Membentuk Pribadi yang Tangguh
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA
A.
Pendahuluan
Setiap manusia menghendaki
kehidupan yang bahagia, damai, dan jauh dari penderitaan. Fenomena kehidupan
manusia yang hidup di zaman modern, tatanan hidup mereka, tujuan dan makna
hidup mereka, cara mereka mengisi hidup termasuk bagaimana mereka menjalankan
kehidupan adalah tema yang sangat menarik dan penting untuk dikaji. Kehendak
dan kebutuhan manusia untuk hidup bahagia itu sesungguhnya ditentukan oleh
sejauh mana mereka memahami hakikat kehidupan mereka, bagaimana mereka memaknai
hidup mereka dan lainnya.
Pembicaraan
dan pembahasan kehidupan manusia modern dan masalah hidup bermakna, dalam
berbagai kesempatan telah banyak dilakukan banyak orang seperti yang ditulis
oleh Nurcholis Madjid “ Bahkan boleh
dikata bahwa seluruh sejarah umat manusia
adalah wujud dari rentetan
usahanya menemukan hakikat diri
dan makna hidup”.[1]
Kesimpulan Nurcholis ini didasari oleh karena memang di dalam adanya dan
terwujudnya rasa serta kesadaran akan makna dan tujuan hidup itulah terwujud
kebahagiaan dan kedamaian baik hidup pribadi maupun hidup sosial.
Tekanan yang amat berlebihan dari segi material
atau kemajuan dan kecanggihan dalam cara dan teknik dalam mewujudkan keinginan
memenuhi hidup material yang telah menjadi ciri utama zaman modern, telah menjadi permasalahan yang dihadapi manusia modern
dan ternyata harus ditebus dengan harga yang mahal yaitu kehilangan akan
kesadaran makna hidup yang lebih dalam. Kesuksesan manurut manusia yang hidup
di era modern ini hampir identik hanya
dengan keberhasilan mewujudkan angan-angan dalam bidang kehidupan material. Ukuran
“sukses” atau tidak sukses kebanyakan terbatas hanya kepada seberapa
jauh seseorang mampu menampilkan dirinya secara lahiriyah, dalam kehidupan
material.[2]
Materialisme orang modern bukanlah merupakan suatu
pandangan kefalsafatan seperti layaknya yang ada dalam marxisme, akan tetapi
merupakan suatu etos yang memandang kebahagian manusia dan harga dirinya ada
dalam penampilan penampilan pisik dan lahiriyah, meskipun orang itu sepenuhnya
percaya pada yang gaib atau “immaterial” . Maka ironinya adalah mereka
pergi ke dukun untuk memperoleh kekayaan material. Ini tentu sangat berbeda
dengan ideologi Marxis yang secara ideologis
tidak mempercayai yang gaib yang tentu juga mereka menolak dan
mengharamkan pergi ke dukun. Etos kesuksesan matrealis manusia modern telah
menjadi berhala baru yang menghalangi mereka dari kenyataan yang lebih hakiki
yaitu kenyataan ruhaniah. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Nurcholis
Madjid “ Etos kesuksesan telah menjadi
agama pengganti (ersatz religion)
dan tidak resmi (illicit) , namun secara efektif membelenggu
ruhaninya”.[3]
Islam
menghargai kerja keras sebagaimana
Firman Allah menyatakan :
فَإِذَا
فَرَغْتَ فَانْصَبْ(7)وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ(8) (الانشراح:٧-٨)
Artinya :-Apabila engkau telah selesai,
(mengerjakan suatu pekerjaan), maka persusah payahlah (mengerjakan yang
lainnya)
- Dan kepada Tuhanmu, berharaplah. (al-Insyirah : 7-8)
Dalam ayat di atas secara
tegas (explisit), Allah sangat menganjurkan usaha kerja keras untuk
kepentingan
dunia dan juga akhirat. Akan tetapi lain halnya dengan usaha keras yang
dilakukan oleh manusia modern yang matrealis yang hanya terpaku pada kemegahan
material dan terkecoh akan kemuliaan abadi yang bertitik tolak pada kebahagiaan kerohanian.
Keterkecohan manusia oleh kehidupan yang rendah (duniya)
akan menimbulkan kekosongan dari keinsyafan akan tujuan dan makna hidup yang
akan mempunyai dampak yang sangat jauh
dan mendasar . Sebagai contoh , Negara-negara maju banyak terjangkiti oleh penyakit bunuh
diri. Kekosongan akan makna hidup dapat menyebabkan
orang tidak memiliki harga diri yang kokoh
dan membuat dia tidak tahan akan penderitaan, kekurangan harta benda,
maupun penderitaan jiwa karena pengalaman hidup
yang tidak sejalan dengan harapan.
Kekosongan jiwa manusia yang disebabkan oleh keterkecohan
kehidupan rendah ini juga pernah
diungkapkan oleh Robert Musil, seorang nofelis terkenal dari Australia, dan
para ahli kontemporer lain sebagaimana dikutip oleh Nurcholis Madjid , sebagai
gejala “kepanikan epistimologi”akibat dari penisbian yang berlebihan
dalam pandangan hidup.[4] Mereka mengatakan bahwa di Eropa sekarang sedang
mengalami kepanikan tentang pengetahuan dan makna. Keduanya merupakan persoalan
utama pembahasan epistimologi dalam falsafah. Fenomenanya adalah di bawah
gelimangan kemewahan harta itu terdapat perasaan putus asa, perasaan takut yang
mencekan yang dikarenakan tidak adanya makna, tidak pastinya pengetahuan, dan
tidak mungkinnya seseorang berkata dengan mantap tentang apa yang diketahuinya
atau bahkan apa memang dia sudah tahu. Akhirnya pengetahuan menjadi sama
nisbinya dengan segala sesuatu yang lain. Kenyataan ini dapat dipahami
karena semua yang mereka peroleh dilahirkan
dari pemikiran yang hanya mampu menatap dan mengkaji sesuatu yang bersifat
material, atau sesuatu yang dapat dicermati, dan diamati (observable) melalui
instrumen indrawi, atau objek yang bersifat lahiriah.
Persoalan ini juga pernah ditanggapi oleh Hamka yang
mengkritisi tentang akar persoalan kehampaan jiwa ini “ Kerusakan dan kekacauan
jiwa, adalah tersebab dari karena manusia tidak mempunyai tujuan hidup, tidak
mempunyai ide”.[5]
Kenyataan
ini tentu akan sangat jauh berbeda dengan orang yang menghayati sebuah
pengetahuan dan makna yang tidak cuma didapatkan melalui rasional saja tetapi
juga melalui potensi spritual. Perbedaan ini dibuktikan karena tidak semuanya
dapat diketahui melalui proses-proses rasional dan tidak semuanya masuk ke dalam
dunia empirik. Di sinilah berperannya kedudukan iman yang dibarengi dengan
berpikir dalam upaya penemuan hakikat sebuah kebenaran yang utuh yang kalau dilihat
isyarat al- Qur’an tentang perintah Allah untuk berpikir yang pada dasarnya
bertujuan agar manusia lebih mudah untuk beriman dan tunduk ta’abud
kepada-Nya.
B.
Permasalahan Dunia Pendidikan
Sebuah
kenyataan yang harus diakui adalah di satu sisi manusia merupakan produk
sejarah masa lalu dan produk lingkungannya dengan tidak menafikan peranan
pribadi manusia yang bersangkutan. Seperti juga pernah ditulis oleh Marleau
Ponty sebagai englobe dan englobant yang artinya manusia tidak
hanya dimuat atau dipengaruhi oleh dunia (englobe), tetapi juga memuat
atau mempengaruhi dunia (englobant).[6] Hal
ini bisa kita simpulkan bahwa kegagalan manusia sekarang dalam menemukan makna
hidup juga merupakan akibat dosa sejarah yang dilakukan oleh komunitas sosial,
penyelenggara dan sistem pendidikan yang ada selama ini.
Kondisi kegagalan pendidikan dalam usaha
transformatif nilai, ilmu dan makna hidup juga dialami oleh lembaga pendidikan
Islam yang dinamakan selama ini, atau penyelenggaranya yang beragama Islam,
kemudian gagal merumuskan (memformulasikan) bangunan (kostruksi)
sistem pendidikan yang akan membantu manusia dalam menemukan makna hidupnya.
