STRUKTUR RUH/NAFS
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA
A. Struktur Ruh/ Nafs
Ahmad Rivauzi (2015:28), menjelaskan bahwa ruh
atau nafs memiliki elemen atau komponen berupa daya-daya atau potensi.
Daya-daya tersebut adalah daya qalbu, ‘aqal’ dan hawa nafs
1.
Qalbu
Qalbu dengan segala
bentuknya (tunggal, dua, atau jama’) diungkap al-Quran sebanyak 132 kali dalam
126 surat. Jumlah ini tidak termasuk dalam bentuk kata kerjanya (fi’il).
Al-Gazhali melihat qalbu dari dua aspek. Pertama aspek jasmani
atau disebut juga qalbu jasmani. Yang dimaksud di sini adalah daging
yang berbentuk seperti jantung pisang yang terletak di dalam dada sebeleh kiri.
Kedua, qalbu ruhani, yaitu sesuatu yang halus (lathif), rabbani,
dan ruhani. Qalbu dalam pengertian ini merupakan esensi manusia
(Abdul Mujib, 2006:92).
Qalbu jasmani
merupakan jantung (heart) yang menjadi pusat jasmani manusia. Ia
berfungsi sebagai pusat peredaran dan pengaturan darah. Jika fungsi ini
berhenti, maka ajal (batas) hidup manusia habis dan terjadilah kematian.
Qalbu jasmani tidak cuma dimiliki manusia, tetapi dimiliki oleh semua
makhluk bernyawa seperti binatang. Sedangkan qalbu dalam pengertian
ruhani hanya dimiliki oleh manusia, yang menjadi pusat kepribadiannya. Namun
demikian, qalbu jasmani dan qalbu ruhani memiliki keterkaitan.
Apabila kondisi kejiwaan seseorang normal, senang, gembira atau bersedih, maka
frekuensi denyutnya akan terpengaruh (Abdul Mujib, 2006:87) .
Menurut Victor Said Basil (tt:155) qalbu memiliki
karakteristik khusus yaitu ia memiliki kecendrungan dan kemampuan yang disebut
dengan cahaya ketuhanan (nur al-Ilahi) dan mata batin (al-bashirah
al-bathiniyyah) yang memancarkan keimanan dan keyakinan (Mujib, 2006: 87). Qalbu
bersifat fitrah yang memiliki kecendrungan untuk menerima kebenaran dari
Allah karena ia disebut juga memiliki natur ilahiyyah yang merupakan
aspek supra-kesadaran manusia yang dipancarkan dari Tuhan (Mujib, 2006:
87).[i]
Al-Thabathaba’i menjelaskan bahwa fungsi qalbu
memiliki daya emosi; cinta, senang, benci, sedih, dan ingkar. Di samping daya
emosi, qalbu juga memiliki daya kognisi yang bersifat halus dan rabbani
yang mampu mencapai hakikat sesuatu. Qalbu dapat mencapai pengetahuan (ma’rifah)
melalui daya cita rasa (al-dzawqiyyah)[ii]
dan intuisi (al-hadsiyyah)[iii].
Qalbu mencapai puncak pengetahuan apabila manusia menyucikan dirinya (tazkiyat
al-nafs), sehingga ia dapat memperoleh ilham dan kasyaf (terbukanya
hijab yang mendinding qalbu. Qusyairi mengatakan bahwa pengetahuan qalbiyah
jauh lebih luas dan dalam ketimbang pengetahuan aqliyyah. Aqal tidak
dapat mengetahui hakikat Tuhan, sedangkan qalbu dapat mengetahui hakikat
yang ada (Abdul Mujib, 2006:91).
Hasil capaian kebenaran yang menurut akal
sehat dipandang tidak masuk akal, tidak tepat disebut irasional. Hal ini lebih
tepat disebut sebagai sesuatu yang transenden atau supra-rasional
(supra-kesadaran). Capaian kebenaran yang dimaksud seperti hal-hal yang
berhubungan dengan keyakian (al-i’tiqadiyyah), hidayah, ketaqwaan,
rahmah, tertangkapnya isyarat yang akan terjadi esok dan hal-hal lainnya.
