Rabu, 20 Maret 2013

BIOGRAFI SYAIKH ALI IMRAN BIN HASAN (1926-2017 M) ; Pendiri Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan Pakandangan Padang Pariaman


Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA
Pondok Pesantren Nurul Yaqin terletak di Jorong Ringan-ringan kenagarian Pakandangan, Kecamatan Enam Lingkung Kabupaten Padang Pariaman. Sebelah Timur berbatasan dengan Lubuk Alung, sebelah Barat berbatasan dengan Sintuak, sebelah Selatan berbatasan dengan Pauah Kamba, sebelah Utara berbatasan dengan Sicincin.
            Syaikh Ali Imran adalah pendiri Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-ringan Pakandangan. Dari salah satu sumber berupa catatan wawancara Tuanku Nafriandi dan Muzilatunil Isma,[1] diperoleh keterangan tentang Biografi Syaikh Ali Imran.
            Nafriandi menulis, [2] Syaikh Ali Imran lahir pada waktu subuh, tanggal 30 Juni 1926 di Tanjung Aur. Ayah beliau bernama Pakiah Hasan dan ibunya Siti Marin.
            Latar belakang penamaan beliau dengan nama Ali Imran adalah ketika ayah beliau (Pakiah Hasan) menghadiri suatu perdebatan di Pariaman antara ulama Lahore berusia 70 tahun dengan ulama Pariaman yang bernama Ali Imran yang berusia 25 tahun. Tema perdebatan tersebut adalah tentang keberadaan Nabi Isa. Ulama Lahore berpendapat bahwa Nabi Isa mati dan dikuburkan, sedangkan Ali Imran menyatakan bahwa Nabi Isa dinaikkan ke langit dan kelak akan turun di akhir zaman.  Perdebatan tersebut dimenangkan oleh Ali Imran.
            Setelah pulang ke rumah, Pakiah Hasan mendapati anaknya telah lahir, maka kemudian anak itu diberinya nama Ali Imran dengan harapan agar kelak setelah dewasanya, anaknya tersebut selalu menang dalam segala perdebatan.
            Pada tahun 1927, seorang ulama besar Pakandangan yang bernama Syaikh Mato Air meningal dunia. Setahun sebelum beliau meninggal dunia, Syaikh Mato Air meminta kepada Piak Banyak (nenek Ali Imran) untuk membawa cucunya (Ali Imran) kepada beliau. Di hadapan Syaikh Mato Air Piak Banyak menyerahkan Ali Imran kecil kepada Syaikh Mato Air. Piak Banyak berkata,” Iko cucu ambo mak Ungku” (ini cucu saya Ungku). Syaikh Mato Air menjawab, “Oh, iko cucu engkau Piak Banyak, anak Pakiah Hasan dan Marin? (Oh ini cucumu Piak Banyak, anak dari Pakiah Hasan dan Marin?). Maka kemudian Syaikh Mato Air menggendong Ali Imran kecil dan meniupkan beberapa kali ke arah Ali Imran. Kemudian Syaikh Mato Air berkata, “Iko cucu engkau Piak Banyak, paliharo baiak-baiak, iko nan ka managakkan kaji awak kudian (ini cucu engkau hai Piak Banyak, peliharalah baik-baik, karena dia yang akan meneguhkan paham pengajian kita kelak).[3]
            Piak Banyak kemudian bertanya, “ba a caro mamaliharonya mak Ungku? (bagaimana cara memeliharanya, mak Ungku?). Syaikh Mato Air menjawab, “kok sakik capek diubek, kok lapar capek diagiah makan, kok haus capek diagiah minum” (kalau dia sakit cepat diberi obat, kalau dia lapar, cepat diberi makan, dan kalau dia haus, cepat diberi munum).
            Setelah memperingati 100 hari wafatnya Syaikh Mato Air, ninik mamak dari kaum beliau mengadakan musyawarah. Di antara yang ikut dalam musyawarah tersebut adalah Pakiah Hasan. Pada saat musyawarah tersebut, Datuak Barawuang (mamak pamuncak Majolelo) berkata, “ Ba a lai, inyiak ungku lah maningga, urang siak banyak, surau lai panuah, ba a dek kito? ( Bagaimana lagi, Syaik Ungku ( Syaikh Mato Air) sudah meninggal dunia, orang yang belajar agama banyak, surau penuh, apa yang harus kita lakukan)”.
            Mendengar perkataan Datuak Majolelo tersebut, Pakiah Hasan menanggapi dan berkata, “ Kito tiru Ampalu Tinggi, di sinan, kalau buyanyo maningga, diwasiatkan kepado anaknyo ,’ Saindak den bisuak, labai yang maaja di siko, itu parak karambia 1000 warisan den, sawah 1000 sabitan, ambiak dek waang, jan kana-kana pancarian yang lain! (kita ikuti yang terjadi di Surau Ampalu Tinggi. Di sana, jika gurunya meninggal dunia, beliau berwasiat kepada anaknya, ‘setelah aku tiada nanti, Labai yang mengajar di sini, itu ada kebun kelapa 1000 batang, aku wariskan sawah 1000 sabitan, semuanya engkau ambil, jangan memikirkan pekerjaan lain). Pakiah Hasan melanjutkan, “ Surau Mato Air, kito cari ulama yang pandai maaja, dan inyiak Syaikh punyo sawah, mako kito sadaqahkan kepado beliau” (Surau Mato Air, kita carikan ulama yang pandai mengajar, maka kita sedekahkan sawah milik Syaikh Mato Air tersebut kepada ulama tersebut). Mendengar ungkapan Pakiah Hasan, lalu ninik mamak saling berbisik dan berkata, “ kok inyo nee ndak? (dia;Pakiah Hasan ingin sadaqah itu untuk dirinya). Mendengar bisik dan perkataan ninik mamak tersebut, Pakiah Hasan menceraikan Siti Marin (istrinya).[4]  
            Silsilah kepemimpinan di Surau Ampalu Tinggi yaitu: Syaikh Usman, Syaikh Labai, Syaikh Katapiang, Syaikh Talawi, Syaikh Muhammad Yasin Mudik Padang
            Pada tahun 1932, Siti Marin menikah dengan seorang laki-laki yang bernama Labai Ma’ruf yang tinggal di Punggung Kasik. Dalam perkawinan ini lahirlah seorang anak laki-laki yang bernama  Muslim Rasyid. Satu tahun kemudian Siti Marin bercerai dengan Labai Ma’ruf.
            Ali Imran dan adiknya Muslim Rasyid berbeda warna kulit. Ali Imran memimilki kulit yang hitam, sedangkan adiknya Muslim Rasyid memiliki kulit yang putih.
            Pada satu ketika, dalam tahun 1935 di saat Ali Imran menggendong adiknya di Kampung Pandan, salah seorang tetangganya berkata kepada Ongah (andung Piak Banyak), “Ba a cucu Ongah ko, takah gagak manjunjung busa” (bagaimana cucu Ongah tu, seperti gagak menjunjung busa). Setelah berumur 9 tahun, kata-kata ini terdengar lagi oleh Ali Imran sewaktu dia menggendong adiknya. Karena sedihnya, Ali Imran tinggalkan adiknya dan berkata, “ Ambo buruak karano ayah ambo buruak, adiak ambo rancak karano ayahnyo rancak. Bialah ambo pai jo ayah ambo, inyo pai jo ayahnyo” (saya jelek karena ayah saya jelek, adik saya gagah karena ayahnya gagah. Biarlah saya ikut dengan ayah saya, dan dia ikut dengan ayahnya).
            Sesampainya di Tanjung Aur, Ali Imran bertemu dengan andungnya yang sedang menggendong cucu dan diikuti oleh adik Ali Imran Muslim Rasyid dari belakang. Kemudian datang ayahnya Pakiah Hasan yang telah bergelar Tuanku Bagindo dan berkata kepada Piak Banyak, “Ma Miran? (mana Ali Imran). Lalu piak Banyak menjawab sambil memanggil Ali Imran, “Ran, ayah lah tibo” (Ali Imran, ayahmu sudah datang). Kemudian Ali Imran dibawa ayahnya ke Sitanang III Koto Lubuk Basung. Di sini Ali Imran mengaji dan menamatkan kelas lima Sekolah Dasar pada tahun 1940.
            Pada tahun 1941, Pakiah Hasan (Tuanku Bagindo) pindah ke Tapian Kandih di daerah Palembayan Matur, Agam. Pada tahun itu juga Tuanku Bagindo dan Ali Imran pulang ke ringan-ringan. Aktivitas Ali Imran di Ringan-ringan adalah bertani dan menjual ternak. Di samping bertani dan beternak, Ali Imran juga mengaji (belajar ilmu agama) dengan ayahnya.[5] Walaupun Ali Imran mengaji dengan ayahnya, namun kegiatan mengaji ini tidak rutin dan dapat dikatakan intensitasnya kurang. Karena kondisi inilah kemudian Ali Imran berfikir, kalau tetap di kampung terus menerus, maka tentunya tidak akan pernah bisa menjadi pandai dan ‘alim dalam ilmu agama. Sehingga kemudian Ali Imran membulatkan tekat untuk pergi merantau menuntut ilmu agama. Keiinginan ini disampaikannya kepada ayahnya. Dengan rasa takut Ali Imran berkata, “Yah, ambo pai mangaji ka nagari urang” (ayah, saya mau pergi belajar agama ke negeri orang). Tuanku Bagindo menjawab, “di rumah selah waang mangaji, malin se ang tu. Caliak si Razak”(di rumah sajalah kamu belajar ilmu agama, nanti kamu akan menjadi orang yang alim, coba perhatikan si Razak [6]). Mendengar saran dari ayahnya, Ali Imran tetap pada keiinginannya untuk merantau menmpelajari ilmu agama. Ali Imran meyakini, jika tetap bertahan di kampung, pekerjaan banyak dan tentunya waktu akan lebih banyak dihabiskan untuk bertani dan lain sebagainya.
            Suatu ketika, Ali Imran menyampaikan maksudnya kepada ibu tirinya yang bernama Aliyah. Ali Imran menyampaikan maksudnya sambil menghadap ke arah rel kereta api dan berkata, “ uwai, tolong katokan ke ayah, ambo pai mangaji ka nagari urang” (Ibu, tolong sampaikan ke ayah saya, saya mau pergi belajar agama ke negeri orang). Ibu tiri Ali Imran beranggapan Ali Imran mau bunuh diri pada rel kereta api jika tidak peroleh izin dari ayahnya. Maka berkatalah ibu tiri Ali Imran kepada Tuanku Bagindo, “Ungku, suruahlah anak pai mangaji, kalau indak inyo ka giliang diri di rel kereta api” (Ungku, suruhlah anak pergi belajar agama! Sebab kalau tidak, ia akan menggilaskan dirinya di rel kereta api).
            Akhirnya ayah Ali Imran memberi izin kepada Ali Imran untuk pergi belajar agama. Tuanku Bagindo berkata, “Ran, ang den sarahkan ka kawan den, Tuanku Haji Ibrahim Koto Baru Padang Panjang” (Ran, engkau saya serahkan belajar agama kepada kawan saya yang bernama Tuanku Ibrahim di Koto Baru Padang Panjang).
            Pada tahun 1944, pada masa pendudukan Jepang, Wali Nagari Koto Baru berselisih paham dengan Tuanku Haji Ibrahim. Tuanku Haji Ibrahim adalah ulama yang beraliran kuno (kaum tua), sedangkan wali nagari beraliran modern (kaum muda). Setiap Jepang meminta tenaga gotong royong (Romusha), Wali Nagari selalu mengajukan orang siak ( sebutan untuk orang-orang Kaum Tua). Pada suatu hari, Haji Ibrahim berkata, “ Apabila mereka lakukan hal ini lagi, saya akan pindah ke Padang”. Dua orang murid Haji Ibrahim yang berasal dari Payakumbuh berkata kepada Ali Imran, “Guru kito, Ungku akan pindah ke Padang, ka pai pulo kito ka Padang?” (Guru kita, Ungku akan pindah ke Padang. Apakah kita akan ikuti beliau ke Padang). Ali Imran menjawab, “Indak. Dari siko, Padang adalah rantau, tambah ka dareknyo” (Tidak, kalau dari sini, Padang itu adalah daerah rantau. Saya ingin lebih ke arah darek). Salah seorang teman Ali Imran berkata, “ kakak den seangkatan dengan ungku lo, duru muridnyo banyak, kini tingga sambilan. Ka baliau kito mangaji” (kakak saya seangkatan dengan anda, dulu muridnya banyak, sekarang tinggal sembilan, kepada beliau saja kita belajar agama). Maka Ali Imran bersama dua temannya berangkat ke Mungo yaitu kepada Ajo Diris dan seorang guru tuo Sasak untuk menuntut ilmu kepada Syaikh Syahidan Syarbaini.[7]
            Selama di Mungo, guru yang mengajar di kelas tertinggi adalah guru tuo Pontang. Ali Imran belajar agama kepada beliau. Banyak pertanyaan Ali Imran yang tidak terjawab oleh guru tuo Pontang. Hal ini menyebabkan beliau langsung belajar agama kepada Syaikh Syahidan Syarbaini. Karena merasa tidak enak hati, guru tuo Pontang meminta ijazah kepada Syaikh. Selama di Mungo Ali Imran tidak banyak kesempatan belajar dengan Syaikh karena Syaikh Syahidan Syarbaini memiliki penyakit wasir. Ali Imran mendalami Ilmu Sharaf di Mungo selama Tiga tahun yaitu pada tahun 1944 – 1946.
            Dalam catatan Tuanku Nafriandi, Syaikh Ali Imran mengisahkan beberapa pengalaman pahit beliau. Di antaranya adalah pengalaman pahit beliau di Mungo.
            Pengalaman Pahit Syaikh Ali Imran di Mungo ini juga pernah disampaikan oleh Syaikh Ali Imran sewaktu penulis berkunjung ke Ringan-ringan pada hari Rabu, tanggal 8 Februari 2012.
            Sewaktu di Mungo ini, Syaikh Ali Imran bertekad untuk tidak akan pernah pacaran. Di samping terdapat larangan syara’ yang mengharamkan pacaran, Syaikh Ali Imran juga memiliki beberapa pertimbangan dan alasan lain. Di antaranya beliau berkata, “ awak buruak, ayah jauah, mamak tidak ada, miskin dan tidak memiliki harta benda” (saya jelek, ayah juga jauh, mamak juga tidak ada, miskin dan tidak memiliki harta benda).
            Syaikh Ali Imran menuturkan bahwa ada seorang perempuan yang sudah punya anak empat bernama Painun. Suaminya bernama Khatib Beradok (Khatib Adok). Suatu hari Ali Imran pergi ke pasar Payakumbuh dengan berjalan kaki. Kemudian lewat Painun dan suaminya dengan menaiki bendi. Painun berkata kepada suaminya, “ Naikkan Ali Imran tu” (beri tompangan Ali Imran itu). Suami Painun berkata, “ Di ma ka diduduakkan?” (di mana mau di suruh duduk dia?). Painun menjawab, “di siko, dakek ambo” (di sini di samping saya).
            Ali Imran menolak tawaran tersebut. Namun Painun bersikeras, dan berkata, “Kalau indak, ambo samo bajalan kaki jo inyo” (kalau dia tidak mau, saya akan jalan kaki bersamanya). Karena Ali Imran tetap tidak mau menerima ajakan Painun, akhirnya Painun turun dari bendinya dan mengikuti Ali Imran dengan berjalan kaki. Tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut Ali Imran. Ketika perjalanan sudah sampai di Labuah Basilanag, Painun berkata, “Urang Cino yang ancak tu lai katuju dek Ungku? (Orang Cina yang cantik itu, apakah Ungku menyukainya?). Ali Imran menjawab, “Tidak”. Painun berkata lagi, “samo. Awak indak pulo katuju (sama, saya juga tidak suka)”. Painun terus mengikuti Ali Imran sampai ke pasar. Setibanya di toko yang menjual kopiah (peci), Ali Imran duduk di warung tersebut dan Painun pergi mencari suaminya.
            Sesampainya di rumah, Khatib Adok bertengkar dengan istrinya, sehingga karena marahnya, Painun ditendang ke luar rumah. Karena Khatib Adok adalah seorang guru silat, maka ia memerintahkan 20 orang muridnya untuk mengasah pisau  dan berkata, “Dabiah rang Piaman tu! (Bunuh orang Pariaman itu).
            Ali Imran mohon perlindungan kepada Allah Swt. Seseorang yang bernama Ande Ja’i melaporkan rencana Khatib Adok kepada ninik mamak Korong Bukik Gombak. Ja’i berkata, “Usialah Khatib Adok dan Painun! (Usirlah Khatib Adok dan Painun)”.
            Khatib Adok dan Painun adalah warga kayu berjajar (kojojo). Awalnya dia memiliki harta pusaka, namun karena tidak memiliki rumah, maka harta tersebut habis terjual untuk membangun rumah. Tidak lama setelah itu, Khatib Adok menderita penyakit stroke, dan Painun mencari pemenuhan kebutuhan hidup dengan melacurkan diri. Khatib Adok berkata kepada Painun, “Dulu pitih den banyak, kau sayang. Tapi kini pitih den lah habih, kau buek mode iko (dulu uang saya banyak, kamu sayang padaku. Tapi sekarang uang saya sudah habis, kamu melakukan ini padaku). Painun menjawab, “Kini ba a lai? Jo apo ka diagiah makan paruik tu? (sekarang bagaimana, dengan apa perut itu harus diisi). Painun mengajak masuk teman laki-lakinya. Khatib Adok melakukan tindakan nekat, dia menggerakkan-gerakkkan kepalanya sehingga lampu dama togok (lampu minyak) yang terletak di atas pembaringganya jatuh ke lantai. Akibatnya, rumah dan isinya hangus terbakar.
            Pada akhir tahun 1946, Ali Imran pindah ke Tiakar Payobasuang, Payakumbuh. Di sini Ali Imran belajar di Madrasah Islamiyah (MI) dan diterima di kelas V. Di sini Ali Imran belajar sampai tahun 1948 dan tamat kelas VII.
            Pada tahun 1949, dibuka kuliah di Padang Jopang Payakumbuh yang bernama Training College. Pimpinan lembaga ini adalah Syaikh Haji Nasharuddin Thaha. Ali Imran dan dua orang temannya yang bernama Bakhtiar dan Ali Nurdin mengikuti perkuliahan. Di sini, Ali Imran mendapat pujian dari kepala dosen (direktur). Sang Direktur mengatakan, “ Kapalo ang gadang. Hati-hatilah kuliah sampai lima tahun, ang ka dapek titel” (kepala kamu besar atau cerdas, rajinlah kuliah, setelah lima tahun engkau akan mendapatkan jabatan).
            Pada tahun 1950, Belanda angkat kaki. Ali Imran bersama dua temannya yang berna Ali Umar dan M. Nur Rauzi pindah ke Gunung Rajo X Koto. Kemudian pindah ke Tarbiyah Islamiyah Padang Lawas Malalo di bawah pimpinan Syaikh Zakariya Labai Sati.
            Di Malao ini Ali Imran diterima di kelas VII. Setelah belajar selama dua hari, guru kelas III sakit. Maka Ali Imran diminta untuk menggantikan guru yang sakit tersebut mengajar di kelas III. Namun karena guru yang sakit tersebut meninggal dunia, maka Buya Zakariya menetapkan Ali Imran mengajar di kelas III.
            Pada akhir tahun pelajaran, santri kelas III enggan untuk dinaikkan ke kelas IV karena tetap ingin belajar dengan Ali Imran. Akhirny Buya Zakariya Labai Sati memindahkan Ali Imran untuk mengajar di kelas IV. Di Malalo ini Ali Imran mengajar selama 10 tahun sampai tahun 1960. Masa 10 tahun mengajar di Malalo tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Kelas
Lama Mengajar
III
1 tahun
IV
2 tahun
V
2 tahun
VI
2 tahun
VII
3 tahun