Karena pada dasarnya pendidikan jangan cuma membawa manusia ke alam
pengembaraan intelektual akan tetapi juga harus mampu membawa ke alam pengembaraan
spiritual. Kegagalan lembaga pendidikan Islam ini juga digambarkan oleh M.
Arifin:
“Kemampuan lembaga pendidikan Islam yang
pernah membuktikan dirinya menjadi liberating forces dari belenggu
kemunduran dan keterbelakangan taraf hidup material dan mental pada zaman
permualan sejarah dan pada abad kecerahannya (abad 7 – 14 M), telah mengalami
krisis demi krisis yang kronis yang melemahkan”.[7]
Kenyataan
ini berbeda dengan isyarat yang dikehendaki al Qur’an yang menghendaki agar
setiap generasi hendaklah merasa khawatir meninggalkan generasi-generasi yang
lemah. Sebagai wujud kekhawatiran itu tentunya dibutuhkan tindakan aplikatif
yang terlahir dari rasa tanggung jawab seperti firman Allah surat an Nisa’ ayat
9:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ
لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ
فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا(9)
(النسأ : ٩)
Artinya: “hendaklah
mereka takut, jika sekiranya mereka meninggalkan anak-anak yang lemah
dibelakangnya, takut akan terlantar anak-anak itu, maka hendaklah mereka takut
kepada Allah dan berkata dengan perkataan yang betul” (an-Nisa’ : 9)
Pendidikan
Islam seharusnya mampu menjadikan manusia atau pribadi muslim seutuhnya,
mengembangkan seluruh potensi baik jasmaniah maupun ruhaniah, menumbuh suburkan
hubungan yang harmonis baik dengan Allah maupun dengan manusia dan alam
semesta,[8] dan membantu pribadi-pribadi dalam usaha penemuan makna
hidupnya.
Kemudian
kalau dilihat
kepada skop yang lebih kecil yaitu di Indonesia dengan sistem yang telah
menghasilkan produk
pendidikannya. Betapa banyaknya kasus – kasus korupsi, kolusi dan nepotis yang
dilakukan oleh manusia- manusia Indonesia
yang diberikan amanah kepada mereka pada
setiap jajaran institusi. Mereka adalah produk sistem pendidikan kita. Betapa
banyaknya manusia-manusia
Indonesia yang melakukan pelanggaran nilai-nilai moral yang lain seperti,
pelacuran, pencopetan, pembunuhan, perselingkuhan, pengangguran dan lain
sebagainya. Sekali lagi penulis tegaskan bahwa mereka itu semua itu pernah
dididik dalam sistem pendidikan nasional kita. Barangkali kita harus adil
melihat semua ini bahwa kegagalan manusia-manusia
Indonesia mengapresiasi nilai-nilai moral adalah karena kegagalan sistem
pendidikan nasional dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.
Dalam
konteks pendidikan Islam pun demikian. Banyak orang yang mengaku agama
Islam tetapi tidak hidup secara Islam
atau banyak umat Islam Indonesia
tidak tahu apa itu sebenarnya Islam, atau banyak juga yang tahu dengan Islam
tapi hati mereka mati tidak mampu menangkap pancaran Nur Ilahi. Seolah–olah
mereka merasakan Islam tidak membawa rahmat bagi mereka walaupun Allah telah
menegaskan bahwa Islam itu diturunkan-Nya untuk menjadi rahmat.
Mustahil
peserta didik akan cerdas rohaniahnya kalau pendidiknya, metodenya, materinya
tidak simultan membangun dan melahirkan peserta didik yang cerdas secara ruhaniah. Pendidikan Islam kadang
hanya berbicara bagaimana mencerdaskan imtelektuanya dan tidak pernah serius
membicarakan bagaimanana mencerdaskan ruhaniahnya. Aktivitas pendidikan sa’at ini
agaknya kurang
berpedoman kepada bagaimana
Nabi
Muhammad mendidik
manusia yang lebih mengutamakan membangun ruhaniah terlebih dahulu baru membangun aspek yang lain.
Berdasarkan kenyataan di atas,
maka tema bagaimana membentuk pribadi yang kuat secara Qur’ani menjadi sangat
penting.
C.
Upaya Membentuk Pribadi yang Kuat
Dalam perspektif Islam, salah satu karakteristik
orang yang berkepribadian kuat adalah bertakwa. Pribadi yang
bertakwa dicirikan dengan pribadi yang mampu ber-muraqabah kepada Allah
SWT. Muraqabah dapat diartikan dengan kondisi merasa dekat yang
dirasakan oleh seorang hamba terhadap Allah sebagai Tuhannya.
Pada
hakikatnya, Allah sangat dekat dengan hamba-Nya melebihi kedekatan nadi seorang
hamba terhadap dirinya sendiri. Akan tetapi, kedekatan seorang hamba terhadap
Tuhannya akan dirasakan jauh bahkan sangat jauh dengan Tuhannya jika sihamba
itu sering dan banyak melakukan kesalahan atau dosa yang dilakukannya dalam
keadaan sadar. Semakin banyak dosa, Allah akan terasa semakin jauh dan akan
menyebabkan si hamba merasa tidak nyaman untuk melakukan pengaduan (munajah)
kepada Tuhannya. Kondisi ini sesunggguhnya merupakan kondisi yang sangat
merugikan sebagai seorang hamba.
Kesalahan
atau dosa yang dilakukan seorang manusia tidak dapat dilepaskan oleh kelemahan
manusia dalam melakukan pengendalian dirinya dari dorongan hawa nafsunya. Hawa
nafsu adalah sebuah potensi insani yang jika tidak dikendalikan untuk selaras
dengan kehendak Allah akan membawa manusia kepada kenistaan dan derajat yang
rendah.
Hakikat
dari ibadah adalah terpeliharanya kesucian jiwa atau ruhani manusia dengan
pengendalian diri ( naha an-nafs ‘an al-hawa). Dengan pengendalian diri
dari dorongan hawa nafsu, maka ruh akan terjaga dari ke-kotoran
yang jika diiringi dengan taubat, maka ruh manusia akan disucikan oleh Allah.
Kesucian
ruh inilah yang menjadi syarat utama bagi seorang manusia untuk dapat
mendekatkan diri dan merasakan kedekatan kepada Allah dan dapat merasa nyaman
bersama Allah SWT. Inilah kunci bagi manusia untuk dapat merasakan kebahagiaan,
kenyamanan, dan ketenangan bathin.
1.
( يقرون بعبودتيه )Orang-orang
yang mengekalkan diri dalam berubudiyah kepada Allah.
Mengekalkan diri dalam beribadah
atau melakukan ibadah yang kontiniu tidak harus bermakna seorang muslim harus
melakukan shalat sepanjang waktu, atau puasa sepanjang tahun. Yang dituntut
dalam mengekalkan ibadah di sini adalah dengan menghadirkan hati dalam setiap
aktivitas dengan melakukan pemaknaan spiritual terhadap semua aktivitas tersebut.
Banyak muslim yang rajin melakukan
ibadah mahdhah, namun lalai melibatkan hati (qashdu syai’ bi ar ruh).
Ibadah lahiriyah atau jasmani akan kehilangan makna tanpa melibatkan dimensi
kesadaran atau kesengajaan ruh dalam melakukannya. Mengawali aktivitas dengan
niat ibadah dan menjadikan aktivitas apa saja sebagai bentuk-bentuk kepatuhan
kepada Allah adalah kunci utama mengekalkan diri dalam beribadah.
Menghadirkan kesadaran jiwa atau
hati dalam berbagai keadaan, dimanapun dan sedang melakukan apa pun akan menjadikan
seseorang selalu terhubung dengan Allah. Semua kegiatan yang dilakukan muslim
dalam keadaan seperti ini akan mengangkat semua kegiatan itu menjadi zikir
baginya. Seorang petani yang mengayunkan cangkulnya di sawah, maka setiap
ayunan cangkul itu akan menjadi zikir baginya dan dapat mengantarkannya kepada
keadaan muraqabah. Begitu juga halnya dengan kegiatan-kegiatan kehidupan
lainnya pada profesi apapun.
2. ( ويقرون بربوبيته
)
Orang-orang yang mengekalkan diri dalam Rububiyah Allah.
Rabba-yurabbi-rabban
( رب – يرب – ربا ) secara bahasa berarti mengasuh, mengatur, dan memimpin.
