Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA
Pondok Pesantren Nurul Yaqin terletak di
Jorong Ringan-ringan kenagarian
Pakandangan, Kecamatan Enam Lingkung Kabupaten Padang Pariaman. Sebelah Timur berbatasan dengan Lubuk Alung, sebelah Barat berbatasan dengan Sintuak, sebelah Selatan berbatasan dengan Pauah Kamba, sebelah Utara berbatasan dengan Sicincin.
Syaikh
Ali Imran adalah pendiri Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-ringan Pakandangan.
Dari salah satu sumber berupa catatan wawancara Tuanku Nafriandi dan
Muzilatunil Isma,[1] diperoleh keterangan tentang Biografi Syaikh Ali Imran.
Nafriandi
menulis, [2] Syaikh Ali Imran lahir pada waktu subuh, tanggal 30 Juni 1926 di
Tanjung Aur. Ayah beliau bernama Pakiah Hasan dan ibunya Siti Marin.
Latar
belakang penamaan beliau dengan nama Ali Imran adalah ketika ayah beliau (Pakiah
Hasan) menghadiri suatu perdebatan di Pariaman antara ulama Lahore berusia 70
tahun dengan ulama Pariaman yang bernama Ali Imran yang berusia 25 tahun. Tema
perdebatan tersebut adalah tentang keberadaan Nabi Isa. Ulama Lahore
berpendapat bahwa Nabi Isa mati dan dikuburkan, sedangkan Ali Imran menyatakan
bahwa Nabi Isa dinaikkan ke langit dan kelak akan turun di akhir zaman. Perdebatan tersebut dimenangkan oleh Ali
Imran.
Setelah
pulang ke rumah, Pakiah Hasan mendapati anaknya telah lahir, maka kemudian anak
itu diberinya nama Ali Imran dengan harapan agar kelak setelah dewasanya,
anaknya tersebut selalu menang dalam segala perdebatan.
Pada
tahun 1927, seorang ulama besar Pakandangan yang bernama Syaikh Mato Air
meningal dunia. Setahun sebelum beliau meninggal dunia, Syaikh Mato Air meminta
kepada Piak Banyak (nenek Ali Imran) untuk membawa cucunya (Ali Imran) kepada
beliau. Di hadapan Syaikh Mato Air Piak Banyak menyerahkan Ali Imran kecil
kepada Syaikh Mato Air. Piak Banyak berkata,” Iko cucu ambo mak Ungku”
(ini cucu saya Ungku). Syaikh Mato Air menjawab, “Oh, iko cucu engkau Piak
Banyak, anak Pakiah Hasan dan Marin? (Oh ini cucumu Piak Banyak, anak dari
Pakiah Hasan dan Marin?). Maka kemudian Syaikh Mato Air menggendong Ali Imran
kecil dan meniupkan beberapa kali ke arah Ali Imran. Kemudian Syaikh Mato Air
berkata, “Iko cucu engkau Piak Banyak, paliharo baiak-baiak, iko nan ka
managakkan kaji awak kudian (ini cucu engkau hai Piak Banyak, peliharalah
baik-baik, karena dia yang akan meneguhkan paham pengajian kita kelak).[3]
Piak
Banyak kemudian bertanya, “ba a caro mamaliharonya mak Ungku? (bagaimana
cara memeliharanya, mak Ungku?). Syaikh Mato Air menjawab, “kok sakik
capek diubek, kok lapar capek diagiah makan, kok haus capek diagiah minum”
(kalau dia sakit cepat diberi obat, kalau dia lapar, cepat diberi makan, dan
kalau dia haus, cepat diberi munum).
Setelah
memperingati 100 hari wafatnya Syaikh Mato Air, ninik mamak dari kaum beliau
mengadakan musyawarah. Di antara yang ikut dalam musyawarah tersebut adalah
Pakiah Hasan. Pada saat musyawarah tersebut, Datuak Barawuang (mamak pamuncak
Majolelo) berkata, “ Ba a lai, inyiak ungku lah maningga, urang siak banyak,
surau lai panuah, ba a dek kito? ( Bagaimana lagi, Syaik Ungku ( Syaikh Mato
Air) sudah meninggal dunia, orang yang belajar agama banyak, surau penuh, apa
yang harus kita lakukan)”.
Mendengar
perkataan Datuak Majolelo tersebut, Pakiah Hasan menanggapi dan berkata, “ Kito
tiru Ampalu Tinggi, di sinan, kalau buyanyo maningga, diwasiatkan kepado
anaknyo ,’ Saindak den bisuak, labai yang maaja di siko, itu parak
karambia 1000 warisan den, sawah 1000 sabitan, ambiak dek waang, jan kana-kana
pancarian yang lain! (kita ikuti yang terjadi di Surau Ampalu Tinggi. Di sana,
jika gurunya meninggal dunia, beliau berwasiat kepada anaknya, ‘setelah aku
tiada nanti, Labai yang mengajar di sini, itu ada kebun kelapa 1000 batang, aku
wariskan sawah 1000 sabitan, semuanya engkau ambil, jangan memikirkan pekerjaan
lain). Pakiah Hasan melanjutkan, “ Surau Mato Air, kito cari ulama yang
pandai maaja, dan inyiak Syaikh punyo sawah, mako kito sadaqahkan kepado
beliau” (Surau Mato Air, kita carikan ulama yang pandai mengajar, maka kita
sedekahkan sawah milik Syaikh Mato Air tersebut kepada ulama tersebut).
Mendengar ungkapan Pakiah Hasan, lalu ninik mamak saling berbisik dan berkata, “
kok inyo nee ndak? (dia;Pakiah Hasan ingin sadaqah itu untuk dirinya).
Mendengar bisik dan perkataan ninik mamak tersebut, Pakiah Hasan menceraikan
Siti Marin (istrinya).[4]
Silsilah
kepemimpinan di Surau Ampalu Tinggi yaitu: Syaikh Usman, Syaikh Labai, Syaikh
Katapiang, Syaikh Talawi, Syaikh Muhammad Yasin Mudik Padang
Pada
tahun 1932, Siti Marin menikah dengan seorang laki-laki yang bernama Labai
Ma’ruf yang tinggal di Punggung Kasik. Dalam perkawinan ini lahirlah seorang
anak laki-laki yang bernama Muslim
Rasyid. Satu tahun kemudian Siti Marin bercerai dengan Labai Ma’ruf.
Ali
Imran dan adiknya Muslim Rasyid berbeda warna kulit. Ali Imran memimilki kulit
yang hitam, sedangkan adiknya Muslim Rasyid memiliki kulit yang putih.
Pada
satu ketika, dalam tahun 1935 di saat Ali Imran menggendong adiknya di Kampung
Pandan, salah seorang tetangganya berkata kepada Ongah (andung Piak Banyak), “Ba
a cucu Ongah ko, takah gagak manjunjung busa” (bagaimana cucu Ongah tu,
seperti gagak menjunjung busa). Setelah berumur 9 tahun, kata-kata ini
terdengar lagi oleh Ali Imran sewaktu dia menggendong adiknya. Karena sedihnya,
Ali Imran tinggalkan adiknya dan berkata, “ Ambo buruak karano ayah ambo
buruak, adiak ambo rancak karano ayahnyo rancak. Bialah ambo pai jo ayah ambo,
inyo pai jo ayahnyo” (saya jelek karena ayah saya jelek, adik saya gagah
karena ayahnya gagah. Biarlah saya ikut dengan ayah saya, dan dia ikut dengan ayahnya).
Sesampainya
di Tanjung Aur, Ali Imran bertemu dengan andungnya yang sedang menggendong cucu
dan diikuti oleh adik Ali Imran Muslim Rasyid dari belakang. Kemudian datang
ayahnya Pakiah Hasan yang telah bergelar Tuanku Bagindo dan berkata kepada Piak
Banyak, “Ma Miran? (mana Ali Imran). Lalu piak Banyak menjawab sambil
memanggil Ali Imran, “Ran, ayah lah tibo” (Ali Imran, ayahmu sudah
datang). Kemudian Ali Imran dibawa ayahnya ke Sitanang III Koto Lubuk Basung.
Di sini Ali Imran mengaji dan menamatkan kelas lima Sekolah Dasar pada tahun
1940.
Pada
tahun 1941, Pakiah Hasan (Tuanku Bagindo) pindah ke Tapian Kandih di daerah
Palembayan Matur, Agam. Pada tahun itu juga Tuanku Bagindo dan Ali Imran pulang
ke ringan-ringan. Aktivitas Ali Imran di Ringan-ringan adalah bertani dan
menjual ternak. Di samping bertani dan beternak, Ali Imran juga mengaji
(belajar ilmu agama) dengan ayahnya.[5] Walaupun Ali Imran mengaji dengan ayahnya, namun kegiatan mengaji
ini tidak rutin dan dapat dikatakan intensitasnya kurang. Karena kondisi inilah
kemudian Ali Imran berfikir, kalau tetap di kampung terus menerus, maka
tentunya tidak akan pernah bisa menjadi pandai dan ‘alim dalam ilmu agama.
Sehingga kemudian Ali Imran membulatkan tekat untuk pergi merantau menuntut
ilmu agama. Keiinginan ini disampaikannya kepada ayahnya. Dengan rasa takut Ali
Imran berkata, “Yah, ambo pai mangaji ka nagari urang” (ayah, saya mau
pergi belajar agama ke negeri orang). Tuanku Bagindo menjawab, “di rumah
selah waang mangaji, malin se ang tu. Caliak si Razak”(di rumah sajalah
kamu belajar ilmu agama, nanti kamu akan menjadi orang yang alim, coba
perhatikan si Razak [6]). Mendengar saran dari ayahnya, Ali Imran tetap pada keiinginannya
untuk merantau menmpelajari ilmu agama. Ali Imran meyakini, jika tetap bertahan
di kampung, pekerjaan banyak dan tentunya waktu akan lebih banyak dihabiskan
untuk bertani dan lain sebagainya.
Suatu
ketika, Ali Imran menyampaikan maksudnya kepada ibu tirinya yang bernama
Aliyah. Ali Imran menyampaikan maksudnya sambil menghadap ke arah rel kereta
api dan berkata, “ uwai, tolong katokan ke ayah, ambo pai mangaji ka nagari
urang” (Ibu, tolong sampaikan ke ayah saya, saya mau pergi belajar agama ke
negeri orang). Ibu tiri Ali Imran beranggapan Ali Imran mau bunuh diri pada rel
kereta api jika tidak peroleh izin dari ayahnya. Maka berkatalah ibu tiri Ali
Imran kepada Tuanku Bagindo, “Ungku, suruahlah anak pai mangaji, kalau indak
inyo ka giliang diri di rel kereta api” (Ungku, suruhlah anak pergi belajar
agama! Sebab kalau tidak, ia akan menggilaskan dirinya di rel kereta api).
Akhirnya
ayah Ali Imran memberi izin kepada Ali Imran untuk pergi belajar agama. Tuanku
Bagindo berkata, “Ran, ang den sarahkan ka kawan den, Tuanku Haji Ibrahim
Koto Baru Padang Panjang” (Ran, engkau saya serahkan belajar agama kepada
kawan saya yang bernama Tuanku Ibrahim di Koto Baru Padang Panjang).
Pada
tahun 1944, pada masa pendudukan Jepang, Wali Nagari Koto Baru berselisih paham
dengan Tuanku Haji Ibrahim. Tuanku Haji Ibrahim adalah ulama yang beraliran
kuno (kaum tua), sedangkan wali nagari beraliran modern (kaum muda). Setiap
Jepang meminta tenaga gotong royong (Romusha), Wali Nagari selalu mengajukan
orang siak ( sebutan untuk orang-orang Kaum Tua). Pada suatu hari, Haji Ibrahim
berkata, “ Apabila mereka lakukan hal ini lagi, saya akan pindah ke Padang”.
Dua orang murid Haji Ibrahim yang berasal dari Payakumbuh berkata kepada Ali
Imran, “Guru kito, Ungku akan pindah ke Padang, ka pai pulo kito ka Padang?”
(Guru kita, Ungku akan pindah ke Padang. Apakah kita akan ikuti beliau ke
Padang). Ali Imran menjawab, “Indak. Dari siko, Padang adalah rantau, tambah ka
dareknyo” (Tidak, kalau dari sini, Padang itu adalah daerah rantau. Saya ingin
lebih ke arah darek). Salah seorang teman Ali Imran berkata, “ kakak den
seangkatan dengan ungku lo, duru muridnyo banyak, kini tingga sambilan. Ka
baliau kito mangaji” (kakak saya seangkatan dengan anda, dulu muridnya
banyak, sekarang tinggal sembilan, kepada beliau saja kita belajar agama). Maka
Ali Imran bersama dua temannya berangkat ke Mungo yaitu kepada Ajo Diris dan
seorang guru tuo Sasak untuk menuntut ilmu kepada Syaikh Syahidan Syarbaini.[7]
Selama
di Mungo, guru yang mengajar di kelas tertinggi adalah guru tuo Pontang. Ali
Imran belajar agama kepada beliau. Banyak pertanyaan Ali Imran yang tidak
terjawab oleh guru tuo Pontang. Hal ini menyebabkan beliau langsung belajar
agama kepada Syaikh Syahidan Syarbaini. Karena merasa tidak enak hati, guru tuo
Pontang meminta ijazah kepada Syaikh. Selama di Mungo Ali Imran tidak banyak
kesempatan belajar dengan Syaikh karena Syaikh Syahidan Syarbaini memiliki
penyakit wasir. Ali Imran mendalami Ilmu Sharaf di Mungo selama Tiga tahun
yaitu pada tahun 1944 – 1946.
Dalam
catatan Tuanku Nafriandi, Syaikh Ali Imran mengisahkan beberapa pengalaman
pahit beliau. Di antaranya adalah pengalaman pahit beliau di Mungo.
Pengalaman
Pahit Syaikh Ali Imran di Mungo ini juga pernah disampaikan oleh Syaikh Ali
Imran sewaktu penulis berkunjung ke Ringan-ringan pada hari Rabu, tanggal 8
Februari 2012.
Sewaktu
di Mungo ini, Syaikh Ali Imran bertekad untuk tidak akan pernah pacaran. Di
samping terdapat larangan syara’ yang mengharamkan pacaran, Syaikh Ali Imran
juga memiliki beberapa pertimbangan dan alasan lain. Di antaranya beliau
berkata, “ awak buruak, ayah jauah, mamak tidak ada, miskin dan tidak
memiliki harta benda” (saya jelek, ayah juga jauh, mamak juga tidak ada,
miskin dan tidak memiliki harta benda).
Syaikh
Ali Imran menuturkan bahwa ada seorang perempuan yang sudah punya anak empat
bernama Painun. Suaminya bernama Khatib Beradok (Khatib Adok). Suatu hari Ali
Imran pergi ke pasar Payakumbuh dengan berjalan kaki. Kemudian lewat Painun dan
suaminya dengan menaiki bendi. Painun berkata kepada suaminya, “ Naikkan Ali
Imran tu” (beri tompangan Ali Imran itu). Suami Painun berkata, “ Di ma ka
diduduakkan?” (di mana mau di suruh duduk dia?). Painun menjawab, “di siko,
dakek ambo” (di sini di samping saya).
Ali
Imran menolak tawaran tersebut. Namun Painun bersikeras, dan berkata, “Kalau
indak, ambo samo bajalan kaki jo inyo” (kalau dia tidak mau, saya akan jalan
kaki bersamanya). Karena Ali Imran tetap tidak mau menerima ajakan Painun,
akhirnya Painun turun dari bendinya dan mengikuti Ali Imran dengan berjalan
kaki. Tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut Ali Imran. Ketika perjalanan
sudah sampai di Labuah Basilanag, Painun berkata, “Urang Cino yang ancak tu
lai katuju dek Ungku? (Orang Cina yang cantik itu, apakah Ungku
menyukainya?). Ali Imran menjawab, “Tidak”. Painun berkata lagi, “samo. Awak
indak pulo katuju (sama, saya juga tidak suka)”. Painun terus mengikuti Ali
Imran sampai ke pasar. Setibanya di toko yang menjual kopiah (peci), Ali Imran
duduk di warung tersebut dan Painun pergi mencari suaminya.
Sesampainya
di rumah, Khatib Adok bertengkar dengan istrinya, sehingga karena marahnya,
Painun ditendang ke luar rumah. Karena Khatib Adok adalah seorang guru silat,
maka ia memerintahkan 20 orang muridnya untuk mengasah pisau dan berkata, “Dabiah rang Piaman tu!
(Bunuh orang Pariaman itu).
Ali
Imran mohon perlindungan kepada Allah Swt. Seseorang yang bernama Ande Ja’i
melaporkan rencana Khatib Adok kepada ninik mamak Korong Bukik Gombak. Ja’i
berkata, “Usialah Khatib Adok dan Painun! (Usirlah Khatib Adok dan
Painun)”.
Khatib
Adok dan Painun adalah warga kayu berjajar (kojojo).
Awalnya dia memiliki harta pusaka, namun karena tidak memiliki rumah, maka
harta tersebut habis terjual untuk membangun rumah. Tidak lama setelah itu,
Khatib Adok menderita penyakit stroke, dan Painun mencari pemenuhan kebutuhan
hidup dengan melacurkan diri. Khatib Adok berkata kepada Painun, “Dulu pitih
den banyak, kau sayang. Tapi kini pitih den lah habih, kau buek mode iko
(dulu uang saya banyak, kamu sayang padaku. Tapi sekarang uang saya sudah
habis, kamu melakukan ini padaku). Painun menjawab, “Kini ba a lai? Jo apo
ka diagiah makan paruik tu? (sekarang bagaimana, dengan apa perut itu harus
diisi). Painun mengajak masuk teman laki-lakinya. Khatib Adok melakukan
tindakan nekat, dia menggerakkan-gerakkkan kepalanya sehingga lampu dama
togok (lampu minyak) yang terletak di atas pembaringganya jatuh ke lantai.
Akibatnya, rumah dan isinya hangus terbakar.
Pada
akhir tahun 1946, Ali Imran pindah ke Tiakar Payobasuang, Payakumbuh. Di sini
Ali Imran belajar di Madrasah Islamiyah (MI) dan diterima di kelas V. Di sini
Ali Imran belajar sampai tahun 1948 dan tamat kelas VII.
Pada
tahun 1949, dibuka kuliah di Padang Jopang Payakumbuh yang bernama Training
College. Pimpinan lembaga ini adalah Syaikh Haji Nasharuddin Thaha. Ali
Imran dan dua orang temannya yang bernama Bakhtiar dan Ali Nurdin mengikuti
perkuliahan. Di sini, Ali Imran mendapat pujian dari kepala dosen (direktur). Sang
Direktur mengatakan, “ Kapalo ang gadang. Hati-hatilah kuliah sampai lima
tahun, ang ka dapek titel” (kepala kamu besar atau cerdas, rajinlah kuliah,
setelah lima tahun engkau akan mendapatkan jabatan).
Pada
tahun 1950, Belanda angkat kaki. Ali Imran bersama dua temannya yang berna Ali
Umar dan M. Nur Rauzi pindah ke Gunung Rajo X Koto. Kemudian pindah ke Tarbiyah
Islamiyah Padang Lawas Malalo di bawah pimpinan Syaikh Zakariya Labai Sati.
Di
Malao ini Ali Imran diterima di kelas VII. Setelah belajar selama dua hari,
guru kelas III sakit. Maka Ali Imran diminta untuk menggantikan guru yang sakit
tersebut mengajar di kelas III. Namun karena guru yang sakit tersebut meninggal
dunia, maka Buya Zakariya menetapkan Ali Imran mengajar di kelas III.
Pada
akhir tahun pelajaran, santri kelas III enggan untuk dinaikkan ke kelas IV
karena tetap ingin belajar dengan Ali Imran. Akhirny Buya Zakariya Labai Sati
memindahkan Ali Imran untuk mengajar di kelas IV. Di Malalo ini Ali Imran
mengajar selama 10 tahun sampai tahun 1960. Masa 10 tahun mengajar di Malalo
tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Kelas
|
Lama Mengajar
|
III
|
1 tahun
|
IV
|
2 tahun
|
V
|
2 tahun
|
VI
|
2 tahun
|
VII
|
3 tahun
|
Nafriandi
juga mencatat penuturan Syaikh Ali Imran, pada tahun 1958 perang PRRI mulai
pecah. Di Nagari Malao Paninggahan telah tersiar melalui radio suara Presiden
Soekarno yang mengatakan bahwa Malalo Paninggahan adalah sarang pemberontak.
Hal ini memang sesuai dengan realita pada sa’at itu, kawasan Malao-Paninggahan
dikuasai oleh tentara PRRI.
Pada
suatu pagi, di hari raya ‘Idul Adha, tepatnya di Korong Tangah XX tempat Ali
Imran mengajar kedatangan seorang komandan tentara berpangkat Letnan.
Sebelumnya, Pakiah Bagindo meminta Ali Imran untuk membaca khutbah di suraunya.
Belum sempat Ali Imran permintaan Pakiah Bagindo, Mak Tan Ibrahim juga meminta
Ali Imran setelah shalat ‘id agar datang ke rumahnya untuk berdo’a. Belum juga sempat dijawab Ali Imran, pada
sa’at itulah sang Letnan tentara masuk dan bertanya, “Kih orang mana?”. Adik
Ali Imran yang bernama Idris, “orang Pakandangan Pak”. Letnan bertanya lagi, “Lai
tantu Dullah Po” (apakah anda kenal dengan Dullah Po?). Idris menjawab
lagi, “Lai pak (iya kenal pak)”. Setelah mendengar jawaban Idris, Letnan
tersebut turun dan bertanya kepada seseorang yang bernama Zamzami, “Urang
PKI ndak Pakiah tu Mi? (apakah pakiah itu termasuk anggota PKI)”. Zamzami
kemudian menjawab, “Indak pak. Bahkan dek karano PKI makonyo beliau ka siko
(Tidak Pak, bahkan karena inging menghindar dari PKI makanya beliau berada di
sini)”.
Akirnya
Ali Imran ditetapkan dan diputuskan akan ditembak mati pada pukul 17.00 sore. Setelah
pukul 16.00 sore, Ali Imran pergi ke surau untuk melaksanakan shalat ashar dan
mandi, lalu beliau tertidur. Sekitar pukul 16.30 Wib, datang sepasukan tentara
berjumlah 60 orang, dan siap menembak dari belakang mihrab surau. Sesa’at
sebelum eksekusi tembak mati terhadap Ali Imran dilakukan, datang surat yang berbunyi:
“Sedapat surat ini, segera berangkat ke Padang Simawang, dan
seluruh tentara berkumpul untuk pergi ke Padang Simawang Ombilin”
Akhirnya
selamatlah Ali Imran dari pembunuhan. Ketika Ali Imran terbangun dari tidurnya,
teman-teman Ali Imran telah cemas dan bertanya kepada Ali Imran, “Lai tau
Ungku, tadi ado tantara 60 orang siap menembak Ungku? (Apakah Ungku mengetahui,
kalau tadi ada 60 orang tentara bersiap menembak Ungku)”. Ali Imran menjawab,
“Tidak”.
Esok
harinya, tentara PRRI masuk ke daerah Simawang, kemudian disusul oleh tentara
pusat. Letnan yang merencanakan pembunuhan terhadap Ali Imran tertangkap dan
dibawa ke Padang Panjang. Setelah diinterogasi, kemudian dia dilepas. Si Letnan
kembali ke Simawang, namun kemudian tentara PRRI mencurigai dia dan menangkap
serta merampas senjatanya. Sewaktu tentara pusat masuk ke Simawang, dia
tertangkap lagi dan hingga sampai sekarang tidak diketahui lagi di mana
keberadaannya.
Pada
tahun 1960, Ali Imran pulang ke ringan-ringan. Pada suatu hari, tepatnya hari
Selasa, Ali Imran shalat zhuhur di Surau Murao Tambolong dekat Pasar Malalo.
Setelah selesai shalat, murid-murid beliau datang menghampiri dan bertanya, “Buya
lai ka pulang?” (apakah Buya nanti pulang). Ali Imran menjawab, “pulang
kama?” (pulang kemana). Mereka menjawab, “ka Ringan-ringan” (pulang
ke Ringan-ringan). Ali Imran menjawab, “satinggi-tinggi tabang bangau,
pulangnyo ka kubang juo” (setinggi-tingginya terbang bangau, pulangnya ke
kubangan juga).
Ketika
terjadi pergolakan PRRI memuncak, Buya Labai Sati pergi ke Aceh sehingga
kegiatan belajar berhenti. Ali Imran berkata kepada Buya Zakariya Labai Sati, “
Ayah ambo Tuanku Bagindo di Ringan-ringan lai maaja pulo, manjalang Buya tibo,
ambo mangaji se jo ayah ambo dulu” (Ayah saya Tuanku Bagindo pun mengajar
agama di Ringan-ringan. Menjelang Buya pulang, biar saya belajar saja kepada
ayah saya dulu).
Bersama
Ali Imran ikut murid-muridnya sebanyak 30 orang yang berasal dari Aceh, Riau,
Jambi, dan Lintau. Sedangkan di Ringan-ringan sudah ada santri sebanyak 40
orang.
Pada
bulan Juli 1960 berdirilah Pondok Pesantren Nurul Yaqin. Pada tahun 2013 ini
Syaikh Ali Imran sudah berusia 87 tahun.
Nafriandi
juga mencatat, penuturan Syaikh Ali Imran, bahwa pada tahun 1960 tersebut,
seorang tokoh PKI Guru Rahab (Ketua PKI) yang berkuasa di 2 x 11 Enam Lingkung
Pariaman tertangkap. Dia diinterogasi oleh PRRI di Simpang Galanggang tentang
orang-orang Pakandangan yang akan dibunuh. Tokoh PKI tersebut menjawab bahwa
ada 100 nama yang didaftar untuk di bunuh. Empat di antaranya adalah Tuanku
Abdurrazak, Tuanku Ali Imran, Tuanku Andah, dan Tuanku Shaliah Pengka.
Kawan-kawan
Tuanku Andah berkata kepada Tuanku Andah,” Ungku malam kini ka dibunuah PKI
(Ungku malam akan dibunuh oleh PKI)”. Tuanku Andah menanggapi, “ Den indak
ka lari. Kalau den lari, kacau Pakandangan ko (saya tidak akan melarikan
diri. Kalau saya melarikan diri, maka Pakandangan akan kacau)”. Tuanku Andah
memilih tetap di Surau dan semua pintu dibuarkan terbuka. Ketika subuh datang,
Tuanku Andah pergi mengambil air wudhu’, PKI hanya diam mengawasi gerak gerik Tuanku
Andah dan akhirnya pergi. Sedangkan Buya Ali Imran memilih tetap di rumah dan
telah mempersiapkan sebuah pisau yang ditempatkan pada tonggak pintu.
Dtuturkan
oleh Syaikh Ali Imran, bahwa Pakandangan pada waktu itu dikuasai oleh PKI dan
yang menjabat sebagai wali nagari adalah Inyiak Mak Eza. Sedangkan assistenya
adalah Abu Bakar (seorang PKI). adapun tim screning di nagari tersebut adalah
Sofyan. Ali Imran bermaksud meminta kartu di Pakandangan. Setelah sampai di
kantor wali nagari, Ali Imran dibentak-bentak oleh Sofyan sehingga maksud Ali
Imran tidak membuahkan hasil. Karena gagal, maka Haji Muslim (adik Ali Imran)
berkomentar, “mungkin nio pitih pulo si Bakar ndak (mungkin si Bakar
menginginkan uang sebagai pelicin urusan)”. Syaikh Ali Imran menjawab, “Tidak”.
Pada
satu kali, ada rapat dengan wali nagari di Ringan-ringan, di antara pembicaraan
dalam rapat tersebut adalah pembicaraan tentang Ali Imran sendiri. Ali Imran
menyampaikan maksud dan keinginannya. Wali nagari menanggapi maksud Ali Imran
ingin membuat kartu tersebut. Tanggapan wali nagari adalah, “Hari Kamis
mintak (hari Kamis saja mintak kartu tersebut)”.
Pada
hari Kamis yang dimaksud oleh wali nagari tersebut, Ali Imran datang ke kantor
wali nagari. Sesampainya di sana, wali nagari sedang tidak ada di kantor. Ali
Imran Cuma beretemu dengan Abu Bakar dan bertanya kepada Ali Imran, “ Apa
kabar?”. . Ali Imran berkata, “ Ambo disuruah inyiak wali nagari ka siko untuak mambuek kartu (saya
disuruh oleh wali nagari untuk datang guna
membaut kartu)”. Akhirnya Ali Imran mendapatkan kartu itu juga.
Pada tahun 2000, tepatnya pada bulan Februari,
Syaikh Ali Imran pergi menunaikan ibadah haji. Pada akhir tahun 2001, Syaikh
Ali Imran mengalami gangguan penglihatan (buta) sampai sekarang.
Nafriandi
dalam catatan wawancaranya dengan Syaikh Ali Imran menerangkan tentang
prinsip-prinsip yang dimiliki oleh Syaikh Ali Imran dalam menuntut ilmu.
Prinsip-prinsip itu adalah:
a)
Ketika
belajar di Koto Baru, Syaikh Ali Imran berprinsip, “Pantang pulang sebelum ‘alim”.
b)
Di
Mungo Syaikh Ali Imran bekerja di sawah, mengangkat padi sedangkan kitab dibawa
ke rumah Syaikh untuk belajar agama.
c)
Ketika
di Tiakar, Syaikh Ali Imran hannya fokus belajar menuntut ilmu. Syaikh Ali
Imran memberikan perumpamaan, “ketika seseorang sedang memotret sesuatu,
kemudian di saat memotret tersebut melintas seekor anjing, maka gambar yang
tertangkap pastilah gambar anjing yang melintas”. Atas dasar cara pandang ini,
maka Syaikh Ali Imran dalam hal makan, minum, dan pakaian beliau serahkan
kepada Allah.
d)
Ali
Imran kadang berjalan-jalan di perkampungan penduduk, dan sering orang kampung
meminta beliau singgah ke rumah untuk memberikan pengajian dan berdoa. Setelah
memberikan nasehat dan berdoa, kepada beliau diberikan masayarakat beras dan
lain sebagainya.
Bagi
Syaikh Ali Imran, seorang guru haruslah ‘alim dan mendapat tempat di hati murid-murid
dan masyarakatnya. Seorang guru yang tidak disenangi murid-murid dan
masyarakat, dipandang sama dengan orang mandul yang tidak bisa memiliki anak. Dalam hal ini, Nafriandi mencatat, bahwa
Syaikh Ali Imran mengisahkan, pada satu ketika, ayah beliau Pakiah Hasan Tunaku
Bagindo mengunjungi beliau yang kebetulan pada sa’at itu sedang menderita sakit
kudis. Ayah beliau berkata, “Pai jo den beko! (ikut dengan saya
nanti!)”.
Atas
dasar ajakan ayahnya itu, maka Syaikh Ali Imran mengikuti ayahnya. Ketika
sampai di pasar, beliau istirahat di Surau Dagang Pariaman. Setelah melakukan
shalat shubuh, beliau bersama ayah berangkat ke Bukittingi dengan berjalan
kaki. Setelah 10 jam melakukan perjalaan kaki, beliau sampai di simpang Kapau.
Pada sa’at itu berencanalah beliau dan ayahnya singgah ke rumah salah seorang
murid ayah beliau (murid Tuanku Bagindo). Sesampainya di rumah tersebut, Syaikh
Ali Imran melihat rumah tersebut bagus, kitab-kitab sangat banyak, di sekitar
rumah juga terdapat air yang sangat jernih. Cuma sayangnya, murid-muridnya
sedikit.
Tuanku
Bagindo berkata dan memperkenalkan muridnya tersebut kepada Ali Imran, “ Iko
murid den, pandai mangaji. Lai namuah ang mangaji? (ini murid saya, dia
alim dan pandai dalam ilmu agama. Apakah kamu mau belajar kepadanya?). Ali
Imran menolak tawaran ayahnya untuk belajar kepada murid ayahnya tersebut. Ali
Imran menjawab, “Orang mandul tidak pandai baranak. (Orang yang mandul,
tidak akan punya anak)”. Syaikh Ali Imran berpendapat, seorang yang alim, kalau
tidak memiliki murid, sama artinya dengan orang mandul yang tidak pandai punya
anak.
Menurut
Syaikh Muda Zulhamdi Tuanku Kerajaan Nan Shaliah, sebagaimana ditulis
Nafriandi,[8] terdapat sejumlah nama yang kepadanya Syaikh Ali Imran menuntut
ilmu. Nama-nama guru Syaikh Ali Imran bin Hasan Tuanku Bagindo tersebut adalah:
1)
Syaikh
Muhammad Amin bin Abdullah Mata Air Pakandangan
2)
Ungku
Pakandangan
3)
Tuanku
Sutan Pakandangan
4)
Ungku
Andah Pakandangan
5)
Syaikh
Muhammad Yatim Tuanku Sutan Ampalu Tinggi Tandikat Mudik Padang Pariaman
6)
Syaikh
Muhammad Yasin Qadhi Koto Tujuah Malin Mandaro *
7)
Syaikh
Hasan bin Muhammad Rahim Tuanku Bagindo Ringan-ringan*
8)
Tuanku
Itam Muhammad Zein Surau Andaleh Ringan-ringan
9)
Syaikh
Zakariya Labai Sati Padang Lawas Malalo
10)
Syaikh
Syahidan Syarbaini Mungo Padang Mangateh Payakumbuh
11)
Syaikh
Ibrahim Harun Tiakar Payobasung Payakumbuh
12)
Syaikh
Shalih al-Mukarram Pasar Panjang Sungai Sariak Pariaman
13)
Syaikh
Durra Angku Angin Padang Magek Batu Sangkar
14)
Syaikh
Abu Bakar Sampan VII Koto Pariaman
15)
Syaikh
Haji Ibrahim Ampalu Tinggi Pariaman
16)
Syaikh
Muhamma Yunus Ungku Sasak Pasaman
17)
Syaikh
Ungku Sidi Talue Sampan Pariaman
Sedangkan dalam
silsilah guru tarekatnya, nama-nama silsilah guru [9] Syaikh Ali Imran sampai kepada Syaikh Adurrauf Singkel adalah:
Abdurrauf Singkel (W. 1105 H/1693 M)
Burhanuddin Ulakan
1056-1111 /1646-1699
Syekh Qadhi Padang Gantiang
Syekh Cupak
Syekh Muhammad Shalih
Talawi
Syekh Ismael Padang
Gantiang
Syaikh M. Yasin Qadhi Koto Tujuah Malin Mandaro
(1227-1367
H/ 1806-1946 M)
Syaikh Hasan bin Muhammad Rahim Tuangku Bagindo
Ringan-Ringan Pakandangan (w. 1400 H/ 1980 M),
Syaikh
Ali Imran bin Hasan ( lahir 1926 M)
Syekh H. Ali Imran Hasan wafat pada hari Rabu, tanggal 12 April 2017 M, pukul 04.00 WIB. Syekh H. Ali Imran Hasan wafat di kediamannya yang berada di komplek Pondok Pesantren Nurul
Yaqin Ringan-Ringan. Kabar duka ini cepat menyebar melalui media sosial
dan pesan singkat hingga kawasan Pesantren Nurul Yaqin dipadati
masyarakat yang datang berbagai daerah.
Sumber: Ahmad Rivauzi, Pemikiran Abdurrauf Singkel tentang Pendidikan dan Implikasinya pada Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan Pakandangan Padang Pariaman, (Disertasi), Padang: PPs IAIN Imam Bonjol Padang, 2014
[1] Tuanku Nafriandi adalah salah seorang alumni Pondok Pesantren Nurul Yaqin dan pernah menjadi salah seorang tenaga pengajar pada Pesantren ini. Menurut keterangan Tuanku Zakirman pada tanggal 9 Februari 2013, sesa’at sebelum mempertemukan penulis dengan Nafriandi mengatakan bahwa Tuanku Nafriandi adalah orang yang diserahi amanat untuk menulis Biografi Syaikh Ali Imran. Namun sampai sa’at penulis menulis Biografi Syaikh Ali Imran pada Disertasi ini, Tuanku Nafriandi mengatakan bahwa dia baru berkesempatan menulis Biografi tersebut dalam bentuk catatan tangan hasil wawancaranya dengan Syaikh Ali Imran. Sehingga kepada penulis diberikan Biografi tersebut masih dalam bentuk catatan tangan hasil wawancara tersebut. Catatan Tuanku Nafriandi ini sangat membantu penulis dan sekaligus menjadi pelengkap catatan wawancara penulis dengan Syaikh Ali Imran pada awal Januari 2012.
[2] Catatan wawancara Tuanku
Nafriandi dan Muzilatunil Isma Wawancara
pada hari Selasa, tanggal 6 April 2010, pukul 14.00 Wib
[4] Dalam kultur Minang,
seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dan tinggal di rumah keluarga
perempuan sebagai seorang sumando. Pada masa dahulu, mamak istri atau saudara
laki-laki dari istri sebagai mamak dalam kaumnya memiliki kekuasaan dan
pengaruh besar terhadap kaum si istri. Berdasarkan realitas kultural seperti
ini, maka sering kali ketika urang sumando berselisih paham atau berselisih
dengan mamak kaum istrinya, maka sang suami atau urang sumando tersebut
menceraikan istrinya sebagai bentuk dan reaksi ketidak sukaan atau ketidak
senangannya terhadap ninik mamak kaum istrinya.
[9] Sumber: Naskah
Pengajian Tarekat Syaikh Ali Imran Ringan-ringan Pakandangan dan keterangan
murid beliau Tuanku Kerajaan pada hari Sabtu, 01 Oktober 2011
Terima kasih atas usahanya sehingga tulisan ini bisa menjadi pelajaran bagi generasi muda sekarang
BalasHapusshubhanallah rindu sangat ambo dengan suasana ponpes nurul yaqin. tahun 1996 s.d 1998 ambo sempat menimba ilmu dipesantren ini.
BalasHapusSubhanallah..
BalasHapusEngkau Telah Mempertemukan Kami Dengan Seorang Ulama Yg Begitu Sangat Mendalami Islam..
Dan Allhamdulillah Beliau Telah Menunjuki Kami Menuju Jalan KepadaMu..
Alhamdulillah..
Assalamualaikum
BalasHapusTerimkasih Kpd penulis, Biografi ini mengingatkan saya akan alm. ayah yg dahulu pernah belajar dengan beliau di ringan2. Dan tulisan ini juga membuat saya rindu Tangah XX Malalo kampuang halaman tercinta.
Pertama kali saya & Keluarga berkunjung ke ringan2 & bertemu dengan beliau kalau tidak salah itu thn 2012, Dimana kondisi penglihatan beliau nampak sudah mulai pulih, dan akhir dari kunjungan kami beliau bercerita kepada kami kalau kesembuhan penglihatanya bukan karena obat2an medis dsb, Tetapi beliau mendapatkan obat yg sangat ampuh dari salah satu muridnya terdahulu, yaitu "Ikhlas" berserah diri kepada Allah sepenuhnya akan ujian diberikan itulah obat dari penyakit beliau yg sudah bertahun2 beliau alami.
"Terimakasih Buya yg sudah berbagi pengalaman dan pelajaran kepada kami.
Wassalam