POLITIK DAN TATA NEGARA
DALAM PANDANGAN ISLAM
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA
A. Pendahuluan
Politik dalam bahasa Arab
disebut dengan siyasah yang berarti administration (pengaturan), management
(pengelolaan), policy (kebijakan), diplomacy (diplomasi atau
perdebatan argumentatif untuk memperjuankan misi) (Abuddin Nata, 2011:449).
Menurut W.J.S.
Poerwadarminta (1991: 96), politik dapat juga diartikan dengan ilmu pengetahuan
ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara pemerintahan, dasar-dasar
pemerintahan, dan sebagainya. Atau dapat juga berarti segala urusan dan
tindakan (kebijaksanaan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu
negara. Ada juga yang mengartikan politik dengan tipu muslihat, dan kelicikan
akal (Ahmad Rivauzi, 2015: 259-260).
Berdasarkan pengertian di
atas, Abuddin Nata (2011: 449) menjelaskan bahwa politik adalah perilaku
manusia yang berkaitan dengan urusan pengaturan, pengelolaan, pengendalian,
pemamfaatan, penentuan kebijakan, siasat dalam mengelola kekuasaan, dan
ketaanegaraan.
Menurut Munawir Sjadzali
(1991:2), sistem politik adalah suatu konsepsi yang memuat ketentuan-ketentuan
tentang siapa sumber kekuasaan negara; siapa pelaksana kekuasaan tersebut; apa
dasar dan bagaimana cara untuk untuk menentukan kepada siapa kewenangan
melaksanakan kekuasaan itu diberikan; kepada siapa pelaksana kekuasaan itu
bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya (Ahmad Rivauzi, 2015:
260).
Berdasarkan difinisi di
atas, maka pembicaraan politik meliputi konsep yang berkisar pada bebera aspek:
1.
Sumber kekuasaan
2.
Siapa pelaksana kekuasaan
3.
Apa dasar kekuasaan tersebut
4.
Mekanisme penentuan kepada siapa kekuasaan itu
diserahkan
5.
Kepada siapa pertanggung jawaban diberikan
6.
Bentuk pertanggung jawaban kekuasaan
Menurut Mohammad Husein
Haikal dalam Sjadzali (1991: 2), Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam
bukanlah kitab politik. Dengan demikan, di dalam Islam tidak terdapat sistem
ketata negaraan, namun di dalam Islam terdapat seperangkat tata nilai etika
bagi kehidupan bernegara. Pandangan ini dikemukakan oleh sebagaimana
dikutip oleh (Ahmad Rivauzi, 2015: 261) .
Munawir Sjadzali (1991:4-7)
menyatakan, di dalam al-Qur’an, terdapat sejumlah ayat yang mengandung petunjuk
serta pedoman dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Petunjuk tersebut
adalah:
1. Al-Qur’an berbicara tentang kedudukan manusia di muka bumi.
Penjelasan al-Qur’an tentang
kedudukan manusia di muka bumi di antaranya dapat ditemukan dalam QS. Ali
Imran: 26, al-Hadid: 5, al-An’am: 165 dan Yunus: 14.
Pada ayat-ayat tersebut
dijelaskan beberapa hal di antaranya tentang:
a. Pemilik kekuasaan dan sumber kekuasaan pada hakikatnya adalah
Allah
b. Manusia diangkat oleh Allah untuk jadi pemimpin yang
kepadanya diberikan amanah kekuasaan
c. Allah meninggikan sebagian manusia dari lainnya sehingga
sebagiannya dapat menjadi pemimpin bagi yang lainnya.
2. Prinsip musyawarah
Perintah bermusyawarah di
dalam al-Qur’an dapat ditemukan dalam QS. Ali Imran: 159 dan al-Syura: 38. Pada
ayat-ayat ini Allah mengajarkan kepada para pemimpin agar memperhatikan
nilai-nilai kesantunan dan lemah lembut serta menyelesaikan urusan-urusan
dengan bermusyawarah sehingga ditemukan kebulatan tekat dan pandangan dengan
senantiasa bertawakkal kepada Allah.
3. Keta’atan kepada pemimpin
Allah menyuruh manusia untuk
mentaati pemimpin. Perintah ini dapat ditemukan dalam QS. An-Nisa’: 59. Pada
ayat ini Allah memberikan pelajaran bahwa keta’atan kepada pemimpin menempati
kedudukan yang penting sehingga Allah menempatkannya pada urutan ketiga setelah
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
4. Keadilan
Keadilan merupakan prinsip
yang penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal ini dapat
ditemukan dalam al-Qur’an pada QS. An-Nahl: 90 dan an-Nisa: 58.
5. Persamaan
Asas persamaan ini dapat
ditemukan dalam QS. Al-Hujurat: 13. Pada ayat ini Allah menempatkan semua
manusia sama derjatnya di hadapan Allah. Tingkat kemuliaan seseorang cuma
ditentukan oleh kualitas taqwa seseorang. Diciptakan manusia secara qudrati
bersuku-suku, berbangsa-bangsa agar antara satu dengan lainnya dapat saling
mengenal sehingga antara satu dan lainnnya dapat saling memperkaya wawasan dan
pemahaman masing-masing.
6. Pola hubungan dengan umat yang berbeda agama.
Dalam konteks hubungan antar
umat yang berbeda keyakinan, al-Qur’an juga memberikan pedoman dan tuntunan.
Hal ini dapat ditemukan dalam QS. Al-Baqarah: 256, Yunus: 99, Ali Imran: 64 dan
al-Mumtahanah: 8-9.
Dari ayat-ayat tersebut
terdapat beberapa hal penting untuk dipedomani, yaitu:
a. Tidak boleh ada pemaksaan dalam memeluk Islam. Sebab, jika
Allah kehendaki sudah pasti semua manusia beriman. Namun Allah tidak
menghendaki itu.
b. Dibolehkan untuk melakukan himbauan kepada orang yang beda
agama agar pengabdian semata-mata ditujukan kepada Allah dan tidak
menyekutukan-Nya dengan yang lainnya. Namun jika hal itu ditolak, maka
tampakkanlah sikap yang islami; yang santun dan berserah diri kepada Allah.
c. Kepada orang-orang yang beda agama namun mereka tidak
memusuhi umat Islam, maka mereka harus disikapi dengan adil. Namun jika mereka
memusuhi dan memerangi umat Islam, maka tidak boleh menjadikan mereka sebagai
teman atau kawan.
Nasrul Hs., dkk. (2011: 151) juga menyebutkan tiga prinsip dasar dalam
politik Islam. Yaitu tauhid, risalah, dan khailfah. Tauhid adalah keyakinan
dasar, risalah adalah pedoman normatif, dan khalifah adalah tugas yang harus
disadari oleh setiap muslim bahwa dirinya adalah wakil Allah di permukaan bumi
(Ahmad Rivauzi, 2015: 266).
Ahmad Rivauzi (2015: 266-267), menjelaskan bahwa tauhid adalah
pondasi dasar dari politik Islam. Tauhid adalah ruh yang menjadi jiwa dalam
politik dan penataan kenegaraan. Tidak dapat dikatakan suatu konsepsi politik
itu sebagai konsepsi politik Islam jika pondasi dan jiwanya bukan tauhid. Acuan politik Islam
adalah risalah Allah yang dibawa oleh Muhammad Rasulullah. Melalui al-Quran dan
Sunnah, ditemukan nilai-nilai yang harus dipedomani oleh umat Islam dalam
politik. Melalui al-Quran dan Sunnah ditemukan nilai-nilai musyawarah, anjuran
untuk taat kepada pemimpin, nilai keadilan, persamaan, dan nilai-nilai
toleransi. Khilafah adalah missi politik Islam. Khilafah yang dimaksudkan
di sini bukanlah khilafah sebagai bentuk ketatanegaraan seperti bentuk
ketaanegaraan di zaman kekhalifahan Islam tempo dulu. Tetapi nilai-nilai yang
mengajarkan bahwa setiap pribadi muslim pada dasarnya adalah khalifah Allah di
permukaan bumi. Setiap pribadi muslim harus menyadari tanggung jawab
penciptaannya sebagai khalifah Allah yang memikul amanah untuk menata kehidupan
di dunia ini sesuai dengan pesan-pesan suci agama Allah.
B. Kekhalifahan
Substantif Bukan Kekhalifahan Historis
Pada dasarnya Islam tidak pernah mengatur secara tegas bentuk negara atau
bentuk ketatanegaraan. Islam hanya mengatur norma-norma dasar yang yang harus
diperhatikan oleh setiap muslim dalam mengatur kehidupan berbangsa dan
bernegara (Ahmad Rivauzi, 2015: 267).
Di kalangan umat Islam, sebagaimana dijelaskan oleh Munawir Sjadzali (1991:1-2),
terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan ketatanegaraan. Tiga
aliran tersebut adalah:
1. Aliran yang berpandangan bahwa Islam bukanlah semata-mata
agama yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, tetapi Islam adalah
suatu agama yang sempurna dan lengkap yang mengatur segala aspek kehidupan
manusia termasuk kehidupan bernegara. Para penganut aliran ini umumnya
berpendirian bahwa Islam adalah agama yang lengkap. Di dalamnya juga terdapat
antara lain sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya, dalam bernegara
umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketaanegaraan Islam dan tidak meniru
sistem ketatanegaraan Barat. Sistem ketatanegaraan yang harus diteladani adalah
sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan empat khulafaurrasyidin.
