Selasa, 03 Februari 2015

KURIKULUM 2013 DAN PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA PERGURUAN TINGGI UMUM

KURIKULUM 2013 DAN PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA PERGURUAN TINGGI UMUM
(Disampaikan dalam acara Loka Karya Peningkatan Kompetensi Dosen dan Mentor Pendidikan Agama Islam di Unniversitas Andalas
Rabu, 27 Agustus 2014)

Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA [1]
A.      Pendahuluan
Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan keterampilan serta membentuk sikap, dan kepribadian peserta didik dalam mengamalkan ajaran agama Islam. Pendidikan Agama Islam di PTU dilaksanakan melalui perkuliah, yang pengamalannya dapat dikembangkan dalam berbagai kegiatan baik yang bersifat kurikuler maupun ekstrakurikuler.
Pada Perguruan Tinggi Umum,  Pendidikan agama Islam  merupakan  salah satu mata kuliah wajib dan dasar bagi pengembangan kepribadian mahasiswa. Kepribadian yang paling utama dari seorang mahasiswa adalah ketika ia dalam berperilaku, bertindak, dan bersikap selalu mendasarinya dengan unsur-unsur pengetahuan iman, takwa, dan akhlak mulia yang telah diketahuinya menjadi dasar bagi segala macam keilmuan, keterampilan atau keahlian yang diketahuinya sehingga diri, karya, dan perilakunya sangat berarti positif bagi diri, keluarga, profesi, dan bangsanya.
Proses perkulian agama Islam, keberadaan, keberlangsungan, dan  peningkatannya menjadi bagian dari pengembangan kepribadian mahasiswa di Indonesia. PAI di PTU tidak terlepas dari bagian upaya strategis yang terus diupayakan untuk meningkatkan sumber daya manusia Indonesia sehingga semakin berkualitas dan profesional. Hal demikian disebabkan oleh karena konstitusi negara Indonesia telah menetapkan bahwa pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila bermaksud untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya melalui peningkatan manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggungjawab, mandiri, cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani (UUSPN).[2]
Dengan demikian, pendidikan agama sesungguhnya merupakan tanggung jawab bersama dan semua komponen masyarakat Indonesia.  Cara pandang ini tentunya juga berlaku pada konteks  peningkatan kualitas PAI di PTU. Cara pandang ini harus mampu mengganti cara pandang keliru semisal; anggapan bahwa daya upaya mendidikkan agama merupakan tugas utama dan urusannya dosen agama saja. Memang jika dilihat menurut ketentuan tugas pokok, konpetensi, dan profesionalitas, dosen agama harus memikul tanggung jawab tersebut atau jika dilihat dari aspek kelembagaan institusional, PAI memang merupakan tanggungjawab dan pekerjaannya lembaga seperti Kementerian Agama, Universitas Islam, Institut Agama Islam, dan Pondok Pesantren. Namun jika mencermati amanat konstitusi negara dan pemerintah Indonesia, semua pihak termasuk yang mengajarkan mata pelajaran/kuliah umum haruslah berbuat secara bersama-sama sehingga ada pandangan integral dan komprehensif untuk menangani masalah kualitas keimanan, derajat ketakwaan, dan perilaku akhlak mulianya peserta didik (pelajar dan mahasiswa).[3]
Pengembangan kurikulum[4] menjadi amat penting sejalan dengan kontinuitas kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni budaya serta perubahan masyarakat pada tataran lokal, nasional, regional, dan global di masa depan yang pada gilirannya akan melahirkan tantangan internal[5] dan eksternal[6] di bidang pendidikan.
Kurikulum 2013 merupakan pengembangan dari kurikulum sebelumnya untuk merespon berbagai tantangan internal dan eksternal tersebut. Implementasi Kurikulum 2013 dipandang merupakan langkah strategis dalam menghadapi globalisasi dan tuntutan masyarakat Indonesia masa depan.
B.  Kurikulum 2013
Perubahan yang sangat mendasar pada kurikulum 2013 adalah materi disusun seimbang mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Pendekatan pembelajaran berdasarkan pengamatan, pertanyaan, pengumpulan data, penalaran, dan penyajian hasilnya melalui pemanfaatan berbagai sumber-sumber belajar (peserta didik mencari tahu), dan Penilaian otentik pada aspek kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan berdasarkan portofolio. (Dirjen PAIS Kemenag, 2014: 10)
Elemen-elemen yang berubah dalam kurikulum 2013, yaitu standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, dan standar penilaian. Keempat elemen perubahan tersebut diberlakukan pada setiap jenjang pendidikan dari mulai SD/MI sampai SMA/SMK yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
Ø Perubahan standar kompetensi lulusan. Adanya peningkatan dan keseimbangan soft skills dan hards skills dengan mengasah tiga aspek, yaitu : sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Ø Perubahan standar isi. Aspek standar isi pada jenjang SD-SMP yang mengalami perubahan adalah pada kedudukan mata pelajaran dan struktur kurikulum (mata pelajaran dan alokasi waktu). Bentuk perubahan SI pada KTSP 2006 kompetensi diturunkan dari mata pelajaran, pada kurikulum 2013 mata pelajaran diturunkan dari kompetensi. Sedangkan pendekatannya sama-sama dilakukan melalui pendekatan mata pelajaran.
Ø Perubahan standar proses yang semula terfokus pada eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi, sekarang dilengkapi dengan pendekatan saintifik (mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi dan mengkomunikasikan). Belajar tidak hanya terjadi di ruang kelas saja, tetapi juga di lingkungan sekolah, alam, dan masyarakat. Guru bukan satu-satunya sumber belajar dan ‘sikap’ tidak diajarkan secara verbal, tetapi melalui contoh dan keteladanan.
Ø Perubahan standar penilaian : Penilaian berbasis kompetensi, pergeseran dari penilaian tes (mengukur kompetensi pengetahuan berdasarkan hasil saja), menuju penilaian otentik (mengukur semua kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan berdasarkan proses dan hasil). Penilaian menggunakan acuan kriteria; yaitu berdasarkan apa yang bisa dilakukan peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran, dan bukan untuk menentukan posisi seseorang terhadap kelompoknya. Mendorong pemanfaatan portofolio yang dibuat peserta didik sebagai instrumen utama penilaian.
Titik tekan pengembangan Kurikulum 2013 adalah penyempurnaan pola pikir, penguatan tata kelola kurikulum, pendalaman dan perluasan materi, penguatan proses pembelajaran, dan penyesuaian beban belajar agar dapat menjamin kesesuaian antara apa yang diinginkan dengan apa yang dihasilkan (Dirjen PAIS Kemenag, 2014)
Dengan demikian, sebagaimana dijelaskan dalam tabel di atas, maka pengembangan Kurikulum 2013 dilaksanakan atas dasar beberapa prinsip utama. Pertama, standar kompetensi lulusan diturunkan dari kebutuhan. Kedua, standar isi diturunkan dari standar kompetensi lulusan melalui kompetensi inti yang bebas mata pelajaran. Ketiga, semua mata pelajaran harus berkontribusi terhadap pembentukan sikap, pengetahuan dan keterampilan peserta didik. Keempat, mata pelajaran diturunkan dari kompetensi yang ingin dicapai. Kelima, semua mata pelajaran diikat oleh kompetensi inti. Keenam, keselarasan tuntutan kompetensi lulusan, isi, proses pembelajaran, dan penilaian.[7]
Penyempurnaan pola pikir pembelajaran pada Kurikulum 2013

KBK 2004 dan KTSP 2006

Kurikulum 2013
1
Berpusat pada Guru

Berpusat pada Siswa
2
Satu Arah

Interaktif
3
Isolasi

Lingkungan Jejaring
4
Pasif

Aktif-Menyelidiki
5
Maya/Abstrak

Konteks Dunia Nyata
6
Pribadi /individu

Pembelajaran Berbasis Tim
7
Luas (semua materi diajarkan)

Perilaku Khas Memberdayakan Kaidah Keterikatan
8
Stimulasi Rasa Tunggal (beberapa panca indera)

Stimulasi ke Segala Penjuru (semua Panca indera)
9
Alat Tunggal (papan tulis)

Alat Multimedia (berbagai peralatan teknologi pendidikan)
10
Hubungan Satu Arah

 Kooperatif
11
Produksi Masa (siswa memperoleh dokumen yg sama)

Kebutuhan Pelanggan (siswa mendapat dokumen sesuai dgn ketertarikan sesuai potensinya)
12
Usaha Sadar Tunggal (mengikuti cara yang seragam)

Jamak (keberagaman inisiatif individu siswa)
13
Satu Ilmu Pengetahuan Bergeser (mempelajari satu sisi pandang ilmu)

Pengetahuan Disiplin Jamak (pendekatan multidisiplin)
14
Kontrol Terpusat
 (kontrol oleh guru)

Otonomi dan Kepercayaan (siswa diberi tanggungjawab)
15
Pemikiran Faktual

Kritis (membutuhkan pemikiran kreatif)
16
Penyampaian Pengetahuan (pemindahan ilmu dari guru ke siswa)