Seperti ditegaskan Iqbal (1981:3), intuisi qalbu merupakan bentuk
tertinggi dari jenis intelektual (Mujib, 2006:92).
Menurut Mujib (2006:94-98), dengan
mempedomani QS. Al-Nahal [16]: 78; al-Isra’ [17]: 36; al-Mukminun [23]: 78;
as-Sajadah [32]: 9 dan al-Mulk [67]: 23, fungsi dan aktivitas qalbu (al-af’al
al-qalbiyyah) adalah sebagai berikut:
a.
Al-Sama’; daya qalbu yang mampu mendengar bisikan halus dan gaib atau
suara hati ( al-ashwat al-qalbiyyah). Bisikan itu bisa dalam bentuk
lintasan dan perintah bathiniyyah:
1) (al-khathir). Bisikan atau
lintasan tiba-tiba itu bisa datangnya dari syetan (al-khathir al-syaythani),
dari manusia itu sendiri (al-khathir al-insani) yang bersumber dari
suara hati manusia dan melahirkan firasat insani, dari malaikat (al-khathir al-malaki),
dan datang dari Allah langsung (al-khathir al-rabbani). Para nabi dan
rasul memperoleh anugrah ini melalui mu;jizat seperti wahyu, sedangkan para
wali dalam bentuk karamah.
2) Al-Warid; bisikan
batin berupa limpahan pengetahuan, ketajaman berfikir, dan bisikan kegembiraan
atau kesedihan. Hal ini lebih tinggi dari al-khathir. Hal ini kalau
tanpa diiringi rahmat Allah juga bisa menyebabkan kegaiban dan kegilaan (majnun).
3) Al-Bawadih;bisikan batin
berupa kejutan-kejutan gaib yang muncul tiba-tiba yang menimbulkan kegembiraan
atau kesedihan
4) Al-Hujum; bisikan
batin secara tiba-tiba tanpa usaha. Hal ini pernah terjadi pada masa Umar ibn
Khattab yang mampu melihat kondisi peperangan dari jarak jauh hingga beliau
memerintahkan kaum muslimin naik bukit. Kaum muslimin mendengarkan seruan jarak
jauh ini sehingga kaum muslimin memperoleh kemenangan.
b.
Al-Bashar; daya qalbu yang dapat melihat sesuatu yang gaib yang sering
disebut dengan kata hati (al-a’yan al-qalb). Melalui ini al-Gazhali
memahami rahasia-rahasia Tuhan (ma’rifah).
c.
Al-Fu’ad; daya qalbu yang dapat melihat kebenaran, al-Shadr; daya qalbu
yang menjadi tempat merasakan kelapangan (al-insyirah) dan kesempitan
(al-dhayq), al-taqallub; yang dapat berubah, al-syaghaf;
daya qalbu yang merupakan tempat cinta kepada pekerti baik, al-lubb;
daya qalbu yang menjadi inti relung kesadaran berupa keyakinan,
kesaksian santun dan kemuliaan, habat al-qalb; tempat cinta kepada
kebenaran, al-suwida’; daya qalbu tempat ilmu-ilmu agama, mahajat
al-qalb; daya qalbu yang merupakan manifestasi sifat-sifat Allah atau
mengkufurinya, al-Dhamir, daya qalbu tempat merasa yang
mengendalikan seseorang untuk kebaikan, al-sirr; relung kesadaran paling dalam
yang menjadi tempat terjadinya komunikasi dengan Allah, bayt al-hikmah;
daya qalbu yang hasilkan keikhlasan, bayt al-muqaddas; daya qalbu
lahir yang berhubungan dengan orang lain, bayt al-haram; daya qalbu
yang menyebabkan manusia memiliki keyakinan ekslusif hanya kepada Allah, bayt
al-izzah; daya qalbu yang antarkan seseorang mampu fana,dan al-afaq
al-mubin; puncak tingkatan qalbu manusia.
d.
Al-Syu’ur; daya qalbu yang berfungsi untuk merasakan suatu emosi.