            Nafriandi juga mencatat penuturan Syaikh Ali Imran, pada tahun 1958 perang PRRI mulai pecah. Di Nagari Malao Paninggahan telah tersiar melalui radio suara Presiden Soekarno yang mengatakan bahwa Malalo Paninggahan adalah sarang pemberontak. Hal ini memang sesuai dengan realita pada sa’at itu, kawasan Malao-Paninggahan dikuasai oleh tentara PRRI.
            Pada suatu pagi, di hari raya ‘Idul Adha, tepatnya di Korong Tangah XX tempat Ali Imran mengajar kedatangan seorang komandan tentara berpangkat Letnan. Sebelumnya, Pakiah Bagindo meminta Ali Imran untuk membaca khutbah di suraunya. Belum sempat Ali Imran permintaan Pakiah Bagindo, Mak Tan Ibrahim juga meminta Ali Imran setelah shalat ‘id agar datang ke rumahnya untuk berdo’a.        Belum juga sempat dijawab Ali Imran, pada sa’at itulah sang Letnan tentara masuk dan bertanya, “Kih orang mana?”. Adik Ali Imran yang bernama Idris, “orang Pakandangan Pak”. Letnan bertanya lagi, “Lai tantu Dullah Po” (apakah anda kenal dengan Dullah Po?). Idris menjawab lagi, “Lai pak (iya kenal pak)”. Setelah mendengar jawaban Idris, Letnan tersebut turun dan bertanya kepada seseorang yang bernama Zamzami, “Urang PKI ndak Pakiah tu Mi? (apakah pakiah itu termasuk anggota PKI)”. Zamzami kemudian menjawab, “Indak pak. Bahkan dek karano PKI makonyo beliau ka siko (Tidak Pak, bahkan karena inging menghindar dari PKI makanya beliau berada di sini)”.
            Akirnya Ali Imran ditetapkan dan diputuskan akan ditembak mati pada pukul 17.00 sore. Setelah pukul 16.00 sore, Ali Imran pergi ke surau untuk melaksanakan shalat ashar dan mandi, lalu beliau tertidur. Sekitar pukul 16.30 Wib, datang sepasukan tentara berjumlah 60 orang, dan siap menembak dari belakang mihrab surau. Sesa’at sebelum eksekusi tembak mati terhadap Ali Imran dilakukan, datang surat yang berbunyi:
“Sedapat surat ini, segera berangkat ke Padang Simawang, dan seluruh tentara berkumpul untuk pergi ke Padang Simawang Ombilin”

            Akhirnya selamatlah Ali Imran dari pembunuhan. Ketika Ali Imran terbangun dari tidurnya, teman-teman Ali Imran telah cemas dan bertanya kepada Ali Imran, “Lai tau Ungku, tadi ado tantara 60 orang siap menembak Ungku? (Apakah Ungku mengetahui, kalau tadi ada 60 orang tentara bersiap menembak Ungku)”. Ali Imran menjawab, “Tidak”.
            Esok harinya, tentara PRRI masuk ke daerah Simawang, kemudian disusul oleh tentara pusat. Letnan yang merencanakan pembunuhan terhadap Ali Imran tertangkap dan dibawa ke Padang Panjang. Setelah diinterogasi, kemudian dia dilepas. Si Letnan kembali ke Simawang, namun kemudian tentara PRRI mencurigai dia dan menangkap serta merampas senjatanya. Sewaktu tentara pusat masuk ke Simawang, dia tertangkap lagi dan hingga sampai sekarang tidak diketahui lagi di mana keberadaannya.         
            Pada tahun 1960, Ali Imran pulang ke ringan-ringan. Pada suatu hari, tepatnya hari Selasa, Ali Imran shalat zhuhur di Surau Murao Tambolong dekat Pasar Malalo. Setelah selesai shalat, murid-murid beliau datang menghampiri dan bertanya, “Buya lai ka pulang?” (apakah Buya nanti pulang). Ali Imran menjawab, “pulang kama?” (pulang kemana). Mereka menjawab, “ka Ringan-ringan” (pulang ke Ringan-ringan). Ali Imran menjawab, “satinggi-tinggi tabang bangau, pulangnyo ka kubang juo” (setinggi-tingginya terbang bangau, pulangnya ke kubangan juga).
            Ketika terjadi pergolakan PRRI memuncak, Buya Labai Sati pergi ke Aceh sehingga kegiatan belajar berhenti. Ali Imran berkata kepada Buya Zakariya Labai Sati, “ Ayah ambo Tuanku Bagindo di Ringan-ringan lai maaja pulo, manjalang Buya tibo, ambo mangaji se jo ayah ambo dulu” (Ayah saya Tuanku Bagindo pun mengajar agama di Ringan-ringan. Menjelang Buya pulang, biar saya belajar saja kepada ayah saya dulu).
            Bersama Ali Imran ikut murid-muridnya sebanyak 30 orang yang berasal dari Aceh, Riau, Jambi, dan Lintau. Sedangkan di Ringan-ringan sudah ada santri sebanyak 40 orang.
            Pada bulan Juli 1960 berdirilah Pondok Pesantren Nurul Yaqin. Pada tahun 2013 ini Syaikh Ali Imran  sudah berusia 87 tahun.
            Nafriandi juga mencatat, penuturan Syaikh Ali Imran, bahwa pada tahun 1960 tersebut, seorang tokoh PKI Guru Rahab (Ketua PKI) yang berkuasa di 2 x 11 Enam Lingkung Pariaman tertangkap. Dia diinterogasi oleh PRRI di Simpang Galanggang tentang orang-orang Pakandangan yang akan dibunuh. Tokoh PKI tersebut menjawab bahwa ada 100 nama yang didaftar untuk di bunuh. Empat di antaranya adalah Tuanku Abdurrazak, Tuanku Ali Imran, Tuanku Andah, dan Tuanku Shaliah Pengka.
            Kawan-kawan Tuanku Andah berkata kepada Tuanku Andah,” Ungku malam kini ka dibunuah PKI (Ungku malam akan dibunuh oleh PKI)”. Tuanku Andah menanggapi, “ Den indak ka lari. Kalau den lari, kacau Pakandangan ko (saya tidak akan melarikan diri. Kalau saya melarikan diri, maka Pakandangan akan kacau)”. Tuanku Andah memilih tetap di Surau dan semua pintu dibuarkan terbuka. Ketika subuh datang, Tuanku Andah pergi mengambil air wudhu’, PKI hanya diam mengawasi gerak gerik Tuanku Andah dan akhirnya pergi. Sedangkan Buya Ali Imran memilih tetap di rumah dan telah mempersiapkan sebuah pisau yang ditempatkan pada tonggak pintu.
            Dtuturkan oleh Syaikh Ali Imran, bahwa Pakandangan pada waktu itu dikuasai oleh PKI dan yang menjabat sebagai wali nagari adalah Inyiak Mak Eza. Sedangkan assistenya adalah Abu Bakar (seorang PKI). adapun tim screning di nagari tersebut adalah Sofyan. Ali Imran bermaksud meminta kartu di Pakandangan. Setelah sampai di kantor wali nagari, Ali Imran dibentak-bentak oleh Sofyan sehingga maksud Ali Imran tidak membuahkan hasil. Karena gagal, maka Haji Muslim (adik Ali Imran) berkomentar, “mungkin nio pitih pulo si Bakar ndak (mungkin si Bakar menginginkan uang sebagai pelicin urusan)”. Syaikh Ali Imran menjawab, “Tidak”.
            Pada satu kali, ada rapat dengan wali nagari di Ringan-ringan, di antara pembicaraan dalam rapat tersebut adalah pembicaraan tentang Ali Imran sendiri. Ali Imran menyampaikan maksud dan keinginannya. Wali nagari menanggapi maksud Ali Imran ingin membuat kartu tersebut. Tanggapan wali nagari adalah, “Hari Kamis mintak (hari Kamis saja mintak kartu tersebut)”.
            Pada hari Kamis yang dimaksud oleh wali nagari tersebut, Ali Imran datang ke kantor wali nagari. Sesampainya di sana, wali nagari sedang tidak ada di kantor. Ali Imran Cuma beretemu dengan Abu Bakar dan bertanya kepada Ali Imran, “ Apa kabar?”. . Ali Imran berkata, “ Ambo disuruah inyiak wali nagari  ka siko untuak mambuek kartu (saya disuruh oleh wali nagari untuk datang guna  membaut kartu)”. Akhirnya Ali Imran mendapatkan kartu itu juga.
             Pada tahun 2000, tepatnya pada bulan Februari, Syaikh Ali Imran pergi menunaikan ibadah haji. Pada akhir tahun 2001, Syaikh Ali Imran mengalami gangguan penglihatan (buta) sampai sekarang.
            Nafriandi dalam catatan wawancaranya dengan Syaikh Ali Imran menerangkan tentang prinsip-prinsip yang dimiliki oleh Syaikh Ali Imran dalam menuntut ilmu. Prinsip-prinsip itu adalah:
a)    Ketika belajar di Koto Baru, Syaikh Ali Imran berprinsip, “Pantang pulang sebelum ‘alim”.
b)   Di Mungo Syaikh Ali Imran bekerja di sawah, mengangkat padi sedangkan kitab dibawa ke rumah Syaikh untuk belajar agama.
c)    Ketika di Tiakar, Syaikh Ali Imran hannya fokus belajar menuntut ilmu. Syaikh Ali Imran memberikan perumpamaan, “ketika seseorang sedang memotret sesuatu, kemudian di saat memotret tersebut melintas seekor anjing, maka gambar yang tertangkap pastilah gambar anjing yang melintas”. Atas dasar cara pandang ini, maka Syaikh Ali Imran dalam hal makan, minum, dan pakaian beliau serahkan kepada Allah.
d)   Ali Imran kadang berjalan-jalan di perkampungan penduduk, dan sering orang kampung meminta beliau singgah ke rumah untuk memberikan pengajian dan berdoa. Setelah memberikan nasehat dan berdoa, kepada beliau diberikan masayarakat beras dan lain sebagainya.
            Bagi Syaikh Ali Imran, seorang guru haruslah ‘alim dan mendapat tempat di hati murid-murid dan masyarakatnya. Seorang guru yang tidak disenangi murid-murid dan masyarakat, dipandang sama dengan orang mandul yang tidak bisa memiliki anak.  Dalam hal ini, Nafriandi mencatat, bahwa Syaikh Ali Imran mengisahkan, pada satu ketika, ayah beliau Pakiah Hasan Tunaku Bagindo mengunjungi beliau yang kebetulan pada sa’at itu sedang menderita sakit kudis. Ayah beliau berkata, “Pai jo den beko! (ikut dengan saya nanti!)”.
            Atas dasar ajakan ayahnya itu, maka Syaikh Ali Imran mengikuti ayahnya. Ketika sampai di pasar, beliau istirahat di Surau Dagang Pariaman. Setelah melakukan shalat shubuh, beliau bersama ayah berangkat ke Bukittingi dengan berjalan kaki. Setelah 10 jam melakukan perjalaan kaki, beliau sampai di simpang Kapau. Pada sa’at itu berencanalah beliau dan ayahnya singgah ke rumah salah seorang murid ayah beliau (murid Tuanku Bagindo). Sesampainya di rumah tersebut, Syaikh Ali Imran melihat rumah tersebut bagus, kitab-kitab sangat banyak, di sekitar rumah juga terdapat air yang sangat jernih. Cuma sayangnya, murid-muridnya sedikit. 
            Tuanku Bagindo berkata dan memperkenalkan muridnya tersebut kepada Ali Imran, “ Iko murid den, pandai mangaji. Lai namuah ang mangaji? (ini murid saya, dia alim dan pandai dalam ilmu agama. Apakah kamu mau belajar kepadanya?). Ali Imran menolak tawaran ayahnya untuk belajar kepada murid ayahnya tersebut. Ali Imran menjawab, “Orang mandul tidak pandai baranak. (Orang yang mandul, tidak akan punya anak)”. Syaikh Ali Imran berpendapat, seorang yang alim, kalau tidak memiliki murid, sama artinya dengan orang mandul yang tidak pandai punya anak.
            Menurut Syaikh Muda Zulhamdi Tuanku Kerajaan Nan Shaliah, sebagaimana ditulis Nafriandi,[8] terdapat sejumlah nama yang kepadanya Syaikh Ali Imran menuntut ilmu. Nama-nama guru Syaikh Ali Imran bin Hasan Tuanku Bagindo  tersebut adalah:
1)      Syaikh Muhammad Amin bin Abdullah Mata Air Pakandangan
2)      Ungku Pakandangan
3)      Tuanku Sutan Pakandangan
4)      Ungku Andah Pakandangan
5)      Syaikh Muhammad Yatim Tuanku Sutan Ampalu Tinggi Tandikat Mudik Padang Pariaman
6)      Syaikh Muhammad Yasin Qadhi Koto Tujuah Malin Mandaro *
7)      Syaikh Hasan bin Muhammad Rahim Tuanku Bagindo Ringan-ringan*
8)      Tuanku Itam Muhammad Zein Surau Andaleh Ringan-ringan
9)      Syaikh Zakariya Labai Sati Padang Lawas Malalo
10)  Syaikh Syahidan Syarbaini Mungo Padang Mangateh Payakumbuh
11)  Syaikh Ibrahim Harun Tiakar Payobasung Payakumbuh
12)  Syaikh Shalih al-Mukarram Pasar Panjang Sungai Sariak Pariaman
13)  Syaikh Durra Angku Angin Padang Magek Batu Sangkar
14)  Syaikh Abu Bakar Sampan VII Koto Pariaman
15)  Syaikh Haji Ibrahim Ampalu Tinggi Pariaman
16)  Syaikh Muhamma Yunus Ungku Sasak Pasaman
17)  Syaikh Ungku Sidi Talue Sampan Pariaman
           Sedangkan dalam silsilah guru tarekatnya, nama-nama silsilah guru [9] Syaikh Ali Imran sampai kepada Syaikh Adurrauf Singkel adalah: 
Abdurrauf Singkel (W. 1105 H/1693 M)
Burhanuddin Ulakan
1056-1111 /1646-1699
Syekh Qadhi Padang Gantiang
Syekh Cupak
Syekh Muhammad Shalih Talawi
Syekh Ismael Padang Gantiang
Syaikh M. Yasin Qadhi Koto Tujuah Malin Mandaro
(1227-1367 H/ 1806-1946 M)
Syaikh Hasan bin Muhammad Rahim Tuangku Bagindo Ringan-Ringan Pakandangan (w. 1400 H/ 1980 M),
Syaikh Ali Imran bin Hasan ( lahir 1926 M)

Syekh H. Ali Imran Hasan wafat pada hari Rabu, tanggal 12 April 2017 M,  pukul 04.00 WIB. Syekh H. Ali Imran Hasan wafat di kediamannya yang berada di komplek Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan. Kabar duka ini cepat menyebar melalui media sosial dan pesan singkat hingga kawasan Pesantren Nurul Yaqin dipadati masyarakat yang datang berbagai daerah. 

Sumber: Ahmad Rivauzi, Pemikiran Abdurrauf Singkel tentang Pendidikan dan Implikasinya pada Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan Pakandangan Padang Pariaman, (Disertasi), Padang: PPs IAIN Imam Bonjol Padang, 2014         



 
               [1] Tuanku Nafriandi adalah salah seorang alumni Pondok Pesantren Nurul Yaqin dan pernah menjadi salah seorang tenaga pengajar pada Pesantren ini. Menurut keterangan Tuanku Zakirman pada tanggal 9 Februari 2013, sesa’at sebelum mempertemukan penulis dengan Nafriandi mengatakan bahwa Tuanku Nafriandi adalah orang yang diserahi amanat untuk menulis Biografi Syaikh Ali Imran. Namun sampai sa’at penulis menulis Biografi Syaikh Ali Imran pada Disertasi ini, Tuanku Nafriandi mengatakan bahwa dia baru berkesempatan menulis Biografi tersebut dalam bentuk catatan tangan hasil wawancaranya dengan Syaikh Ali Imran. Sehingga kepada penulis diberikan Biografi tersebut masih dalam bentuk catatan tangan hasil wawancara tersebut. Catatan Tuanku Nafriandi ini sangat membantu penulis dan sekaligus menjadi pelengkap catatan wawancara penulis dengan Syaikh Ali Imran pada awal Januari 2012.
                [2] Catatan wawancara Tuanku Nafriandi dan Muzilatunil Isma Wawancara  pada hari Selasa, tanggal 6 April 2010, pukul 14.00 Wib

                [3] Paham yang dimaksudkan adalah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, bermazhab Imam Syafi’i, dan bertarikat Syathariyyah
                [4] Dalam kultur Minang, seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dan tinggal di rumah keluarga perempuan sebagai seorang sumando. Pada masa dahulu, mamak istri atau saudara laki-laki dari istri sebagai mamak dalam kaumnya memiliki kekuasaan dan pengaruh besar terhadap kaum si istri. Berdasarkan realitas kultural seperti ini, maka sering kali ketika urang sumando berselisih paham atau berselisih dengan mamak kaum istrinya, maka sang suami atau urang sumando tersebut menceraikan istrinya sebagai bentuk dan reaksi ketidak sukaan atau ketidak senangannya terhadap ninik mamak kaum istrinya.
                [5] Wawancara penulis dengan Syaikh Ali Imran pada hari Rabu tanggal 11 Januari 2012
                [6] Tuanku Razak adalah salah seorang ulama Ringan-ringan Pakandangan dan merupakan keponakan dari ayah Ali Imran 
                [7] Catatan wawancara Nafriandi dengan Syaikh Ali Imran pada hari Selasa, tanggal 13 April 2010, pukul 14.00 Wib
                [8] Data diperoleh dalam catatan Nafriandi.  Tuanku Kerajaan  menuturkan nama-nama guru Syaikh Ali Imran kepada Nafriandi pada hari Sabtu, 8 Maei 2010, pukul 12.30
[9] Sumber: Naskah Pengajian Tarekat Syaikh Ali Imran Ringan-ringan Pakandangan dan keterangan murid beliau Tuanku Kerajaan pada hari Sabtu, 01 Oktober 2011

4 komentar:

  1. Terima kasih atas usahanya sehingga tulisan ini bisa menjadi pelajaran bagi generasi muda sekarang

    BalasHapus
  2. shubhanallah rindu sangat ambo dengan suasana ponpes nurul yaqin. tahun 1996 s.d 1998 ambo sempat menimba ilmu dipesantren ini.

    BalasHapus
  3. Subhanallah..
    Engkau Telah Mempertemukan Kami Dengan Seorang Ulama Yg Begitu Sangat Mendalami Islam..
    Dan Allhamdulillah Beliau Telah Menunjuki Kami Menuju Jalan KepadaMu..
    Alhamdulillah..

    BalasHapus
  4. Assalamualaikum

    Terimkasih Kpd penulis, Biografi ini mengingatkan saya akan alm. ayah yg dahulu pernah belajar dengan beliau di ringan2. Dan tulisan ini juga membuat saya rindu Tangah XX Malalo kampuang halaman tercinta.

    Pertama kali saya & Keluarga berkunjung ke ringan2 & bertemu dengan beliau kalau tidak salah itu thn 2012, Dimana kondisi penglihatan beliau nampak sudah mulai pulih, dan akhir dari kunjungan kami beliau bercerita kepada kami kalau kesembuhan penglihatanya bukan karena obat2an medis dsb, Tetapi beliau mendapatkan obat yg sangat ampuh dari salah satu muridnya terdahulu, yaitu "Ikhlas" berserah diri kepada Allah sepenuhnya akan ujian diberikan itulah obat dari penyakit beliau yg sudah bertahun2 beliau alami.

    "Terimakasih Buya yg sudah berbagi pengalaman dan pelajaran kepada kami.

    Wassalam

    BalasHapus