[10] Mengekalkan
diri dalam rububiyah bermakna bahwa segala sesuatu yang ada pada alam
semesta merupakan ciptaan Allah dan selalu berada dalam genggaman, asuhan,
serta penguasaan Allah. Seorang muslim yang sadar akan rububiyah Allah akan
merasakan bahwa tidak ada satu urusan apa pun yang luput dari genggaman Allah.
Kesadaran dan keyakinan rububiyah ini perlu selalu dihadirkan
dalam jiwa dan hati seorang muslim. Keyakinan rububiyah yang sudah hayat
(hidup) dalam jiwa akan menyelamatkan manusia dari berbagai macam penyakit
kronis ruhani. Penyakit kronis ruhaniyah ini dapat dicontohkan dengan
kesombongan ketika berhasil, putus asa ketika gagal, stres dalam memikul
berbagai kesibukan dan banyak lagi lainnya.
Memiliki kesadaran rububiyah akan
menjadikan manusia mampu bersyukur ketika berbahagia dan mendapat nikmat, dan
akan mampu bersabar ketika ditimpa seseuatu yang tidak disukai atau sedang
menerima kegagalan dan ujian dari Allah Swt. Kesadaran rububiyah akan
memberikan pencerahan yang bersifat spiritual kepada manusia bahwa segala
susuatu yang dimiliki dan diterima oleh manusia merupakan pemberian Allah
karena rahman dan rahimnya Allah. Kesungguhan dalam berusaha
hakikatnya adalah kewajiban manusia dan keberhasilan dari usaha itu, tidak
lebih dari kemurahan Allah semata. Sehingga dengan demikian bagi seorang mukmin
tidak ada istilah kecewa dan putus asa dalam kegagalan dan angkuh serta sombong
ketika sukses. Karena jiwa manusia, kekuatan dan kelemahan yang terdapat pada
setiap diri umat manusia adalah anugerah Allah semata yang harus disyukuri dan
diberdayakan sesuai dengan kehendak Allah Swt. Inilah kunci sukses dan
optimisme setiap orang yang beriman kepada Allah Swt.
3. ( ويصدقون بالمعاد اليه ) Orang-orang
yang membenarkan akan kembali kepada Allah.
Keyakinan terhadap janji Allah dan
keyakinan bahwa segala sesuatu akan kembali kepada Allah Swt., membantu manusia
untuk memiliki kelapangan ruhaniyah. Manusia sering dijajah oleh perasaan
keragu-raguan, kebimbangan serta kebingungan terhadap ketidakpastian hari esok.
Manusia bertanya tentang hari esok, keberuntungan apa yang bisa didapatnya,
atau bahkan bencana serta malapetaka apa yang akan datang mendekat. Sekarang
sehat, datang kekhawatiran dalam jiwa, bagaimana kalau sakit datang menimpa
bahkan muncul rasa takut datangnya kematian yang akan mengakhiri kehidupan
dunia ini. Semuanya merupakan ketidakpastian.
Pertanyaan-pertanyaan di atas
merupakan keresahan jiwa manusia yang dikungkung oleh berbagai rasa, seperti
ketakutan, kekhawatiran, was-was, keresahan, dan beribu perasaan lainnya yang
bahkan kadang manusia itu sendiri tidak dapat memahami perasaan apa yang mereka
rasakan.
Kehidupan ini bukanlah kehidupan 1
(satu) dimensi yang dapat ditebak dengan sesuatu yang bersifat pasti. Kehidupan
memiliki “n” dimensi.[11] Ada beribu kemungkinan yang tidak
terhitung. Kondisi akan membuat derita jiwa bagi orang-orang yang buta mata
hatinya. Kebutaan mata hati inilah yang akan menimbulkan kecemasan-kecemasan
yang akan melahirkan berbagai penyakit keruhanian.
Menyakini dan membenarkan bahwa
segala susuatu akan kembali kepada Allah akan membantu ruhani manusia terbebas
dari keresahan jiwa terhadap ketidakpastian di atas. Hanya satu yang pasti
dalam hidup ini, yaitu Tuhan. Dia lah kepastian sumber kehidupan dan akan
kembali kepada-Nya secara pasti juga. Dia yang merahmati makhluk-Nya, Dia juga
yang akan memberikan balasan terhadap keshalehan hamba-Nya serta akan
membiarkan rasa derita jiwa bagi manusia yang tidak meng-imani-Nya.
Seorang mukmin yang meyakini Allah sebagai
tempat kembalinya, akan mampu untuk ikhlas dalam beramal, sabar dan lapang dada
dalam berbagai keadaan sulit. Tidak perlu harap terhadap pujian dan sanjungan
manusia, karena rahmat Allah lebih besar dari semua itu. Juga tidak perlu
kecewa jika kebaikan yang dilakukan kepada manusia lain, dibalasi dengan
sesuatu yang tidak baik, karena cukupkanlah Allah sebagai Zat yang Maha
Membalasi semua kebaikan. Begitu juga halnya, tidak perlu membalas kejahatan
orang lain karena cukuplah Allah sebagai hakim yang adil dalam memberikan
ganjaran dan balasan.
Menghadirkan keyakinan bahwa Allah
tempat kembalinya semua urusan dan maha adil dalam memberikan balasan dan
ganjaran, merupakan solusi utama dari berbagai fenomena sosial yang sering
terjadi dalam kehidupan ini. Hilangnya kesabaran dalam menghadapi persoalan
hidup, baik persoalan pribadi maupun persoalan masyarakat dapat terjadi karena tipisnya kesadaran ruhani umat manusia
terhadap Tuhannya. Tidak adanya kesadaran ini menjauhkan ruhani manusia dari
pencerahan ke-Tuhanan karena Tuhan itu sendiri terasa jauh dari kehidupan yang
disebabkan keengganan manusia itu sendiri untuk berdialog dengan Tuhannya dalam
hidupnya.
4.
( ويسلمون لقضائه
) Orang-orang yang tunduk kepada ketentuan
Allah.
Sering didengar keluhan dari umat
Islam itu sendiri yang mengisahkan keringnya jiwanya dan beratnya hati untuk
mengadu (munajah) kepada Allah. Enggannya hati untuk menghadap Allah
ketika lapang, tentunya akan membuat hati jadi tidak nyaman mengadu kepada
Allah ketika dalam keadaan sulit dan sempit. Kerasnya hati untuk mensyukuri
nikmat Allah ketika memperoleh rizki, dengan sendirinya juga akan membuat
enggannya jiwa untuk menadahkan tangan kepada Allah dalam mushibah.
Manusia dapat membangkang terhadap
ketentuan Allah, namun perlawanan manusia tidak akan merubah ketentuan Allah.
Ketika seorang manusia ditimpa mushibah misalnya, kerasnya hati manusia dapat
menolak dan membenci mushibah itu, namun tetap saja, segala sesuatu yang sudah
terjadi tetap tidak berubah. Orang yang sudah mati tidak akan hidup lagi
walaupun semua manusia menolak kematian tersebut.
Ikhlas terhadap ketentuan Allah dan
menyatu dengan kehendak Allah adalah langkah keberuntungan untuk dapat damai
dan tenang dalam hidup. Dalam kitab Tanbih al-Masyi, Abdurrauf Singkel mengutip sebuah
hadits qudsi [12]:
ابن ادم تريد واريد ولا يكون الا ما اريد فان سلمت لي فيما اريد اعطيتك
ما تريد وان نزعتني فيما اريد اتعبتك فيما تريد ثم لا يكون الا ما اريد
Arinya: Hai anak
Adam, engaku punya keinginan, dan Akupun demikian. Jika engkau pasrah terhadap
apa yang Aku inginkan, maka Aku akan memberikan apa yang engkau inginkan. Namun
jika engkau menentang apa yang Aku inginkan, Aku akan mempersulit apa yang engkau
inginkan sehingga tidak akan terjadi sesuatu kecuali apa yang Aku inginkan
Empat
prinsip yang telah dijelaskan di atas merupakan prinsip penting untuk
dilatihkan dan dibiasakan oleh setiap muslim untuk ber-muraqabah dengan
Allah Swt guna terbentuknya pribadi yang kuat.
D.
Kesimpulan
Pendidikan
jiwa dan mengembalikan kesucian jiwa dengan amaliyah yang shaleh serta memahami
prinsip-prinsip latihan muraqabah, dan dilakukan dengan prinsip iman,
dan penuh perhitungan serta keikhlasan akan dapat dinilai oleh Allah sebagai
ibadah sehingga Allah Swt., merahmati dan menganugrahkan kesucian jiwa, dan
mengangkatnya kepada kemuliayaan dengan diberikannya kepekaan ruhaninyah untuk
dapat merasakan kedekatan dengan Allah Swt.