Tipologi qalbu seseorang menurut Ibn Qayyim juga tergolong kepada
beberapa kategori. Pertama, qalbu yang hidup, yaitu hati yang selamat (salim),
baik (khair), dan suci (thuhur). Kedua, qalbu mayyitun,
yaitu hati para pendosa yang diselimuti ketamakan, keras, dan somong serta
ingkar. Ketiga, hati yang berpenyakit (qalbu al-maridh), yaitu hati orang menemima kebenaran tapi
sering mengabaikan kebenaran seperti iri, rakus dan lainya (Ibn Qayyim
al-Jawziyyah, 1939:7-15). Mari simak Hadits berikut:
إنّ في الجسد مضغة إذا صَلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله ألا وهي القلب
Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik,
maka akan baiklah seluruh tubuh. Jika ia rusak maka akan rusak pula seluruh
tubuh. Ketahuilah bahwa daging itu adalah qalbu, (HR al-Bukhari dari Nu’man ibn
Basyir)
2. ‘Aqal
Menurut Ma’an Ziyadat (1986:596) sebagaimana dikutip Mujib (2006:101), secara
etimologi, ‘aqal berarti menahan (al-imsak), ikatan (al-ribath),
menahan (al-hajr), melarang (al-nahi), dan mencegah (man’u).
Menurut Abi al-Baqa’ Ayyub ibn
Musa al-Husain al-Kufwi (1992:618), dalam Mujib (2006:102), berdasarkan makna bahasa ini maka orang yang
berakal dapat dikatakan sebagai orang yang mampu menahan dan mengikat hawa
nafsunya.‘Aqal juga memiliki dua makna.
a.
‘Aqal jasmani, yaitu salah satu organ tubuh yang terletak di kepala yang biasanya
disebut juga dengan otak (al-dimagh).
b.
‘Aqal ruhani, yaitu cahaya ruhani dan daya nafsani yang dipersiapkan untuk
memperoleh pengetahuan dan kognisi (al-mudrikat).
Menurut Ma’an Ziyadat (1986:596), ‘aqal
berbeda dengan tabiat (al-thab’u) dan qalbu. ‘Aqal mampu
memperoleh pengetahuan melalui daya nalar (al-nazhar), sedangkan tabi’at
memperoleh pengeahuan melalui daya naluri atau daya alamiyah (al-dharuriyyah).
Aqal memperoleh pengetahuan melalui daya argumentatif (al-istidlaliyyah),
sedang qalbu memperoleh pengetahuan melalui cita rasa (dzawqiyyah)
dan intuisi (al-hadsiyyah) (Mujib, 2006:103).
‘Aqal disebut di
dalam al-Quran sebanyak 49 kali. ‘Aqal dalam al-Quran dan sunnah diungkap hanya dalam bentuk kata
kerja. Tidak pernah ditemukan dalam bentuk kata benda (isim). Dengan
demikian, áqal bukanlah suatu
substansi (jawhar), melainkan aktivitas dari substansi tertentu (Abdul
Mujib, 2006:103-104).
Para ulama ada
yang menyebut bahwa ‘Aqal merupakan aktivitas qalbu sebagaimana
ayat Allah, QS. Al-Hajj [22]: 46.
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, mereka mempunyai hati yang
dengan itu mereka dapat memahami (ber’aqal) atau mempunyai telinga yang dengan
itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta,
tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”.(QS.Al-Hajj,22: 46.)
Al-Zukhaili berpandangan bahwa ‘aqal merupakan aktivitas otak.
Senada dengan pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa rasional bertempat di
kepala (otak) manusia. Ibn Miskawaih juga menyatakan bahwa jiwa berakal itu
berkedudukan di otak manusia, jiwa syahwat berkedudukan di hati, sedang jiwa
marah (ghadab) berkedudukan di jantung (Abdul Mujib, 2006:105).
Menurut Ahmad Rivauzi (2015:34), akal merupakan aktivitas nafs
namun menggunakan otak jasmani. Jika nafs mengindera menggunakan qalbu,
maka pandangannya bersifat ruhaniah (rasa dan intuisi), namun jika nafs
mengindera melalui akal, maka penginderaannya bersifat jasmaniyah yaitu melaui
media otak yang karakteristiknya adalah logika rasional. Dengan demikian, maksud
ayat di atas lebih ditujukan kepada qalbu dalam pengertian tempat yang
mampu menyerap cahaya iman dan nur Ilahi, dituntut untuk memfungsikan
indrawi jasmani otak untuk melakukan proses ta’aqqul yang logis serta
rasional.