Pertukaran Pengetahuan (antara guru dan siswa, siswa dan siswa lainnya)
Model pembelajaran pada kurikulum 2013 diarahkan kepada pembelajaran aktif yang menempatkan guru sebagai fasilitator pembelajaran dan menempatkan peserta didik sebagai sabjek dan objek pendidikan. Fungsi model pembelajaran PAI adalah sebagai pedoman filosofis perancangan dan pelaksanaan pembelajaran. Pemilihan model sangat dipengaruhi oleh sifat dari materi yang akan disampaikan, tujuan (kompetensi) yang akan dicapai dalam pembelajaran tersebut, serta tingkat kemampuan peserta didik.[8]
Model pembelajaran PAI adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para pengajar dalam melaksanakan aktivitas pembelajaran PAI. Pada dasarnya model pembelajaran PAI merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru PAI. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran.
Model pembelajaran merupakan rangkaian kesatuan yang utuh antara pendekatan, strategi, metode, dan teknik. Jadi, model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.
Permendikbud RI No. 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah telah mengisyaratkan tentang perlunya proses pembelajaran yang dipandu dengan kaidah-kaidah pendekatan saintifik. Proses pembelajaran harus menyentuh tiga ranah, yaitu sikap (attitude), keterampilan (skill), dan pengetahuan (knowledge). Dalam proses pembelajaran berbasis saintifik , ranah sikap menggamit[9] transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang “mengapa”. Ranah keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang “bagaimana”. Ranah pengetahuan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang “apa”. Hasil akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) dari peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan dan pengetahuan.
Melalui pendekatan saintifik, selain dapat menjadikan peserta didik lebih aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya, juga dapat mendorong peserta didik untuk melakukan penyelidikan guna menemukan fakta-fakta dari suatu fenomena atau kejadian. Artinya, dalam proses pembelajaran, peserta didik dibelajarkan dan dibiasakan untuk menemukan kebenaran ilmiah, bukan diajak untuk beropini apalagi fitnah dalam melihat suatu fenomena. Mereka dilatih untuk mampu berfikir logis, runut dan sistematis, dengan menggunakan kapasistas berfikir tingkat tinggi (High Order Thingking/HOT). Sesuai dengan sifat keilmuan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti.
Pendekatan saintifik dalam proses pembelajaran menggunakan langkah-langkah sebagai berikut.
1)      Mengamati
2)      Menanya
3)      Mengumpulkan informasi
4)      Mengasosiasi, dan
5)      Mengkomunikasikan
Dalam hal penilian, maka kurikulum 2013 menghendaki penilaian otentik. Penilaian adalah proses mengumpulkan informasi/bukti melalui pengukuran, menafsirkan, mendeskripsikan, dan menginterpretasi bukti-bukti hasil pengukuran. Otentik artinya dapat dipercaya, asli, nyata, valid, atau reliabel. Jadi penilaian otentik adalah penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk menilai mulai dari masukan (input), proses, dan keluaran (output) pembelajaran (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian).
Penilaian dan pembelajaran secara terpadu, maka penilaian otentik harus mencerminkan masalah dunia nyata, bukan dunia sekolah. Menggunakan berbagai cara dan kriteria holistik (kompetensi utuh merefleksikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap). Penilaian otentik tidak hanya mengukur apa yang diketahui oleh peserta didik, tetapi lebih menekankan mengukur apa yang dapat dilakukan oleh peserta didik. (Permendikbud 81A tentang implementasi kurikulum, 2013:56).

C.      Peningkatan Kualitas Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum
Secara konseptual, Marimba (1964:19) menyatakan bahwa pendidikan Islam ialah bimbingan jasmani dan ruhani manusia berdasarkan hukum Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam. Kepribadian yang dimaksud meliputi bidang kepribadian muslim yang memiliki nilai-nilai Islam, memilih dan menentukan serta berbuat dan bertanggungjawab atas perbuatannya sesuai dengan nilai-nilai agama Islam.
Untuk meningkatkan kualitas PAI di Perguruan Tinggi Umum dalam kaitannya dengan pemberlakuan kurikulum 2013 oleh pemerintah untuk SD, SMP, SMA/SMK, dan pesan-pesan normatif Islam tentang pendidikan, maka ada beberapa ide dan spirit yang dapat diterapkan pada aspek atau komponen pendidikan sebagai berikut.
1.    Aspek Visi, Missi dan Tujuan dan Out Put Pendidikan
Kata visi berasal dari bahasa Inggris, vision yang dapat berarti penglihatan, daya lihat, pandangan, impian, atau bayangan (John M. Echols dan Hasan Shadily, 2003:631). Dengan demikian, kata visi mengacu kepada sebuah cita-cita, keinginan, angan-angan, khayalan, dan impian ideal yang ingin dicapai yang dirumuskan secara sederhana namun mengandung makna yang luas, jauh, dan dalam.
            Menurut Abuddin Nata (2005), visi pendidikan dalam Islam itu melekat pada visi ajaran Islam itu sendiri yaitu membangun sebuah kehidupan manusia yang patuh dan tunduk kepada Allah dan membawa rahmat bagi semesta alam. Isyarat ini dapat ditemukan pada al-Qur’an di antaranya:
  وَإِبْرَاهِيمَ إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاتَّقُوهُ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan (Ingatlah) Ibrahim, ketika ia Berkata kepada kaumnya: "Sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepada-Nya. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui. (QS. Al-Ankabut: 16)
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.(QS. Al-Anbiya’: 107)

                Sedangkan kata missi juga berasal dari bahasa Inggris, mission, yang berarti tugas, perutusan, dan misi (John M. Echols dan Hasan Shadily, 2003:383). Missi dapat diartikan sebagai langkah-langkah atau kegiatan yang bersifat strategis dan efektif dalam rangka mencapai visi yang telah ditetapkan (Abuddin Nata, 2005: 22).
            Abuddin Nata menjadikan strategi sebagai bagian dari missi, pada dasarnya missi merupakan tugas-tugas utama yang harus dilakukan untuk mewujudkan visi. Missi pendidikan Rasul secara gamblang dalam firman Allah:
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ ءَايَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَوَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (QS. Al-Baqarah: 151)

            Melalui informasi ayat di atas, maka missi pendidikan dalam Islam adalah: Membacakan ayat-ayat Allah, mensucikan jiwa, mengajarkan kitab dan hikmah, mengajarkan hal-hal yang belum diketahui manusia.
            Sedangkan tujuan, dalam bahasa Arab, istilah “tujuan” berpadanan dengan kata maqashid yang menunjukkan kepada jalan lurus. Kata ini merupakan kata jadian dari qashada yang tersebar dalam al-Qur’an yang memberi arti pokok. Berdasarkan berbagai istilah tersebut di atas, maka tujuan pendidikan (maqashid  al-tarbiyah) dalam Islam mengacu pada tujuan umum (aims) yang mengarah kepada tujuan akhir (goals) melalui tujuan antara (objectives). Tujuan pendidikan bertitik tolak dari konsep penciptaan manusia sebagai khalifah dan fitrah manusia.  Manusia dalam al-Qur’an menempati posisi yang sangat istimewa, karena ia diciptakan oleh Allah SWT sebagai khalifatan fil’ardhi (wakil Tuhan) dengan tugas dan fungsi untuk ibadah hanya kepada-Nya.[10]
Hal ini dinyatakan dalam ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa manusia merupakan pilihan Maha Pencipta untuk menguasai jagat raya ini. Untuk menjadikan manusia terbaik itu, maka Allah sendirilah sebagai “pendidik” secara langsung kepada manusia pertama, yaitu Nabiyullah Adam ‘Alaihissalam. Sebagaimana Allah berfirman dalam al-Qur’an,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.(QS. adz-Zariyat: 56)
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".(QS. al-Baqarah, 2: 30)

Tujuan pendidikan dalam Islam [11]secara umum adalah untuk membentuk dan membina karakter manusia supaya menjadi insan kamil yang beriman, bertakwa dan berakhlak kepada Allah SWT berdasarkan fitrah yang dibawanya sejak lahir. Fitrah yang dibawa manusia sejak dalam kandungan merupakan perwujudkan komitmen antara manusia sebagai makhluk dan Allah sebagai Khaliknya. Komitmen yang sudah terbentuk itu harus diperkuat agar manusia tetap lurus mengikuti perintah Allah sebagai tujuan dalam penciptaan-Nya. Sebagaimana Allah berfirman dalam al-Qur’an,[12]
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفاً فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. QS., al-Rum, 30: 30)

Fitrah keislaman manusia yang sudah terbentuk sejak dalam kandungan ibunya merupakan  suatu kontrak akidah. Allah telah mempersaksikan-Nya sendiri secara langsung dihadapan makhluk-Nya yang direspon  secara positif,  sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an,
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتَ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", (QS al-‘Araf, 7: 172)

            Tujuan pendidikan dalam Islam dalam tataran konsep-teoritis mengarah pada tujuan umum untuk membentuk kepribadian sebagai khalifah Allah atau mempersiapkan ke jalan yang mengacu kepada tujuan diciptakannya manusia oleh Allah, yaitu supaya beriman kepada Allah dan tunduk patuh secara total kepada-Nya.
Adapun ruang lingkup tujuan pendidikan Islam bisa dijabarkan ke dalam beberapa hal yang oleh Al-Syaibhani (1979:399) menjadi tiga sasaran tujuan dasar yaitu individu, masyarakat, dan profesional. Tujuan indivdiual adalah mencakup adanya perubahan dalam bentuk pengetahuan, tingkah laku, jasmani dan ruhani dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat. Sedangkan tujuan masyarakat meliputi tingkah laku individu dalam bermasyarakat, memperkaya pengalaman dalam masyarakat. Adapun tujuan profesional ialah segala hal yang berhubungan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi dan sebagai kegiatan masyarakat (Madjid, 2013)
Dalam kaitannya dengan peningkatan PAI di PTU, maka tujuan pendidikan Islam tersebut di atas memiliki relevansi dengan tujuan pendidikan nasional. Peningkatan Keimanan dan Ketaqwaan (Imtaq) Terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan amanat UUD 1945 (amandemen) Pasal 31 ayat (3) yaitu: ”Tujuan Pendidikan Nasional meningkatkan keimanan dan ketaqwaan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga ditegaskan bahwa peningkatan Imtaq merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional, yaitu ”mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhlak mulia, sehat, beriman, cakap, kreatif, mandiri, dan warga warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Kosim, 2012).
Selanjutnya dalam Visi Depdiknas yang tertuang dalam Rencana Strategis Depdiknas 2005 – 2009 disebutkan “Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif (Insan Kamil/Insan Paripurna)”. Untuk mencapai visi tersebut Depdiknas telah merumuskan misi ”mewujudkankan pendidikan yang mampu membangun insan Indonesia cerdas komprehensif dan kompetitif dengan melaksanakan misi pendidikan nasional”. Dalam pengertian ini yang menjadi core (inti) tujuan pendidikan nasional adalah manusia yang beriman dan bertaqwa (Kosim, 2012).[13]
Berkaitan dengan penjelasan di atas, maka Perguruan Tinggi Umum secara institusional perlu menempatkan pembinaan ke-Imanan yang berbasis kepada nilai-nilai agama sebagai ruh dari visi, missi, dan tujuan pendidikannya. Hal ini juga selaras dengan semangat kurikulum 2013 yang menempatkan pembinaan sikap sebagai sasaran utama dari pendidikan dan pembelajaran. Aspek sikap ini harus terimplementasi pada sikap spiritual keagamaannya dan sosialnya.
Sebagaimana dalam Islam, Out put pendidikan seyogyanya sebagaimana tergambar pada Firman Allah berikut: QS. Al-Fath: 29
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
 Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. Al-Fath: 29)