Tokoh-tokoh aliran ini antara lain Syekh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Syekh
Muhammad Rasyid Ridha, dan Maulana al-Maududi.
2. Aliran yang berpandangan bahwa Islam adalah agama yang
mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan dan tidak ada hubungannya sama
sekali dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad
hanyalah seorang rasul biasa seperti rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas
tunggal yaitu mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dan berbudi
pekerti luhur. Tokoh terkemuka dari golongan ini adalah Ali Abd al-Raziq dan
Dr. Thaha Husein.
3. Golongan yang berpendapat bahwa Islam memang bukan agama yang
hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, tetapi Islam juga bukan
agama yang memuat segala sesuatu secara detail lengkap seperti sistem
ketatanegaraan. Aliran ini berpandangan bahwa di dalam Islam hanya dimuat
seperangkat tata nilai bagi kehidupan bernegara. Tokoh dalam golongan ini yang
menonjol adalah Muhammad Husein Haikal, penulis buku Hayatu Muhammad.
Menurut Abuddin Nata (2011: 455), di dalam al-Quran dijumpai beberapa istilah
yang berkaitan dengan kepemimpinan atau pemimpin. Sebutan pemimpin dalam
al-Quran tersebut adalah ulil amri (pemegang urusan) dalam QS. An-Nisa
(4: 59); khalifah (pemimpin atau pengganti) QS. Al-An’am (6: 165); al-muluk
(raja); wali (pelindung) dan ra’in sebagaimana termuat dalam
Hadits:
كلكم راع وكلكم مسؤل عن رعيته (رواه البخاري ومسلم)
Setiap kamu adalah pemimpin,
dan setiap pemimpin akan ditanyai tentang kepemimpinannya (Bukhari dan Muslim)
Jika
diperhatikan ayat-ayat al-Quran dan Hadits Nabi, maka semua itu menunjukkan
bahwa Islam sesungguhnya menganut sistem politik yang fleksibel. Dengan
demikian, yang perlu diperhatikan oleh umat Islam adalah nilai-nilai atau norma-norma
yang perlu dirujuk oleh umat Islam dalam mengatur kehidupan berbangsa dan
bernegara. Sedangkan tentang bentuk negara atau ketatanegaraan boleh
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat muslim itu sendiri (Ahmad Rivauzi,
2015: 269).
Ini
berarti pendapat Muhammad Husein Haikal yang mengatakan bahwa Islam hanya
memuat seperangkat sistem nilai, bukan mengatur bentuk negara lebih sesuai
dengan semangat ajaran Islam itu sendiri yang mengendaki kehidupan umat Islam
itu dinamis namun tetap berpijak kepada nilai-nilai Islam (Ahmad Rivauzi, 2015:
269)..
Sebagaimana
ditegaskan oleh Abuddin Nata (2011: 456), pendapat Muhammad Husein Haikal ini
di dukung oleh fakta sejarah umat Islam, mulai dari zaman Nabi Muhammad sampai
sekarang. Pada zaman Nabi Muhammad misalnya, setelah beliau pindah dari Makkah
ke Madinah, beliau tidak hanya melaksanakan tugas sebagai rasul Allah, tetapi
juga sebagai kepala pemerintahan. Harun Nasution memandang bahwa model
pemerintahan atau kepemimpinan Nabi Muhammad adalah theodemocraci (demokrasi
ketuhanan). Hal ini didasarkan dengan fakta bahwa setiap kali pengambilan
keputusan, Nabi Muhammad selalu bermusyawarah dengan para sahabat, namun
keputusan akhirnya adalah keputusan Allah melalui wahyu-Nya.
Menurut
Munawir Sjadzali (1991) masyarakat Madinah di zaman Rasul diikat oleh
kesepakatan Piagam Madinah. Isi Piagam Madinah yang berjumlah 47 Pasal tersebut
adalah
1. Umat Islam adalah satu walau berasal dari banyak suku
2. Hubungan antar agama didasari prinsip:
a. Bertetangga baik
b. Saling bantu hadapi musuh bersama
c. Membela mereka yang teraniaya
d. Saling menasihati
e. Kebebasan beragama
f. Sama di depan hukum
g. Keadilan
h. Penyelesaian selisih perkara adalah ketentuan Allah dan
Muhammad Rasulullah
3.
Piagam Madinah tidak memuat agama negara
Abuddin Nata (2011: 457), menjelaskan bahwa setelah Rasulullah wafat,
kepemimpinan negara Islam dipegang oleh khulafaurrasyidin; Abu Bakar memerintah
selama + 3 tahun, Umar Ibn Khattab memerintah selama 10 tahun, Usman
Ibn ‘Affan selama 12 tahun, dan Ali bin Abi Thalib selama + 5
tahun. Selama masa khulafaurrasyidin ini, tidak terdapat satu pola yang
baku mengenai cara pengangkatan khalifah. Abu Bakar diangkat melalui musyawarah
atas usulan Umar, dan Umar melalui penunjukan langsung dari Abu Bakar, Utsman
melalui musyawarah dewan (formatur) yang terdiri dari enam orang yang dibentuk
oleh Umar, sedangkan Ali bin Abi Thalib dipilih melalui pertemuan terbuka di
Madinah tetapi hanya dihadiri oleh beberapa sahabat senior, suasananya kacau,
dan keabsahan pemilihan Ali ditentang oleh sebagian masyarakat termasuk
Muawiyah. Sebagian pakar berpendapat, sistem ketatanegaran di zaman
khulafaurrasyidin adalah sistem aristokrat demokrasi, yaitu demokrasi yang
diwakili oleh sekelompok elit masyarakat (Ahmad Rivauzi, 2015: 271)
Selanjutnya, sistem ketatanegaraan di zaman Muawiyah berbeda lagi dengan sistem
keatanegaraan dengan zaman khulafaurrasyidin. Muawiyah mendapatkan kedudukan
khalifah tidak melalui musyawarah, dan tidak pula atas persetujuan tokoh-tokoh
elit, tetapi melalui ketajaman pedang dan tipu muslihat. Menjelang akhir
hayatnya ia menunjuk anaknya Yazid sebagai putra mahkota yang akan
menggantikannya. Inilah awal model ketatanegaraan monarkhi (kerajaan) di dalam
Islam. Sistem ini dilanjutkan oleh dinasti sesudahnya Abbasiyah, hingga
kehancuran kekhalifahan Turki Utsmani pada Abad ke 15 M. Setelah ini, maka
sistem ketatanegaran di dunia Islam menjadi sangat beragam (Abuddin Nata, 2011:
458).
Dengan demikian, dalam tinjauan sejarah, Islam tidak menganut sistem
kettatanegaran yang baku. Islam sesungguhnya tidak pernah mempersoalkan bentuk
atau sistem ketatanegaraan, apakah kerajaan, republik, dan lain sebagainya.
Islam sesungguhnya lebih mementingkan isi dari pada bentuk. Atau Islam lebih
mementingkan nilai dan prinsip-prinsip. Tentang bentuk dan sistem
ketatanegaraan, umat Islam boleh berijtihad sesuai dengan kebutuhan zamannya
untuk mensejahterakan masyarakatnya dan terwujudnya kehidupan yang adil dan
diredhai oleh Allah Swt (Ahmad Rivauzi, 2015: 272)..
Dengan demikian yang dimaksudkan dengan kekhalifahan substantif adalah
sistem nilai yang bersifat normatif dan filosofis yang harus dipahami dan
diikuti oleh umat Islam. Hal ini mengisyaratkan bahwa setiap manusia adalah
wakil Allah di permukaan bumi dan dalam kehidupannya ia harus memegang kuat
nilai-nilai yang diajarkan di dalam Islam seperti nilai tauhid, nilai keadilan,
persamaan, musyawarah dan lain-lain. Dan ini sangat penting untuk dipahami oleh
umat Islam (Ahmad Rivauzi, 2015: 272).
Sedangkan kekhalifahan historis adalah bentuk-bentuk sistem ketatanegaran yang
pernah dimiliki oleh umat Islam dalam perjalanan sejarah panjangnya mulai dari
bentuk dan sistem ketatanegaraan dari zaman khulafaurrasyidin sampai dengan
zaman kekhalifahan Turki Utsmani. Dan hal ini tentunya tidak ada keharusan bagi
umat Islam untuk mengambil bentuk sistem ketaanegaran ini. Untuk bentuk dan
sistem ketatanegaran umat Islam perlu berijtihad sesuai dengan kebutuhan
zamannya (Ahmad Rivauzi, 2015: 272)
Kepustakaan
Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2011, Cet I.
Ahmad Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman; Memahami
Universalitas Islam untuk Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter
Rahmatan li al-‘Alamin, (Ciputat: Sakata Cendikia, 2015) Cet I
Nasrul HS dkk. Pendidikan Agama Islam Bernuansa Soft Skill
untuk Perguruan Tinggi, (Padang: UNP Press, 2011)
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah
dan Pemikiran , (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1991), Cet. III
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1991
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus