Senin, 26 Maret 2018

HALAL DAN HARAM DALAM ISLAM

HALAL DAN HARAM DALAM ISLAM
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA

Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu ni`mat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan. (QS. Luqman, 31: 20)
A.  Pengertian Halal dan Haram
Yusuf Qaradhawi (2007:13), menjelaskan bahwa halal adalah sesuatu yang mubah (diperkenankan), yang terlepas dari ikatan larangan. Sesuatu yang halal adalah sesuatu yang diizinkan oleh Allah sebagai pembuat syari’at untuk dilakukan. Sedangkan yang haram adalah sesuatu yang dilarang oleh Allah dengan larangan yang pasti (jelas) ( Ahmad Rivauzi, 2015: 363).
B.  Prinsip-Prinsip Halal dan Haram dalam Islam
Yusuf Qaradhawi (2007: 17-42) dalam Ahmad Rivauzi, (2015: 363-367) menjelaskan tentang prinsip-prinsip yang digariskan oleh Islam tentang halal dan haram. Di antara prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1.     Segala sesuatu pada asalnya adalah mubah
الأصل فى الأشياء الإباحة
Segala sesuatu pada asalnya adalah mubah (boleh)
Prinsip yang menjelaskan bahwa segala sesuatu pada asalnya adalah mubah didasarkan kepada beberapa ayat al-Quran. Di antaranya:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاء فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah, 2: 29)
وَسَخَّرَ لَكُم مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً مِّنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لَّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (QS. Al-Jatsiyah, 45: 13)
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ النَّاسِ مَن يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُّنِيرٍ
Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu ni`mat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan. (QS. Luqman, 31: 20)
Ayat di atas menjelaskan bahwa wilayah haram dalam syari’at Islam sesungguhnya sangat sempit, sedangkan wilayah yang dihalalkan justru sangat luas.
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ مُوسَى الفَزَارِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا سَيْفُ بْنُ هَارُونَ البُرْجُمِيُّ، عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ، عَنْ أَبِي عُثْمَانَ، عَنْ سَلْمَانَ قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ السَّمْنِ وَالجُبْنِ وَالفِرَاءِ، فَقَالَ: «الحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَالحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ»(رواه الترمذي )
Yang halal adalah apa yang dihalalkan Allah di dalam kitab-Nya, dan yang haram adalah apa yang diharamkan-Nya di dalam kitab-Nya. Sedangkan apa yang didiamkan-Nya berarti dimaafkan untukmu. [i]
Asal segala sesuatu adalah mubah ini tidak terbatas pada masalah benda, tetapi mencakup semua perbuatan dan aktivitas yang tidak termasuk ibadah mahdhah. Apabila sesuatu itu termasuk kategori ibadah mahdhah, maka sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ahmad bahwa pada dasarnya ibadah (ibadah mahdhah) itu merupakan sesuatu yang ada ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
إن الأصل فى العبادات التوقيف
Pada dasarnya ibadah itu adalah bersumber pada ketetapan Allah dan Rasulnya
Karena itu, tidak boleh dilakukan ibadah (mahdhah) kecuali apa yang telah disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
لاَ تُشْرَعُ عبادة إلا بشرع الله ولا تُحَرَّمُ عادة إلا بتَحْريم الله
Tidak boleh ibadah dilakukan kecuali yang disyari’atkan Allah dan tidak boleh sesuatu adat atau kebiasaan dilarang kecuali yang diharamkan Allah
2.    Menghalalkan dan mengharamkan adalah hak Allah
            Allah Swt., berfirman:
قُلْ أَرَأَيْتُم مَّا أَنزَلَ اللّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَاماً وَحَلاَلاً قُلْ آللّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللّهِ تَفْتَرُونَ
Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal". Katakanlah: "Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?" (QS. Yunus, 10: 59)
وَلاَ تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَـذَا حَلاَلٌ وَهَـذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُواْ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS. An-Nahl, 16: 116)
Ayat di atas `menjelaskan bahwa hannya Allah sajalah yang boleh dan berhak dalam menghalalkan dan mengharamkan sesuatu, baik melalui kitab-Nya maupun melalui lisan Nabi-Nya. Sedangkan tugas ulama bukan untuk mensyari’atkan agama buat manusia, tetapi tugas ulama sesungguhnya tidak lebih dari sekedar menjelaskan hukum Allah terhadap apa yang dihalalkan dan diharamkan Allah.
Allah tidak mengharamkan sesuatu, jika tidak terdapat keburukan padanya, begitu juga Allah menghalalkan segala sesuatu yang terdapat kebaikan padanya.
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُم مِّنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللّهُ فَكُلُواْ مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُواْ اسْمَ اللّهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ ,الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ...
Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya". Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik... (QS. Al-Maidah, 5: 4-5)
3.    Keadaan Terpaksa Membolehkan yang Diharamkan
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah, 2: 173)
            Ayat di atas menjelaskan bahwa dalam keadaan terpaksa, maka sesuatu yang diharamkan menjadi dibolehkan. Para ulama kemudian menjelaskan ketentuan dalam hal ini dalam kaidah:
ألضرورة تُقدِّر بِقَدرها
Darurat itu diukur menurut ukurannya.
            Kaedah di atas menjelaskan bahwa seseorang dalam keadaan dharurat juga harus berusaha dulu untuk mendapatkan yang halal, sampai kemudian baru setelah upaya dilakukan, baru diperbolehkan mengambil yang dilarang sekedar seperlunya.
4.    Segala Sesuatu yang Membawa Kepada yang Haram adalah Haram
            Para ulama membuat suatu kaedah:
ماأدَّى إلى الحرام حرامٌ
            Segala sesuatu yang menjadi jalan kepada yang haram, maka dia juga haram.
C.  Halal dan Haram pada Makanan dan Minuman
1.     Makanan
a.    Semua Makanan yang Hidupnya di Laut Halal         
            Yusuf Qaradhawi (2007: 57-58), menjelaskan bahwa semua binatang yang hidup di laut halal, dimanapun dia berada, baik diambil dari laut dalam keadaan hidup maupun sudah menjadi bangkai, baik terapung maupun tidak, baik berupa ikan maupun binatang lain seperti anjing laut, babi laut, atau lainnya, terlepas apakah yang menangkapnya itu muslim ataupun non muslim ( Ahmad Rivauzi, 2015:368)
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعاً لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ ...
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan...(QS. Al-Maidah, 5: 96)
            Allah memberikan penjelasan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (QS. Al-Baqarah, 2: 168)
b.   Makanan yang Hidup di Darat
1)    Diharamkan Bangkai, Darah, Daging Babi, dan Binatang yang Disembelih untuk Selain Allah
Untuk binatang yang hidup di darat, Allah memberikan penjelasan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُواْ لِلّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ ,إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah, 2: 172-173)
            Berdasarkan ayat di atas, maka jenis binatang darat yang haram untuk dimakan itu Cuma empat macam, yaitu: 1) bangkai, 2) darah, 3) babi, dan 4) binatang yang disembelih dengan nama selain Allah (Ahmad Rivauzi, 2015:369).
            Keterangan yang sama juga ditemukan dalam firman Allah:
قُل لاَّ أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَّسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi --karena sesungguhnya semua itu kotor-- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."(QS. Al-An’am, 6: 145)
            Ahmad Rivauzi (2015: 370) menulis, termasuk dalam kategori bangkai adalah hewan yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas. Namun jika binatang tersebut sempat disembelih maka ia menjadi halal.[ii] Hal ini dapat dijumpai dalam firman Allah:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُواْ بِالأَزْلاَمِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Maidah, 5: 3)
            Yusuf Qaradhawi (2007: 49) menjelaskan bahwa salah satu kebiasaan orang jahiliyah adalah memotong bagian tertentu dari hewan yang masih hidup, atau menusuk binatang tersebut untuk mengambil darahnya. Maka Islam sangat melarang tindakan yang zhalim ini. Ibn Abbas pernah ditanya tentang limpa, lalu ia menjawab, “Makanlah”. Mereka berkata, “Limpa itu darah”. Ibn Abbas menjawab, “ Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atas kamu darah yang mengalir” (Ahmad Rivauzi, 2015: 371)
            Allah menghalalkan bangkai belalang dan ikan. Rasulullah menjelaskan ketika ditanya tentang air laut.
قال هو الطهور ماؤه الحِلُّ ميتَتُه
            “Nabi Saw menjawab, “ laut itu airnya suci dan bangkainya halal”. (Ahmad)
            Allah juga menghalalkan belalang.
حَدَّثَنَا أَبُو كَامِلٍ الْجَحْدَرِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ أَبِي يَعْفُورٍ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى، قَالَ: «غَزَوْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعَ غَزَوَاتٍ نَأْكُلُ الْجَرَادَ» ،(رواه مسلم)
“Kami berperang bersama Rasulullah sebanyak tujuh kali, maka kami memakan belalang bersama beliau”.( Muslim)
            Memamfaatkan tulang, kulit, bulu, tanduk binatang walupun dia bangkai dihalalkan dalam Islam. Hal ini didasarkan kepada Sabda Rasulullah Saw.
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُفَيْرٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، عَنْ يُونُسَ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: " وَجَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَاةً مَيِّتَةً، أُعْطِيَتْهَا مَوْلاَةٌ لِمَيْمُونَةَ مِنَ الصَّدَقَةِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «هَلَّا انْتَفَعْتُمْ بِجِلْدِهَا؟» قَالُوا: إِنَّهَا مَيْتَةٌ: قَالَ: «إِنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا»   (رواه البخارى)
Dari Ibn Abbas, dia berkata, “ Mantan budak perempuan Maimunah diberi hadiah seekor kambing, lalu kambing itu mati. Secara kebetulan Rasulullah melewati kambing itu, lalu beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak ambil kulitnya, lantas kamu samak dan kamu mamfaatkan?”. Mereka menjawab, “Dia itu bangkai”. Rasul menjawab, “ Yang diharamkan itu hanya memakannya”.(Bukhari)
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ، وَعَبْدُ العَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ وَعْلَةَ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ» (رواه الترمذي)
Berkata Rasulullah Saw, “ Kulit apa saja apabila sudah di samak, maka sesungguhnya ia telah suci”.
            Yusuf Qaradhawi (2007: 55) dalam Ahmad Rivauzi (2015: 372-373) berpegang kepada keumuman Hadits di atas sehingga membolehkan kulit anjing dan babi yang disamak. Dia menguatkan pendapatnya dengan pendapat Ahli Zhahir, Abu Yusuf murid Imam Abu Hanifah yang dikuatkan oleh Asy-Syaukani. Namun, walaupun Hadits tersebut bersifat umum, Imam Syafi’i mengecualikan kulit anjing dan babi. Walaupun di samak, kulit anjing dan babi tetap najis. Dan ulama lainnya seperti Imam Ishhaq bin Ibrahim menjelaskan bahwa maksud Hadits tersebut adalah semua kulit binatang yang halal dimakan dagingnya.[iii]
2)   Diharamkan Al-Khabaits (Kotor) dan Binatang yang Disuruh untuk Membunuhnya.    
            Ahmad Rivauzi (2015: 373) menjelaskan bahwa Allah juga mengharamkan sesuatu melalui lisan Nabi dan Rasulnya. Dalam hal ini, kriteria binatang yang diharamkan itu adalah binatang yang dianggap kotor (alkhabaits) dan binatang yang disuruh untuk membunuhnya baik karena alasan membahayakan atau karena kotor dan menjijikkan.
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوباً عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ...
(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma`ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk ...(QS. Al-A’raf, 7:157)
Al-Khabaits ini tentunya masing-masing orang bisa saja berbeda. Sesuatu yang dalam perasaan seseorang kotor dan menjijikkan, namun bagi orang lain biasa saja. Yusuf Qaradhawi (2007: 58), menjadikan himar (keledai) sebagai contoh dari yang al-Khabaits ini.
حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ بْنُ نَصْرٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، وَسَالِمٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: «نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الحُمُرِ الأَهْلِيَّةِ»(رواه البخارى)
            ...Rasulullah melarang memakan daging himar peliharaan (Bukhari)[iv]
            Menurut Yusuf Qaradhawi, (2007: 58) dikutip Ahmad Rivauzi (2015:374), para ulama berpandangan bahwa larangan memakan himar (keledai) sebagaimana diungkap dalam Hadits di atas adalah bersifat sementara, karena Rasulullah melakukan larangan tersebut pada saat perang Khaibar dan pada saat itu keledai merupakan satu hal yang sangat dibutuhkan untuk dijadikan kendaraan.
            Selanjutnya, termasuk juga binatang yang diharamkan untuk dimakan itu adalah ular, tikus dan sebagainya. Hal ini disebabkan karena Rasulullah menyuruh untuk membunuhnya juga termasuk kategori al-khabaits (kotor) dan karena alasan najis (Ahmad Rivauzi, 2015: 374).
وحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ، عَنْ شُعْبَةَ، ح وحَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى، وَابْنُ بَشَّارٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ: سَمِعْتُ قَتَادَةَ، يُحَدِّثُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " خَمْسٌ فَوَاسِقُ، يُقْتَلْنَ فِي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: الْحَيَّةُ، وَالْغُرَابُ الْأَبْقَعُ، وَالْفَأْرَةُ، وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ، وَالْحُدَيَّا " (رواه ومسلم (
... Rasulullah bersabda, “lima macam binatang yang jahat hendaklah dibunuh baik di tanah halal atau di tanah haram yaitu: ular, burung gagak, tikus, anjing galak dan elang."( Muslim)
وَحَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ، أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ»
...Dari Abu Hurairoh –radiyallahu ‘anhu- berkata, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda “Sucinya wadah salah seorang di antara kalian apabila anjing menjilat di dalamnya adalah dengan mencucinya tujuh kali, yang pertama kalinya dengan tanah. (Shahih Muslim(
3)   Diharamkan Binatang Buas yang Bertaring dan Burung Kuku Mencengkeram
3805 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، عَنِ ابْنِ أَبِي عَدِيٍّ، عَنِ ابْنِ أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحَكَمِ، عَنْ مَيْمُونِ بْنِ مِهْرَانَ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ: «نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ، وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ»(رواه  أبي داود)
            Rasulullah Saw., melarang pada hari Khaibar memakan semua binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku mencengkeram (Abi Daud)
            Yang dimaksud dengan binatang buas yang bertaring adalah binatang yang memangsa binatang lain dan memakannya dengan paksa, seperti harimau, singa, srigala atau anjing dan lainnya. Sedangkan burung yang berkuku mencengkeram adalah elang, rajawali, dan sejenisnya.
            Menurut Ibn ‘Abbas ra., tidak ada binatang yang diharamkan kecuali hanya empat macam sebagaimana yang disebutkan dalam al-Quran. Ibn Abbas berpandangan bahwa Hadits-Hadits yang melarang memakan binatang buas dan sebagainya itu hanya untuk memakruhkan, bukan mengharamkan. Singga Ibn Abbas berpendapat bahwa daging keledai adalah halal dan binatang buas adalah makruh. Pendapat Ibn Abbas ini diikuti oleh Imam Malik (Yusuf Qaradhawi, 2007: 59).
4)   Makanan Ahli Kitab
            Allah telah memberikan rukhshah dengan menghalalkan makanan ahli kitab bagi orang Islam. Hal ini dapat dijumpai dalam Firman Allah:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (QS. Al-Maidah, 5:5)
Menurut Yusuf Qaradhawi (2007: 65), dikutip Ahmad Rivauzi (2015: 376-377), kalimat “dan makan orang-orang yang diberi al-Kitab”adalah umum, meliputi semua makanan mereka, sembelihan mereka, buah-buahan mereka, dan lainnya. Semua itu halal bagi orang Islam selama tidak ada dalil yang mengharamkannya secara tegas seperti bangkai, darah yang mengalir, daging babi, dan sembelihan mereka yang menyebut nama selain Allah. Seorang muslim tidak berkewajiban menanyakan sesuatu yang ghaib darinya (sesuatu yang tidak disaksikannya). Misalnya, bagaimana cara menyembelihnya, apakah memenuhi syarat atau tidak, apakah disebut nama Allah atau tidak. Makanan yang gaib dari pengetahuan seorang muslim ini dihalalkan oleh Allah untuk memakannya dengan cara membaca basmalah di saat mau memakannya. Hal didasarkan kepada Hadits Rasulullah:
حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ المِقْدَامِ العِجْلِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الطُّفَاوِيُّ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ  رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ قَوْمًا قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَنَا بِاللَّحْمِ لاَ نَدْرِي أَذَكَرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ أَمْ لاَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «سَمُّوا اللَّهَ عَلَيْهِ وَكُلُوهُ» (رواه البخاري)
...Sesungguhnya suatu kaum memberi kami daging, tetapi kami tidak tahu apakah mereka menyebut nama Allah ataukah tidak ketika menyembelihnya. Lalu Nabi Saw.,bersabda, “Sebutlah nama Allah dan makanlah?”. (Al-Bukhari)[v]

Para ulama berbeda pendapat dengan tentang hukum sembelihan Majusi, Hindu dan lainnya. Ada yang berpendapat haram karena dianggap musyrik, namun ada juga yang menyamakan makanan mereka dengan makanan ahli kitab seperti ulama dari kalangan Malikiyah (Ahmad Rivauzi, 2015:377). Hal ini didasarkan kepada sabda Nabi Saw.
أخبرنا أَبُو مُصْعَبٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا مَالِكٌ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدِ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ذَكَرَ الْمَجُوسَ، فَقَالَ: مَا أَدْرِي كَيْفَ أَصْنَعُ فِي أَمْرِهِمْ؟ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ: أَشْهَدُ لَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلى الله عَلَيه وَسَلم، يَقُولُ: سُنُّوا بِهِمْ سُنَّةَ أَهْلِ الْكِتَابِ.(مالك بن أنس)
...Rasulullah bersabda, “Perlakukanlah mereka seperti perlakuan kepada ahli kitab”. [vi]
5)   Ketentuan tentang Binatang Buruan Darat
            Menurut Yusuf Qaradhawi (2007: 68-74) sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015: 378), ketentuan yang berkaitan dengan binatang buruan darat adalah:
Ø Orang yang berburu binatang disyaratkan memenuhi persyaratan yang berlaku bagi orang yang menyembelih yaitu, muslim, ahli kitab, atau orang yang dihukum sama dengan ahli kitab (Majusi, Shabi’in), dan tidak sedang melakukan ibadah ihram haji dan umrah.
Ø Seekor binatang dikatakan sebagai binatang buruan manakala binatang tersebut tidak dapat dilakukan penyembelihannya secara normal pada leher atau kerongkongannya. Jika dapat dilakukan penyembelihan pada leher, maka hal ini harus dilakukan, kecuali jika hal ini tidak dapat dilakukan maka penyembelihan dapat dilakukan dengan cara melukai dan mengalirkan darah pada bagian tubuh manapun dari binatang tersebut.
Ø Alat yang dipergunakan dalam berburu adalah alat yang dapat untuk melukai seperti panah, tombak, pedang dan lain sejenisnya dan disayaratkan membaca basmalah pada saat memanah atau menombak. Atau bisa juga alat berburu tersebut dalam bentuk binatang pemburu seperti anjing dengan syarat binatang tersebut  harus dilatih untuk berburu, anjing itu berburu untuk majikannya bukan untuk dirinya, dan menyebut nama Allah saat melepaskannya.Perbedaan apakah anjing itu berburu untuk dirinya atau untuk majikannya adalah, jika anjing itu memakan buruan itu, maka buruan itu untuk dirinya sehingga haram dimakan oleh seorang muslim, namun jika anjing itu tidak memakan buruannya, maka itu artinya buruan itu untuk majikannya, maka halal dimakan oleh seorang muslim.
c.    Binatang yang Hidup di Dua Alam (Hidup di Laut dan Darat)
Para ulama madzhab memiliki perbedaan pendapat dalam masalah hewan yang hidup di dua alam (air dan darat). Ulama Malikiyah membolehkan secara mutlak, baik itu katak, kura-kura (penyu), dan kepiting. Ulama Syafi’iyah membolehkan secara mutlak kecuali katak dan buaya. Burung air dihalalkan jika disembelih dengan cara yang syar’i. Ulama Hambali berpendapat hewan  yang hidup di dua alam tidaklah halal kecuali dengan jalan disembelih. Namun untuk kepiting itu dibolehkan karena termasuk hewan yang tidak memiliki darah. Ulama Hanafiyah berpandangan bahwa hewan yang hidup di dua alam tidak halal sama sekali karena hewan air yang halal hanyalah ikan (Ahmad Rivauzi, 2015: 379).
Rasulullah melarang membunuh katak dan larangan tersebut dijadikan alasan oleh ulama dalam mengharamkan memakan katak.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ، أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ، عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ خَالِدٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عُثْمَانَ: «أَنَّ طَبِيبًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ضِفْدَعٍ، يَجْعَلُهَا فِي دَوَاءٍ فَنَهَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِهَا»(رواه أبي داود)
...“Ada seorang tabib menanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai katak, apakah boleh dijadikan obat. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk membunuh katak.” (HR. Abu Daud no. 5269)
Imam Ahmad memiliki pendapat,
يُؤْكَلُ كُلُّ مَا فِي الْبَحْرِ إِلَّا الضُّفْدَعَ وَالتِّمْسَاحَ
  “Setiap hewan yang hidup di air boleh dimakan kecuali katak dan buaya. [vii]
2.    Minuman yang Haram
Khamar adalah jenis minuman yang diharamkan oleh Allah. Khamar adalah segala sesuatu yang memabukkan dan menghilangkan akal sehat manusia. Rasulullah tidak berpatokan kepada asal dan bahan untuk membuat khamar, tetapi beliau memandang pengaruh atau dampak yang ditimbulkan, yaitu memabukkan (Ahmad Rivauzi, 2015: 380)
وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، وَمُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ، قَالَا: حَدَّثَنَا يَحْيَى وَهُوَ الْقَطَّانُ، عَنْ عُبَيْدِ اللهِ، أَخْبَرَنَا نَافِعٌ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: وَلَا أَعْلَمُهُ إِلَّا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ»(رواه مسلم)
...Rasulullah bersabda, “semua yang memabukkan adalah khamar, dan semua khamar adalah haram”.(Muslim)
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ يَعْنِي ابْنَ جَعْفَرٍ، عَنْ دَاوُدَ بْنِ بَكْرِ بْنِ أَبِي الْفُرَاتِ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا أَسْكَرَ كَثِيرُهُ، فَقَلِيلُهُ حَرَامٌ»(رواه أبي داود )
...Rasulullah bersabda, “ segala sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka sedikitnya juga haram”.(Abi Daud)
Selanjutnya Rasulullah menjelaskan bahwa yang haram itu bukan Cuma meminumnya, juga termasuk memperdagangkan, membuat, dan lainnya.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُنِيرٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا عَاصِمٍ، عَنْ شَبِيبِ بْنِ بِشْرٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: " لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الخَمْرِ عَشَرَةً: عَاصِرَهَا، وَمُعْتَصِرَهَا، وَشَارِبَهَا، وَحَامِلَهَا، وَالمَحْمُولَةُ إِلَيْهِ، وَسَاقِيَهَا، وَبَائِعَهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا، وَالمُشْتَرِي لَهَا، وَالمُشْتَرَاةُ لَهُ " (رواه الترمذى وإبن ماجه)
...Rasulullah melaknat sepuluh orang berkenaan dengan khamar ini, yaitu: orang yang memerasnya, orang yang minta diperaskan, orang yang meminumnya, orang yang menghidangkannya, orang yang dibawakannya, orang yang menuangkannya, orang yang menjualnya, orang memakan hasil penjualannya, orang yang membelinya, dan orang yang minta dibelikan. (Al-Tirmizi dan Ibn Majah)
3.    Semua yang Membahayakan Dilarang untuk Dikonsumsi
Seorang muslim juga diperintahkan oleh Rasulullah untuk menjauhi semua yang membahayakan.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ: أَنْبَأَنَا مَعْمَرٌ، عَنْ جَابِرٍ الْجُعْفِيِّ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ»(رواه إبن ماجه)
...Rasulullah bersabda, “tidak boleh membuat bahaya dan membalas bahaya”. (Ibn Majah)
Imam Malik dalam al-Muwaththa’ menjelaskan bahwa terdapat dua pengertian dari  «لا ضرر ولا ضرار» : Pertama, segala sesuatu yang dapat membawa bahaya bagi orang lain, dan kedua, segala sesuatu yang dapat membahayakan pelakunya sendiri.[viii]
Hadits di atas dijadikan sebagai salah satu pijakan oleh sebagian ulama untuk mengharamkan rokok, walaupun sebagian ulama yang lain memiliki pandangan yang berbeda dengan memakruhkan rokok (Ahmad Rivauzi, 2015: 381).

Kepustakaan:
Yusuf al-Qardhawi, Halal dan Haram, Penj. Abu Sa’id al-Falahi dkk dari judul Asli al-Halal wa al-Haram fi al-Islam(Jakarta: Robbani Press, 2011) cet IX
Ahmad Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman; Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, (Ciputat: Penerbit Sakata Cendikia, 2015), Cet. I



[i] At-Tirmizi, Sunan al-Tirmizi (w. 279 H), Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir dan Muhammad Fuat ‘Abd al-Baqi (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Mushthafa al-Babi al-Hilbi, 1395 H/1975 M), Cet II, Juz 4, hlm. 220. Hadits ini dinilai hasan oleh Imam al-Bani
                [ii] Untuk mengetahui apakah binatang yang tercekik, jatuh, diterkam binatang buas masih hidup dan masih dapat disemblih, cukup dengan melihat adanya tanda kehidupan. Ali bin Abi Thalib berkata, “ Apabila masih ada kesempatan untuk menyembelih binatang yang dipukul, jatuh, ditterkam binatang busa...masih dapat menggerakkan tangan atau kakinya, maka makanlah binatang itu”. Para ulama fuqaha’ menjelaskan bahwa tanda kehidupan pada binatang tersebut adalah darahnya masih mengalir ketika binatang tersebut disembelih, dan masih ada gerakan ringan pada binatang tersebut. (Yusuf Qaradhawi, 2007: 51)

[iii] Baca, Al-Tirmizi, Sunan al-Tirmizi, Tahqiq: Muhammad Syakir dan Muhammad Fuad al-Baqi, (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Hilbi, ) Juz 4, hlm. 221
[iv] Bukhari, Shahih Bukhari, Hadits No. 4218, Juz 6, hlm. 136
[v] Bukhari, Shahih Bukhari, Juz 3, hlm. 54, No Hadits 2057
[vi] Malik bin Anas, Muwatha’ al-Imam Malik, Tahqiq: Basyar Iwad Ma’ruf dan Mahmud Khalil, (Muassasah al-Risalah, 1412) Juz 2
[vii] Baca, Abu al-‘Ala Muhammad Abd al-Rahman bin ‘abd al-Rahim al-Mubarakhfuri, Thfah al-Ahwazi bi Syarhi Jami’ al-Tirmizi, (Beirut: Dar alKitab al-‘Ilmiyah ),Juz I., hlm 189
[viii] Malik bin Anas, al-Muwathta’, Muhaqqiq: Muhammad Mushthafa al-A’zhami, (al-Imarat: 2004 M/1425 H), Cet. I, Juz 4, hlm 1078

Tidak ada komentar:

Posting Komentar