QS. Al-An’am: 160-163
قُلْ إِنَّنِي هَدَانِي رَبِّي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ دِينًا قِيَمًا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ, قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ, لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِين
Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).- Katakanlah: "Sesungguhnya Aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik".  Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan Aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". (QS. Al-An’am: 160-163)
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ ءَايَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun". (QS. Saba’: 15)
Dalam ayat di atas digambarkan bahwa out pendidikan Rasulullah adalah orang-orang yang memiliki karakter:
Ø Mampu memiliki ketegasan sikap terhadap orang-orang yang memiliki keyakinan yang salah
Ø Mampu hidup berkasih sayang sesama mukmin
Ø Mereka adalah orang-orang yang ruku’ dan sujud kepada Allah dan senantiasa mengharap karunia dan rahmat Allah
Ø Mampu berkontribusi kebaikan untuk orang lain dan peradaban umat manusia.
Ø Mampu melakukan tugas pegabdian kepada Allah.
Ø Hidup berkesejateraan dan ampun Allah

2.    Aspek Materi Perkuliahan yang Terintegrasi
Salah satu persoalan dalam dunia pendidikan dewasa ini adalah adanya dikotomi antara ilmu agama dengan ilmu umum (Muslih Usa, 1991: 3). Pada era awal hingga abad pertengahan, sistem pendidikan yang dikembangkan oleh umat Islam sesungguhnya tidak mengenal adanya dikotomi antara ilmu agama Islam dengan ilmu umum. Pendidikan Islam yang dikembangkan justru mengemban misi untuk mengantarkan peserta didiknya agar dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat secara seimbang dan integral karena secara normatif-konseptual, dalam Islam tidak dijumpai adanya dikotomi tersebut.[14]
Dalam realitas kurikulum di Indonesia, Pendidikan agama Islam merupakan nama dari mata pelajaran dan mata kuliah pada sekolah umum dan perguruan tinggi umum dengan materi yang merupakan gabungan dari berbagai studi keislaman. Sedangkan di madrasah, PAI ini meliputi fiqh, al-Qur'an hadis, sejarah kebudayaan Islam, aqidah akhlak, dan bahasa arab. Untuk konteks lembaga pendidikan umum, PAI disebut pelajaran agama Islam mengingat bahwa bidang studi ini hanya diajarkan untuk umat Islam saja, tidak untuk umat agama lain. Dalam kenyataannya, pengistilahan dan pengempokan ini telah mempengaruhi persepsi masyarakat bahwa pelajaran umum bukanlah bagian dari ilmu yang diperintahkan dalam Islam. Akhirnya muncullah paradigma yang dikotomis terhadap ilmu pengetahuan. Jika hal ini terjadi, maka dikotomi dalam arti pengelompokan ini dapat mengantarkan peserta didik kepada dikotomi dalam artian mempertentangkan—setidaknya memisahkan—antara ilmu agama dan ilmu umum sebagaimana yang telah dilakukan.
Menurut Abuddin Nata, dkk, orang-orang Islam yang hanya mengandalkan ilmu agama Islam dalam memecahkan masalah yang dihadapinya menyebabkan ia kurang mampu menghadapi tantangan zaman serta merebut peluang dalam persaingan global. Akibatnya, mereka kalah bersaing yang pada gilirannya membawa kemunduran dan keterbelakangan sebagaimana yang terjadi pada masa imperialisme Belanda dan Jepang di Indonesia atau pada masa penjajahan Barat atas dunia Islam pada umumnya. Sebaliknya, jika ilmu umum yang tidak berdasarkan pada agama tersebut menyebabkan terjadinya kemajuan yang luas dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak didasarkan pada ilmu agama tersebut menyebabkan terjadinya penyalahgunaan iptek untuk tujuan-tujuan yang menghancurkan umat manusia.[15]
Dengan demikian, ketika ilmu umum dipisahkan dari ilmu agama, maka ilmu umum tersebut akan kehilangan daya spiritualitasnya, bebas nilai dan dapat menimbulkan mudharat kepada kemanusiaan manusia itu sendiri. Sebaliknya, ketika ilmu agama dipahami tanpa mengintegrasikannya dengan ilmu umum maka ilmu agama tersebut juga akan kehilangan jasad duniawinya sehingga tidak mampu mengakomodir permasalahan dan kebutuhan hidup manusia yang selalu berkembang dan dinamis.
Ajaran kitab suci ayat al-Qur'an yang kaya akan pesan-pesan moral dan ilmu pengetahuan, paham dikotomis akan membawa kepada pemahaman kebenaran yang parsial. Akibatnya, sistem pendidikan Islam--sebagai manifestasi daripada pesan-pesan tersebut—yang berlangsung selama ini mengalami under class dibandingkan dengan lembaga-lembaga kependidikan umum karena dianggap tidak mampu menjawab kebutuhan hidup yang real untuk hal kekinian. Sebaliknya, ilmu umum yang tidak terintegrasi dengan ilmu agama akan menjadikan kehidupan ini teralienasi dari akar kehidupan manusia itu sendiri.
Pendekatan integrasi ilmu agama dengan ilmu umum menjadi salah satu solusi dan penting dilakukan. Dengan pendekatan integrasi tersebut dapat dipahami bahwa antara pendidikan agama Islam dengan ilmu pengetahuan umum pada dasarnya adalah satu atau terikat oleh keimanan dan tauhid sehingga peserta didik memiliki kepribadian yang beriman dan bertaqwa (Imtaq) serta menguasai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek).[16]
Istilah ”ilmu umum”  boleh saja digunakan sebagai bentuk klasifikasi keilmuan, tidak dikotomi keilmuan. Jenis ilmu umum yang bersifat ilmiah, yang mengkaji alam semesta, atau biasanya disebut dengan science, dapat dikelompokkan kepada ayat-ayat kauniyah. Sedangkan ilmu agama yang bersumber dari pengkajian al-Quran disebut sebagai kelompok ayat-ayat qauliyah.
Al-Qur’an sebagai ayat-ayat qauliyah telah memotivasi umat Islam untuk memahami ayat-ayat kauniyah tersebut. Hal itu dapat dilihat dari besarnya perhatian al-Qur’an terhadap ilmu pengetahuan. Bahkan tidak kurang dari 750 ayat yang berbicara tentang ilmu atau keharusan mencari ilmu, termasuk ilmu-ilmu umum tersebut. Ayat-ayat tersebut antara lain terkait dengan perintah menggunakan akal (la’allakum ta’qilun), agar memperhatikan jagad raya (afala yanzhurun), mendalami dan memahami ajaran agama (yatafaqqahun), merenungkan tanda-tanda kekuasaan Allah (yatadabbarun) dan perintah membaca (iqra’).[17]
Pengintegrasian mata pelajaran atau kuliah PAI ke dalam mata pelajaran atau kuliah ilmu umum adalah upaya membaurkan materi-materi (nilai-nilai) ajaran Islam yang terdapat dalam mata pelajaran PAI ke dalam mata pelajaran atau mata kuliah umum berupa dalil-dalil naqli dan aplikasi dari nilai tersebut bagi setiap guru mata pelajaran umum, agar tidak ”membias ke arah dikotomi antara keimanan dan ketaqwaan dengan ilmu pengetahuan”[18]
Mata pelajaran atau mata kuliah umum yang dimaksud dalam makalah ini adalah semua mata pelajaran atau mata kuliah yang terdapat di dalam struktur kurikulum selain mata pelajaran atau mata kuliah pendidikan agama Islam dengan berbagai program studinya seperi; program ilmu alam, ilmu sosial, dan bahasa dan lainnya. Masing-masing program studi memiliki penekanan sesuai dengan prinsip-prinsip dan fokus dari program itu sendiri.[19]
Menurut Ramayulis usaha untuk pengintegrasian mata pelajaran  PAI ke dalam mata pelajaran umum dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: pertama, melalui pencarian dasar dan padanan konsep, teori pengetahuan yang dicari dari al-Qur’an dan hadis Nabi dan pendapat para ulama. Dalam hal ini konsep dan teori ilmu-ilmu umum tidak diganggu gugat, kecuali hanya diberi dan diisi dengan nilai-nilai Islami atau hanya sekedar dicarikan padanan konsepnya serta diberikan landasannya baik berdasarkan dalil aqli dan dalil naqli guna memberikan legitimasi terhadap ilmu mata pelajaran umum. Kedua, dengan cara mengambil atau mempelajari konsep dan teori mata pelajaran umum kemudian dipadukan dengan mata pelajaran PAI. Adapun cara ini dilakukan untuk mengkaji ulang mata pelajaran yang ada dengan cara mengakses materi PAI dalam rangka memberikan nilai-nilai Islami bagi konsep atau teori pengetahuan umum, mengakses materi PAI untuk memberikan arah penggunaan pengetahuan umum, menghubungkan teori dan konsep ilmu-ilmu umum bersamaan dengan ilmu agama guna saling memperkuat,  mempertemukan teori dan konsep ilmu-ilmu umum yang bertentangan dengan ilmu agama guna menemukan solusinya, dan memadukan Iptek dengan Imtaq. (Kosim, 2012).
Penjelasan di atas juga memiliki relevansi dengan kurikulum 2013 yang menghendaki pembelajaran yang terintegrasi dalam bentuk penyatuan beberapa mata pelajaran ke dalam kelompok mata pelajaran yang antara satu lainnya terintegrasi.
3.    Aspek Dosen