Jika
manusia dapat merasakan kedekatan dengan Allah, maka ketakwaan akan menjadi
pakaian manusia itu dan ia akan menjadi kuat. Tapi jika manusia merasa jauh
dengan Allah, maka ketakwaan tidak akan pernah bisa terwujud dalam jiwa setiap
manusia dan jiwanya akan menjadi rapuh dan lemah.
DAFTAR
BACAAN
al-‘Aki,
Khalid Abdurrahman, Shafwah al-Bayan li Ma’ani al-Qur’an al-Karim, Damsyiq;
al-Khathath ‘Utsman Thaha, 1994
Arifin , H. M., Kapita Selekta Pendidikan
(Islam dan Umum),Jakarta; Bumi Aksara, 1995
Daulay, Haidar Putra , Pendidikan Islam Dalam
Menghadapi Abad XXI(Tinjauan dari sudut Inovasi Kurikulum, Pendidikan dan
Lembaga Pendidikan), Medan; Majalah Fitrah, 1996
Djumhana, Hanna,
Meraih Hidup Bermakna (Kisah Pribadi dengan Pengalaman Tragis), Jakarta;
Bumi Aksara, 1996
Hamka, Lembaga Budi, Jakarta; Pustaka
Panjimas, 1983
Rivauzi,
Ahmad, Pendidikan Berbasis Spiritual; Tela’ah Pemikiran Pendidikan Spiritual
Abdurrauf Singkel dalam Kitab Tanbih al-Masyi (Tesis), Padang; PPs IAIN IB
Padang, 2007
Singkel, Abdurrauf,
Tanbih al-Masyi, (Manuskrip Naskah) tth
Tasmara,
Toto, Kecerdasan Ruhaniah (Transendental Intelligence) Membentuk
kepribadaian yang bertanggung jawab, Profesional, dan berakhlak, Jakarta,
Bina Insani Press,2001
Yunus, Mahmud, Kamus
Arab-Indonesia, (Jakarta: Hida Karya, 1990) Cet. VIII
Zohar,
Danah, dan Ian Marshall, SQ; Memamfa’atkan Kecerdasan Spiritual dalam
Berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, Penj. Rahmani
Astuti dkk., Bandung: Mizan, 2001
[2] Ibid. h. xvi
[4] Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah (Transendental
Intelligence) Membentuk kepribadaian yang bertanggung jawab, Profesional, dan
berakhlak, (Jakarta ,
Bina Insani Press,2001) h.2 h.xix
[8] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Menghadapi Abad
XXI(Tinjauan dari sudut Inovasi Kurikulum, Pendidikan dan Lembaga Pendidikan), Medan;
Majalah Fitrah, 1996),h.12
[9] Khalid Abdurrahman al-‘Aki, Shafwah
al-Bayan li Ma’ani al-Qur’an al-Karim, (Damsyiq; al-Khathath ‘Utsman Thaha,
1994) h. 64
[10]
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hida Karya, 1990) Cet.
VIII, h. 136 . Dalam bahasa sehari-hari, pada asalnya kata ini dinisbahkan
kepada Allah dengan makna Tuhan, Pencipta, Pengatur dan lain sebagainya.
[11] Dalam salah satu teori matematika yang
disebut “hyperspace” Michio Kaku; seorang fisikawan mengatakan bahwa
ruang tidak memiliki dimensi dua, tiga, atau empat dimensi. Tetapi “n” dimensi.
Lihat, Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ; Memamfa’atkan Kecerdasan Spiritual
dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, Penj.
Rahmani Astuti dkk. (Bandung: Mizan, 2001),
h. 57
[12] Ahmad Rivauzi, Pendidikan Berbasis
Spiritual; Tela’ah Pemikiran Pendidikan Spiritual Abdurrauf Singkel dalam Kitab
Tanbih al-Masyi (Tesis), (Padang; PPs IAIN IB Padang, 2007) h. 149. Dalam Manuskrip naskah Asli Abdurrauf
Singkel dapat ditemukan pada, Ms.B. h.
94 dan Ms.A., h. 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar