Sabtu, 01 Desember 2012

Spiritualitas Islam dalam Tasawuf dan Tarekat Sufi


Spiritualitas Islam dalam Tasawuf dan Tarekat Sufi
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA
A. Pengertian Tasawuf dan Thariqah (Tarekat)

Mengingat bahwa istilah pendidikan berbasis spiritual merupakan istilah yang baru dalam kajian pendidikan Islam, maka perlu dilakukan upaya penelusuran khasanah intelektual dan spiritualitas Islam. Dalam hal ini, penulis memilih bahwa tasawuf dan tarekat sufi sesungguhnya merupakan representasi kekayaan Islam dalam hal pendidikan yang berbasis spiritual. Pentingnya memasukkan bab ini sebagai bagian penting dalam Tesis ini juga mengingat akan kesimpang siuran pemahaman masyarakat muslim tentang tasawuf dan tarekat dalam Islam dan kajian bab ini juga diharapkan mampu menjernihkan pemahaman dan meluruskan kekeliruan dan praduga negative bagi sebagian intelektual muslim tentang tasawuf dan tarekat yang ada dalam Islam serta hubungannya dengan konsep pendidikan berbasis spiritual.
Tasawuf dianggap salah satu aspek terpenting dalam ajaran Islam. Hal ini didasarkan laksana pentingnya keberadaan jiwa pada sebuah tubuh. Tasawuf diasumsikan sebagai jiwa dan ruhnya dalam beragama. Tampa tasawuf, beragamanya seseorang dianggap tidak punya nyawa dan jiwa.
Tegasnya, jika dikaitkan dengan pendidikan Islam, terutama yang berhubungan dengan pendidikan keruhanian, tentunya tidak bisa dilepaskan dari peninjauan dan pengkajian terhadap tasawuf. Hal ini didasarkan kapada bahwa tasawuflah salah satu disiplin keilmuan Islam yang banyak berbicara tentang jiwa dan bagaimana menghubungkan jiwa dengan sumber inspirasi dan energi tanpa batas yaitu Allah Swt.
Tasawuf sering dipertentangkan dengan syari’ah atau fiqih. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan sudut pandang kajian, dan orientasi spesifikasi keilmuan dan pembahasannya. Syari’ah atau fiqih, lebih banyak berbicara tentang hukum-hukum zhahiri yang mengatur pola-pola zahir hubungan antara seseorang dengan Tuhannya, hubungan dengan sesamanya dan lingkungan sekitarnya.  Sedangkan hal-hal lebih bersifat esoteris atau keruhanian, tentang nilai atau bagaimana sikap mental dan ruhani seseorang seharusnya dalam melakukan huibungan kehambaan seseorang dengan Tuhannya, dengan manusia lainnya dan lingkungannnya, lebih dimasukkan ke dalam kelompok kajian dan pembahasan tasawwuf.
Jika dapat disepakati dan dipahami konsep pemaknaan di atas, tentunya tidak perlu adanya pertentangan dan pertikaian antara dibenarkan dan dibatalkannya keberadaan tasawuf dalam kehidupan beragama. Pertentangan lebih di dasari dari sinisme dan parokialisme pemahaman dalam kehidupan beragama sehingga pada kahirnya berdampak pada sikap saling membid’ahkan, saling mengkafirkan, dan saling menyalahkan.
Dalam upaya rekonsialiasai pemahaman keberagaman inilah sekali lagi tulisan pada bab ini akan membahas dan menelusuri serta memformulasikan tentang tasawuf, dan spiritualitas Islam serta peranannya dalam kehidupan beragama seseorang.
Kata tasawuf ditinjau dari sudut etimologi terdapat perbedaan pendapat dalam menentukan asal usul dan arti kata. Ulama kontemporer seperti Abdul Halim Mahmud mengatakan bahwa tidak ada bukti etimologis ataupun analogis dengan kata lain dalam bahasa Arab yang bisa diturunkan dari sebutan sufi. Penafsiran yang paling masuk akal adalah bahwa sufi lebih tepat disebut dengan laqab (gelar).[1]
Istilah Tasawwuf sebagaimana dijelaskan oleh al-Qusyairi, telah melekat pada seseorang ketika dia telah mengidentikkan dirinya kepada kondisi atau keadaan tertentu yang dalam hal ini bertasawuf sehingga dia akan dikatakan sebagai seorang sufi. Jika dalam bentuk kelompok, mereka akan dikatakan shufiyah (orang-orang sufi), maka jika seseorang telah mencapai nama ini, dia itu disebut mutashawwif. Bentuk pluralnya mutashawwifah. Sekali lagi, nama ini bukan termasuk qias atau istiqaq (kata pecahan atau jadian) dari bahasa Arab, akan tetapi tidak lebih dari pada julukan atau gelar. [2]
Walaupun demikian, al-Qusyairi agaknya menyepakati bahwa kata tasawuf dalam bahasa Arab ditulis dengan tashawwuf  (تصوف ) , tashawwafa , mutashawwif  yang sebanding dengan kata taqammasa yang berarti memakai baju gamis. [3]
Berkenaan dengan penisbahan kata sufi tersebut Qusyairy menyebutkan empat kata yang bisaa dihubungkan kepada penamaan tasawuf.[4]
1. Shuf (     صوف  ) kain yang terbuat dari bulu (wol). Tasawuf di sini dipakai dengan arti memakai kain wol, sebagaimana halnya dengan kata taqammus digunakan dalam arti memakai baju qamis. Wol yang dipakai kaum sufi adalah wol yang kasar sebagai lambang dari kesederhanaan. Qusyairy menegaskan bahwa kaum sufi tidak mencirikan dirinya dengan memakai pakaian dari wol.
2. Shuffah (     صفة ). Kata ini diartikan dengan serambi Masjid Rasulullah saw.yang menjadi tempat orang-orang yang disebut ahl shuffah. Mereka adalah orang-orang yang ikut berhijrah bersama Nabi dari Makkah ke Madinah dan tidak lagi memiliki harta benda. Tidur mereka berbantalkan pelana yang disebut shuffah. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai jiwa yang bersih, berhati mulia dan tidak tergoda oleh kemewahan dunia. Demikian itu adalah salah satu sifat orang-orang sufi.
3. Shafa’ (صفا) yang memiliki arti kemurnian atau suci. Orang-orang sufi memang setiap saat selalu berusaha mensucikan diri dengan berbagai amal dan riyadhah.
4. Shaff (صف) yang berarti barisan sebagaimana halnya barisan pertama dalam shalat. Orang-orang sufi berada di barisan depan dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Menurut Taftazani, dari kajian ilmiah pendapat yang lebih mendekati kebenaran atau yang lebih tepat adalah bahwa kata sufi dihubungkan dengan kata shuf. Seandainya kata shufi (sufi) berasal dari kata shuf (wol) maka ucapannya berarti tetap sebagaimana kata itu sendiri dan dari segi bahasa pernyataan (ibarat) ini adalah benar.[5]
            Berbeda dari pendapat di atas, Al-Bairuni menyebutkan bahwa kata tasawuf berasal dari kata gubahan bahasa Yunani yaitu, sofia. Kata ini berarti hikmah. Pendapat ini didukung oleh kebanyakan kaum orientalis. Pendapat ini agaknya memiliki kelemahan, sebagaimana bantahan yang diberikan Abdul Halim Mahmud dan ulama Islam lainnya, bahwa pengambilan kata tasawuf dari bahasa Yunani adalah kesalahan besar karena kata tasawuf sudah dikenal dalam bahasa Arab Islam sebelum terjadinya pengenalan Arab Islam terhadap tradisi pemikiran filsafat Yunani.[6]
Secara terminology, akan ditemukan ta’rif yang bervariasi dari tokoh-tokoh sufi. Hal ini disebabkan karena mereka memberikan ta’rif itu berdasarkan pengalaman-pengalaman zauqi  masing-masing mereka. Seperti Syekh Abu Bakar  Muhammad al-Kattani berkata, ”Tasawuf adalah akhlak. Maka barang siapa bertambah baik akhlaknya, tentulah akan bertambah mantap tasawufnya (semakin bersih hatinya).[7]
Hal senada juga dikatakan oleh al-Jariri [8]ketika ditanya tentang tasawuf. Dia mengatakan,
ا الدخول فى كل خلق سني والخروج من كل خلق دني
“ Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang tercela”.

Dalam kesempatan lain al-Jariri juga mengatakan,” tasawuf selalu mengoreksi hal ikhwal dirinya dan menepati sopan santun”. Ali al-Muzayyin mengatakan, “ Tasawuf adalah tunduk pada kebenaran”, dan Askar an-Nakhsyabi mengatakan “ Orang sufi adalah orang yang bersih, tidak bisa dikotori oleh suatu apapun, bahkan semua yang keruh menjadi jernih karena dia”. [9] 
Ibrahim Basyuni dalam bukunya “ Nasya’at at-Tashawwuf al-Islāmi” mengklasifikasikan  ta’rif tasawuf yang diberikan oleh tokoh-tokoh sufi kepada tiga kategori, yaitu : al-bidâyah, al-mujâhadah, dan al-mazâqah.[10] Al-bidâyah adalah awal kesadaran sufi akan fitrah dirinya yang terbatas dan adanya realitas mutlak (Tuhan)  yang tidak terbatas. Kesadaran itu mendorong diri seseorang untuk ber-taqarrub kepada Allah. Al-mujahadah adalah usaha sungguh-sungguh dari seseorang sufi untuk membuka selubung yang menghijab antara dirinya dengan Allah. Tasawuf dalam pengertian mujahadah adalah usaha maksimal yang dilakukan oleh sufi untuk dapat berhubungan langsung atau sedekat mungkin dengan Allah SWT. Al-muzaqat adalah merasakkan hubungan langsung dengan Allah setelah melewati rintangan dalam mujahadah dan merasakan kedekatan dengan Allah.
            Abdul Halim Mahmud memilih 5 definisi tasawuf yang dianggapnya paling mendekati kebenaran dari sekian banyak pengertian tasawuf.[11]
a.               Pengertian yang diberikan oleh Abu Sa’id al-Kharraz (wafat 277 H).[12] Ketika ditanya tentang siapa ahli tasawuf, dia menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang dijernihkan hati sanubarinya oleh Allah dan telah dipenuhi dengan cahaya. Mereka tenang bersama Allah, tidak berpaling dari Allah dan hatinya selalu mengingat Allah.
b.              Al Junaid al-Bagdadi (wafat tahun 297 H)[13] berkata, “tasawuf artinya Allah mematikan kekalalaianmu dan menghidupkan dirimu dengan-Nya.”
c.               Abu Bakar Muhammad al-Kattani berkata, “ Tasawuf adalah kejernihan dan penyaksian.”
d.              Ja’far al-Khalidi (wafat tahun 348 H) [14] berkata, “Tasawuf itu memusatkan segenap jiwa raga dalam beribadah dan keluar dari kemanusiaan serta memandang pada al-Haqq secara menyeluruh.”
e.               Asy Syibli [15]mengatakan tentang tasawuf,
بد ؤه معرفة الله و نها يته توحيده
Permulaan adalah ma’rifat kepada Allah dan diakhiri dengan peng-esaan-Nya.”

Dari definisi-definisi di atas, agaknya para ulama cendrung untuk mendefinisikan tasawuf dalam bentuk penggalan karakteristik para sufi atau bahkan cuma menyebutkan penggalan kecil dari kondisi keruhanian para sufi ketika diajukan kepadanya pertanyaan-pertanyaan tentang tasawuf dan shufi. Kecendrungan lainnya adalah sebagaimana telah disebutkan di atas, Basyuni mendefiniskan tasawuf dalam bentuk klasifikasi rangkaian proses bertasawuf.
Berangkat dari pengertian-pengertian tasawuf yang jumlahnya sangat banyak, penulis lebih cenderung untuk mendefinisikan tasawuf sebagai manifestasi cahaya rahmat Ilahiyah dalam bentuk kualitas ruhani yang mencakup ilmu, amal, iman, islam, ihsan dan kejernihan yang olehnya seseorang memperoleh kemulyaan dan redha Ilahi. Definisi ini tentunya butuh penjelasan yang panjang dan bahkan mungkin akan tidak disetujui oleh sebagian para ulama.
Sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Halim Mahmud yang mengutip pendapat Abul Husain an-Nūri (wafat 295 H). [16]An Nūri dalam kitabnya tadzkiratul Auliyā’, memberikan bantahan terhadap pernyataan bahwa tasawuf adalah ilmu. Dia menegaskan bahwa tasawuf bukanlah ilmu, akan tetapi dia adalah akhlak. Jika tasawuf adalah suatu bentuk, tentu dia akan bisa dicapai dengan perjuangan. Begitu juga jika tasawuf adalah suatu ilmu, tentu dia akan bisa dicapai dengan belajar. Namun, tasawuf berakhlak dengan akhlak Allah, sedangkan akhlak Ilahi tidak dapat dicapai dengan ilmu atau gambaran (rasman).

ليس التصوف رسما ولا علما ولكنه خلق لأ نه لو كان رسما لحصل بالمجاهدة ولو كان علما لحصل بالتعليم ولكنه تخلق باخلاق الله ولن تستطع ان تقبل على الا خلاق الا الهية بعلم او رسم     [17]          

Tasawuf bukan hannya sekedar tulisan dan ilmu, tetapi ia adalah akhlak. Sekiranya ia adalah tulisan maka ia akan didapatkan dengan bersungguh-sungguh dan seandainya ia adalah ilmu maka akan diperoleh dengan belajar. Tetapi tasawuf adalah berakhlak dengan akhlak Allah, sekali-kali tidak akan dapat dicapai dengan ilmu dan tulisan.

Tegasnya An-Nuri memberikan batasan tentang tasawuf:
التصوف : الحرية والكرم و ترك التكلف و السخاء     [18]  
“Tasawuf adalah kemerdekaan, kemurahan, tidak membebani diri, serta dermawan.”

Pendapat an-Nuri ada benarnya, terutama jika kita melihat tasawuf dalam perspektif yang terpisah-pisah dan dangkal. Kenyataannya adalah bahwa tasawuf tidak sebatas akhlak, tidak sebatas zuhud, tidak sebatas karamah, tidak sebatas ibadah, akan tetapi jauh dari semua itu.
Dari definisi yang telah penulis sebutkan di atas, ada beberapa kata kunci dalam pengertian tasawuf. Kata-kata kunci itu adalah:
a.               Manifestasi cahaya rahmat Ilahiyah. Kata ini sangat penting sebagimana di jelaskan oleh Allah sendiri

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ (53)   
Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang.

                Ibn Ataillah mengutip ayat ini dalam menjelaskan kedudukan rahmat Allah dalam hal ta’at atau tidaknya seseorang. [19]Sebagaimana disebutkan secara eksplisit oleh Allah dalam ayat di atas, Allah menegaskan bahwa rahmat Allah sangat menentukan dan faktor utama seseorang tercerahkan untuk bertasawuf. Adalah tidak mungkin seseorang mampu menentukan pencapaian spiritualitas dirinya tampa adanya rahmat Allah dalam membukakkan rahmat dan hidayah-Nya.
b.          Tasawuf sebagai kualitas ruhani dalam bentuk ‘ilmu
Ilmu secara sederhana diartikan sebagai pengetahuan, namun sesungguhnya terdapat tiga makna ilmu. Yang pertama ilmu yang diterjemahkan secara umum sebagai sebuah pengetahuan intelektual. Kedua ilmu yang diartikan dengan pengetahuan yang dialamai dan dicerap oleh dimensi assosiatif emosi dan ketiga ilmu yang berarti pengetahuan yang merupakan cerapan dimensi spiritual. Dalam hal ini, tasawuf merupakan ilmu dalam dimensi cerapan dimensi spiritualitas. Hal lain yang perlu kita berikan catatan penting adalah ketika kita berbicara persoalan tasawuf, maka tekanan pembicaraan itu adalah berputar pada dimensi hati atau qalbu yang di dalam terminolgi kajian ke-Islaman, qalbu dipandang sebagai dasar dan sumber dari spiritualitas tasawuf.
Hal ini telah digambarkan oleh Hazrat Inayat Khan yang menulis dalam bukunya “Dimensi Spiritual Psikologi”:
Aspek terpenting dari pikiran adalah perasaan. Jika fakultas ini tidak terbuka, maka bagaimana pun pintar dan bijaknya seseorang, ia tidaklah sempurna, dia tidak hidup. Pikiran mulai hidup ketika perasaan dalam diri seseorang terjaga. Banyak orang yang menggunakan kata perasaan, tetapi sedikit dari mereka yang mengetahui hakikat perasaan. Dan semakin manusia mengetahuinya, maka akan semakin sedikit ia berbicara tentangnya. Wilayah perasaan sangat luas, sehingga tanda-tanda tentang Tuhan pun akan kita temukan dalam perasaan. Perasaan adalah getaran, dan hati adalah kendaraannya [20]
Hal senada juga ditegaskan oleh Toto Tasmara dalam kajian tentang keruhanian. Menurut Toto Tasmara, kata kunci dari Keceradasan Ruhaniah atau spiritual terletak pada hati nurani. Kemudian mampu menanggapi bisikan itu dengan memberdayakan  dan meng-arahkan seluruh potensi kalbu, yaitu fuad, shadr, dan hawa. Seseorang yang cerdas secara ruhani akan menunjukkan tanggung jawab dengan terus menerus berorientasi pada kebajikan atau amal prestatif (achievement orientation). [21]
Orang yang cerdas secara ruhaniah atau spiritual, menyadari bahwa hidup bukanlah suatu kebetulan dan bukan cuma untuk mencari karir, jabatan, kesenangan duniawi semata, tetapi  lebih jauh dari itu semua. Orang yang dewasa dan cerdas ruhani memiliki visi atau cara pandang  melihat gambar diri di hari esok. Seakan-akan mereka sudah menentukan nasib diri mereka di hari esok. Visi mereka bukanlah berdasarkan imajinasi spekulatif tetapi didasari oleh pengalaman, pengetahuan dan pengharapan yang berdasarkan alasan–alasan (raison d’etre) yang bisa dipertanggung jawabkan. Visi orang yang cerdas ruhaniahnya ditetapkan melampaui daerah duniawi (terrestrial) yaitu pertemuan dengan Allah dan kampung akhirat. Hal ini merupakan obsesi yang mendorong mereka untuk menjadikan dunia ini hanya sekedar hamparan sajadah ibadah dan rindu pulang ke kampung akhirat kemudian bertemu dengan Tuhannya.[22]Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ(18)
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al-Hasyr: 18)

Qalbu adalah hati nurani yang menerima limpahan cahaya kebenaran Ilahiyah yaitu ruh. Dengan qalbu inilah Allah memanusiakan manusia dan memulyakannya dari makhluk yang lain. Qalbu merupakan tempat di dalam wahana jiwa dan merupakan titik sentral atau awal yang menggerakkan segala perbuatan manusia yang memiliki kecendrungan baik kepada kebenaran maupun pada keburukan. Qalbu merupakan saqhafa atau hamparan yang menerima suara hati (conscience) yang asalnya dari ruh dan juga sering diistilahkan dengan nurani (bersifat cahaya) yang berfungsi menerangi dan memberikan arah pada manusia untuk bersikap dan bertindak.
            Allah menjadikan qalbu manusia sebagai titik sentral kesadaran manusia.[23] Allah akan hukum orang yang mengingkari-Nya dengan kesadaran hati menerima bisikan syetan dan memaafkan kalau kesalahan itu tidak sengaja disuarakan suara hati. Hal ini dinyatakan Allah dalam surat al-Ahzab ayat 5 :
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا ءَابَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا(5)
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu[24]. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. .(QS. Al-Ahzab:5)

Di dalam qalbu berhimpun perasaan moral, mengalami dan menghayati tetang salah atau benar, baik atau buruk serta berbagai keputusan yang harus dipertanggungjawabkan secara sadar. Untuk itu qalbu harus senantiasa berada pada posisi menerima curahan cahaya ruh yang memiliki potensi hakiki yang ditiupkan Allah padanya ruhiyah kebenaran yang selalu mengajak kepada kebenaran. Kondisi ini ditentukan oleh upaya pembersihan, latihan, dan pencerahan qalbu (Tazkiyah, Tarbiyatul Qalbu). Merasakan dan mengalami artinya, seseorang mampu menangkap fungsi indrawi yang dirangkum dan dipantulkan kembali ke dunia luar, dan proses ini dinamakan dengan menghayati. Dalam proses mengalami dan menghayati seseorang sadar akan dirinya dalam korelasinya dengan dunia luar. Dalam proses penghayatan seseorang akan sadar akan tanggung jawab perbuatannya.[25]
Selain memiliki fungsi indrawi di atas qalbu juga memiliki nilai moral dan etika yang hanif. Dengan demikian nilai-nilai merupakan hal yang inheren dengan qalbu yang tercerahkan dan inilah yang oleh Sayyid Mustaha Musawi Lari dinamakan dengan ”hati nurani” yang dengan tegas mengkritik teori psikoanalisis Sigmund Freud yang menganggap nilai-nilai itu berasal dari tuntunan keluarga dan masyarakat yang berfungsi membangun doktrin disiplin diri pada seseorang dan inilah yang dinamakan Freud dengan super ego. [26] Super ego berada pada alam tidak sadar manusia dan selalu berebut peran dengan id yang akan mempengaruhi ego menyusun konsep mekanis dan pola strategis untuk menghadapi hidup.[27]
Dengan demikian ketika seseorang tidak berbuat kebajikan dan  melanggar moral, kemudian takut akan sangsi sosial, hal ini berarti qalbunya tidak tercerahkan sehingga gelap dan tidak mampu memproduksi nilai yang suci karena nilai itu sendiri bersifat inheren dengan qalbu seseorang kalau qalbu itu diupayakan pada kondisi menerima curahan cahaya Allah.
Allah berfirman dalam surat as-Sajjadah ayat 9:
ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ(9)
Kemudian Ia menyempurnakannya dan meniupkan ke dalam tubuhnya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadian bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, (tetapi) kamu sedikit sekali yang bersyukur.(QS. as-Sajadah :9)

                Hal-hal yang dijelaskan di atas mengantarkan kepada lahirnya kesimpulan bahwa tasawuf adalah ilmu ruhani atau pengetahuan ruhani yang berpusat pada qalbu.
            Selanjutnya, penulis berpandangan bahwa dari kata dasar ‘ilmu yang dalam bahasa Arab ( علم  ) jika ditela’ah huruf demi hurufnya, maka akan terlihat setidaknya tiga kualitas penting. Huruf pertama ( ع ) merupakan symbol dari ‘arif ( عرف  ) yang berarti menegenal Allah. ‘Arif atau ma’rifah adalah tingkat tertinggi dari sebuah pencapaian tasawuf. Maka tasawuf atau shufi dicirikan dengan kemampuan ini dan hal ini dijadikan orientasi utama dalam kehidupan seseorang shufi.
            Huruf kedua dari kata ‘ilmu adalah lam ( ل ). Huruf ini dapat dimaknai dengan lathīf  ( لطيف ). Latif adalah salah satu nama dari nama-nama Allah yang agung. Arti dari lathīf adalah halus. Hal ini menunjukkan bahwa tasawuf adalah sebuah kehalusan ilahi yang termanifestasi pada pribadi seorang shufi.
            Huruf ketiga dari kata ‘ilmu adalah ( م ). Huruf ini adalah singkatan dari kata muraqabah. Secara kebahasaan, muraqabah berarti dekat. Seseorang yang berilmu akan merasakan kedekatan dengan Allah sehingga dia akan mampu merasakan  muthmainnah ( مطئنة ) yang dapat diartikan dengan tenang atau damai. Makna ini dapat dihubungkan kepada karakteristik para shufi yang dapat ditemui dari kehidupannya. Para shufi yang bertasawuf memiliki kemampuan untu merasakan ketenangan dan kedamaian dalam hidupnya.
            Tentang hal ini al-Kharraz pernah ditanya tentang orang-orang ahli tasawuf., jawabnya,
” Mereka adalah orang-orang yang telah diberi Allah sehingga dilimpahi dengan nikmat-nikmat-Nya dan hal-hal yang luar bisaa. Mereka tenang bersama Allah. Mereka tidak berpaling dari Allah sehingga tidak peduli dengan dirinya sampai meninggal, kemudian mereka dipanggil dari jiwa-jiwa yang lembut, ‘ingatlah, menangislah karena ditinggal mereka’”.[28]

c.           Tasawuf adalah ‘amaliah.

Tidak ada tasawuf tampa amal. Seorang shufi adalah orang-orang yang menjadikan dan mengikhlaskan kehidupannya untuk beramal. Amal adalah aktivitas serta tindakan dan hakikat hidup itu sendiri adalah tindakan demi tindakan. Amal terbagi kepada dua bentuk, yaitu ‘amal zhahir dan ‘amal bathin. Tasawuf sesungguhnya amalan bathin yang mengiringi amalan zhahir. Atau dalam istilah lainnya, tasawuf adalah ruhnya amalan bathin. Tampa tasawuf, amalan seseorang akan hampa dan kosong dan tampa memiliki makna.
Hal ini digambarkan secara gamblang oleh imam Malik Rahimahullah yang mengatakan, “ Barang siapa yang menjalani tasawuf tampa mengerti  fiqih (syari’at) dengan benar, ia menjadi zindiq. Dan siapa yang menjalankan syari’at tanpa disertai tasawuf, ia menjadi fasiq”.  Hal senada juga diungkapkan oleh Abu Zakaria al-Anshari rahimahullah mengatakan, “Apabila orang fāqih itu tidak mempunyai ilmu mengenai hal-ihwal kaum sufi dan istilah-istilah mereka, dia adalah seorang fāqih yang kering”.[29]
Mengenai pentingnya amalan dalam perspektif ini sebagaimana firman Allah:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌفَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا(110)

Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan Allah dengan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (Q.S. al-Kahfi: 110)

Dalam ayat di atas digambarkan bahwa liqa’a Rabbih adalah sebuah kondisi tertinggi yang dapat diterjemahkan dengan pertemuan dengan Tuhan. Pertemuan dengan Tuhan bermakna terbukaknya cakrawala ke Ilahian atau ma’rifat Allah. Hal ini hanya akan diperoleh jika seseorang melakukan amalan-amalan yang akan dinilai sebagai sebagai amal shaleh jika amalan-amalan itu dibarengi dengan amalan bathin yaitu membebaskan diri dari mempersekutukan Allah dalam beramal dengan apa saja selain dari pada Allah dan hanya untuk Allah semata.
Kalau dicontohkan secara sederhana, dapat digambarkan seperti beramalnya seseorang seumpama shalat, bersedekah atau lain sebagainya yang dapat dikategorikan sebagai amal zhahir, maka amalan bathinya adalah menyertakan ikhlas dan tauhid serta zikrullah  di dalamnya.

d.          Tasawuf merupakan manivestasi imannya seorang shufi.
Syarat utama untuk bertasawuf atau mendapatkan kecerdasan ruhaniah adalah iman. Hal inilah yang membedakan kecerdasan ruhaniah dengan kecerdasan spiritual yang dikemukakan oleh Danah Zohar walaupun kedua kcerdasan ini akan mampu mendapatkan kebijaksanaan yang sama tetapi akan berbeda nilai dan kualitasnya. Iman merupakan sebuah pengakuan dan pemenuhan akan perjanjian batin insani ketika manusia baru berada di alam rahim. Iman akan membuka pintu rahman dan rahim Allah untuk menunjuki dan membimbing manusia. Jadi jelas kecerdasan ruhaniah berada dalam rahman dan rahim Allah sedangkan kecerdasan spiritual konsep Danah Zohar hanya berada dalam lingkaran rahman Allah yang hanya akan mengasih siapa yang berusaha tetapi belum tentu disayang.[30]  
            Iman akan melahirkan rasa takwa dan takwa ini merupakan kualitas bathin yang memiliki rasa tanggung jawab menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya. Hal ini sesuai dengan pengertian takwa sebagai indikator cerdas secara ruhaniah yang dijelaskan oileh Toto Tasmara sebagai tanggung jawab (Responsibility) yaitu sikap atau tindakan seseorang dalam menerima sesuatu sebagai amanah dengan penuh rasa cinta ingin menunaikan dalam bentuk pilihan amal shaleh.[31] Penunaian amanah ini dengan sebaik-baiknya inilah yang akan melahirkan rasa tenteram dan damai (Nafsul Mutmainah). Jadi kunci ketenteraman itu adalah iman karena ketika manusia bersaksi dulu di alam ruh, manusia sudah berjanji untuk mempertuhankan Allah. Kesedian manusia untuk bersaksi hanya mempertuhankan Allah akan melahirkan sebuah konsekwensi untuk taat, serta patuh.
            Amanah terlahir dari prinsip iman dan orang berimanlah yang mampu mempersepsi hidup dengan segala tanggung jawabnya sebagai amanah yang harus ditunaikan dengan penuh keikhlasan dan kecintaan.
            Telah terjadi permusyahadahan (Perjanjian) manusia dengan Allah sebagaimana Firman Allah :
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ(172)
Artinya : Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “ Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:”Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lemah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.(QS. al-A’raf:172)

e.               Islamnya seseorang dalam tasawuf

Abul A’la Maududi mengartikan Islam sebagai sebuah eksklusivitas manusia dalam kepatuhan total kepada Tuhan.[32] Setiap muslim yang benar-benar meyakini hal ini dalam setiap langkah hidupnya akan mencari bimbingan hidupnya hanya kepada Allah dan rasulnya.
قُلْ إِنِّي عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَكَذَّبْتُمْ بِهِمَا عِنْدِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ(57)
Katakanlah:” Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (al-Qur’an dari Tuhanku sedangkan kamu mendustakannya. Tidak ada padaku (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah , Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.(QS. al-An’am: 57)

Abul A’la Maududi juga membagi Islam kepada dua yaitu, muslim parsial dan muslim sejati.[33] Muslim parsial hanya muslim sebagai legalitas dan hanya sekedar pengakuan sedangkan muslim sejati memiliki komitmen batin akan kepatuhan total hanya kepada Allah. Sebagaimana firman Allah:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ(162)لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ(163)
- Katakanlah :” Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.
-          Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku  dan akulah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”.(QS. al-An’am: 162-163)

            Jadi muslim sejati adalah orang yang meleburkan diri secara keseluruhan kepribadiannya dan eksistensinya ke dalam Islam untuk tunduk hanya kepada Allah sebagaimana ungkapan doktrin fundamental yang terdapat pada kalimat syahadat.
            Umar Sulaiman al-Asyqar mengatakan :” Sesungguhnya kepribadian muslim itu ialah kepribadian yang menampakkan sifat-sifat yang ditimbulkan oleh Islam pada diri manusia”.[34] Sehingga seseorang yang berkepribadian muslim itu adalah sebuah kepribadian yang meng-Ilahi yang mampu berinteraksi dengan dirinya, lingkungannya, dan hidup sesuai dengan amanah Allah dan memiliki komitmen untuk menunaikan amanah Allah sesuai dengan kehendak-Nya. Inilah sumber kekuatannya sebagaimana juga dikatakan oleh Yusuf Qardhawi secara gamblang:
” Islam adalah agama yang mampu membentuk manusia yang kuat, seimbang, dan berkepribadian untuk : berjalan di bumi, meneropong ke langit; beradaptasi dengan realitas dan menyenandungkan idealisme; bekerja untuk kehidupan dunia dan tidak melupakan akhirat; mengumpulkan harta dan tidak melupakan hari perhitungan; mengambil hak dan tidak melupakan kewajiban; bergaul dengan manusia dan tidak melupakan Tuhan; mangacu pada masa lampau dan tidak melupakan masa sekarang dan mempersiapkan diri untuk masa yang akan datang; mencintai kaumnya dan tidak melupakan umat manusia ; meperbaiki diri dan tidak lupa memperbaiki orang lain; mendapat petunjuk da memberi petunjuk; ta’at menjalankan perintah dan mengajak pada kebaikan; menghindari lrangan dan mencegah kemungkaran.”[35] 
            Gambaran di atas merupakan gambaran utuh seorang yang berkepribadian muslim sebagai hamba Allah dan khalifah Allah di atas permukaan bumi.

f.               Tasawuf adalah ihsan
Ihsan sebagai makna dari tasawuf dijelaskan oleh Harun Nasution yang  menyimpulkan bahwa tasawuf itu ialah kesadaran adanya dialog dan komunikasi langsung antara ruh manusia dengan Tuhannya. [36]
Ihsan secara kebahasaan berarti baik. Hal ini dapat ditemukan dalam firman Allah,
الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنْسَانِ مِنْ طِينٍ(7)
Yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. (QS. As-Sajādah: 7)

   Ihsan atau ahsana dalam ayat di atas juga dapat diterjemahkan dengan sempurna yang bermakna bahwa Allah telah menata semua ciptaan-Nya sehingga segala sesuatu itu dengan kesempurnaanya masing-masing, maka segala sesuatu itu; alam ciptaan ini menjadi sebuah system yang fungsionil. Sehingga sesuatu yang dalam pandangan manusia tidak sempurna atau bahkan cacat, hina dan tidak mempunyai arti, sesungguhnya pada hakikatnya hal itu menunjukkan kesempurnaan penciptaan secara sistemik. Dalam perspektif ini, penciptaan alam raya yang berpasang-pasangan; kaya-miskin, sehat-sakit, ada tua-muda, laki-perempuan, kuat-lemah, siang-malam dan lain sebagainya dalam konteks system penciptaan, sungguh menunjukkan kesempurnaan penciptaan Allah.
   Banyak ayat-ayat Allah yang menjelaskan semua ini. Di antaranya:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلًا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَافَأَمَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلًا يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلَّا الْفَاسِقِينَ(26)الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ(27)

Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu[37]. adapun orang-orang yang beriman, Maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan Ini untuk perumpamaan?." dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah[38], dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik,
 (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. mereka Itulah orang-orang yang rugi.(QS. Al-Baqarah: 26-27)

   Dalam ayat lain juga Allah menjelaskan bahwa dalam penciptaan siang malampun terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِوَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ(164)
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (            QS. Al-Baqarah: 164)

Dalam pandangan kaum sufi, ihsan didefinisikan sebagai kondisi keruhanian seseorang. Kondisi keruhanian yang dimaksudkan di sini adalah, suatu kondisi yang jiwa merasakan shilah (ketersambungan) dengan Allah, sehingga yang bersangkutan betul-betul merasakan kehadiran Allah dan seolah-olah melihat Allah. Maqam ihsan juga disebutkan oleh para sufi dengan istilah kefanaan; fana’ dalam af’al, fana’ dalam shifat,  dan fana’ dalan Zat. Ketika seseorang merasakan segala sesuatu sebagai perbuatan Allah, maka ini disebut dengan fana’ af’al Allāh; ketika seseorang merasakan sifat-sifat Allah, maka ini disebut dengan fana’ dalam sifat; dan ketika seseorang merasakan ketinggian Zat Allah dank e-shamad-an-Nya, maka ini disebut dengan fana dalam Zat.[39]
   Melihat Allah di sini juga diartikan dengan kemampuan seseorang yang teranugrahi dengan terbukakknya rahasia keagungan dan kesaan Allah sehingga seseorang dapat melihat Allah. Secara batin, Allah nyata dalam pandangannya, dan secara zhahir, segala sesuatu tampak oleh yang yang bersangkutan sebagai manifestasi (tajalli) dari keberadaan zat Allah.
            Dalam hadits riwayat Muslim dari Yahya bin Ya’mar dijelaskan bahwa Jibril datang kepada Rasulullah Saw. dan mengajarkan tentang tiga hal; Islam, Iman, dan Ihsan. Tentang ihsan Nabi menjelaskan:
….قا ل فاخبرني عن الاحسان قا ل ان تعبد الله كا نك تراه فان لم تكن تراه فا نه يراك….
Artinya: … Jibril bertanya kepada Rasulullah; Terangkanlah kepadaku tentang Ihsan! Rasulullah Saw menjawab; Ihsan ialah menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu….[40]

g.    Kejernihan hati
Pendefinisian  tasawuf dalam konteks ini sebagaimana  Bisyr ibn al-Harits (w 277) mengatakan:
الصو فى من صفا قلبه لله
Seorang sufi adalah orang yang menjernihkan hatinya sanubarinya untuk Allah[41]
h.   Terperolehnya kemulyaan dan redha Allah

Kemulyaan dan redha Allah adalah merupakan hakikat substansial dalam tasawuf. Orang yang bertasawuf dicirikan dengan adanya perasaan dan harapan yang besar akan terperolehnya kemulyaan dan redha Allah. Hal ini merupakan obsesi utama bagi orang yang bertasawuf. Dalam hal ini para sufi menagatakan:
الصوفى من صفت لله معاملته و صفت له من الله عز وجل كرمته
Sufin adalah orang yang telah menjadi murni atau jernih pergaulannya semata-mata karena Allah dan orang yang mendapatkan kemuliaan khusus dari Allah. [42]