Akal mampu mengantarkan manusia pada tingkat kesadaran, namun tidak
mampu mencapai supra-kesadaran. Akal mampu berpikir dengan logika formal pada
dunia sadar, tetapi tidak mampu manangkap sesuatu yang datangnya dari alam
supra-kesadaran (gaib). Pengetahuan yang diperoleh akal terbagi kepada dua
bentuk. Pertama, pengetahuan rasional-empiris, yaitu pengetahuan
yang diperoleh melalui bantuan indrawi. Kedua, pengetahuan rasional-idealis,
yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui pemikiran sehingga pengetahuan yang
dihasilkannya disebut dengan pengetahuan filsafat (Abdul Mujib, 2006:106-109).
Menurut al-Ghazali sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015:35), ada
beberapa bentuk aktivitas akal (al-af’al al-‘aqliyyah).
a.
Al-nazhar (sight atau vision); secara bahasa
berarti melihat, mempertimbangkan, memperhatikan, mengawasi dan menyidik dengan
pikiran. Al-nazhar lazimnya menggunkan alat bantu indra mata.
b.
Al-Tadabbur; daya akal yang memperhatikan sesuatu secara
seksama dan teratur, yang mengikuti logika sebab akibat.
c.
Al-Ta’ammul (contemplation); daya akal yang
mampu merenungkan sesuatu yang abstrak.
d.
Al-Istibshar (insight); daya akal yang
mencapai wawasan dan pengertian yang mendalam.
e.
Al-I’tibar; daya akal yang mampu mengaitkan suatu
peristiwa dengan sesuatu tanda-tanda (al-‘alamah).
f.
Al-Tafkir (thinking);berpikir yang
meliputi kegiatan-kegiatan:
·
Al-hifzh; menghafal
·
Al-fahm; memahami
·
Al-dhihn; mencerna secara logika
·
Al-ta’rif; mendefinisikan
·
Al-tafsir; menjelaskan
g.
Al-Tadakkur; mengingat, mengembalikan memori yang
lazimnya melalui meditasi
3.
Hawa
Al-Ghazali (tt:347) menjelaskan, hawa adalah dorongan atau
potensi nafsani yang memiliki dua daya yaitu: pertama, al-ghadhab adalah daya menghindar dari
segala yang membahayakan. Al-ghadhab memiliki
natur seperti halnya binatang buas (subu’iyyah) yang memiliki naluri
dasar menyerang, membunuh, merusak, menyakiti, dan membuat yang lain menderita.
Jika hal ini dikelola, maka ia akan menjadi kekuatan yang positif. Kedua,
al-syahwat; suatu daya yang berpotensi menginduksi diri dengan segala
hal yang menyenangkan. Syahwat memiliki natur binatang jinak (al-bahimiyyah)
seperti seks, erotisme dan lain sebagainya yang mendatangkan kenikmatan. Menurut
Ibn Sina, daya indra hawa nafsu ada dua, yaitu indera lahir dan indra batin
melalui daya imajinasi (Mujib, 2006: 109-110).
B. Tipologi Nafs
1.
Nafsu al-Ammarah
Nafsu al-Ammarah adalah tipe ruh atau nafs
seseorang yang cenderung pada tabi’at mengejar kenikmatan jasadiyah (Ahmad
Rivauzi, 2015:36).
. Firman Allah
dalam QS. Yusuf [12]: 53,
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya
nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat
oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ruh atau nafs seseorang akan tergolong kepada kelompok ini jika
ia memperturutkan dorongan mengejar kenikmatan dunia. Ibn Qayyim menjelaskan
ketika seseorang menjadikan hawa sebagai pemimpin, syahwat sebagai
komandan, kebodohan sebagai sopir, kelalaian sebagai kendaraan, maka ruh atau nafs
akan cenderung mengajak kepada kebatilan (Mujib, 2006: 153). Kepribadian
seperti ini tergolong menganiaya diri (zhalim li nafsih). Keruhanian
seseorang akan berujung kepada penderitaan dan kegelapan (Ahmad Rivauzi,
2015:37).
.
2.
Nafsu al-Lawwamah
Menurut Ibn Qayyim, lawwamah berasal dari kata al-taluum yang bearti
al-taraddud (bimbang dan ragu-ragu). Kondisi diri seseorang yang lawwamah
seperti mengingat lalu lupa, menerima lalu menolak, halus lalu kasar, taubat
lalu durhaka, cinta lalu benci, senang lalu bersedih. Dikatakan lawwamah
karena sifatnya tercela karena meninggalkan iman, atau celaan karena berbuat
maksiat dan meninggalkan ketaatan (Mujib, 2006:158).
Kepribadian lawwamah
adalah kepribadian orang-orang yang telah memperoleh cahaya kalbu, lalu bangkit
menyesali kesalahannya. Dalam upayanya kadang ia berbuat buruk karena watak
aniayanya, tetapi kemudian ia diingatkan oleh nur ilahi, sehingga ia mencoba
memperbaiki dan menyesalinya serta mohon ampun. Kepribadian ini antara
kepribadian ammarah dan muthmainnah (Abdul Mujib, 2006:158).
وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”. (QS. Al-Qiyamah [75]: 2)
3.
Nasu al-Muthmainnah
Menurut (Abd
al-Razzaq al-Kalasyani, 1992:116), ruh atau nafs seseorang akan menjadi muthmainnah
apabila seseorang selalu berorientasi kepada suara qalbu untuk menghilangkan
semua kotoran dan raih kesucian sehingga ia dapat memperoleh ketentraman.
Pribadi yang muthmainnah adalah pribadi yang telah diberi kesempurnaan
cahaya qalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh
sifat-sifat yang baik (Mujib, 2006:162).
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى ,فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan
diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal
(nya)”.( QS. An-Nazi’at [79]: 40-41 )
يَاأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ,ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً,فَادْخُلِي فِي عِبَادِي,وَادْخُلِي جَنَّتِي
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas
lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah
ke dalam surga-Ku”. (QS. Al-Fajr, 89:27-30)
Berdasarkan gambaran ayat di atas dapat dipahami bahwa satu-satunya tipe
manusia yang akan memperoleh seruan untuk memperoleh derjat hamba Allah adalah
orang yang jiwanya (ruh atau nafs) yang terkategori nafs muthmainnah;
yang mampu mengendalikan dorongan hawa
nafsu yang cenderung mengejar kepuasan bendawi (Ahmad Rivauzi, 2015:38).
Sumber:
Ahmad
Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman; Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik Pribadi
dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, (Ciputat: Sakata
Cendikia, 2015) Cet I
[i] Istilah supra kesadaran (di atas kesadaran)
tidak terdapat dalam kajian psikologi Barat. Dalam psikologi Barat yang dikenal
Cuma istilah kesadaran dan bawah sadar atau ketidak sadaran. Dalam perspektif
kaum religius, beragama dan keber-agamaan tidak semata-mata pilihan sadar
manusia, tetapi juga atas hidayah Allah sehingga pencapaiannya merupakan
anugrah dari Allah Swt. Abdul Mujib, Kepribadian
dalam Psikologi Islam,2006: 88
[ii] Dzawq adalah cita rasa atau pengetahuan spiritual
langsung. Dzawq dikatakan tahapan pertama dalam pengungkapan pengalaman rahasia
Allah (tajalli). Pengalaman ini diikuti oleh mabuk spiritual (sukr).
Orang-orang yang merasakan pasti dapat mengetahuinya. Tanpa secara langsung
merasakan tidak akan ada pemahaman atau ma’rifah. Amatullah Amstrong, Khasanah
Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tashawuf, Terj. MS Nasrullah, judul asli
“Sufi Terminology (al-Qamus al-Sufi): The Mystical Language of Islam”,
(Bandung: Mizan, 1998) h. 62
[iii] Dalam Grolier
Enccyclopedia 2000 , intuisi diartikan senagai pengetahuan tentang konsep,
kebenaran, atau pemecahan masalah , yang dicapai secara spontan, tanpa melalui
tahapan-tahapan penalaran dan penyelidikan. Ia merupakan hasil dari kecakapan,
kemampuan, dan simpati khusus terhadap objek. Copyright (c) 1999 Grolier
Interactive Inc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar