) kepada orang-orang yang berhak menerimanya(mustahiqq). Dengan catatan, kepemilikan itu penuh mencapai hawl (setahun) dukan barang tambang dan bukan pertanian.” Mazhab Hanafi mendefinisikan zakat dengan,”Menjadikan sebagaian harta yang khusus dari harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus, yang ditentukan oleh syariat karena Allah SWT. Menurut mazhab Syafi’i, zakat adalah sebuah ungkapan  untuk keluarnya harta atau tubuh sesuai dengan cara khusus (Sayyid  Sabiq, Jilid 2, 2013: 41)
Al-Qur’an memuat banyak ayat yang  secara  tegas  memerintahkan  pelaksanaan  zakat. Perintah  Allah  SWT  tentang  zakat  tersebut seringkali beriringan  dengan  perintah  salat. Perintah  zakat  dalam  Al-Qur’an  ditemukan  sebanyak  32  kali,  26  kali  diantaranya  disebutkan bersamaan  dengan  kata  salat. Hal  ini mengisyaratkan  bahwa  kewajiban  mengeluarkan zakat seperti halnya kewajiban mendirikan salat. Zakat  diwajibkan  berdasarkan  Al-Qur’an  dan Hadist Nabi Muhammad. Dalil-dalil yang terdapat dalam  Al-Qur’an  banyak  menggunakan  bentuk amar (perintah)  atau  intruksi  sebagaimana  yang terdapat dalam surat At-Taubah ayat 103.
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo`alah untuk mereka. Sesungguhnya do`a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

2.    Syarat Wajib Zakat 

Menurut Wahbah az-Zuhailī (1986: 66), syarat zakat adalah:
a.    Syarat zakat yang berhubungan  dengan subyek atau pelaku muzakkī (orang yang terkena wajib zakat) adalah Islam, merdeka, balig dan berakal.
b.    Syarat-syarat yang berhubungan dengan jenis harta (sebagai obyek zakat)
Sayyid Sabiq (2008: 455-456) menjelaskan bahwa zakat diwajibkan kepada seorang muslim yang merdeka dan memiliki nisab dari segala jenis harta yang wajib dizakati. Sebuah harta dianggap telah mencapai nisab apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.    Lebih dari kebutuhan pokok, seperti makan, sandang, tempat tinggal, kendaraan, dan lat-alat kerja
b.    Telah mencapai haul (masa kepemilikan satu (1) tahun hijriyah). Permulaan tahun dihitung dari hari memiliki nisab dan harus tetap utuh setahun penuh. Jika di tengah-tengah tahun nisab berkurang, kemudian sempurna lagi, maka perhitungan haul dimulai lagi dari waktu sempurna setelah berkurang tersebut. Hal ini sesuai dengan perkataan Imam Nawawi,  bahwa Imam Syafi”i, Malik, Ahmad, dan mayoritas ulama fikih. Hal ini berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang berpendapat bahwa yang dijadikan patokan adalah terpenuhinya nisab pada awal tahun dan akhir tahun.
Syarat haul ini hanya berlaku untuk jenis harta seperti emas, perak, dan lainnya selain dari pada zakat pertanian karena waktu zakat pertanian adalah ketika masa panennya.
Allah berfirman,

وَهُوَ الَّذِي أَنشَأَ جَنَّاتٍ مَّعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفاً أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهاً وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُواْ مِن ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُواْ حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ 

Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (QS. Al-An’am, 6: 141)
Allah berfirman “mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan”, maka katakanlah: “yang lebih dari keperluan” (QS al Baqarah: 219).

... وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبيِّنُ اللّهُ لَكُمُ الآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ

... Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,

3.    Konsep Dasar Profesi 

Menurut fatwa Ulama, hasil Muktamar Internasional Pertama tentang zakat di Kuwait pada tanggal 29 Rajab 1404 H yang bertepatan dengan tanggal 30 April 1984 M, bahwa kegiatan yang menghasilkan kekayaan bagi manusia sekarang adalah kegiatan profesi yang menghasilkan amal yang bermanfaat, baik dilakukan sendiri, maupun bersama-sama semuanya itu menghasilkan pendapatan atau gaji. Kekayaan tersebut apabila telah mencukupi nisabnya  wajib dizakatkan. Namanya zakat profesi.
Wahbah al-Zuhaili  menyatakan  bahwa kegiatan penghasilan atau pendapatan yang diterima seseorang melalui usaha sendiri, dan juga yang terkait dengan pemerintah seperti pegawai negeri atau pegawai swasta yang mendapatkan gaji atau upah dalam waktu yang relatif  tetap, seperti sebulan sekali. Penghasilan atau pendapatan yang semacam ini dalam istilah fiqh dikatakan al-maal al-mustafaad (Firdaweri, 2014:1-18)
Istilah profesi menurut kamus ilmu pengetahuan adalah pekerjaan dengan keahlian khusus sebagai mata pencaharian (Kohar, 1988: 200). Profesi juga berarti suatu bidang pekerjaan yang berdasarkan pendidikan keahlian tertentu (Salim, 1991: 1192).
Pada umumnya istilah profesi dimaksudkan sebagai suatu keahlian mengenai bidang tertentu, di mana perolehannya didahului oleh pendidikan dengan penguasaan pengetahuan, ilmu dan ketrampilan. Dalam hal ini, suatu profesi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh nafkah dengan suatu keahlian tertentu, bukan sekedar menyalurkan kesenangan atau hobi dan bukan pula sekedar kegiatan awam atau kuli (Muhammad Aziz dan Sholikah,  2014:188-205)
Kewajiban zakat profesi merupakan kewajiban baru dari hasil ijtihad ulama yang belum ditetapkan sebelumnya, melalui dalil al Quran yang umum ataupun melalui inspirasi Sunnah yang sejalan dengan prinsip al Quran tersebut (Muhammad Aziz dan Sholikah, 2015, : 89-115).

D. Perbedaan Pendapat Para Ulama tentang  Zakat Profesi

1. Ulama Yang Menolak Kewajiban Zakat Profesi 

Salah satu tokoh ulama kontemporer yang menolak adalah Wahbah Al-Zuhaili di dalam kitabnya, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu (jilid 3: 1949), menulis sebagai berikut :
والمقرر في المذاهب الأربعة أنه لا زكاة في المال المستفاد حتى يبلغ نصاباً ويتم حولا
Yang menjadi ketetapan dari empat mazhab bahwa tidak ada zakat untuk mal mustafad (zakat profesi), kecuali bila telah mencapai nishab dan haul.
Menurut Wahbah Az-Zuhaili, mewajibkan zakat profesi ini tidak punya landasan yang kuat dari Al-Quran dan As-Sunnah. Zakat merupakan rukun Islam, landasannya harus qath’i dan tidak bisa hanya sekedar hasil pemikiran dan ijtihad pada waktu tertentu. Bagi mereka yang mewajibkan zakat profesi, kemungkinannya karena merujuk sebagian shahabat seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud dan Mu'awiyah. Beliau menuliskan sebagai berikut :
ويمكن القول بوجوب الزكاة في المال المستفاد بمجرد قبضه، ولو لم يمض عليه حول أخذاً برأي بعض الصحابة ابن عباس وابن مسعود ومعاوية
Dan dimungkinkan adanya pendapat atas kewajiban zakat pada mal mustafad yang dibayarkan ketika menerimanya meski tidak sampai satu tahun, karena mengambil pendapat dari sebagian shahabat seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud dan Mu'awiyah.
Syeikh Abdullah bin Baz dalam Maqalaat Al Mutanawwi'ah (14/134), mufti Kerajaan Saudi Arabia juga tidak sepakat dengan adanya zakat profesi ini. Syeikh bin Baz mensyaratkan adanya nishab dan haul, sedangkan pelaksanaan dari zakat profesi justru meninggalkan kedua syarat tersebut:
Zakat gaji yang berupa uang, perlu diperinci: Bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib dizakati.
Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin dalam Majmu' Fatawa wa Ar Rasaa'il 18/178, juga salah seorang ulama di Kerajaan Saudi Arabia juga berpendapat:
“Zakat gaji bulanan hasil profesi. Apabila gaji bulanan yang diterima oleh seseorang setiap pada setiap bulannya dinafkahkan untuk memenuhi hajatnya sehingga tidak ada yang tersisa sampai bulan berikutnya, maka tidak ada zakatnya.  Karena di antara syarat wajibnya zakat pada suatu harta (uang) adalah sempurnanya haul yang harus dilewati oleh nishab harta (uang) itu. Jika seseorang menyimpan uangnya, misalnya setengah gajinya dinafkahkan dan setengahnya disimpan, maka wajib atasnya untuk mengeluarkan zakat harta (uang) yang disimpannya setiap kali sempurna haulnya.” .
Majmu' Fatwa Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia 9/281, No: 1360 memfatwakan:
"Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut. Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun. Tidak dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi; karena persyaratan haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, maka tidak boleh ada qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga berlalu satu tahun (haul)."
Dalam Muktamar zakat pada tahun 1984 H di Kuwait, zakat profesi juga dibahas dan menghasilkan kesimpulan:
“Zakat gaji dan profesi termasuk harta yang potensial untuk hal-hal yang bermanfaat, seperti gaji pekerja dan pegawai, dokter, arsitek dan sebagainya".
"Profesi jenis ini menurut mayoritas anggota muktamar tidak ada zakatnya ketika menerima gaji, namun digabungkan dengan harta-harta lain miliknya sehingga mencapai nishab dan haul lalu dikeluarkan zakat untuk semuanya ketika mencapai nishab".
"Adapun gaji yang diterima di tengah-tengah haul (setelah nishab) maka dizakati di akhir haul sekalipun belum sempurna satu tahun penuh. Dan gaji yang diterima sebelum nishob maka dimulai penghitungan haulnya sejak mencapai nishob lalu wajib mengeluarkan zakat ketika sudah mencapai haul. Adapun kadar zakatnya adalah 2,5% setiap tahun“.

2.  Ulama yang Berpendapat Wajibnya Zakat Profesi

Yusuf Al-Qaradawi adalah salah satu ulama yang paling mempopulerkan zakat profesi. Sebelumnya sudah ada tokoh-tokoh ulama seperti Abdurrahman Hasan, Syeikh Muhammad Abu Zahrah, dan juga Abdul Wahhab Khalaf. Namun sosok Al-Qaradawi lebih dikenal sebagai rujukan utama dalam masalah zakat profesi karena kitab Fiqhuz-Zakah yang ditulisnya. Menurut al-Qaradhawi, penghasilan atau gaji profesi wajib dikeluarkan zakatnya pada saat diterima, jika sampai pada nishab setelah dikurangi hutang. Dan zakat profesi bisa dikeluarkan harian, mingguan, atau bulanan.
Abdul Wahab Khalaf adalah seorang ulama besar di Mesir (1888-1906), dikenal sebagai ahli hadits, ahli ushul fiqih dan juga ahli fiqih. Salah satu karya utamanya adalah kitab Ushul Fiqih, Ahkam Al-Ahwal Asy-Syakhshiyah, Al-Waqfu wa Al-Mawarits, As-Siyasah Asy-Syar'iyah, dan juga dalam masalah tafsir, Nur min Al-Islam.
Abdul Wahab Khalaf adalah orang yang memberi inspirasi pemikiran dan ide dicetuskannya zakat profesi kepada Yusuf Al-Qaradawi.  Hanya saja, bagi Abdul Wahab Khalaf, zakat profesi itu wajib, namun harus memenuhi syarat haul dan nishab terlebih dahulu:
أما كسب العمل والمهن فإنه يؤخذ منه زكاة إن مضى عليه حَوْلٌ وبلغ نِصَبا
Sedangkan penghasilan kerja dan profesi diambil zakatnya apabila telah dimiliki selama setahun dan telah mencapai nishab.
Selain Abdul Wahhab Khalaf, Al-Qaradawi juga menyebutkan bahwa Syeikh Abu Zahrah termasuk orang yang dirujuknya tentang adanya zakat profesi. Syeikh Muhammad Abu Zahrah (1898- 1974) adalah guru dari Al-Qaradawi.  Abu Zahrah adalah sosok ulama yang terkenal dengan pemikirannya yang luas, serta banyak melakukan perjalanan ke luar negeri melihat realitas kehidupan manusia.
Muhammad Al-Ghazali dalam Majalah Jami’atu Al-Malik Suud, jilid 5 hal. 116, mengatakan bahwa orang yang penghasilannya lebih tinggi di atas penghasilan petani yang terkena kewajiban zakat, maka dia pun wajib berzakat. Sehingganya, doker, pengacara, insinyur, produsen, pegawai dan sejenisnya diwajibkan untuk mengeluarkan zakat dari harta mereka.
Ketika membahas tentang nishab zakat profesi ini, al Qaradhawi sedikit berbeda pendapat dengan Muhammad al Ghazali, yang cenderung menqiyaskan zakat profesi dengan zakat al zuru’ (zakat tanaman dan buah-buahan). al Qardawi berpendapat bahwa orang memperoleh gaji dan pendapatan dalam bentuk uang, maka yang paling baik adalah menetapkan nishab gaji itu berdasarkan nishab uang (al Qardawi, 1996: 482).
Oleh karenanya, berdasarkan pendapat al Qardawi tersebut nishab dan prosentase zakat profesi adalah disamakan dengan zakat uang, emas, senilai 85 gram dan kadarnya 2,5%. Sistem yang dipergunakan dalam pengeluaran zakatnya adalah dengan mengumpulkan gaji atau penghasilan yang diterima berkali-kali dalam waktu tertentu sampai mencapai nisab (85 gr emas) (al Qardawi, 1973: 484).
Oleh karenanya, ketentuan setahun diberlakukan dalam zakat. Maka zakat penghasilan bersih dari seorang pegawai dan golongan profesi dapat diambil dari dalam setahun penuh jika pendapatan tersebut sudah mencapai nishab. Masih menurut al Qardawi, zakat profesi tersebut diambilkan dari sisa pendapatan bersih setahun, yang dimaksudkan supaya bila ada hutang dan biaya hidup terendah serta yang menjadi tanggungan seseorang bias dikeluarkan. Karena biaya terendah kehidupan seseorang merupakan kebutuhan pokok seseorang.
Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam Musyawarah Nasional Tarjih XXV pada tanggal 3 – 6 Rabiul Akhir 1421 H bertepatan dengan tanggal 5 – 8 Juli 2000 M bertempat di Pondok Gede Jakarta Timur dan dihadiri oleh anggota Tarjih Pusat, pada lampiran 2 Keputusan Munas Tarjih XXV, Tentang Zakat Profesi dan Zakat Lembaga memutuskan bahwa Zakat Profesi hukumnya wajib dengan nisab zakat profesi setara dengan 85 gram emas 24 karat, dan kadar zakat Profesi sebesar 2,5 %
Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam fatwa MUI  pada 7 Juni tahun 2003 menetapkan bahwa :
Semua bentuk penghasilan halal wajib dikeluarkan zakatnya dengan syarat telah mencapai nishab dalam satu tahun, yakni senilai emas 85 gram.1) Zakat penghasilan dapat dikeluarkan pada saat menerima jika sudah cukup nishab. 2) Jika tidak mencapai nishab, maka semua penghasilan dikumpulkan selama satu tahun; kemudian zakat dikeluarkan jika penghasilan bersihnya sudah cukup nishab. Fatwa MUI ini menarik dikaji dan setidaknya ada dua catatan yang menarik.
Salah satu icon zakat profesi yang cukup terkenal di Indinesia adalah Dr. K.H.Didin Hafidhuddin, M.Sc. Guru Besar IPB dan Ketua Umum BAZNAS ini mencoba mendefinisikan profesi ialah setiap keahlian atau pekerjaan apapun yang halal, baik yang dilakukan sendiri maupun yang terkait dengan pihak lain, seperti seorang pegawai atau karyawan. Melalui disertasi doktornya yang berjudul Zakat dalam Perekonomian Modern, yang berhasil diraihnya lewat Universitas Islam Negeri Jakarta, paling tidak dia menyebutkan bahwa setidaknya ada sepuluh jenis zakat di masa modern, yaitu:
  • Zakat Profesi
  • Zakat Perusahaan
  • Zakat Surat Berharga
  • Zakat Perdagangan Mata Uang
  • Zakat Hewan Ternak yang Diperdagangkan
  • Zakat Madu dan Produk Hewani
  • Zakat Investasi properti
  • Zakat Asuransi Syari’ah
  • Zakat Usaha Tanaman Angrek, Walet, Ikan Hias
  • Zakat Sektor Rumah Tangga.
C. Penutup dan Kesimpulan
1. Zakat profesi dapat dilakukan dan dipandang sebagai sebuah kewajiban dengan syarat harus tetap memperhatikan aturan-aturan sebagaimana yang sudah dijelaskan oleh ulama-ulama fikih dengan memperhatihan prinsip-prinsip  ketika gaji tersebut sudah kelebihan dari kebutuhan pokok, seperti makan, sandang, tempat tinggal, kendaraan, dan lat-alat kerja serta kercapaian nisab yang diqiyaskan kepada nisab emas dengan jumlah nisabnya 85 gram dan haul (kepemilikan satu tahun)
2. Bagi yang tidak memenuhi ketentuan dan persyaratan kewajiban zakat sebagaimana disebutkan di atas, maka para pegawai, karyawan dan lain sebagainya dapat dihimbau untuk ikut bersedia dilakukan pemotongan gaji dengan niat berinfaq atau bersedekah sunah dengan jumlah yang disanggupi oleh para pegawai atau karyawan dan lainnya dengan niat ibadah kepada Allah Swt.

Kepustakaan
Abhats wa A’mal Mu’tamar Zakat Awal hlm. 442-443, dari Abhats Fiqhiyyah fi Qodhoya Zakat al-Mua’shiroh 1/283-284.
Ahkamul Fuqaha fi Muqarrarat Mu’tamarat Nahdhatil Ulama, hal. 556-557
Ali Yafie, Pengembangan Manajemen Zakat, (Lampung, Proyek Pengembangan IAIN Raden Intan Lampung: 1990)
Didin Hafidhuddin,  Zakat dalam Perekonomian Modern
Firdaweri, “ASPEK-ASPEK FILOSOFIS ZAKAT PROFESI”, dalam Jurnal Pengembangan Masyarakat, Ijtimaiyya, Vol. 7, No. 1, Februari 2014 (1-18),.
Kumpulan Keputusan Sidang Dewan Hisbah Persatuan Islam (PERSIS) tentang Akidah dan Ibadah, hal. 443
Majalah Jami’atu Al-Malik Suud, jilid 5
Majmu' Fatawa wa Ar Rasaa'il 18/178
Majmu' Fatwa Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia 9/281, fatwa no: 1360
Maqalaat Al Mutanawwi'ah 14/134
Muhammad Aziz dan Sholikah,  “ZAKAT PROFESI DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2011 DAN  HUKUM ISLAM”, Ulul Albab Volume 15, No.2 Tahun 2014 (188-205),
Muhammad Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah I, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008
 Wahbah Al-Zuhaly, Zakat kajian berbagai mazhab, (Bandung; PT Remaja Rosdakarya, 2005),
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid 3
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh az-Zakah, (Kairo: Maktabah Wahbah, cet. 25, 2006), vol. 1,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar