Minggu, 30 Maret 2014

Perayaan Maulud Nabi di Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan Pakandangan Padang Pariaman


Tradisi Perayaan Maulud Nabi di Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan Pakandangan Padang Pariaman[1]

Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA

            Perayaan maulid Nabi Muhammad Saw juga termasuk tradisi tahunan di Nurul Yaqin. Acara maulid ini dilaksanakan setelah shalat ‘isya, dan biasanya berakhir setelah shalat ‘ashar pada hari keduanya yang tujuan utamanya adalah mengenang hari kelahiran Nabi Muhammad serta menumbuhkan kecintaan kepada baginda Nabi.
            Pada acara maulid Nabi ini, kawasan Pesantren Nurul Yaqin penuh sesak oleh jama’ah dan para santri yang nyantri di Ponpes ini. Para jama’ah berdatangan dari berbagai daerah. Biasanya, para alumni Ponpes Nurul Yaqin setelah mereka menamatkan pendidikannya di pesantren ini, sebagiannya mendirikan surau dan pesantren pula. Pada momen acara malam maulud ini mereka datang ke Nurul Yaqin sambil membawa jama’ah dan murid-muridnya. Kedatangan mereka juga diiringi dengan sumbangan yang mereka kumpulkan untuk dibawa pada sa’at acara maulid ini. Sumbangan tersebut biasannya dalam bentuk uang yang diikatkan pada ranting-ranting pohon kecil atau seperti ranting pohon bunga yang telah dilucuti terlebih dahulu daun-daunnya. Pada ranting-ranting inilah lembaran uang yang merupakan sumbangan jama’ah tersebut diikatkan. Sumbangan ini dikenal dengan sebutan “Bungo Lado”. Menurut penjelasan Tuanku Kerajaan, penyebutan “Bungo Lado” ini ada hubungannya dengan sebagian kegiatan ekonomi masyarakat atau jama’ah yaitu di bidang pertanian. Di antara hasil tani masyarakat tersebut adalah tanaman cabe yang bagi masyarakat minang disebut dengan lado. Cabe atau lado ini sebelum berbuah, dia berbunga terlebih dahulu. Semakin banyak bunganya tentu akan semakin banyak pula buahnya. Dalam hal ini, sumbangan uang diumpamakan dengan bunga cabe tersebut. Sumbangan “Bungo Lado” ini merupakan simbol dari rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah dengan harapan Allah akan melipat gandakan nikmat karunia serta pahala kebaikan.[2]
            Dalam acara maulid ini, semua santri dilibatkan sebagai panitia yang ditugasi sebagai pengumpul sumbangan dari jama’ah, menyambut dan melayani tamu atau jama’ah yang datang. Semua tamu yang datang di sambut dan dijamu makan. Setelah itu, jama’ah yang datang biasanya akan lansung menemui Buya Ali Imran sebagai bentuk penghormatan kepada guru dan dilanjutkan dengan menyaksikan kegiatan shalawat dulang dan badikia.
1.    Salawat Dulang
       Kegiatan salawat dulang biasanya di mulai setelah shalat Isya dan akan berakhir sekitar pukul dua atau tiga dini hari. Karena biasanya, pada waktu lewat tengah malam, para jama’ah sudah banyak yang berangsur-angsur pulang ke rumah masing-masing. Berbeda dengan kegiatan badikia (berzikir), kegiatan ini non stop sampai waktu shubuh. Setelah shalat shubuh, para anggota Dikia (zikir) akan beristirahat dan makan pagi sampai jam sembilan. Setelah jam sembilan pagi, acara dikia akan dilanjutkan sampai waktu zhuhur. Setelah makan siang, kegiatan dikia akan dilanjutkan dan ditutup setelah shalat ‘ashar.[3]
       Berkaitan dengan salawat dulang, dalam kunjungan penulis ke Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-ringan pada moment maulid Nabi pada tanggal 9 Februari 2013, penulis dapat menyaksikan dari dekat kegiatan salawat dulang tersebut. Dari keterangan panitian acara maulid, Tuanku Akmaluddin, group-group yang tampil pada malam maulid tersebut, semuanya adalah lulusan ponpes tersebut, bahkan ada yang masih aktif sebagai santri. Dari keterangan Tuanku Akmaluddin diperoleh informasi bahwa salawat dulang tidak diajarkan di pesantren tersebut. Yang diajarkan Cuma pengajian tarekat yang berkebetulan isi dari salawat dulang tersebut adalah pengajian tarekat. Mereaka pandai bersalawat dulang atas dasar inisiatif mereka sendiri untuk belajar kepada orang yang pandai bersalawat dulang.[4]
       Dapat diyakini munculnya inisiatif dan motivasi beberapa santri untuk mempelajari salawat dulang diperkirakan karena kultur masyarakat memberikan ruang yang kundusif untuk lestarinya tradisi salawat dulang ini. Hal ini dapat terlihat dengan seringnya diadakan pertunjukan salawat dulang pada acara-acara keagamaan seperti maulid, isra’mi’raj, bahkan pada acara resepsi pernikahan.
       Jika ditelusuri dari awal kemunculannya, menurut Adriyetti Amir (1990:5-24), salawat dulang merupakan sebuah media yang digunakan oleh Syaikh Burhanuddin Ulakan dalam mendakwahkan Islam, khususnya ajaran-ajaran tarekat Syathãriyyah. Konon, Syaikh Burhanuddin Ulakan sendiri pertama kali memperoleh inspirasi untuk mendendangkan ajaran-ajaran Islamnya, ketika ia belajar Islam di Aceh, dan menyaksikan ajaran Islam yang disampaikan melalui pendendangan dengan diiringi rebana.[5]
       Ketika Burhanuddin kembali ke Minangkabau, menurut Syamsir Roust (1998/1999:42-43) yang dikutip Fathurrahman, Burhanuddin pun melakukan hal yang serupa, yaitu menyampaikan ajaran-ajaran Islam melalui pendendangan, tetapi tidak diiringi rebana, melainkan dulang atau talam.[6].
Menurut Amir (1990: 5) yang dikutip Fathurrahman, pada awalnya pertunjukan salawat dulang harus ditampilkan di surau atau mesjid, dalam berbagai acara keagamaan dan kemasyarakatan, seperti: Maulid Nabi, Peringatan Isra Miraj, peresmian surau atau mesjid, penggalangan dana pembangunan mesjid, malam sebelum atau sesudah khatam al-Quran di bulan Ramadan, dan lain-lain[7]
Dalam pertunjukan, kedua tukang salawat, yang masing-masingnya memegang dulang, duduk bersila dan melipatkan kaki; induk duduk di sebelah kanan dan anak di sebelah kiri. Kedua dulang diletakan di atas kaki kanan, tangan kiri ditaruh pada bagian pinggir atas dulang, sementara tangan kanan ditempatkan pada bagian pinggir bawah dulang. Selama mendendangkan salawat, kedua tukang salawat ini biasanya menggerak-gerakkan kepalanya dengan menoleh ke kiri dan ke kanan, seraya memicingkan mata, dan saling bersahutan antara induk dan anak, sehingga tidak terdengar ada jeda di antaranya.[8]
Sebelum menjadi “pemain”, para pendendang salawat dulang disyaratkan untuk masuk ke dalam ikatan tarekat Syathãriyyah terlebih dahulu, karena tujuan pokok dari salawat dulang adalah menyampaikan ajaran-ajaran tarekat, khususnya tarekat Syathãriyyah di kalangan masyarakat Minangkabau.[9]
Dengan demikian, bagi para pendendang, salawat dulang tidak hanya merupakan kegiatan berkesenian, melainkan lebih dari itu adalah merupakan cara mereka mengekspresikan ritual tarekatnya. Tidak mengherankan kemudian bahwa bait-bait salawat dulang yang didendangkan pun sangat sarat dengan nilai-nilai sufistik. Dan seperti telah dikemukakan, bait-bait dalam salawat dulang juga seringkali mengandung materi “pengajian” yang dikenal di kalangan penganut tarekat Syathãriyyah di Sumatra Barat sebagai “pengajian tubuh”[10], selain tema-tema lainnya seperti nasihat untuk memperkuat keimanan, cerita tentang kehidupan akhirat, penyerahan diri kepada Sang Pencipta, dan lain-lain.[11]
       Struktur salawat dulang terdiri dari tiga komponen utama: pertama, katubah (khutbah), yang berisi pembukaan, puji-pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad, perkenalan, basa-basi atas kekurangan grupnya, dan pengantar tentang apa yang akan dibicarakan (dibaco) dalam bagian berikutnya; kedua, batang (isi pokok); dan ketiga, panutuik (penutup).[12]
       Roust (1998/1999: 37-38) menjelaskan bahwa sebuah katubah, biasanya diawali dengan “imbauan katubah”, atau yang disebut juga dengan “saruan” atau imbauan salawat, yang bertujuan sebagai pembukaan, demikian halnya sebelum masuk ke dalam “batang”, biasanya diawali juga dengan “imbauan lagu batang”, yang berisi persiapan menuju lagu dalam batang. Pada permulaan lagu batang inilah, dulang atau talam mulai dimainkan (ditabuh) untuk mengiringi bait-bait syair yang dibacakan. Setelah lagu batang selesai, pendendangan dilanjutkan dengan Yamolai I, yang juga diawali dengan imbauan Yamolai I. Biasanya, syair dalam Yamolai ini merupakan persembahan kepada yang dimuliakan (seperti Nabi Muhammad Saw.). Setelah itu, pendendangan salawat dulang dilanjutkan lagi dengan Yamolai II, yang juga didahului dengan imbauan Yamolai II. Setelah selesai Yamolai II inilah, kemudian pendendangan salawat dulang masuk pada bagian yang umumnya disukai oleh para pendengarnya, karena mulai membacakan syair-syair bernuansa sufistis yang didendangkan dengan berbagai irama lagu.[13]
       Syair-syair dalam salawat dulang sangat kental dipengaruhi oleh ajaran tashawwuf  dan tarekat, khususnya tarekat Syathãriyyah. Mulai dalam katubah, berbagai himbauan —yang dalam konteks keilmuan tashawwuf  sesungguhnya merupakan ajaran tarekat “tingkat tinggi”, karena sangat bersifat filosofis— sudah mulai disampaikan. Formulasi katubah biasanya disusun sedemikian rupa, sehingga juga mengandung unsur pujian, sindiran, atau ledekan, yang ditujukan kepada grup lain yang tampil sebelum atau sesudahnya. Berikut adalah contoh bait-bait salawat dulang transkripsinya penulis kutip seutuhnya dari tulisan Oman Fathurrahman[14]:
Imbauan Khutbah
Aaa...ei...yo...oo...aa..ooo...aa...ei...ya

Aaa...ei...yo...aa...Nabi Allah o Na(nga)bi … ya ... o .. ey ...

Aaayo junju(a)ngan

Aaayo junju(a)ngan

Allah Allah ei...

Allah Allah ei...

Aaayo junju(a)ngan

Aaayo junju(a)ngan

Aaa...ei...eieiei, Allah Allahurabbi, rabbi ya rabbi

Allahurabbi baktuan kito, Nabi Muhammad pangulu kito
Allahurabbi Tuhan kita, Nabi Muhammad penghulu kita
Wahai sahabat tolan sudaro
Wahai, sahabat dan saudara
         
          Khutbah
Assalamu'alaikum e tolan sahabat
Assalamu'alaikum saudara dan sahabat
O jokalau kito kamangaji hakikat
Jika kita akan mengaji hakikat
Nyawa jo tubuah lah nyato sakabek
Nyawa dengan tubuh nyata seikat
Jangan disangko duo alamaik
Jangan disangka dua alamat
Kok disangko duo lah nyato sasek
Jika dua sudah nyata sesat
Urang mandanga samonyo ingek
Orang mendengar semuanya ingat
Urang aluma banyak nan kiramaik
Orang alumma banyak yang keramat
Janganlah kito bacando bodoh
Janganlah kita seperti bodoh
Mumbang jo kalapo mano nan tuo
Putik dan kelapa mana yang tuo
Anak jo bapo mano nan mudo
Anak dengan bapak mana yang tua
Kok tak ado anak bapo tak ado
Jika tidak ada anak bapak juga tidak ada
Zat jo sifat namo kajinyo
Zat dan sifat nama kajinya
Allah jo Muhammad di mano ko inyo
Allah dengan Muhammad di manakah iya
Di mano bana tampek nyatonyo
Di mana benar tempat nyatanya
Kok tidak dipaham di hati kito
Kalau tidak dipaham di hati kita
Jalan nan samak kabatambah rimbo
Jalan yang kotor akan bertambah rimba
Tak mungkin biawak kamalawan buayo
Tidak mungkin kadal akan melawan buaya
Tak mungkin babi kabaranak ruso
Tidak mungkin babi akan melahirkan rusa
Tak mungkin tumbuah tanduak di kudo
Tidak mungkin tumbuh tanduk di kepala kuda
Adapun raso jo na marasoi
Adapun rasa dengan merasai
Baapo bana lilin jo api
Bagaimana lilin dengan api
Baapo bana cincin jo jari
Bagaimana cincin dengan jari
Nan mano bana nan sipaik maani
Yang mana benar sifat maani
Iyo uju'am sipaik (a)kawi
Iya uju'am sifat yang kawi
Kok iyo mati sabalun mati
Kalau mati sebelum mati
Tantukan jalan kakito lalui
Tentukan jalan yang akan dilalui
Tantukan lauik kakito ranangi
Tentukan lautan yang akan direnangi
Kubaklah kulik (i)lieklah isi
Kupaslah kulit lihatlah isi
Supayo nak dapek bijo nan kawi
Supaya dapat bibit yang asli
Allahlah duduak di ‘aras kursi
Allah sudah duduk di ‘aras dan kursi
Di kapalo jantuang Muhammad badiri
Di kepala jantung Muhammad berdiri
Di panka jantuang sabuku darah mati
Di pangkal jantung ada darah mati
Di situ pulo(e) Abujaia badiri
Di situ pula Abujahil berdiri
Baparang jo Muhammad tak manaruah habi
Berperang dengan Muhammad tidak ada henti
Kok kalah Muhammad narako dihuni
Jika kalah Muhammad masuk neraka
Nagari Makah dimakan api
Negeri Mekah dilalap api
Kok manang Muhammad anggoto suci
Jika menang Muhammad anggota suci
Suci anggoto samo sakali
Suci anggota sama sekali
Yo baitulah misanyo....aaa...
Ya begitu misalnya....
Yonan su...dalah tadiri yao...
Sudah terdiri
Komponen kedua dari salawat dulang  adalah “batang”, yang merupakan ajaran pokok tashawwuf  yang ingin disampaikan. Bagi grup yang tampil pertama kali, selain mengandung berbagai ajaran pokok tashawwuf  tersebut, juga berisi pertanyaan untuk grup yang akan tampil berikutnya, sebaliknya, “batang” dalam grup yang tampil berikutnya biasanya juga mengandung jawaban atas pertanyaan grup pertama tadi, demikian seterusnya.[15]
Bait-bait di bagian batang ini, umumnya didendangkan dengan irama lagu-lagu yang sedang ngetrend, baik lagu dangdut,  atau lagu-lagu daerah Minangkabau sendiri. Boleh jadi,  berbagai improvisasi dalam mendendangkan bait-bait salawat dulang inilah yang, antara lain, menjadikan tradisi salawat dulang tetap hidup dan disukai hingga kini.[16]
Dalam bait-bait salawat dulang ini, terdapat beberapa tema penting yaitu, antara lain: interpretasi kalimat zikir لااله الا الله , interpretasi hadis Nabi yang berbunyi: “man ‘arafa nafsah fa qad ‘arafa rabbah” (barangsiapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya)[17], hubungan ontologis Tuhan dan alam, yang dianalogikan dengan hubungan benda dengan bayangannya di cermin, serta perbincangan tentang a’yãn tsãbitah  dan a’yãn khãrijiyyah.[18]
Pada bagian  terakhir salawat dulang (penutup), bait-bait salawat dulang umumnya berisi permintaan maaf, ucapan terima kasih, serta pesan-pesan agar materi “pengajian” yang dikemukakannya dapat bermanfaat bagi semuanya. Bagi grup yang pertama kali tampil, bagian panutuik ini juga dapat berisi permintaan kepada grup berikutnya untuk menjawab pertanyaan yang sudah diajukan. Berikut adalah contoh bagian panutuik salawat dulang yang juga diambil dari transkripsinya Firdaus Binulia yang penulis kutip dari Oman Fathurrahman (2008:139):
          Penutup
Iyo ala nde babari o kandak la de nan tibo
Sudah diberi kehendak yang tiba
O de nan jo kok dari kami cukup lai sakian sajo
Dari kami cukup sekian saja
Iyo paneklah dating o litak nan lah tibo
Lelahlah datang capeklah tiba
O de nan kini baitulah de lai mangko na kaeloknyo
Kini begitulah sebaiknya

Iyo ala babari kandak nan tibo
Sudah diberi kehendak yang tiba
Iyo kandak la de nan tibo iyo lai sabantah cako
Permintaan yang datang sebentar ini
O bak bumi nak sanang padi nak manjadi pulo
Bum agar senang padi agar menjadi pula
Anak buah nak kambang nagari nak rami pulo
Anak murid agar banyak negeri agar ramai pula
Ala ibadat la de katuhan batambah-tambah la de handaknyo
Ibadah ke Tuhan bertambah hendaknya
Dengan wassalam disudahi sajo
Dengan wassalam disudahi saja

2.    Badikia
       Badikia atau berzikir yang dimaksudkan di sini bukanlah berzikir tahlil, tahmid, atau takbir. Tapi badikia yang dimaksudkan di sini adalah prosesi tradisi oleh sekelompok borang-orang yang sengaja di datangkan pada acara-acara tertentu semisal acara maulid Nabi. Adapun isi dari badikia tersebut adalah pujian, sanjungan, dan shalawat kepada Nabi Muhammad Saw.  Menurut keterangan Tuanku Zakirman, isi badikia tersebut diambilkan dari Asyrafal Anam dan kitab Barzanji yang didendangkan dengan suara yang tinggi dan melengking. Jika diperhatikan, sulit untuk bisa menyimak apa yang mereka dendangkan tersebut. [19]
       Terlepas dari itu semua, kegiatan itu lebih ditujukan kepada pemuliaan dan peringatan kelahiran Nabi Saw. Menurut Oman, dalam konteks yang lebih besar lagi, salawat dulang, badikia, dan juga ritual basapa yang dikemukakan sebelumnya, dengan sendirinya juga memberikan gambaran riil akan apa yang sering disebut sebagai “Islam lokal”, yakni suatu artikulasi dari “proses penerjemahan” Islam ke dalam sistem sosial-budaya, politik dan intelektual yang berlaku di suatu masyarakat (Hooker 1983). Islam lokal mengandung dua konsep penting. pertama, ia adalah konsep tentang sebuah keadaan yang khusus dan unik dari suatu praktek keagamaan tertentu. Keunikan tersebut bisa jadi karena dipengaruhi budaya lokal, tetapi juga bisa terjadi karena proses pembumian dari ajaran-ajaran normatif Islam ke dalam realitas; kedua, Islam lokal mengandung unsur sebuah proses yang terus berlanjut dari pertemuan dan interaksi budaya dan Islam dalam proses sejarah. [20]
       Selanjutnya, menurut  Oman, salawat dulang dan juga ritual basapa serta berbagai bentuk ritual lokal lain dapat dianggap sebagai contoh yang baik bagi persemaian Islam lokal. Pertemuan Islam dengan budaya-budaya lokal tersebut pada gilirannya menjadi kekayaan budaya tersendiri. Dalam hal ini, penting untuk dicatat bahwa di kalangan penganut tarekat di Indonesia, bukan hanya Syathãriyyah, melainkan juga Rifa’iyyah, Qadiriyyah, Naqsybandiyyah, Sammaniyah, dll. terdapat banyak ekspresi budaya lokal seperti pencak silat, debus, dan semacamnya. Semaunya ini memperlihatkan mozaik Islam Indonesia yang sedemikian kaya.[21]
         