Integritas Kepribadian Dosen mutlak diperlukan dalam upaya peningkatan kualitas PAI di PTU. Salah satu nilai yang dapat di ambil pada tradisi pendidikan tashawwuf adalah bahwa seorang guru tersebut haruslah kamil mukammil (sempurna dan menyempurnakan).[20] Hal ini tentunya layak untuk dijadikan cerminnan bagi dosen atau guru terutama dosen dan guru agama.
Di samping memiliki kualitas pribadi yang baik, seorang guru atau dosen juga dituntut untuk memiliki wawasan yang luas. Walaupun seseorang tidak mungkin menjadi pribadi yang serba tahu, namun semangat untuk selalu mencari tahu perlu dimiliki oleh setiap guru atau dosen.
Sebutan pendidik dalam al-Qur’an dan sunnah di antaranya disebut sebagai murabbi. Allah berfirman dalam al-Qur’an:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ,وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا أَيَأْمُرُكُمْ بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (Dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.           - Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai Tuhan. apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?".(QS. Ali Imran: 79-80)
Dalam ayat di atas, Allah menegaskan bahwa kepada setiap nabi dan rasul-Nya, diturunkan kepada mereka kitab, hikmah dan kenabian. Mereka tidak akan meminta manusia untuk menjadikan diri mereka sebagai tuhan yang harus disembah. Mereka justru diperintahkan oleh Allah menjadikan diri mereka menjadi seseorang yang rabbani. Kata rabbani berarti orang yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah Swt. Lebih tegas, Khalid Abdurrahman al-‘Aki (1994: 60),  menjelaskan pengertian rabbani:
علماء معلمين فقهاء في الدين
Ulama yang mengajarkan pemahaman agama (pesan-pesan suci Allah)
Seseorang yang rabbani adalah orang-orang yang mengabdikan dirinya sebagai wakil Allah dalam tugas pendidikan. Mereka menauladani sifat-sifat Allah dan menunaikan tugas serta amanah Allah untuk membantu memberikan pemahaman kepada umat manusia terhadap hal-hal yang berhubungan dengan pesan-pesan ke-Tuhanan.
Di samping sebutan murabbi, guru atau dosen juga disebut dalam al-Quran dengan sebutan muzakki, mu’allim, dan lain sebagainya. Pendidik yang sesungguhnya pada hakikatnya adalah Allah; pencipta manusia itu sendiri. Sedangkan manusia adalah orang yang diamanahi Allah untuk menjadi wakil-Nya (khalifah) yang di antara tugasnya adalah dalam hal pemeliharaan bumi ini dan pendidikan. Hal inilah yang membedakan pandangan pendidikan Islami dan pandangan pendidikan yang dikembangkan dari dasar-dasar falsafah non Islami. Firman Allah dalam Surat al-‘alaq ayat 1-5: [21]
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ,خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ,اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ,الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ,عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan, yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan muliyakanlah Tuhanmu yang telah mengajari manusia dengan perantaraan qalam, yang mengajarkan manusia tentang apa saja yang tidak diketahuinya. (QS. Al-Alaq: 1-5)
            Nabi Muhammad sebagai model pendidik utama dinyatakan dalam al-Qur’an sebagai suri tauladan yang baik bagi umatnya. Hal ini berarti beliau juga merupakan suri tauladan bagi para pendidik, bagi guru, dosen dan pendidik lainnya.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.(QS. Al-Ahzab: 21)

4.      Aspek Lingkungan Pendidikan
Menurut Zakiyah Daradjat (2004: 63-64), unsur pergaulan dan unsur lingkungan merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan. Dalam pergaulan tidak selalu berlangsung pendidikan walaupun di dalamnya terdapat faktor-faktor yang berdaya guna untuk mendidik. Dalam arti yang luas, lingkungan mencakup iklim dan geoagrafis, tempat tinggal, adat istiadat, pengetahuan, pendidikan dan alam. Dengan kata lain, lingkungan adalah segala sesuatu yang tampak dan terdapat dalam alam kehidupan yang senantiasa berkembang. Dia adalah semua yang ada, baik manusia, benda, alam bergerak atau tidak bergerak, kejadian-kejadian atau hal-hal yang mempunyai hubungan dengan seseorang. Sejauh mana seseorang berhubungan dengan lingkungannnya, sejauh itu pula terbuka peluang masuknya pengaruh pendidikan kepadanya.
Dengan demikain, dalam upaya meningkatkan kualitas PAI di PTU, dibutuhkan komitmen setiap civitas akademika untuk berusaha membangun lingkungan dunia pendidikan tinggi yang serat dengan nilai-nilai pendidikan Islam. Tanpa ada kemauan dari setiap elemen PTU, tentu budaya, pergaulan, dan lain sebagainya tidak akan memberikan hal yang positif untuk pencapaian tujuan pendidikan itu sendiri
5.      Aspek Pendekatan dan Strategi Pembelajaran
Menurut Hilgard yang dikutip Wina Sanjaya, belajar adalah proses perubahan prilaku sebagai akibat dari pengalaman dan latihan. Belajar bukanlah sekedar mengumpulkan pengetahuan, tetapi belajar adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga menyebabkan munculnya perubahan perilaku. Aktivitas mental ini dianggap terjadi karena adanya interaksi individu dengan lingkungan yang disadari (Wina Sanjaya, 2010: 112). Sedangkan dalam pandangan Islam, belajar adalah perubahan al-Nafs dari ammarah dan lawwamah  menjadi nafs al-mutmainnah.
Dalam perspektif Islam, jelas bahwa pembelajaran tidak hannya proses berfikir, memamfatkan dan memaksimalkan potensi otak, dan berlansung sepanjang hayat, namun jauh lebih luas dan dalam dari pada itu. Di dalam pandangan Islam, pembelajaran adalah pengembangan semua potensi diri, jasmani dan rohani (al-Nafs). (Rivauzi, 2014)
Dalam kaitannya dengan pengembangan model pembelajaran, sebagaimana dijelaskan oleh Wina Sanjaya, setiap teori belajar yang berkembang saat ini , berpangkal kepada pandangan tentang hakikat manusia. Wina Sanjaya menyebut pandangan tentang hakikat manusia tersebut dihubungkan dengan pandangan John Locke dan Leibnitz. Menurut John Locke, manusia itu adalah organisme yang pasif dengan teori tabularasanya yang menempatkan manusia seperti kertas putih, hendak ditulis apa saja tergantung kepada para penulisnya. Dari teori ini lahir aliran teori belajar behavioristik-elementeristik. Sedangkan Leibnitz menganggap bahwa manusia adalah organisme yang aktif. Manusia dipandang menjadi sumber semua kegiatan, bebas berbuat dan memilih berbagai situasi. Dari pandangan Leibnitz ini lahir aliran teori belajar kognitif-holistik (Wina Sanjaya, 2010: 114-115).
Jika dilihat dengan kaca mata Islam, aliran behavioristik dan kognitif sama-sama memiliki aspek yang dapat dibenarkan, namun pada sisi yang ekstrim juga sangat bertentangan dengan pandangan Islam. Dengan demikian, teori belajar al-Nafs dapat dijadikan sebagai teori belajar alternatif dalam menyelesaikan permasalahan pendidikan saat ini. Berikut dijelaskan ketiga teori belajar di atas.
Selanjutnya, pendekatan (approach) dapat di lihat dari dua perspektif. Pertama dilihat dalam konteks pandangan yang menempatkan pendidikan sebagai sebuah kejadian proses yang dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode dan proses pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu.  Maka dalam perspektif ini pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap kejadian proses pendidikan tersebut. Wina Sanjaya melihat pendekatan dalam perspektif ini sehingga terdapat dua bentuk pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach). (Roy Killen, 1998).
Kedua, pendekatan yang diartikan dalam perspektif proses mendekati sebuah objek atau diartikan dengan come near (menghampiri), go to (jalan ke) , dan way path (jalan). Dalam pengertian ini, pendekatan diartikan sebagai cara menghampiri atau mendatangi sesuatu. H.M. Chabib Thaha, mendefinisikan pendekatan dengan cara pemprosesan subjek atas objek untuk mencapai tujuan (Ramayulis, 2010:169).
Kedua pengertian di atas pada dasarnya dapat dipakai. Dalam konteks tulisan ini, pendekatan pendidikan dalam Islam jelas tidak berorientasi kepada salah satu antara guru atau murid, namun berorientasi kepada keduanya sekaligus. Dengan demikian, karena pendidikan dalam Islam menekankan guru dan murid secara bersamaan, maka penulis mengambil kepada pendekatan dalam pengertian yang kedua yaitu - cara pemprosesan subjek atas objek untuk mencapai tujuan -, berdasarkan nilai dan isyarat al-Quran dan Hadits, maka pendekatan pendidikan tersebut adalah ‘aqliyyah (filosofis), zdauqiyyah (qalbiyyah), dan ‘amaliyyah (ibadah).
Dari pendekatan pembelajaran selanjutnya diturunkan ke dalam strategi pembelajaran. Strategi pada mulanya digunakan dalam dunia meliter yang diartikan dengan cara penggunaan seluruh kekuatan meliter untuk memenangkan suatu peperangan. Dalam dunia pendidikan, strategi diartikan sebagai a plan, method, or series of activities designed to achieves a particular educational goal (J.R. David, 1976). Dengan demikian, strategi berarti perencanaan yang berisi rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan yang lebih efektif dan berhasil guna. Kemp (1995) juga menjelaskan bahwa strategi adalah suatu kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Rowntree (1974) mengelompokkan strategi belajar kepada strategi penyampaian-penemuan atau expistion-discovery learning, strategi pembelajaran kelompok dan strategi pembelajaran individual (Wina Sanjaya, 2010:125-126).
Metode adalah cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun. Dengan demikian, metode adalah cara merealisasikan strategi pembelajaran (Wina Sanjaya, 2010:126 &147).
Selanjutnya, teknik adalah cara yang dilakukan seseorang dalam rangka mengimplementasikan suatu metode. Misalnya, cara yang bagaimana yang harus dilakukan agar metode ceramah yang dilakukan berjalan efektif. Sedangkan taktik adalah gaya seseorang dalam melaksanakan sebuah metode tertentu. Dengan demikian, taktik bersifat individual (Wina Sanjaya, 2010:126-127).
Menurut Ahmad Sudrajat, apabila pendekatan, strategi, metode, teknik dan bahkan taktik pembelajaran sudah terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh maka terbentuklah apa yang disebut dengan model pembelajaran. Jadi, model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.[22]
Dalam hal strategi pendidikan dan pembelajaran, dalam tulisan ini menawarkan 3 (tiga) strategi. Yaitu, tilawah, tazkiyah, dan ta’lim. Strategi ini, di antaranya dapat dijumpai pada firman Allah:
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُواْ تَعْلَمُونَ
Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni`mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (QS. Al-Baqarah, 2: 151)        
Tilawah merupakan kegiatan pemaparan materi ajar dan pendidikan yang difasilitasi oleh guru sehingga murid atau peserta didik aktif mengikuti kegiatan membaca, pengkajian dan perenungan tentang ayat-ayat Allah. Sasaran yang harus dicapai adalah muncul kesadaran ke-bertuhanan. Kegiatan ini disebut juga dengan kegiatan pembelajaran atau strategi ekspositori. Dalam strategi ini, guru membacakan dan menyuguhkan serta memperlihatkan ayat-ayat Allah (tanda-tanda keberadaan dan keagungan Allah) baik pada ayat qauliyah (al-Quran)  yang dikaitkan dengan ayat kauniyah (Rivauzi, 2013:73).
Quraish Shihab (2006:168), membatasi makna tilawah pada ayat-ayat qauliyyah. Hal ini didasarkannya kepada firman Allah:
تِلْكَ آيَاتُ اللّهِ نَتْلُوهَا عَلَيْكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ
Itu adalah ayat-ayat Allah. Kami bacakan kepadamu dengan hak (benar) dan sesungguhnya kamu benar-benar salah seorang di antara nabi-nabi yang diutus. (QS. Al-Baqarah, 2:252)
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَاناً فَتُقُبِّلَ مِن أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!" Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa".(QS. Al-Maidah, 5:27)

Jika dikuti pendapat Quraish Shihab di atas, maka strategi tilawah adalah strategi yang dipakai dalam pembelajaran yang dipakai oleh guru dengan mengajak peserta didiknya mengungkap kebesaran dan keberadaan Allah dari ayat-ayat suci yang memiliki kebenranan yang mutlak. Hal ini berati, pembelajaran harus memiliki dan merujuk kepada dasar transental dan nilai-nilai yang sakral yaitu al-Quran. Posisi guru di sini adalah menyuguhkan kepada peserta didik tentang nilai-nilai kebenaran yang tedapat dalam al-Quran yang bersifat universal.
Namun jika dipahami bahwa antara ayat qauliyah dan kauniyah pada dasarnya memiliki fungsi dan peranan yang sama, yaitu mengungkap kebesaran dan keesaan Allah, maka pemaparan  ayat-ayat qauliyah harus ditempatkan sebagai aspek penting dalam setiap pembelajaran dan kemudian membangun pengetahuan murid tentang ayat kauniyah di atasnya.
Ayat-ayat kauniyah adalah alam semesta atau semua makhluk Allah. Ayat-ayat ini berfungsi menjelaskan kepada manusia tentang keberadaan Allah yang Maha Mencipta. Pengkajian dan penelitian manusia tentang ayat-ayat ini akan melahirkan berbagai ilmu-ilmu dan pengetahuan semisal ilmu matematika, fisika, biologi dan lainnya. Ilmu-ilmu ini tentunya sangat berharga bagi manusia untuk kesejahteraan hidupnya. Di balik itu semua, temuan dan pengetahuan manusia tentang ayat-ayat kauniyah ini seyogyanya membawa manusia untuk mampu bersyukur kepada Allah karena terungkapnya rahasia ciptaan Allah yang sangat sempurna itu sesungguhnya menunjukkan kepada kesempurnaan dan keagungan Allah yang telah menciptakannya.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ,الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imran, 190-191)

Sementara itu, ayat-ayat qauliyah yaitu ayat-ayat yang difirmankan Allah dalam kitab suci-Nya. Ayat-ayat ini menginformasikan banyak hal kepada manusia baik berbicara tentang dasar-dasar keyakinan (akidah), hukum-hukum syari’ah, maupun prinsip-prinsip akhlak. Ayat-ayat ini juga memerintahkan manusia untuk senantiasa mengkaji alam semesta ini dengan berbagai kemampuan dan potensi akal yang telah diberikan Allah kepada manusia. Informasi pengetahuan dari sumber qur’ani inilah yang kemudian lebih dikenal  dengan ilmu-ilmu agama (ulum al-diniyah). Ilmu-ilmu yang bersumber dari al-Qur’an maupun yang bersumber dari alam semesta ini sesungguhnya saling menjelaskan dan menyatu dalam semangat dan tujuannya yaitu agar manusia ini menyadari keesaan Allah dan mengabdikan diri kepada-Nya.
Pada dasarnya,  Islam tidak membedakan antara ilmu umum dan ilmu agama baik ditinjau dari aspek keutamaannya maupun kewajiban mempelajarinya. Mempelajari ilmu-ilmu science itu sama keutamaannya dengan mempelajari ilmu fikih dan ilmu lainnya. Pendidik berkewajiban membersihkan jiwa manusia dari berbagai bentuk keyakinan dan kepercayaan syirik menuju ketauhidan. Sasaran pendidikan ini menekankan pentingnya pembelajaran yang berbasis al-Quran.
Strategi Tazkiyah merupakan kegiatan yang menuntut aktivitas baik guru atau peserta didik dalam melakukan riyadhah (latihan) yang bersifat keruhanian (SQ). Dalam kegiatan ini, guru dan peserta didik dituntut memberikan pondasi nilai-nilai theologis atau memberikan pemaknaan dan penafsiran terhadap aktifitas PBM dengan pemaknaan dan penafsiran spiritual. Bagi seorang mukmin, apapun yang dilakukan dan dalam berbagai kondisi dituntut untuk menjadikan semua itu sebagai sesuatu yang bernilai ibadah. Belajar dan mengajar bagi seorang mukmin merupakan zikirnya kepada Allah swt.
Ta’lim merupakan aktifitas penggalian ilmu dan hikmah dan nilai-nilai ilmu pengetahuan yang kemudian lahir kebijaksanaan dan kemamapan pribadi sehingga peserta didik secara aktif mengembangkan dan menemukan jati diri mereka yang kemudian muncul kematangan dan kemampuan untuk menjadi orang yang benar dalam perkataan dan perbuatan. Ungkapan al-Kitab dalam ayat Allah di atas bisa berarti kitab suci dan bisa juga memiliki makna yang luas yaitu segala sesuatu yang ditulis dalam buku dan hal-hal yang berhubungan dengan aktivitas tulis menulis. Ke’arifan dan pengetahuan serta semua hal yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang dibukukan adalah bagian dari al-kitab yang dimaksudkan ayat tersebut.
Kata kitab pada ayat di atas mengisyaratkan bahwa umat Islam sebagai peserta didik dituntut untuk mempelajari berbagai hal dari ilmu pengetahuan yang ditulis oleh setiap budaya. Ilmu pengetahuan yang telah dijadikan oleh peradaban manusia sebagai pondasi kehidupan berkeadaban mereka yang selaras dengan ajaran Islam. Sementara itu, kata hikmah menunjukkan kepada kemapanan kepribadian anak manusia, kemampuan dan pemahaman serta mampu berkata benar dan benar juga dalam tindakan. Menurut Khalid Abdurrahman al-‘Aki, dalam kitab “Shafwah al-Bayan li Ma’ani al-Qur’an al-Karim, kata hikmah berarti suatu pemahaman dan ilmu. Hikmah juga berati pemahaman atau benarnya perkataan dan amalan (قولا وعملا  الفقه او الصواب ) (Khalid Abdurrahman al-‘Aki, 1994: 60 & 56).
Ta’lim walupun berarti pengajaran, namun memiliki aktivitas dan keluasan makna ketimbang aktivitas tilawah. Ta’lim mencakup aktivitas tilawah yang pada akhirnya melahirkan ahli hikmah. Hal ini diunjukkan dengan adanya ungkapan mengajarkan hikmah pada ayat di atas yang menurut para ulama menunjukkan kepada kemampuan berkata dan berbuat dengan benar.
Ta’lḭm berarti mengikuti pengalaman belajar. Ta’lim ditujukan agar seseorang memiliki kualitas kepribadian yang agung. Hal ini terungkap dengan adanya ungkapan mengajarkan hikmah pada ayat di atas yang menurut para ulama menunjukkan kepada kemampuan berkata dan berbuat dengan benar.
Allah telah menggariskan dalam al-Qur'an bahwa perkataan yang tidak diiringi dengan perbuatan,  diancam dengan  memberikan kutukan  yang  sebesar-besarnya, seperti Firman-Nya
             كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
Amat besar  kebencian  di sisi  Allah  bahwa  kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. as-Shaf: )

            Para ulama juga menyamakan antara kata hikmah dengan kata filsafat yang berarti kebijaksanaan. [23]
            Merujuk kepada al-Qurʹān, sebagaimana firman Allah:
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنتَ العَزِيزُ الحَكِيمُ
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur'an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqarah, 2: 129)

Abuddin Nata mengutip penjelasan al-Maraghy tentang “mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al-Hikmah” pada ayat di atas sebagai berikut[24]:
ويعلمهم القرأن وأسرار الشريعة ومقاصدها بسيرته بين المسلمين فيكون قدوة لهم في أقواله وأفعاله
            Mengjarkan al-Qurʹān, rahasia, dan tujuan syari’at dengan sejarahnya kepada orang-orang Islam sehingga menjadi contoh bagi mereka dalam ucapan dan perbuatannya.