B. Lahirnya Tasawuf Sebagai Spiritualitas Islam


Sebagaimana yang ditulis oleh Murkilim tentang hal yang melatar belakangi lahirnya tasawuf, ditemukan perbedaan pendapat di kalangan para ahlinya. Ada yang berpendapat bahwa timbulnya tasawuf dalam Islam disebabkan oleh faktor eksternal seperti pengaruh dari agama Yahudi, Nasrani, Hindu, dan falsafah Yunani. Pada sisi lain ada yang berpendapat bahwa timbulnya tasawuf adalah karena timbulnya tuntutan dari ajaran Islam serta situasi dan kondisi sosial politik yang terjadi di tengah-tengah umat Islam.[43]
R.A Nicholson, sebagaimana dikutip oleh Taftazani mengatakan:
Sekalipun kami mengakui agama Masehi mempunyai dampak terhadap pembentukan tasawuf dari jenis pertamanya, namun kami berpendapat bahwa ucapan-ucapan para sufi yang asketis, seperti Ibrahim bin Adham (w.161 H), Daud al-Taai (w.165 H), al-Fudhail Ibn ‘Iyadh, dan Syaqiq al-Bakhi (w.104 H) tidak menunjukkan bahwa mereka terkena dampak agama Masehi, kecuali sedikit sekali. Dalam arti lain, tampaklah betapa tasawuf jenis ini adalah – Tidak bisa tidak ­– hasil gerakan Islam itu sendiri, bahkan hasil nyata dari ide Islam tentang Allah.[44]

Nicholson mengakui bahwa tasawuf muncul dari ajaran Islam itu sendiri, kendatipun ia mengatakan ada sedikit pengaruh agama Masehi. Sementara itu Ignas Goldziher mengklasifikasikan tasawuf kepada dua bentuk.  Pertama, tasawuf dalam bentuk zuhud ( asketisisme), ini mendekati semagat Islam Ahlussunnah dan tampa pengaruh asketisisme Masehi. Kedua, tasawuf dalam pengertian luas, yang membicarakan masalah ma’rifah, hal, dan zauqi. Tasawuf dalam tipe ini lebih dipengaruhi oleh Neo Platonisme, ajaran agama Hindu, Budha, dan juga Masehi.[45]
Kedua orientalis di atas sependapat bahwa tasawuf dalam Islam muncul karena dua faktor. Pertama, tasawuf muncul sebagai hasil dari pemahaman umat Islam terhadap kitab suci al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad saw. Kedua, tasawuf muncul karena pengaruh aksternal dari agama Nasrani Hindu, Budha, dan falsafah Yunani. Namun keduanya berbeda dalam menentukan mana yang lebih dominan pengaruhnya. Dalam hal ini, Nicholson melihat faktor internal lebih dominan. Sementara Golzdiher melihat faktor eksternallah yang mempunyai pengaruh lebih besar.
Ibrahim Hilal dalam bukunya “At-Tasawwuf al-Islâm Baina ad-Din wa al-Falsafah” membagi tasawuf kepada dua bentuk. Pertama, tasawuf yang merupakan hasil dari pemahaman Kitab Allah SWT., sunnah Nabi Muhammad saw., dan ucapan-ucapan para sahabat. Kedua, tasawuf yang terpengaruh oleh warisan budaya asing di luar Islam atau mengikuti berbagai tendensi organisasi yang jauh dari Islam.[46]  Lebih lanjut Hilal mengatakan. Hilal akhirnya berkesimpulan dan mengatakan, “ Bahwa mistisisme dalam Islam - yang semula disebut asketisisme dan kemudian dikenal dengan nama tasawuf – adalah hasil pengaruh dari luar Islam dan bukan berasal dari dalam Islam”.[47] 
Inti dari pendapat Ibrahim Hilal tersebut di atas adalah menolak keberadaan tasawuf dalam Islam. Karena ia berpandangan, segala sesuatu yang berhubungan dengan tasawuf, mulai dari penamaan, ajaran-ajaran dan praktek riyadhah tasawuf semuanya berasal dari luar Islam. Sementara tasawuf yang didasarkan kepada al-Qur’an, sunnah, dan ucapan-ucapan para sahabat, tidak dinamakannya dengan tasawuf kendatipun pada mulanya ia menyebutnya dengan tasawuf.
Jika ditelusuri lebih dalam, pendapat dan kesimpulan Hilal tersebut lebih didasarkan kepada beberapa persamaan dalam ajaran yang terdapat dalam tasawuf dan ajaran-ajaran yang ada pada agama-agama sebelum Islam, baik itu agama samawi maupun agama non samawi. Kesimpulan bentuk ini tentunya memiliki kelemahan yang sangat mendasar, karena adanya kesamaan yang ditemukan dalam ajaran tidak serta merta dapat dianggap bahwa salah satu dipengaruhi dan berasal dari yang lainnya. Kalau pemikiran seperti ini dapat diterima dan dibenarkan, maka tidak hanya tasawuf yang akan dikatakan berasal dari luar Islam, bahkan ajaran yang paling pokok sekalipun akan dikatakan berasal dari luar Islam. Di dalam al-Qur’an ada ayat yang menjelaskan bahwa orang-orang jahiliyyah telah mengetahui bahwa pencipta langit dan bumi itu adalah Allah.
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ(38)
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah". Katakanlah: "Maka Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmatNya?. Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku". kepada- Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri. (QS. Az-Zumar: 38)

 Berdasarkan ayat di atas tentunya tidak dapat dikatakan bahwa ajaran Islam yang mengatakan bahwa Tuhannya adalah Allah  berasal dari ajaran agama jahiliyyah
Abu al-A’la Afifi mengatakan bahwa ada empat faktor yang melatar belakangi munculnya tasawuf Islam. Pertama, ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Kedua, revolusi ruhaniah kaum muslimin terhadap sistem sosial politik yang berlaku. Ketiga, dampak asketisisme Masehi. Dan keempat, penentangan terhadap fiqih dan kalam.[48]
Pendapat ‘Afifi di atas sebagiannya ada benarnya. Namun, sebagaimana yang telah dipetakan Taftazani, yang pertama dan kedua bisa diterima, sementara yang ketiga dan keempat harus ditolak. Dalam hal ini Taftazani mengatakan: “Kamipun sependapat dengan Abu al-‘A’la ‘Afifi mengenai kedua faktor yang pertama, yaitu ajaran-ajaran Islam dan revolusi kaum muslimin terhadap sistem sosio politik yang berlangsung, sebagai faktor-faktor yang mengembangkan asketisisme dalam Islam. Sedangkan terhadap faktor ketiga dan keempatnya, tidak ada kaitannya dengan perkembangan asketisisme yang terdapat di dalam Islam”.[49]
Dengan demikan munculnya tasawuf dalam Islam adalah disebabkan oleh faktor-faktor internal Islam yaitu pemahaman ulama-ulama dari kalangan umat Islam terhadap ajaran-ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an, sunnah Nabi Muhammad, dan sahabat-sahabatnya serta perkembangan sosio politik yang terjadi di tengah-tengah umat Islam pada waktu itu.
Buya Hamka dalam bukunya “Tasawuf perkembangan dan Pemurniannya”, menyimpulkan :
“Setelah melihat segala riwayat yang tersebut tadi, nyatalah bahwa tasawuf, atau zuhud ialah tumbuh sendiri dari pengaruh membaca dan melagukan al-Qur’an dengan suara merdu, tafakkur, semadi, dan membaca beberapa hadits, mencontoh perbuatan-perbuatan sahabat-sahabat dan pengaruh dari keadaan berkeliling. Waktu permulaan tumbuhnya, tasawuf belum menjadi suatu ilmu yang teratur “atau” filsafat sistematik. Demikian pertumbuhannya sampai kepada penghujung abad dari abad kedua dalam Islam”.[50]

Mencermati berbagai pendapat tentang faktor-faktor yang melatar-belakangi munculnya tasawuf dalam Islam, sebagaimana telah dipaparkan di atas, maka penulis melihat sebagaimana juga ditulis oleh Murkilim, pendapat yang mengatakan tasawuf muncul dari pengaruh agama Hindu, Persia, Masehi, dan falsafah Yunani didasarkan kepada suatu analisa terhadap fenomena adanya kesamaan antara ajaran yang ada dalam tasawuf dengan agama lain luar Islam, sehingga diklaimlah tasawuf bersumber dari ajaran agama-agama luar Islam.  Hamka menambahkan akan adanya sentimental agama, dalam hal ini adanya tekat tidak baik dari non muslim yang secara psikologis terkontaminasi dengan dendam kekalahan perang yang puncaknya kekalahan antara salib Kristen dengan muslim.[51]
Pada dasarnya semua prinsip-prinsip tasawuf yang dikembangkan oleh para sufi sesuai dengan pengalaman spritual mereka masing-masing, yang berangkat dari pengetahuan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalannya terhadap nash-nash al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Terlepas ada atau tidak adanya persentuhan Islam dengan berbagai agama dan ajaran lainnya, selama umat Islam mempelajari, memahami, dan mengamalkan  al-Qur’an dan Sunnah secara sadar dan mudawamah, maka keberadaan tasawuf adalah suatu kemestian. Karena al-Qur’an dan Sunnah mengandung tuntutan dan tuntunan agar setiap pribadi muslim dalam segala aspek dan lini kehidupannya senantiasa berorientasi kepada Allah serta hidup dalam tatanan nilai Ilahiah. [52]

C.    Pertumbuhan dan Perkembangan Tasawuf

Tasawuf sebagai salah satu aspek ajaran Islam, esensi ajarannya dan praktek-praktek pelaksanaannya sudah ada semenjak zaman Rasulullah saw., para sahabat, tabi’in. Namun pada masa ini belum disebut dengan tasawuf. Ibnu Khaldun dalam “Muqaddimah”-nya mengungkapkan: Ilmu tasawuf termasuk ilmu syari’at Islam yang datang kemudian. Ini didasarkan kepada anggapan bahwa praktek-prakteknya masih tetap sama seperti yang dilakukan oleh generasi muslim pertama; masa sahabat, tabi’in dan juga orang-orang yang sesudah mereka yang mengikuti jalan hidayah menuju kebenaran.[53]
Pertumbuhan tasawuf diawali dengan praktek kehidupan zuhud oleh para zahid dengan intensitas ibadah yang tinggi, penuh keta’atan kepada Allah, menghindari kehidupan bermewah-mewah serta tidak terperdaya oleh harta dan kehidupan duniawi, meninggalkan maksiat, dan hidup berkhalwat untuk beribadah. Kehidupan seperti ini dilakukan oleh sebagian besar sahabat dan muslim pertama (salaf).[54]
Pada abad pertama Hijriyah kecenderungan umat terhadap kehidupan zuhud semakin tinggi, karena selain al-Qur’an dan sunnah menuntut dan memberikan tuntunan untuk itu, pada sisi lain keadaan sosial politik juga memicu untuk suburnya kehidupan zuhud. Perang saudara yang berkepanjangan di bawah Dinasti Bani Umayyah, kezaliman dan kesewenang-wenangan para penguasa, dan kehidupan moral yang semakin bobrok. Kehidupan yang demikian itu telah menjadi energi yang menggerakkan kehidupan zuhud di tengah-tengah umat.[55]
Hasan Basri [56]adalah salah seorang tokoh tasawuf yang terkenal kezuhudannya. Pandangannya memberikan dampak  yang cukup besar terhadap para sufi. Di antara ungkapannya adalah: “Juallah hidup duniamu untuk memperoleh hidup akhirat, pasti keduanya engkau peroleh. Tapi jangan jual hidup akhiratmu untuk memperoleh hidup dunia, pasti keduanya akan lenyap dari tanganmu.” Dan banyak lagi tokoh-tokoh zuhud yang mencerminlan keluhuran Islam. Seperti Ibrahim bin Adham, Rabi’ah al-Adawiyah dll[57]. Para zahid itu berkeyakinan bahwa untuk mendapatkan kesejahteraan yang abadi dan kelangsungan rahmat Ilahi, seorang harus membebaskan dirinya dari kungkungan dunia dan senang serta harap akan kehidupan akhirat. Mereka berpandangan, jika menginginkan kesejahteraan, ucapkan selamat tinggal kepada dunia ini, dan jika menginginkan rahmat, kumandangkan takbir kepada akhirat, yakni kedua-duanya adalah tempat-tempat yang menabiri”.(tempat-tempat yang mencegah dari melihat Tuhan).
Dilihat dari realita perkembanagan zuhud dan motivasinya, maka zahid dapat dibagi kepada dua golongan. Pertama, zahid yang melaksanakan dan mengamalkan kehidupan zuhud, meninggalkan kehidupan materi, dan kesenangan duniawi. Ia hidup semata-mata beribadah kepada Allah SWT., didorong oleh rasa takut akan azab Allah di akhirat. Dalam pandangannya Tuhan adalah zat yang harus ditakuti. Kedua, orang yang mengamalkan zuhud karena didorong oleh rasa cinta. Tuhan dalam pandangannya adalah zat yang harus dicintai dan didekati.[58]
Abad pertama dan kedua Hijriyah adalah masa pertumbuhan tasawuf yang dikenal dengan kehidupan zuhud sebagai cikal bakal tasawuf. Abad ketiga dan keempat merupakan abad perkembangan dan kemajuan tasawuf. Awal abad ketiga adalah masa peralihan dari zuhud kepada tasawuf.  Sebutan zahid dan zuhud tidak lagi populer, justru sebutan tasawuf lebih dikenal. Perkembangan yang dibicarakan dikalangan sufi mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Mereka membahas masalah jiwa, moral, akhlak, maqamat, dan ahwal.[59]
Menurut Hamka, isi dari kajian tasawuf pada abad ketiga dan keempat meliputi, masalah jiwa, ilmu akhlak dan ilmu tentang yang gaib (metafisika). Kehalusan rasa yang dipentingkan pada abad pertama dan kedua telah mempertinggi penyelidikan terhadap tiga ilmu itu, yang telah memenuhi kehidupan sufi.[60] Pada masa ini para sufi juga telah merumuskan dan menyusun materi-materi yang menjadi obyek dari ilmu tasawuf dan sekaligus juga telah menyusun metode (tarekat)nya. Pada masa ini pulalah para sufi melahirkan karya-karya besar yang sampai hari ini masih menjadi rujukan dalam masalah tasawuf. Di antara penulisnya adalah seperti, al-Muhasibi (w.243 H), al-Kharraz (w.277 H), al-Hakim at-Tirmizi (w.285 H), dan al-Junaid (w. 297 H).
Menurut Taftazani, ilmu tasawuf baru mulai disusun dalam pengertian yang luas pada abad ketiga. Dan dalam kurun waktu dua abad, yaitu abad ketiga dan keempat tasawuf  telah mencapai wujudnya yang sempurna. Hal ini ditandai dengan telah terpenuhinya lima karakteristik yang bersifat psikis, moral, dan epistemologis.
Pertama, peningkatan moral. Setiap tasawuf atau mistisisme memiliki nilai-nilai moral tertentu yang tujuannya untuk membersihkan jiwa, untuk perealisasian nilai-nilai itu. Dengan sendirinya, hal ini memerlukan latihan-latihan pisik-psikis tersendiri, serta pengekangan diri dari materialisme duniawi, dan lain-lain.
Kedua, pemenuhan (sirna) dalam realitas mutlak. Inilah ciri-ciri khas tasawuf atau mistisisme dalam pengertiannya yang sungguh terkaji. Yang dimaksud fana ialah, bahwa dengan latihan-latihan pisik dan psikis yang ditempuhnya, akhirnya seorang sufi atau mistikus sampai pada kondisi psikis tertentu, dimana dia tidak lagi merasakan adanya diri ataupun keakuannya. Bahkan dia merasa kekal abadi dalam realitas yang tinggi. Lebih jauh lagi, dia telah meleburkan kehendaknya ke dalam kehendak yang mutlak.
Ketiga, pengetahuan intuitif langsung. Ini adalah norma terkaji epistemologis, yang membedakan tasawuf atau mistisisme dari pada falsafat. Apabila dengan falsafah, yang dalam memahami realitas seseorang menggunakan metode-metode intelektual, maka dia disebut filosof. Sementara, kalau dia berkeyakinan atau terdapatnya metode yang lain bagi memahami hakikat realitas di sebalik persepsi inderawi dan penalaran intelektual, yang disebut dengan kasyaf atau intuisi…maka dalam kondisi begini dia disebut sebagai sufi.
Keempat, ketentraman atau kebahagiaan. Ini merupakan karakteristik khusus pada semua bentuk tasawuf. Sebab tasawuf diniatkan sebagai penunjuk atau sebagai pengendali berbagai dorongan hawa-nafsu, serta bpembangkit keseimbangan psikis pada diri seorang sufi. Dengan sendoirinya, maksud membuat sang sufi ternbebas dari semua rasa takut dan merasa intens dalam ketentraman jiwa, serta kebahagiaan dirinya pun terwujudkan.
Kelima, penggunaan symbol dalam ungkapan-ungkapan. Yang dimaksudkan dengan dengan pengguinaan symbol ialah ungkapan-ungkapan yang digunakan para sufi itu bisaanya mengandung dua pengertian. Pertama, pengertian yang ditimba dari harfiah kata-kata. Kedua, Pengertian yang ditimba dari analisa serta pendalaman.[61]

Abad kelima hijriyah. adalah puncak perkembangan tasawuf sunni, yang dimotori oleh imam al-Gazhali. Sedangkan tasawuf falsafi berkembang dengan pesat pada abad keenam hijriyah dengan tokoh utamanya adalah Ibn Arabi.
D.     Tarekat Sufi

            Dalam tasawuf dikenal satu istilah yang disebut tarekat. Kata tarekat berasal dari bahasa Arab, dari akar kata: طر ق   yang berarti jalan. Kata tarekat mempunyai beberapa arti, antara lain: السير ة   yang artinya jalan, cara;  كيفيةartinya metode, sistem; المذ هب  artinya mazhab, aliran-aliran; dan الحا لة artinya keadaan.[62]
Keempat arti tersebut di atas nampaknya terserap ke dalam pengertian tarekat sufi. Syekh Abdul Razaq al-Kâsyâny (w. 730 H) dalam “Mu’jam Ishthilâhât as-Shûfiyyah” mengungkapkan pengertian tarekat:
االطريقة :هي السيرة المختصة بالسا لكين الى الله من قطع المنا زل والترقى المقا مات 
Artinya: Tarekat adalah perjalanan yang dikhususkan untuk orang-orang yang ingin melakukan perjalanan (sâlik) untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT., dengan menempuh tahapan-tahapan dan tingkatan-tingkatannya.

            Dalam “Ensiklopedi Tematis Dunia Islam” dijelaskan: “ Tarekat (tharîqah)  adalah “jalan” atau “metode” yang ditempuh para sufi dalam melakukan ibadah, zikir, dan do’a. Cara ibadah, zikir, dan do’a itu diajarkan oleh seorang guru sufi kepada muridnya dengan penuh disiplin [63]  Tarekat sufi hanya dapat dicapai secara sempurna dengan menguasai ilmu dan mengimplementasikannya dalam wujud amaliyah. Dengan amal yang mudâwamah akan dapat diputuskan halangan dan rintangan jiwa sekaligus membersihkan jiwa dari berbagai macam akhlak mazmûmah dan sifat-sifat yang buruk. Akhirnya jiwa  menjadi kosong dari segala sesuatu selain Allah dan menjadi indah dengan zikrullah. [64]
            Dalam perjalanan sejarahnya tarekat mengalami perkembangan dan perluasan makna sesuai dengan dinamika dan tuntutan zaman yang dilewati oleh sufi itu sendiri. Pada mulanya tarekat dipahami sebagai suatu “jalan” atau “metode” sufi dalam pelaksanaan atau pengamalan ajaran (syariat) Islam berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah secara individu dan kemudian diajarkan kepada muridnya secara individu pula. Tarekat dalam pengertian ini sudah ada semenjak periode awal perkembangannya, yang dipahami oleh para sufi dari ayat al-Qur’an yang berbunyi:
والو استقاموا على الطريقة لا سقينهم ماء غدقا
Artinya:Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak). (QS., Al-Jin, 72:16)

Pada dasarnya, tarekat dalam dunia tasawuf tidak terhitung jumlahnya, karena setiap manusia seharusnya mencari dan merintis jalannya sendiri sesuai dengan kemampuan dan taraf kesucian hatinya masing-masing. [65] Oleh karena tidak mengherankan dijumpai berbagai jenis tarekat dalam dunia tasawuf. Namun demikian, al-Ghazali dalam kitabnya al-munqīzd mi ad-Dalāl menyebutkan bahwa dalam pelaksanaannya seluruh tarekat tersebut memiliki tiga tahapan yang sama, yaitu tahap penyucian hati, konsentrasi dalam zikir, dan peleburan diri dalam Allah (fana).[66]
Sebagaimana tasawuf sendiri, pada masa awal Islam, merupakan salah satu bentuk ungkapan keberagamaan seseorang yang sifatnya sangat pribadi. Seseorang yang masuk ke dalam dunia tasawuf bermaksud menegaskan hubungan spiritual dirinya sebagai hamba (‘Abid) dengan Tuhannya sebagai Yang Disembah (Ma’b´d). Hubungan spiritual antara ‘Abid dengan Ma’b´d dalam dunia tasawuf —yang lebih menekankan aspek batin (esoteric)— ini umumnya dipahami sebagai berbeda dengan hubungan antara ‘Abid dengan Ma’b´d yang diatur melalui doktrin-doktrin fikih, dan lebih bersifat lahir. [67]         
Kendati demikian, terutama oleh para pemeluknya, ajaran tasawuf yang diorganisasi melalui lembaga tarekat diyakini sebagai memiliki akar dalam ajaran Nabi itu sendiri, karena para penganut tarekat meyakini bahwa para sufi yang namanya dipakai untuk menyebut jenis tarekatnya tersebut tidak bertindak sebagai pencipta berbagai ritual tarekat, seperti zikir dengan berbagai metodenya, melainkan hanya merumuskan dan membuat sistematikanya saja, sedangkan substansi dari ajaran-ajarannya itu sendiri adalah “asli” berasal dari Nabi, dan diterimanya melalui sebuah jalur silsilah yang terhubungkan sedemikian rupa sampai kepada Nabi.
Nampaknya corak pemahaman yang  demikian telah melahirkan pandangan di kalangan sufi yang mengatakan bahwa jalan (tarekat) menuju Allah itu banyaknya bagaikan hitungan nafas. Karenanya muncullah berbagai macam tarekat sufi. Dalam perkembangan selanjutnya, para sufi mengembangkan metode yang ditempuhnya dan mengajarkan pengalaman-pengalaman yang didapatkan kepada murid-muridnya baik secara perorangan ataupun berkelompok. Dengan pendekatan yang demikian hubungan murid dengan guru mulai mendapatkan bentuknya, yang disebut dengan istilah “ silsilah tariqat,  merupakan transmisi dari seorang syekh kepada syekh sebelumnya (gurunya) secara sambung menyambung sampai kepada Rasulullah saw. Berangkat dari pola pengembangan tersebut di atas, maka terbentuklah satu pengertian bahwa tarekat sufi adalah suatu jalan atau metode sufi menuju Allah di bawah bimbingan seorang syekh.[68] Tarekat sufi dalam bentuk dan pengertian yang demikian berkembang sampai abad kelima hijriyah [69]
            Abad keenam selain ditandai dengan berkembangnya tasawuf falsafi juga merupakan abad perkembangan  tarekat sufi dalam bentuk kelembagaan atau organisasi. Kehadiran lembaga atau organisasi tarekat itu adalah merupakan tuntutan dari perjalanan waktu, dimana semakin jauhnya umat Islam dari sumber pewahyuan.[70] Pada masa ini para sufi bergabung dalam satu jama’ah di bawah pimpinan seorang syekh dan tarekat mereka diberi nama dengan menisbahkan kepada tokoh utamanya. Para sufi pengikut suatu tarekat  tunduk kepada aturan yang telah ditentukan oleh syekh, meliputi hal-hal yang berhubungan dengan amaliyah tarekat, wirid, tata cara, metode pelaksanaan dan etika: hubungan murid dengan syekh, hubungan murid dengan murid dan sebagainya. Dengan cara demikian tarekat sufi mengalami perkembangan yang cukup pesat ke berbagai belahan dunia, termasuk ke Nusantara ini.
            Berangkat dari pembahasan di atas, maka tarekat sufi paling tidak dapat diklasifikasikan kepada dua bentuk: Pertama, tarekat sufi adalah suatu jalan atau metode yang ditempuh oleh sufi dalam pengamalan ajaran Islam (syari’at), guna mensucikan diri (jiwanya) dari segala bentuk akidah syirik dan akhlak al-mazmûmah dan mengisi serta menghiasainya dengan akidah tauhid dan akhlakul karimah, sehingga jiwa menjadi suci dan dapat mencapai ma’rifatullah. Kedua, tarekat dalam pengertian organisasi atau lembaga adalah kumpulan orang-orang sufi yang menganut tarekat sufi tertentu di bawah pimpinan dan bimbingan seorang syekh yang mempunyai silsilah secara sambung menyambung sampai kepada Rasulullah saw. Proses pembelajaran, bimbingan, dan latihan dilaksanakan di suatu tempat yang disebut dengan ribath , khanaqah, dan di Persia disebut zawiyah, di Turki disebut takaya atau teke, sementara di Minangkabau disebut dengan halaqah suluk .[71]
Secara kelembagaan, menurut Oman, tarekat pada dasarnya tidak dikenal dalam Islam hingga abad ke-8 H atau abad ke-14 M. Artinya, tarekat, sebagai organisasi dalam dunia tasawuf, bisa dianggap sebagai hal baru yang tidak pernah dijumpai dalam tradisi Islam periode awal, termasuk pada masa Nabi. Tidak heran kemudian jika hampir semua jenis tarekat yang dikenal saat ini selalu dinisbatkan kepada nama-nama para wali atau ulama belakangan yang hidup berabad-abad jauh setelah masa Nabi .
Berbeda dengan Oman, Taufiq Abdullah berpandangan bahwa tarekat dalam bentuk kelembagaan atau organisasi sudah ada mulai pada abad ke 6 H/12 Masehi dan sampai sekarang tetap eksis sesuai dengan alur irama serta dinamika sejarahnya.  Pada era globalisasi dewasa ini tarekat ditemukan di berbagai belahan dunia baik di dunia Barat maupun dunia Timur. Tarekat juga di anut oleh berbagai strata masyarakat. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, mencatat sebanyak 44 tarekat terkenal yang berkembang di dunia hari ini. [72] Sayyed Husen Nasr dalam  Ensiklopedi Tematis Spiritual Islam, memilih 7 tarekat yang menjadi pembahasan dalam ensiklopedi tersebut berdasarkan panjang sejarah, luas daerah sebaran geografis, besar pengaruh, signifikansi intelektual, dan artistiknya.[73].
5.             Hubungan Guru dan Murid dalam Pendidikan Spiritual Tarekat

Tarekat dibangun di atas landasan sistem dan hubungan yang erat dan khas antara seorang guru (mursyid) dengan muridnya. Hubungan tersebut diawali dengan sebuah pernyataan kesetiaan (bai’ah) dari seseorang yang hendak menjadi murid tarekat kepada seorang syaikh tertentu sebagai mursyid.
Teknis dan tata cara bai’ah dalam berbagai jenis tarekat seringkali berbeda satu sama lain, tetapi umumnya terdapat tiga tahapan penting yang harus dilalui oleh seorang calon murid yang akan melakukan bai’ah yakni: talqin adl-Dzikr (mengulang-ulang zikir tertentu)[74], akhdz  al-‘ahd (mengambil sumpah)[75], dan libs al-khirqah (mengenakan jubah).[76]
Proses bai’ah ini dianggap penting dan menentukan dalam organisasi tarekat, karena bai’ah mengisyaratkan terjalinnya hubungan yang tidak akan pernah putus antara murid dengan mursyidnya. Begitu bai’ah diikrarkan, maka sang murid dituntut untuk mematuhi berbagai ajaran dan tuntunan sang mursyid, dan meyakini bahwa mursyidnya itu adalah wakil dari Nabi. Lebih dari itu, bai’ah juga diyakini sebagai sebuah bentuk perjanjian antara murid sebagai hamba dengan al-haq sebagai Tuhannya.
Seorang murid yang telah secara resmi menjadi anggota tarekat akan memulai perjalanan spiritual (sul´k)nya dengan mempelajari  berbagai ilmu tasawuf. Dalam dunia tarekat, tidak ada ketentuan tentang berapa lama seorang murid bisa dianggap selesai mempelajari ilmu tasawuf, dan berhak mengajarkan kembali ilmunya itu kepada orang lain, karena hal itu sangat tergantung kepada kemampuan sang murid sendiri dalam menjalani berbagai tahapan pengalaman spiritual (maqāmāt) hingga sampai pada pengetahuan tentang al-haqq (Kebenaran Ilahi). Beberapa murid bisa saja menyelesaikan pelajaran mistisnya dalam waktu singkat, sementara murid lain mungkin lebih lama. Biasanya, sang mursyid lah yang nantinya menentukan murid mana yang sudah bisa dianggap lulus dalam perjalanan spiritualnya. Jika seorang murid telah dianggap sampai pada tingkat tertentu dalam memahami pengetahuan tentang al-haqq,[77] maka sang mursyid akan mengangkatnya sebagai khalīfah, yang prosesi pengangkatannya biasanya ditandai dengan pemberian ijāzah. Pada gilirannya, proses seperti ini melahirkan sebuah mata rantai hubungan spiritual mursyid-murid yang disebut dengan silsilah.[78]
Dalam dunia tarekat, silsilah —yang mulai mengakar terutama pada abad ke-12— ini menempati peran yang sangat penting karena bisa digunakan untuk menelusuri asal-usul dan kesahihan sebuah tarekat. Melalui silsilah pula ajaran-ajaran tasawuf dapat tersebar secara sistematis; Dan yang paling penting, silsilah telah menjadikan gerakan tarekat semakin terkonsolidasi dan terorganisasi dengan baik, karena berhasil menciptakan hubungan spiritual yang hierarkis antara sufi satu dengan sufi lainnya. [79]
Lebih dari itu, tradisi silsilah merupakan jaminan atas transmisi berbagai ajaran tasawuf yang dirumuskan pertama kalinya oleh para sufi pendiri tarekat kepada generasi sufi berikutnya yang diangkat sebagai khalifah. Dengan posisinya yang sedemikian penting, maka tidak heran kemudian jika silsilah menjadi salah satu ukuran sebuah tarekat dikategorikan sebagai tarekat mu’tabarah (jenis tarekat yang diakui) atau gair mu’tabarah (jenis tarekat yang tidak diakui).
Akan tetapi, sebagaimana ditulis oleh Oman, penting dicatat bahwa silsilah yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya sebetulnya juga meniscayakan adanya hubungan langsung antara seorang murid dengan gurunya. Namun dalam kenyataannya, tidak jarang seorang murid yang ditulis dalam silsilah tidak pernah berjumpa dengan guru yang ditulis secara berurutan di atasnya, karena gurunya tersebut wafat sebelum murid tersebut lahir, atau karena mereka tinggal di negeri yang berbeda dan sangat berjauhan. Berkaitan dengan silsilah semacam ini, sebagian kecil sufi memang menolaknya dan menganggap silsilah tersebut sebagai palsu. Akan tetapi, sebagian besar lainnya tidak mempersoalkan karena mereka tidak menolak kemungkinan bahwa seorang yang dianggap suci (wali) dapat saja menerima perlajaran dari guru yang mendahuluinya bukan melalui komunikasi langsung tetapi melalui komunikasi spiritual, yakni melalui pertemuan dengan wujud ruhaniahnya. Dalam dunia tarekat, hubungan yang demikian itu disebut barzakhi atau uwaisi.[80]



[1] Abdul Halim Mahmud, Tasawuf di Dunia Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002),
[2] Abu al-Qasim Abd al-Karim Hawazin al-Qusyairi al-Naisaburi, Risalah Qusyairiyah, Sumber Kajian Ilmu Tasawuf . Judul asli, ar-Risālat al-Qusyairiyyah fī Ilmi al-Tashawwuf, Peny. Umar Faruq, Ed. Achmad Ma’ruf Ansrori, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002) 
[3] Ibid.
[4] Ibid.,
[5] Abu al-Wafa al-Ghanimi  al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman,Penj: Ahmad Rofi’ Utsmani dari Judul Asli Madkhal ila at-Tashawwuf al-Islâm, (Bandung: Pustaka, 1997)
[6]  Abdul Halim Mahmud, op cit.,
[7]  Al-Kattani wafat tahun 322 H/ 934 M. Dia berasal dari Bagdad dan berguru al-Junaid al-Bagdadi, al-Kharraj, dan kepada al-Nuri, kemudian dia tinggal di Makkah hingga akhir hayatnya. Lihat Abdul Halim Mahmud, ibid., 
[8] Nama lemngkapnya adalah, Abu Muhammad Ahmad ibn Muhammad bin al-Husain al-Jariri (w. 311 H). Dia adalah salah satu tokoh besar tasawuf sahabat al-Junaid. Dia menduduki posisi al-Junaid sebagai tokoh besar sufi sepeninggal al-Junaid dan memiliki banyak murid, diantaranya, Sahl ibn Abdullah. Di antara mutiara hikmahnya adalah, ”Barang siapa yang dikuasai oleh hawa nafsunya, ia menjadi tawanannya, terbelenggu dalam penjaranya, dan Allah menutupi hatinya untuk mencari kemamfa’atan, sehingga ia tidak dapat menikmati kelezatan firman Allah “.  Mutiara hikmahnya yang lain adalah, “Untuk mengetahui ashal (pokok) sesuatu adalah dengan menggunakan furu’ (cabang) dan meluruskan furu’ dengan mendasarkannya kepada ashal. Tidak akan sampai kepada tingkatan penyaksian ashal, kecuali dengan mengagungkan perantara dan furu’ yang telah diperintahkan oleh Allah”. Lihat Abdul Halim, ibid., dan al-Qusyairi, 
[9]  Al-Qusyairi, ibid.,
[10] Ibrahim Basiyuni, Nasya’at at- Tashawwuf al-Islami,(Mesir: Daar al-Ma’arif ,tt)
[11] Abdul Halim, op cit.,
[12]  Al-Kharraz adalah seorang ulama yang berasal dari Bagdad, bersahabat dengan Dzun Nūn al-Mishri, an-Nabaji, Abu ‘Ubaid al-Bisri, Sari as-Saqathi, Bisyr ibn al-Harits. ibid
[13] Nama lengkapnya adalah Abul Qasim al-Junaid ibn Muhammad al-Bagdadi. Ia adalah pemuka thariqah kaum sufi., berasal dari Nahawand, namun lahir dan tumbuh besar di Irak. Ayahnya adalah seorang penjual kaca sehingga al-Junaid sering dikaitkan dengan nisbat, al-Qawairi. Al Junaid dikenal sebagai seorang faqih dalam fiqih mazhab Abu Tsaur dan berfatwa di halaqah-nya ketika usianya baru berumur 20 tahun. Ia berguru kepada pamannya sendiri, Ats-Tsari as-Saqathi, dan kepada al-Harits al-Muhasibi serta kepada Muhammad ibn Ali al-Qashashab. Di antara mutiara hikmah al-Junaid yang terkenal adalah ketika dia ditanya tentang ma’rifah, dia menjawab, “Aku tidak pernah mengambil pelajaran tasawuf dari kata-kata, tetapi aku mengambil pelajaran dari rasa lapar dan meninggalkan dunia, memutuskan segala kecendrungan dan hal-hal yang indah.” ibid
[14] Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Ja’far ibn Nashr al-Khalidi. Lahir, tumbuh serta wafat di kota Bagdad. Dia adalah murid dari al-Junaid. Di samping itu al-Khalidi juga berguru kepada an-Nūri, Ruwayn, Samnun, dan tokoh sufi lainnya. Ia pernah berkata, “ Seorang hamba tidak akan menemukan kelezatan beramal kepada Allah bila amalnya itu disertai kelezatan nafsu. Ahli hakikat telah memutuskan hubungan ketergantungan nafsu yang memutuskan dari hubungan dirinya kepada Allah sebelum mereka dipotong oleh hubungan nafsu itu sendiri.”. Dia menambahkan bahwa “Sesungguhnya antara hamba dan wujud dunia hendaknya terdapat ketakwaan di hatinya. Jika ketakwaan telah melekat di hatinya, akan turun kepadanya berkah-berkah ilmu, dan lenyaplah kecintaannya terhadap dunia.” Ibid
[15] Nama lengkapnya adalah Abu Bahar Dalf ibn Jahdar Asy Syibli. (Wafat tahun 334 H). Berasal dari Bagdad serta lahir dan besar di kota itu. Akan tetapi asal usulnya adalah justru dari daerah Asrusyanah. Dia berguru kepada al-Junaid dan tokoh sufi lainnya. Dia adalah tokoh sufi besar yang bermazhab Maliki, di makamkan di Bagdad. Ibid
[16] Nama lengkapnya adalah Abul Husain Ahmad ibn Muhammad an-Nūri. Dia dilahirkan dan dibesarkan di Bagdad, sedangkan asalnya dari Baghawi. Ia bersahabat dengan al-Junaid. ibid.,
[17] Ibrahim Basuny, Nasyi’at at-Tashawwuf al-Islamy,( Mesir: Dar, tt) 
[18]  A. Halim Mahmud,  op.cit.
[19] Salim Bahreisy, Terjemah al-Hikam, (Surabaya: Balai Buku, 1980)
                [20] Hazrat Inayat Khan, Dimensi Spiritual Psikologi,(Bandung: Pustaka Hidayah,2000)
[21] Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah; (Transcentental Intelligence); Membentuk Kepribadian yang Bertanggung Jawab, Profesional, dan Berakhlak, ( Jakarta: Gema Insani, 2001)
[22] Ibid.
                [23]  Ibid.,
[24] Maula-maula ialah seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yang Telah dijadikan anak angkat, seperti Salim anak angkat Huzaifah, dipanggil maula Huzaifah.
                [25]   Toto Tasmara, op. ci
                [26] Sayyid Mujtaba Musawi Lari, Meraih Kesempurnaan Spiritual, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1999
                [27]  Danah Zohar dan Ian Marshall , SQ, (Bandung: Mizan , 2001),
[28] Al-Qusyairi, op cit.
[29] Abdul Halim Mahmud, op cit.
[30] Walaupun ada perbedaan konseptual antara Kecerdasan Spiritual yang ditawarkan Danah Zohar dengan Kecerdasan Ruhaniah yang ditawarkan Toto Tasmara, namun dalam konteks tulisan ini, Kecerdasan Spiritual akan ditulis dan dimaknai sama dengan Kecerdasan Ruhaniah karena spiritual yang dimaksudkan di sini adalah dimensi ruhaniah manusia
                [31] Toto Tasmara, op. cit.                                                          
                [32] Abul A’la Maududi, Menjadi Muslim Sejati,(Yokyakarta: Pustaka Pelajar off set, 2000) 
                [33] Ibid., .,
                [34] Umar Sulaiman Al-Asyqar, Ciri-ciri Kepribadian Muslim, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 1996) ,

                [35] Yusuf al-Qardhawi , Islam Peradaban Masa Depan (Jakarta Timur : Pustaka al-Kautsar, 1995)
[36] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978)
[37] diwaktu Turunnya surat Al Hajj ayat 73 yang di dalamnya Tuhan menerangkan bahwa berhala-berhala yang mereka sembah itu tidak dapat membuat lalat, sekalipun mereka kerjakan bersama-sama, dan Turunnya surat Al Ankabuut ayat 41 yang di dalamnya Tuhan menggambarkan Kelemahan berhala-berhala yang dijadikan oleh orang-orang musyrik itu sebagai pelindung sama dengan lemahnya sarang laba-laba.
[38] disesatkan Allah berarti: bahwa orang itu sesat berhubung keingkarannya dan tidak mau memahami petunjuk-petunjuk Allah. dalam ayat ini, Karena mereka itu ingkar dan tidak mau memahami apa sebabnya Allah menjadikan nyamuk sebagai perumpamaan, Maka mereka itu menjadi sesat.
[39] Sa’id Hawwa, Jalan Ruhani, (Bandung: Mizan, 1999), cet. VIII,
[40] Muslim, Shahih Muslim, Terj: Makmur Daud, Juz  1. (Jakarta: Wijaya, 1993)
[41] Abu Nashar – Bisyr ibn Harits al-Hafi (150-227 H/ 767-841 M.), berasal dari Marw, tinggal di Bagdad sampai akhir hayatnya. Ia seorang yang terkenal kealimannya menguasai ushul syari’at dan furu’ syari’at, dan juga dikenal sebagai seorang yang zahid. Basyir adalah seorang hamba Allah yang beruntung dengan mendapatkan husnul khatimah. Karena sebelum menjadi seorang yang zahid, di waktu mudanya ia terkenal sebagai seorang perampok di Marw dan suka minum.Terjadinya perobahan dalam kehidupan Basyir dari kehidupan yang malang-melintang di lembah hitam kepada kehidupan  sebagai seorang zahid diriwayatkan bahwa pada suatu hari ia menemukan secarik kertas yang di dalamnya bertuliskan “Bismillah ar-Rahman ar-Rahim”. Kertas itu diambil, lalu dibersihkan, diberikan wewangian dan kemudian diletakkan pada tempat yang baik. Pada waktu tidur ia mendengar suara yang berkata kepadanya;” Hai Basyir, engkau telah membersihkan nama-Ku, kelak Ku bersihkan namamu di dunia dan akhirat. Setelah itu Basyir bertaubat dan hidup sebagi seorang zahid. Gelar al-Hafi yang ditempatkan di belakang nama Basyir erat kaitannya dengan prilakunya sebagai seorang zahid. Al-Hafi berarti orang yang tidak memakai sandal. Sehubungan dengan hal ini, Hujwiri dalam bukunya “Kasyful Mahjub” mengungkapkan; “ Ketika ditanyakan alasan hal ini (tidak memakai sandal) dia menjawab; “Bumi adalah karpet-Nya, kukira merupakan kesalahan berjalan di atas karpet-Nya selagi masih ada antara kakiku dan karpet-Nya”. Menurut Basyir, orang yang menginginkan kemuliaan di dunia dan akhirat, hendaklah dia meninggalkan tiga hal. Pertama, tidak menerima belas kasihan dari seseorang. Orang yang mengenal jalan menuju Allah, tidak meminta belas kasihan dari orang lain, karena berbuat demikian adalah bukti kebodohan tentang Tuhan. Jika ia mengetahui pemberi semua pertolongan,dia tidak akan meminta pertolongan kepada sesama makhluk. Kedua membicarakan keburukan seseorang, karena itu berarti mengkritik Tuhan. Tidak menerima undangan makan dari orang lain, karena pemberi rezki sebenarnya adalah Allah. Lihat, Abd Halim Mahmud, op.cit., dan lihat juga: Hujwiri, Kasyful Mahjub, , Penj: Suwarjo Muthary dan Abdul Hadi W.M, (Bandung: Mizan, 1993)
[42] Abd Halim Mahmud, op.cit
[43] Murkilim, Pemikiran Tasawuf Syekh Abdul Madjid, (Tesis) , (Padang: PPs IAIN IB Padang, 2006), 
[44] Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman,Penj: Ahmad Rofi’ Usmani, Judul Asli: Madkhal Ila at-Tashawwuf al-Islam,(Bandung: Pustaka, 1997), h. 56. Lihat Juga Murkilim, Pemikiran Tasawuf Syekh Abdul Madjid (Tesis), (Padang: PPs IAIN IB Padang, 2006)
[45] Ibid,
[46] Ibrahim Hilal, Tasawuf Antara Agama dan Filsafat, Penj: Ija Suntana dkk, Judul Asli: at-Tashawwuf al-Islami bain ad-Din wa al-Falsafah,(Bandung: Pustaka Hidayah, 2000)
[47] Ibid.
[48] Taftazani, op. cit.
[49] Ibid,h.
[50] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas , 1994)
[51] Hamka menambahkan:  “Maka teori yang mengatakan bahwa tasawuf Islam adalah diambil dari ajaran zuhud Nasrani, tidak terlepas dari pengaruh ini. (peperangan antara Islam dan Nasrani. Pen) Walaupun ahli-ahli orientalis yang besar-besar dan masyhur, sebagai Noldke, Golzdiher, Hurgronye, apatah lagi Kremer, tidaklah mudah melepaskan diri dari pengaruh ini. Sedang hilangnya pengaruh ini tidaklah terjadi dalam waktu dekat”Ibid.,
[52] Ibid.,
[53] Ibn Khaldun , Muqaddimah Ibn Khaldun, Penj: Ahmad Thaha, (Jkarta: Pustaka Firdaus, 1986)
[54] Semenjak zaman Rasulullah saw.banyak sahabat yang senang berpuasa di siang hari, shalat, dan membaca al-Qur’an di malam hari. Di antaranya adalah Abdullah bin Umar, sehingga Nabi pernah berkata kepadanya: “Tubuhmu juga mempunyai hak-hak yang harus kamu penuhi”. Selain Ibn Umar, juga ada Abu Darda’, Abu Zar al-Gifari, Bahlul Ibn Zuaib, dan Kahma al-Hilali, Lihat: Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1979) Jilid II,
[55] Taftazani, op. cit.
[56] . Nama lengkapnya adalah Abu Sa’id al-Hasan ibn Abi al-Hasan. Ia lahir di Madinah pada tahun 21 H. dan meninggal di Basrah pada tahun 110 H. Di kalangan kaum sufi ia dipandang sebagai imam mereka. Baca: Harun Nasution, log cit
[57] Abu Ishak (Ibrahim bin Adham bin Manshur; 161 H./778 M) ia adalah seorang zahid yang berasal dari keluarga hartawan dan bangsawan. Ia keturunan raja Balkhan. Ia dilahirkan di Makkah ketika kedua orang tuanya menunaikan ibadah haji. Ia memilih hidup sebagai seorang zahid. Dengan ikhlas dan tanpa sedikitpun keraguan ia tinggalkan harta kekayaan serta tahta yang diwariskan ayahnya. Ia hidup sebagai seorang musafir, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ia rela bekerja memeras keringat membanting tulang, bekerja sebagai seorang tukang kebun dan tukang pemotong kayu api. Dari hasil kerjanya itu dia beli roti sebagian ia makan dan sebagian lainnya diberikan kepada orang miskin. Sulit membayangkan seorang pangeran lalu meninggalkan tahtanya dan kemudian memilih hidup sebagai seorang tukang kebun. Dalam hal ini Hujwiry dalam kitabnya yang bernama “Kasyful Mahjub” mengungkapkan kisah perjalanan spiritual Ibrahim bin Adham. Pada suatu hari, ia pergi berburu dan terpisah dari pengawalnya ketika ia sedang memburu seekor rusa. Tuhan menyebabkan  rusa itu berkhutbah kepadanya dengan bahasa yang fasih: “ Apakah engkau diciptakan untuk tujuan ini, atau apakah engkau diperintah untuk mengerjakan ini?”. Dia lalu bertobat meninggalkan segala kebiasaannya, dan memasuki dunia zuhud. Setelah mendengarkan suara itu ditinggalkannya semua pakaian kebesarannya. Ia pergi ke Makkah dengan berjalan kaki melintasi gurun pasir. Di Makkah ia belajar kepada Sofyan ats-Tsauri dan al-Fadhail bin ‘Iyad. Akhirnya ia mukim di Syam dan meninggal di sana. Ibrahim tidak mau mencintai dunia dan juga tidak mau dicintai dunia, tetapi ia sangat mengharapkan cinta Ilahi sehingga sorgapun tidak menjadi harapannya. Kondisi kejiwaan yang demikian indah tergambar dalam ungkapannya: “Cinta kepada dunia menyebabkan orang menjadi tuli serta buta dan membuat dia menjadi budak”.  Engkau tahu Tuhan, bahwa sorga bagiku tidak berharga walaupun sebesar agas. Jika Engkau terima aku jadi teman-Mu dan Engkau curahkan kepadaku cinta-Mu, maka hadiahkanlah sorga kepada siapa yang Engkau kehendaki”. Ma’ruf al Karkhi sebagai seorang murid ath-Tha’i mengatakan, “Aku tak pernah melihat seseorang yang kurang mempedulikan barang-barang duniawi selain Daud ath-Tha’i”.
Rabi’ah al-Adawiyah yang nama lengkapnya adalah “Ummul Khairi Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah al-Qisiyah. Rabi’ah dilahirkan di Bashrah tahun 714 M. dan meninggal tahun 801 M. Kedua orang tuanya meninggal sewaktu dia masih kecil dan kemudian ia kelihatannya dijual sebagai budak. Tetapi pada akhirnya dia peroleh kemerdekaannya kembali. Ia adalah seorang tokoh sufi wanita yang menjadi contoh kehidupan ruhani Islam pada abad kedua Hijriyah. Sebagaimana lazimnya seorang sufi, Rabi’ah melewati hari-harinya dengan penuh ibadah. Sepanjang malam diisinya dengan ibadah shalat dan hanya tidur sesa’at menjelang subuh. Itupun sudah dirasakannya lama, sehingga ketika bangun dari tidur yang hannya sebentar itu, ia berkata: “Duhai jiwa! Berapa lama kau tertidur, sehingga hampir saja kau tertidur tampa bangkit lagi kecuali oleh terompet hari kebangkitan”Ibadah yang dilakukan oleh Rabi’ah al-Adawiyah terbebas dari segala motivasi duniawi maupun ukhrawi. Ia tidak beribadah karena mengharapkan keberhasilan dunia atau mendapatkan sorga di akhirat nanti dan tidak juga karena takut akan azab Tuhan berupa neraka. Ibadah yang dilakukannya digerakkan oleh energi cinta yang demikian kuat terhadap Khaliknya. Ruh cinta terhadap Ilahi telah menyelimuti seluruh dirinya sebagaimana tergambar dalam sya’irnya:
Tuhanku, bila aku menyembah-Mu karena takut kepada neraka-Mu, masukkanlah aku ke dalamnya. Dan manakala aku menyembah-Mu karena mengharapakan surga-Mu, maka haramkanlah dia bagiku. Tetapi manakala aku menyembah-Mu karena mencintai-Mu, maka janganlah halangi aku untuk melihat-Mu”.
Cinta adalah karakteristik tasawuf yang dimiliki oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Cinta telah menjadi par excellence dalam beribadah kepada Rabbnya, seperti yang disenandungkan dalam sya’irnya;
Aku cinta kepada-Mu dengan dua cinta; Aku mencintai-Mu karena cinta yang bergelora dalam diriku. Aku mencintai-Mu karena Engkaulah yang patut dicinta. Adapun cinta yang bergelora dalam diriku, karena sepanjang hariku selalu ingat kepada-Mu, yang lain tidak. Dan adapun cinta karena Engaku yang patut untuk dicinta, maka tidak satupun alam yang kupandang, sehingga Engkaulah yang nyata. Tiada pujian bagiku dalam hal ini dan itu. Tetapi milik-Mulah segala puji.
Bagi Rabi’ah ibadah hanya ada di atas landasan cinta kepada Allah SWT. Tidak ada yang patut untuk dicintai kecuali hanya Allah, yang menjadi sumber segala cinta. Karena Allah ia mencintai, dengan Allah ia mencintai, dan hanya Allah lah yang ia cintai.
Baca: Hasrun Nasution,Ibid., Qusyairy, Risalah Qusyairiyah, Hujwiri, op.cit., , A.Rifa’i Seregar, Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999) dan lihat juga: Abu Bakar Muhammad al-Kalabazi, At-Ta’aruf Li Mazhab Ahlu at-Tashawwuf, ( Mesir: Maktabah Kulliyat al-Azhariyah, 1969)
[58] Harun Nasution,op. cit.,
[59] Taftazani, op. cit 
[60] Tasawuf mencapai kesempurnaannya pada abad ketiga dan keempat ini didukung oleh figur-figur sufi yang tangguh dan berkompeten di bidangnya. Seperti, Ma’ruf al-Karkhi, (w.200 H). Ia adalah tokoh dan pemimpin sufi besar di Bagdad. Menurut dia kekayaan yang sesungguhnya bukan terletak pada kepemilikan materi, tetapi justru terletak pada hati. Kekayaan hati akan didapat melalui ma’rifat, yaitu kenal kepada Allah yang dicintai. Cinta menimbulkan ketentraman (thuma’ninah) dalam hati, sekaligus segala sesuatu yang bersifat kebendaan akan terlihat sebagai sesuatu yang kecil. Ma’rifah dengan pendekatan cinta dan zuhud adalah merupakan inti dari tasawuf Ma’ruf. Pandangan tasawufnya ini berakar pada pengertian tasawuf yang ia pahami. Ia mendefinisikan tasawuf adalah “ mengambil hakikat, putus asa dari apa yang ada di tangan sesama makhluk. “Mabuk” karena rindu dan cinta kepada Tuhan, dan belum sadar dari kemabukan itu sebelum bertemu dengan Dia”Hamka, op. cit.,
[61] Ibid.,
[62] Louis al-Ma’lūf, al-Munjid fi al-Lughah wa I’lam, (Beirut: Dar al-Masna, 1986)
[63]Taufiq Abdullah (ed),Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: PT.Ikhtiar Van Hoeve, , ctt) Jilid IV )
[64]Al-Gazali, Al-Munqiz Min ad-DhaLâl,(Beirut: Maktabah Syarqiyyah,tt), 
[65]Nicholson, Nicholson, R.A., The Mystics of Islam, ( London: 1975) , Lihat : Oman, Menoal Wahdah al-Wujud, op.cit., 
[66] Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik dalam Islam, diterjemahkan dari Mystical Dimension of Islam, oleh Sapardi Djoko Damono dkk, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986, 
[67]  Oman Fathurrahman, Tarekat Shattâriyyah di Sumatra Barat: Penelitian atas Dinamika dan Perkembangannya melalui Naskah-naskah Islam Nusantara, (Program Studi Ilmu Susastra, Program Pascasarjana,Universitas Indonesia,2003) , dan Rizvi, S.A.A., A History of Sufism in India, 2 jilid, New Delhi: Munshiram Manoharlal.1983, 
[68] Taufiq Abdullah, op. cit., Jilid III. 
[69] Sayyid Husen Nasr, (ed), Ensiklopedi Tematis Spiritual Islam: Manifestasi, Terj: Tem Penerjemah Mizan dari Judul asli :Islamic Spirituality: Manifestations (Bandung: Mizan, 2003) Cet I.
[70]  Ibid
[71] Murkilim, op.cit.,
[72]  Taufiq Abdullah, op. cit., Jilid 4.,
[73] Pertama, Tarekat Qadiriyyah. Namanya dihubungkan dengan tokoh pendirinya yaitu Syekh Abdul al-Qâdir al-Jîlani ( 470-561 H/ 1166-1277 M). Abdul Qadir telah melakukan singkronisasi dan harmonisasi antara tasawuf dan fikih yang dalam aplikasinya ia telah menempatkan antara tasawuf dan fikih saling melengkapi. Ketika menyampaikan ide-ide dan pemikirannya tentang tasawuf, dia selalu mengaitkannya dengan implikasi syari’ah. Sebaliknya ketika menjelaskan masalah syari’at, ia mengisinya dengan nilai-nilai tasawuf. Kedua, Tarekat Syadziliyyah. Penamaannya juga dinisbahkan kepada tokoh pendirinya yaitu Abu al-Hasan al-Syadzili. Ia dilahirkan di wilayah Ghumarah, sebelah utara Maroko pada tahun 593 H/1197 M dan meninggal tahun 656 H/1258 M. di Umaitsirah, Mesir . Ketiga, Tarekat Kubrawiyyah. Tarekat ini didirikan oleh Abu al-Jannab Najm al-Din Ibn Umar al-Kubra. Ia dilahirkan di Khawarazm pada tahun 545 H/1143 M.  dan meninggal sebagai syuhada dalam pertempuran melawan tentara Mongol. (Muhammad Isa Waly, Najm al-Din al-Kubra dan Tarekat Kubrawiyyah. Keempat, Tarekat Maulawiyyah. Tarekat ini didirikan oleh Maulana Jalaluddin ar-Rumi. Ia dilahirkan  6 Rabiul Awwal 604 H/30 November 1207 M dan meninggal 5 Jumadil Tsani 672 H/ 17 Desember 1273 M. Penamaan Tarekat ini dibangsakan kepada gelar pendirinya “maulana” yang diberikan kepada Rumi. Kelima, Tarekat Chistiyyah. Berbeda dengan tarekat lainnya, penamaan tarekat ini dibangsakan kepada kota Chist, sekarang berada dalam wilayah Afganistan. Pendiri tarekat ini adalah Khawajah Mu’in al-Din Hasan. Tanggal kelahirannya diperkirakan pada tahun 536 H.1141 M dan meninggal pada tanggal 6 Rajab 633 H/ 16 Maret 1236 M. Keenam, Tarekat Nimatullahi. Tarekat ini adalah tarekat penerus dari Tarekat Ma’rufiyyah yang dinisbahkan kepada Ma’ruf al-Kharkhi. Tarekat ini didirikan oleh Ni’matullah Wali, yang sebelumnya adalah syekh Tarekat Ma’rufiyyah. Ni’matullah dilahirkan di Alepo pada tanggal 14 Rabiul Awwal 731 H/1331 M. dan meninggal di Kirman pada tanggal 23 Rajab 732 H/21 April 1332 M. Ketujuh, Tarekat Naqsyabandiyyah. Penamaan tarekat ini dinisbahkan kepada syekh utamanya, yaitu Khawajah Baha ad-Din Naqsyabandi. Ia dilahirkan di Kusyki Hinduwan, Bukhara pada tahun 717 H/ 1317 M dan meninggal pada tahun 791 H/ 1389 M. Tarekat Naqsyabandiyyah adalah tarekat yang dinamis dan terbuka terhadap perubahan . Di antara tokohnya adalah Ahmad Sirhindi (972-1033 H/ 1564-1624 M. Ia terkenal sebagai mujaddid Alfi Tsani (Pembaharu Millenium Kedua)  Sayyid Husen Nasr,  
[74] Dalam tahap ini, selama beberapa hari calon murid diminta mengulang-ulang kalimat zikir lā ilāha illā Allāh hingga ratusan kali dalam sehari di tempat yang sunyi; kemudian, dia diminta memberikan “laporan” kepada Syaikhnya berkaitan dengan firasat atau mimpi yang barangkali dia alami; berdasarkan laporan tersebut sang Syaikh akan menentukan apakah calon murid tersebut sudah boleh menerima kalimat zikir berikutnya. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa secara keseluruhan, ada 7 kalimat zikir yang harus dilalui oleh seorang calon murid dalam tahap talqin al-dzikr, yaitu: lā ilāha illā Allāh, Yā Allāh, Yā Huwa, Yā haqq, Yā hayy, Yā Qayy´m, dan Yā Qahhār , Lihta: Trimingham op.cit.,  dan Oman Fathurrahman , Tarekat Syathariyyah di Smuatera Barat, op.cit.,
[75] Pada dasarnya, rumusan kalimat sumpah seorang calon murid dalam setiap jenis tarekat berbeda-beda satu dengan yang lain, kendati semuanya mengisyaratkan pada ikrar kesetiaan dari calon murid tersebut untuk patuh kepada Syaikhnya, dan kepada berbagai aturan serta tuntunan tarekat yang diajarkan. Selain itu, dalam bai’ah, apapun jenis tarekatnya, ada satu ayat al-Quran yang senantiasa menjadi bagian tak terpisahkan dari lafaz bai’ah. Ayat yang dikenal sebagai ayat al-mubāya’ah  itu merupakan kutipan dari ayat ke-10 dari al-Quran surat al-Fatú yang berbunyi:
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا(10)
 “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Barangsiapa yang melanggar janjinya, maka akibat melanggar itu akan menimpa dirinya sendiri. Dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar”.
[76] Khirqah (jubah) biasanya diberikan dan dipakaikan oleh sang Syaikh kepada murid yang baru saja mengucapkan ikrar bai’ah sebagai tanda masuknya murid tersebut ke dalam organisasi tarekat. Selain itu, khirqah juga diberikan kepada murid yang dianggap telah menyelesaikan perjalanan spiritual (sul´k) nya , lihat: Armstrong, Amatullah, , Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, (Bandung: Mizan. 1996), 
[77] Yang dimaksud dengan tingkat tertentu ini, antara lain, murid telah mampu untuk melakukan tiga tugas “pelayanan”, yakni: melayani orang lain, melayani Tuhannya, dan mengelola hatinya sendiri , lihat Rizvi, op.cit.,
[78] Ketika sampai di wilayah tertentu, tatacara bai’ah, pengangkatan khalifah, dan pemberian ijazah ini mengalami berbagai perubahan dan penyesuaian dengan tradisi lokal setempat (lihat : Sejarah Ringkas Syaikh Paseban al-Syattari, naskah tulisan tangan koleksi Imam Maulana Abdul Manaf Amin, Batang Kabung, Koto Tangah, Padang Sumatra Barat. , 2001,
[79] Rizvi ,op.cit.,
[80] Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan. 1995),

1 komentar:

  1. Alhamdulillaah , terima kasih atas penjelasan dan artikelnya sangat berguna sekali bagi saya

    BalasHapus