            [1] Tulisan ini merupakan bagian dari Disertasi yang penulis tulis dalam rangka penyelesaian Studi Doktor di IAIN Imam Bonjol Padan yang berjudul: Pemikiran Abdurrauf Singkel Tentang Pendidikan dan Implikasinya Pada Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan Pakandangan Padang Pariaman, (PPs IAIN IB Padang, 2014)
                [2] Tuanku Kerajaan, Wawancara tanggal 9 Februari 2013
                [3] Tuanku Zakirman, Wawancara tanggal 9 Februari 2013
                [4] Tuanku Akmaludin, Wawancara tanggal 9 Februari 2013
                [5] Oman Fathurrahman, Tarekat Syattariyyah, 2008: 133
          [6]Dulang atau talam adalah benda semacam nampan yang terbuat dari kuningan, dan biasa digunakan untuk menghidangkan makanan yang, di Sumatra Barat, biasanya terdiri dari nasi lomak (ketan putih), nasi kunyik (nasi kunyir), wajik (hajit), gelamai, panyiaram, bulek-bulek dan lain-lain. Keseluruhan kumpulan makanan itu sendiri disebut Jamba.. Umumnya, bentuk dulang adalah bulat berupa lingkaran dengan diameter sekitar 60 cm. Bagian tengahnya datar, sedangkan pinggir kelilingnya mempunyai bibir yang tingginya sekitar 3 cm dari dasar, dengan luas bibir kira-kira 3 cm pula.  Syamsir Roust,, “Sejarah Perkembangan Selawat Talam sebagai Kesenian Islam di Sumatera Barat”, Laporan penelitian, Fakultas Adab, IAIN Imam Bonjol Padang. 1998/1999, hlm. 42-43) dalam Oman Fathurrahman, Tarekat Syattariyyah, 2008: 133
                [7] Oman Fathurrahman, 2008: 133
                [8] Mardius 1995: 19 dalam Oman Fathurrahman, 2008: 133
                [9] Amir 1990: 3; Mardius 1995: 4 dalam Oman Fathurrahman, 2008: 133
                [10] Satu set kaset tentang pertunjukan salawat dulang oleh salah satu grup salawat dulang di Sumatra Barat, yakni grup Kilek Barapi, misalnya,  mengambil judul: “Shalawat Dulang: Mengenai Hal Tubuah Nan Salapan”. Inti materi yang disampaikan adalah mengenai hakikat bagian-bagian tubuh lahir, seperti: mata, hidung, telinga, tangan, lidah, hati dan jantung, daging, darah, dan tulang. Ditegaskan bahwa bagian-bagian tubuh yang kasar (lahir) tersebut pada hakikatnya “mayat semata”, tidak mempunyai kemampuan dan kehendak apa-apa, karena bagian tubuh batin lah yang menggerakannya. Baca: Oman Fathurrahman; 2008:133
                [11] Oman Fathurrahman, 2008: 133
                [12] Amir 1990: 8 dalam Oman Fathurrahman, 2008: 133
                [13] Oman Fathurrahman, 2008: 133
                [14]Contoh transkripsi salawat dulang di ambil dari Oman Fathurrahman, Tarekat Syattariyah, 2008
                [15] Oman Fathurrahman, 2008: 135
                [16] Oman Fathurrahman, 2008: 135
                [17] Menurut al-Sam’ani, ungkapan ini bukan hadis Nabi, melainkan kata-kata hikmah dari Yahya al-Razi.  Sedangkan ulama lain, seperti Ibnu Taimiyah dan al-Sagani, menganggapnya sebagai hadis palsu  Mempertimbangkan kemasyhurannya sebagai hadis di kalangan sufi, tampaknya ia dianggap sebagai 'hadis' sahih dan benar berdasarkan mukasyafah atau penyingkapan [yakni, visi mistis], tapi dipandang tidak sahih berdasarkan jalur riwayatnya. (Azhari, 1985: 111). dalam Oman Fathurahman, 2008, 142.
                [18] A’yãn tsãbitah   adalah sebuah istilah yang dalam konteks tashawwuf  didefinisikan sebagai entitas-entitas, arketip-arketip, esensi-esensi, atau potensi-potensi yang tak berubah dan tak terhingga, yang tetap dalam hakikatnya. A’yãn tsãbitah   juga berarti gambaran nama-nama dan kualitas ilahi dan inti hakikat dalam hadirat pengetahuan dengan individuasi spesifik. Istilah ini mengandung arti sifat esensial segala sesuatu yang maujud sejak zaman keazalian dari pengetahuan ilahi. Semua itu ditetapkan sesuai dengan ketiadaan dan tidak disifati oleh keberadaan (Armstrong 1996:42). Adapun A’yãn tsãbitah    adalah berarti potensi luar, atau ciptaan Tuhan dalam bentuk konkrietnya, yang keberadaannya bersumber dari A’yãn tsãbitah   (lihat Azra 1994: 206).     
                [19] Tuanku Zakirman, Wawancara tanggal 09 Februari 2013
                [20] Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyahlm...2008, hlm. 140
                [21] Oman Fathurahman, Tarekat Syattariyahlm...2008, hlm. 140
                [22] Wawancara dengan Tuanku Zakirman, tanggal 2 April 2013
                [23] Wawancara dengan Tuanku Zakirman, tanggal 2 April 2013