Selanjutnya, Allah berfirman,
يُؤتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْراً كَثِيراً وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الأَلْبَابِ
Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Qur'an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).(QS. Al-Baqarah 2: 269)

       Berdasarkan keterangan ayat di atas, orang-orang ahli hikmah atau filosof akan diberikan Allah kebaikan yang banyak oleh Allah. Di antara kebaikan yang diberikan kepada mereka itu adalah kemampuan menterjemahkan pesan-pesan agama dengan ilmu pengetahuan yang termasuk di dalamnya menterjemahkan pesan al-Qurʹān terhadap pentingnya pendidikan keruhanian sebagaimana pesan “mensucikan mereka” pada QS. Al-Baqarah, 2: 129 di atas.
Allah telah menggariskan dalam al-Qur'an bahwa perkataan yang tidak diiringi dengan perbuatan,  diancam dengan  memberikan kutukan  yang  sebesar-besarnya, seperti Firman-Nya
             كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
Amat besar  kebencian  di sisi  Allah  bahwa  kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. as-Shaf: )

Sedangkan metode adalah bagaimana upaya mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Misalnya untuk melaksanakan strategi ekspositori (tilawah), dapat dilakukan dengan metode ceramah (tabligh). Untuk Strategi Belajar Tazkiyah dapat digunakan metode muhasabah dan zikir, Untuk stratgi ta’lim dapat digunakan metode diskusi (Hiwar).
Beberapa metode dalam teori belajar (Rivauzi, 2014) adalah: Metode ceramah (tabligh). Guru adalah seorang penyampai. Tablig ( تبليغ) adalah mashdar dari (بَلَّغَ) yang mengandung makna taktsir ( تكثير ) yang berati banyak. Kadang makna banyak (taktsir)  ini pada  fi’il (perbuatannya) dan kadang kala pada objeknya (maf’ul) (Imam al-muhaqqiq al-Mudaqqiq Ahmad Rusydi, tt: 4). Selanjutnya metide muhasabah, zikir dan doa, metide diskusi (muhawarah). Hiwar juga sering diartikan dengan dialog yang bermakna bertanya jawab, bercakap-cakap[25], metode demonstrasi (uswah)[26], metode pukulan yang mendidik[27] , metode pengucilan (ithrah)[28] .

Adapun tentang teknik pendidikan adalah teknik bi al-hikmah, mau’izhah hasanah. Mau’izhah hasanah dan mujadalah hasanah [29], teknik amtsal[30],teknik ‘ibrah fi al-qishshah[31], teknik targhib wa tarhib[32], dan teknik tajrib (latihan). [33]
Adapun tentang taktik pendidikan, maka ayat al-Quran bicara  tentang lemah lembut,  dan berbagai hal yang menjadikan peserta didik merasa nyaman dan aman bersama beliau.[34] Tampa adanya kelamah lembutan, maka para peserta didik akan menjauhkan diri dari gurunya. Ini disebabkan karena tidak adanya rasa nyaman dan hilangnya rasa aman pada diri peserta didik. Lemah lembut memberikan kesejukan dan rasa nyaman pada diri murid yang merupakan prasyarat utama bagi mereka untuk memunculkan kreativitas belajar bagi mereka.
6.    Aspek Evaluasi
Sebagaimana telah dijelas sebelumnya, maka kurikulum 2013 menghendaki penilaian otentik. Penilaian harus merupakan proses mengumpulkan informasi/bukti melalui pengukuran, menafsirkan, mendeskripsikan, dan menginterpretasi bukti-bukti hasil pengukuran yang dapat dipercaya, asli, nyata, valid, atau reliabel. Penilaian yang dilakukan harus secara komprehensif untuk menilai mulai dari masukan (input), proses, dan keluaran (output) pembelajaran sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian.
Penilaian dan pembelajaran PAI di PTU harus secara secara terpadu yang mencerminkan masalah dunia nyata, menggunakan berbagai cara dan kriteria holistik (kompetensi utuh merefleksikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap) yang tidak hanya mengukur apa yang diketahui oleh peserta didik atau mahasiswa, tetapi lebih menekankan mengukur apa yang dapat dilakukan oleh peserta didik atau mahasiswa. (Permendikbud 81A tentang implementasi kurikulum, 2013:56).



D.  Penutup

Untuk meningkatkan kualitas PAI di PTU menghendaki upaya yang terintegrasi dari semua elemen Perguruan Tinggi. Integrasi tersebut dapat dilakukan dalam bentuk integrasi ilmu pengetahuan, dan membangun kehidupan kampus yang religius.
Pengintegrasian ilmu agama dan ilmu umum amat penting dilakukan; baik ditinjau secara normatif (ajaran Islam) maupun secara yurudis formal sebagaimana undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Pentingnya upaya tersebut mesti disadari oleh setiap dosen Perguruan Tinggi dan pemegang kebijakan terkait yang beragama Islam.  Semua civitas akademika  perlu pula meyadari bahwa secara yuridis formal dengan memperhatikan undang-undang atau konstitusi yang berlaku di Negara Republik Indoneisa ini. Bahkan dalam tujuan pendidikan nasional yang ditegaskan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menyebutkan bahwa peserta didik yang beriman dan bertaqwa merupakan indikator utama yang mesti dicapai. Maka untuk mencapai tujuan tersebut, peran pendidikan PAI merupakan upaya yang paling efektif.
Diperlukan kerja sama semua pihak, mulai dari pemerintah, pimpinan Perguruan Tinggi dan semua dosen  beragama Islam untuk pengintegrasian ini. Disinilah diperlukannya visi yang sama untuk mendidik sikap keberagamaan mahasiswa sesuai dengan bidang dan profesi masing-masing.











Kepustakaan

Assegaf, Abd. Rachman, "Kata Pengantar", dalam Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif, Upaya Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
Depag RI, Pemberdayaan Sekolah Berwawasan IMTAQ, Departemen Agama Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Pembinaan Pendidikan Agama dan Akhlak Mulia, Jakarta : 2007 (http://man2madiun.net/userfiles/file/IMTAQ.pdf),
Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2004, Cet. V
Depag RI, Pemberdayaan Sekolah Berwawasan IMTAQ,2012.  Departemen Agama Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Pembinaan Pendidikan Agama dan Akhlak Mulia, Jakarta: 2007 http://man2madiun.net/userfiles/file/IMTAQ.pdf)
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama, Pedoman Umum Implementasi Kurikulum 2013 Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti pada Sekolah Dasar (SD), Jakarta: Dirjen PAIS Kemenag, 2014
Ikhrom, "Dikhotomi Sistem Pendidikan Islam (Upaya Mengungkap Sebab-sebab dan Penyelesaiannya)",dalam Ismail SM, et. al. (ed.), Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001),
Kosim, Muhammad, Konsep Dasar Integrasi IMTAQ dan IPTEK dalam Proses Pembelajaran, (Makalah disampaikan dalam Pelatihan Pengintegrasian Imtaq dan Iptek dalam Proses Pembelajaran bagi Guru SLTP dan SLTA se Kota Padang Panjang”,  19-20 September 2012, di SMAN 1 Kota Padang Panjang.
Majid, Abd., Strategi Peningkatan Kualitas Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum.  http://abdmajid.staf.upi.edu/2013/08/26/strategi-peningkatan-kualitas-pendidikan-agama-islam-pada-perguruan-tinggi-umum/
Nata, Abuddin, dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 6
Nata, Abuddin, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta: Grasindo bekerja sama dengan IAIN Syarif Hidayatullah, 2001),
Nata, Abuddin, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), hal. 81-82
PP No. 60 Tahun 1999
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2010), Cet. VIII
Rivauzi, Ahmad,  Ketauladanan Muhammad Sebagai Pendidik Budaya Berbasis al-Quran dan Sunnah, Jurnal Suluah; Media Komunikasi Kesejarahan, Kemasyarakatan, dan Kebudayaan BPNST Padang, Volume 11 No 15, Desember 2011
Rivauzi, Ahmad, Pemikiran Abdurrauf Singkel tentang Pendidikan dan Implikasinya pada Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan Pakandangan Padang Pariaman, (Disertasi), Padang: Pascasarjana IAIN IB Padang, 2014
Rivauzi, Ahmad, Pendidikan Berbasis Spiritual; Tela’ah Pemikiran Pendidikan Spiritual Abdurrauf Singkel dalam Kitab Tanbih al-Masyi (Tesis), Padang; PPs IAIN IB Padang, 2007 Diterbitkan: Pendidikan Berbasis Spiritual;  Pemikiran Pendidikan Abdurrauf Singkel dalam Kitab Tanbih al-Masyi”, Padang: Jasa Surya, 2013
Rusydi, Ahmad, Matan al-Bina wa al-Asas, Jakarta: Jaya, tt
Sanjaya, Wina, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2010) Cet. VII
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Quran, Bandung: Mizan, 2006 Cet. XXIX
Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2007, cet. XVIII
 Sulaiman, Abdul Hamid Abu, Krisis Pemikiran Islam, Penj. Rifyal Ka'bah (Jakarta: Media Dakwah, 1994),
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Usa, Muslih, "Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta; Suatu Pengantar" dalam  Syafi'i Ma'arif, Pendidikan Islam di Indonesia; Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1991
Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, Penj. Rahma Astuti, (Bandung: Mizan, 1986),




[1] Dosen PAI Universitas Negeri Padang
[2]Dalam UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 Pasal 14, Perguruan Tinggi secara Nasional mempunyai tujuan sebagaimana diatur dalam PP No. 60 Tahun 1999, Pasal 2 ayat (1) tentang Tujuan Pendidikan Tinggi yang berbunyi : (a) menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian;(b) mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional. Hal ini dituangkan dalam komitmen mengemban misi utama perguruan tinggi, yakni Tri Dharma Perguruan ( PP No. 60 Tahun 1999 Pasal 3). Berangkat dari Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 juga, telah  disebutkan pada Pasal 1 ayat (1) bahwa: Pendidikan tinggi adalah pendidikan pada jalur pendidikan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi daripada pendidikan menengah di jalur pendidikan sekolah.
[3] Di beberapa PTU, kesadaran PAI yang merupakan tanggung jawab bersama ini belum terintegarsi ke dalam semua pemikiran pimpinan PT, para dosen atau pendidik, karyawan dan lainnya.  Sehingga pendidikan agama berjalan tidak integral  atau jalan sendiri-sendiri. Akibatnya lahirlah kepribadian yang tidak utuh atau split personality dalam diri setiap anak didik kita, tak terkecuali mahasiswa yang merupakan calon cendekia bangsa dan negara di masa mendatang.
[4] Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. (Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 butir 19)
[5] Tantangan internal antara lain terkait dengan kondisi pendidikan dikaitkan dengan tuntutan pendidikan yang mengacu kepada derlapan Standar Nasional. Pendidikan yang meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidk dan tenaga kependidikan, standar pengelolaan, standar sarana dan prasarana, standar pembiayaan, dan standar penilaian. Tantangan internal lainnya terkait dengan faktor perkembangan penduduk Indonesia dilihat dari pertumbuhan penduduk usia produktif.
[6] Tantangan eksternal yang dihadapi dunia pendidikan antara lain berkaitan dengan tantangan masa depan, kompetensi yang diperlukan di masa depan, persepsi masyarakat, perkembangan pengetahuan dan pedagogi, serta berbagai fenomena negatif yang muncul di tengah masyarakat.
[7] Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama, Pedoman Umum Implementasi Kurikulum 2013 Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti pada Sekolah Dasar (SD) (Jakarta: Dirjen PAIS Kemenag, 2014), hlm. 2-3
[8] Model diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan. Model dapat dipahami juga sebagai suatu tipe atau desain serta suatu desain yang disederhanakan dari suatu sistem kerja.
[9] Arti bahasa menggamit adalah menyentuh dengan jari (untuk memberi isyarat): sang pemuda ~ lengan temannya itu mengajak pergi
[10] Musthafa Al-Maraghi. Tafsir Al-Maraghi, Bairut: Dar Fikr, tt, juz ke-1, hlm. 30. hlm. 47, menyatakan bahwa: “kata khalifah diambil dari kata kerja khalafa yang berarti “mengganti dan melanjutkan”. Menurut pandangan Razi, Thabari dan Qurtubi, bahwa pengertian khalifah tidak secara sederhana menggantikan lainnya sebagai khalifah Allah. Allah menjadikan manusia sebagai khalifah apabila perilaku dan sikap manusia mengikuti ajaran Allah”.
[11] Adapun tujuan pendidikan Islam menurut beberapa ahli ada yang memberi penekanan yang cenderung hanya berbeda pada redaksi bukan pada substansi masalah. Al-Attas (1979:1) menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menghasilkan manusia yang baik. Sedang Marimba berpendapat bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah terwujudnya manusia yang berakhlak sempurna (1964:39). Sementara Munir Mursi (1977:16) menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terwujudnya manusia yang sempurna. Dari ketiga pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah mendidik manusia agar menjadi manusia muslim yang benar sesuai ajaran Islam
[12] Musthafa Al-Maraghi. Tafsir Al-Maraghi, Bairut: Dar Fikr, tt, juz ke-1, hlm.57, menjelaskan bahwa ayat di atas menghubungkan makna fitrah dengan agama (din)”. Hubungan fitrah dengan din tidak bertentangan, malah sebaliknya saling melengkapi. Penekanan mengenai hakikat fitrah seperti tercantum dalam Q.S. 30: 30 tersebut yang sesungguhnya secara lebih rinci mempunyai hubungan dengan Q.S. 7: 172, bahwa Allah membuat perjanjian dengan manusia dalam keimanan (tauhid).

[13] Depag RI, Pemberdayaan Sekolah Berwawasan IMTAQ,2012.  Departemen Agama Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Pembinaan Pendidikan Agama dan Akhlak Mulia, Jakarta: 2007 http://man2madiun.net/userfiles/file/IMTAQ.pdf)
                [14] Banyak ayat-ayat al-Qur'an yang menjelaskan bahwa pada hakikatnya semua ilmu berasal dari Allah semata, sehingga semua ilmu tersebut berbasiskan kepada tauhid (Qs. al-Baqarah/2: 32). Surat al-‘alaq ayat 5 juga mengisyaratkan bahwa semua ilmu yang diperoleh oleh manusia juga berasal dari Allah SWT. Munculnya dikotomi ilmu ini dapat dilihat dari dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal adalah  terjadinya stagnasi pemikiran di dunia Islam, terutama sejak abad ke XVI hingga XVII. Sedangkan faktor eksternal meliputi: 1) pengaruh peradaban Barat yang bercorak sekuler, 2) penjajahan Barat atas dunia muslim sejak abad XVIII hingga XIX, 3) modernisasi atas dunia muslim. Lihat Abdul Hamid Abu Sulaiman, Krisis Pemikiran Islam, Penj. Rifyal Ka'bah (Jakarta: Media Dakwah, 1994), hal. 40; Abd. Rachman Assegaf, "Kata Pengantar", dalam Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif, Upaya Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. viii-ix; Ikhrom, "Dikhotomi Sistem Pendidikan Islam (Upaya Mengungkap Sebab-sebab dan Penyelesaiannya)",dalam Ismail SM, et. al. (ed.), Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 84; Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, Penj. Rahma Astuti, (Bandung: Mizan, 1986), hal. 75
[15] Abuddin Nata, dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 6
[16] Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta: Grasindo bekerja sama dengan IAIN Syarif Hidayatullah, 2001), hal 239. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan ”Integrasi: dalam konteks sifat berarti ‘merupakan satu kesatuan’. Pengintegrasian berasal dari kata integrasi yang ditambah dengan awalan peng dan akhiran an, yang artinya ”pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh”. Dengan demikian, secara harfiah, “integrasi” berlawanan dengan “pemisahan”, suatu sikap yang meletakkan tiap-tiap bidang kehidupan ini dalam kotak-kotak yang berlainan. Pentingnya upaya pengintegrasian ilmu agama (PAI) dengan ilmu umum juga disadari oleh pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama. Pada era 1990-an Ditjen Dikdasmen telah melaksnakan satu kegiatan dengan nama Peningkatan Wawasan Kependidikan bagi Guru Agama (PWKGA) untuk meningkatkan wawasan kependidikan bagi guru Pendidikan Agama Islam (PAI). Kegiatan ini dilaksanakan melalui kerjasama antara Depdikbud dengan Departemen Agama berdasarkan Keputusan Bersama Dirjen Kelembagaan Agama Islam dan Dirjen Dikdasmen tanggal 5 Mei 1992 Nomor: 20/E/92 dan 157/C/Kep/PG/1992 tentang Pembentukan Tim Nasional Peningkatan Wawasan Kependidikan Guru Agama Bidang Pendidikan Agama Islam TK, SD, SMP dan SLTA. Kegiatan ini memperoleh respon yang sangat positif dari para guru agama, karena melalui program ini, kedudukannya kini menjadi sejajar dengan guru mata pelajaran umum di sekolah. Guru PAI bukan hanya telah memperoleh wawasan yang lebih luas tentang pendidikan, tetapi juga merasa memperoleh perhatian yang sama dengan guru-guru yang lain di sekolah. Setelah sasaran program PWKGA dinilai telah dapat dicapai, maka sejak tahun 1994 bidang garapan program ini kemudian diarahkan untuk meningkatkan wawasan keagamaan bagi guru-guru non-PAI. Kegiatan ini dikenal dengan nama PWKG (Peningkatan Wawasan Keagamaan bagi Guru). Dalam perkembangkan selanjutnya, program PWKG kemudian dikembangkan menjadi program peningkatan Imtaq dengan sasaran untuk melibatkan seluruh komponen pendidikan di sekolah. Program ini kemudian dikenal dengan nama Peningkatan Imtaq Siswa. Mengingat kelahiran Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) yang antara lain bertanggung jawab mengenai kebijakan mutu pendidik dan tenaga kependidikan, maka program peningkatan Imtaq siswa kemudian tidak lagi terlalu berorientasi kepada pelatihan guru atau pendidik, tetapi lebih berorientasi pada upaya pemberdayaan lembaga pendidikan sekolah berwawasan Imtaq. Ada lima strategi yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah dalam upaya peningkatan keimanan dan ketaqwaan tersebut, yaitu: (1) optimalisasi pelaksanaan Pendidikan Agama Islam, (2) integrasi Iptek dan Imtaq dalam proses pembelajaran, (3) pelaksanaan kegiatan ekstra kurikuler berwawasan Imtaq, (4) penciptaan situasi yang kondusif dalam kehidupan sosial di sekolah, dan (5) melaksanakan kerjasama antara sekolah dengan orang tua dan masyarakat. Dari lima strategi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa dalam metodologi pembelajaran, integrasi mata pelajaran PAI ke dalam mata pelajaran umum dapat dijadikan sebagai salah satu pendekatan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan peserta didik. Dalam hal ini diperlukan beberapa keterampilan dan kerja sama guru agama dan guru umum. Muhammad Kosim, Konsep Dasar Integrasi IMTAQ dan IPTEK dalam Proses Pembelajaran, (Makalah disampaikan dalam Pelatihan Pengintegrasian Imtaq dan Iptek dalam Proses Pembelajaran bagi Guru SLTP dan SLTA se Kota Padang Panjang”,  19-20 September 2012, di SMAN 1 Kota Padang Panjang. Lihat juga:Depag RI, Pemberdayaan Sekolah Berwawasan IMTAQ, Departemen Agama Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Pembinaan Pendidikan Agama dan Akhlak Mulia, Jakarta : 2007 (http://man2madiun.net/userfiles/file/IMTAQ.pdf),

[17] Ayat-ayat tersebut secara keseluruhan berkaitan dengan aktivitas mengembangkan ilmu pengetahuan. Seluruh istilah tersebut dapat dipergunakan sesuai dengan bidang ilmu yang akan dikembangkannya. Untuk mengembangkan ilmu agama, misalnya digunakan kata yatafaqqahun. Untuk mengembangkan ilmu-ilmu yang bersifat filosofis dan humaniora digunakan kata la’allakum ta’qilun. Untuk mengembangkan ilmu-ilmu alam (natural sciences) digunakan kata-kata afala yanzhurun. Sedangkan untuk mengembangkan ilmu yang berkaitan dengan pengembangan ruhani manusia digunakan kata yatadabbarun.  Dengan demikian munculnya berbagai istilah yang amat beragam dalam al-Qur’an menunjukkan adanya keragaman dalam ilmu pengetahuan. Hal ini sekaligus memberi isyarat bahwa al-Qur’an mengakui eksistensi fan fungsi dari berbagai macam ilmu pengetahuan tersebut dalam kehidupan umat manusiaAbuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), hal. 81-82
[18] Bandingkan defenisi tersebut dengan Hendy Zaidan dan Sunarno, Suplemen Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk Peningkatan Mutu Imtaq Siswa SLTA, Dirjen Dikdasmen, Bagian Proyek Peningkatan Wawasan Keagamaan, Diknas Jakarta 2003, hal. 1
[19] Supriatno, Integrasi Imtaq ke dalam Mata Pelajaran Biologi; Sebuah Model Pengembangan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMA,  (http://supriatno59.blogspot.com/2008/08/integrasi-imtaq-kedalam-mata-pelajaran.html)
[20] Ahmad Rivauzi, Pemikiran Abdurrauf Singkel tentang Pendidikan dan Implikasinya pada Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan Pakandangan Padang Pariaman, (Disertasi), (Padang: Pascasarjana IAIN IB Padang, 2014)
[21] Abuddin Nata (dalam satu pertemuan dengan penulis di saat ujian komprehensif mahasiswa S3 IAIN IB Padang, Minggu 24 November 2013), menegaskan bahwa perintah membaca dalam Surat al-Alaq ini sesungguhnya merupakan pondasi dasar (prinsip) dalam pengembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan peradaban serta pendidikan dalam hal memberikan semangat (spirit) terhadap pengembangan ilmu, kebudayaan, peradaban dan pendidikan tersebut. Sehingga dengan  membangun tradisi baru yaitu tradisi membaca dan menulis, Islam berhasil memindahkan pusat peradaban ke dunia Islam pada Abad lalu.     

                [22] Selanjutnya, menurut Ahmad Sudrajat, di samping istilah-istilah di atas, dalam proses pembelajaran dikenal juga istilah desain pembelajaran.  Jika strategi pembelajaran lebih berkenaan dengan pola umum dan prosedur umum aktivitas pembelajaran, sedangkan desain pembelajaran lebih menunjuk kepada cara-cara merencanakan suatu sistem lingkungan belajar tertentu setelah ditetapkan strategi pembelajaran tertentu. Jika dianalogikan dengan pembuatan rumah, strategi membicarakan tentang berbagai kemungkinan tipe atau jenis rumah yang hendak dibangun (rumah joglo, rumah gadang, rumah modern, dan sebagainya), masing-masing akan menampilkan kesan dan pesan yang berbeda dan unik. Sedangkan desain adalah menetapkan cetak biru (blue print) rumah yang akan dibangun beserta bahan-bahan yang diperlukan dan urutan-urutan langkah konstruksinya, maupun kriteria penyelesaiannya, mulai dari tahap awal sampai dengan tahap akhir, setelah ditetapkan tipe rumah yang akan dibangun http://www.akhmadsudrajat.wordpress.com/.../pendekatan-strategi-metode, Teknik, Taktik dan Model Pembelajaran, Download, 22 Maret 2013
                [23] Di dalam bahasa Arab, kata hakim tidak berarti sebagai orang yang mengadili sebagaimana hakim dalam bahasa Indonesia. Dalam Bahasa Arab, orang yang mengadili disebut dengan al-Qadhi, sedangkan pemikir di bidang hukum disebut dengan fuqaha’.  Lihat: Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, 2011., hlm. 288 dan 290
                [24] Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, 2011, hlm. 288
[25] Di antara firman Allah yang menggunakan kata muhawarah:
وَكَانَ لَهُ ثَمَرٌ فَقَالَ لِصَاحِبِهِ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَنَا أَكْثَرُ مِنكَ مَالاً وَأَعَزُّ نَفَراً
Dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mu'min) ketika ia bercakap-cakap dengan dia: "Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat". (QS. Al-Kahfi, 18:34)
[26] Malik bin Huwairits r.a., ia berkata:
أَتَيْنَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُوْنَ, فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِيْنَ يَوْمًا وَلَيْلَةً, وَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحِيْمًا رَفِيْقًا, فَلَمَّا ظَنَّ أَنَّا قَدِ اشْتَهَيْنَا أَهْلَنَا, أَوْ قَدِ اشْتَقْنَا, سَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا بَعْدَنَا فَأَخْبَرْنَاهُ, قَالَ: (إِرْجِعُوْا إِلَى اَهْلِيْكُمْ فَأَقِيْمُوا فِيْهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ). وَذَكَرَ أَشْيَاءَ أَحْفَظُهَا أَوْ لاَ أَحْفَظُهَا: (وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُُصَلِّي, فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ).
"Kami mendatangi Rasulullah SAW dan kami pemuda yang sebaya. Kami tinggal bersama beliau selama 20 malam. Rasulullah SAW adalah seorang penyayang. Ketika beliau menduga kami telah menghendaki ingin pulang dan rindu keluarga, beliau menanyakan tentang orang-orang yang kami tinggalkan dan kami memberitahukannya. Beliau bersabda: 'Kembalilah kepada keluargamu dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka dan suruhlah mereka.' Beliau menyebutkan hal-hal yang saya hafal dan tidak saya hafal. 'Dan shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat. Bila (waktu) shalat tiba, maka hendaklah salah satu dari kalian adzan dan yang paling dewasa menjadi iman." (H.R. Bukhari)
[27] Dalam hal ini penting digaris bawahi, bahwa memukul bukan sebagai wujud pelampiasan kemahan dan kebencian, tetapi hanya sebagai satu bentuk pendisiplinan yang bersifat jasmani. Metode mendidik dengan memukul ini tentunya hanya berlaku ketika anak-anak berada pada usia anak-anak dan pubertas. Namun jika anak-anak sudah dewasa, maka metodenya tentu tidak cocok lagi menggunakan metode ini.  Dalam hal ini Abu Dawud dan Hakim meriwayatkan dari Amar bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullah Saw.bersabda:
مُرُوا أولادكم بالصلاة وهم أَبْناء سَبعِ سنين واضْربوهم عليها وهم ابناء عَشْرٍ وفرّقوا بينهم في المضاجع (رواه ابو داود والحاكم)
Perintahkan anak-anakmu untuk melaksanakan shalat apabila mereka sudah berumur tujuh tahun, apabila mereka berusia sepuluh tahun, maka pukullah mereka (jika tetap tidak mau shalat), dan pisahkan tempat tidur mereka (Abu Daud dan Hakim) (Abdullah Nashih Ulwan, 2007:54).
[28] Metode pengucilan ini merupakan metode terakhir yang ditempuh jika nasehat yang baik dan metode-metode yang lainnya tidak mempan untuk berubahnya prilaku sesorang kepada hal-hal yang baik dan peserta didik itu sudah dewasa.  Rasulullah juga pernah melakukan pengucilan sebagai hukuman bagi orang-orang yang durhaka kepada Allah. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Ka’ab menceritakan tentang dirinya (bersama dua orang temannya yang lain) tertinggal dari Nabi Saw., karena memang Ka’ab dan dua temannya tidak mau ikut perang Tabuk. Karena keingkaran kami (kata Ka’ab), Rasulullah pernah melarang kaum muslimin untuk berbicara dengan kami sampai 50 hari dan malam”. Pemboikotan atau pengucilan ini menjadikan Ka’ab dan temannya merasa dunia ini sempit, dan pengucilan tersebut berakhir ketika turun wahyu yang memberitahukan taubat mereka telah diterima oleh Allah. Rasulullah juga pernah mengucilkan atau mendiamkan (tidak mengacuhkan) sebagian istrinya selama satu bulan sebagai hukuman dan pelajaran bagi mereka (Abdullah Nashih Ulwan, 2007:55).Tentang metode pengucilan ini, disebut Allah dalam al-Quran misalnya dengan sebutan ithrah :
اقْتُلُواْ يُوسُفَ أَوِ اطْرَحُوهُ أَرْضاً يَخْلُ لَكُمْ وَجْهُ أَبِيكُمْ وَتَكُونُواْ مِن بَعْدِهِ قَوْماً صَالِحِينَ
 Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja, dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang baik." (QS. Yusuf, 12:9)
[29] Mujadalah adalah debat. Teknik mujadalah ini dapat dipakai pada metode diskusi atau muhawarah. Prinsip dari mujadalah adalah ihsan sebagaimana penjelasan sebelumnya. Tentang teknik bi al-hikmah, mau’izhah, dan mujadalah ini dapat dilihat pada firman Allah di bawah ini:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. an-Nahl: 125)
[30] Di antara firman Allah yang menyebut teknik adalah:
مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَاراً فَلَمَّا أَضَاءتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لاَّ يُبْصِرُونَ
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. (QS. Al-Baqarah, 2:17)
[31] Di adalam al-Quran, Allah menggambarkan teknik ini antara laian:
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَـذَا الْقُرْآنَ وَإِن كُنتَ مِن قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ
Kami menceriterakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Qur'an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui. (QS. Yusuf, 12:3)
[32] Kata-kata targib terambil dari bahasa Arab رَغَّبَ – يرغِّب - ترغيب yang berarti menyukai, menyenangi, dan mencintai. Makna terkandung dalam kata ini juga mengandung makan banyak. Dengan demikian, targhib sebagai teknik pembelajaran menekankan kepada upaya guru dalam memberikan kabar gembira dan menciptakan suasana yang menyenangkan dalam pembelajaran. Sedangkan kata-kata tarhib berasal dari kata “rahhaba”  yang berarti menakut-nakuti dengan ancaman hukuman. Dalam menerapkan teknik pembelajaran ini, hendaknya targhib lebih sering dilakukan ketimbang tarhib.
[33] Teknik ini menekankan kepada pentingnya pengulangan dan latihan dalam membiasakan hal-hal yang baik. Pembaiasaan ini dapat dilatihkan guru dan dibiasakan oleh peserta didik sehingga dia menjadi kebiasaan yang berlaku tetap
[34] Firman Allah
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah  lembut terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu (QS. Ali Imran: 159)