Tradisi Perayaan
Maulud Nabi di Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan Pakandangan Padang
Pariaman[1]
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA
Perayaan maulid Nabi Muhammad Saw
juga termasuk tradisi tahunan di Nurul Yaqin. Acara maulid ini dilaksanakan
setelah shalat ‘isya, dan biasanya berakhir setelah shalat ‘ashar pada hari
keduanya yang tujuan utamanya adalah mengenang hari kelahiran Nabi Muhammad
serta menumbuhkan kecintaan kepada baginda Nabi.
Pada acara maulid Nabi ini, kawasan
Pesantren Nurul Yaqin penuh sesak oleh jama’ah dan para santri yang nyantri di
Ponpes ini. Para jama’ah berdatangan dari berbagai daerah. Biasanya, para
alumni Ponpes Nurul Yaqin setelah mereka menamatkan pendidikannya di pesantren
ini, sebagiannya mendirikan surau dan pesantren pula. Pada momen acara malam
maulud ini mereka datang ke Nurul Yaqin sambil membawa jama’ah dan
murid-muridnya. Kedatangan mereka juga diiringi dengan sumbangan yang mereka
kumpulkan untuk dibawa pada sa’at acara maulid ini. Sumbangan tersebut
biasannya dalam bentuk uang yang diikatkan pada ranting-ranting pohon kecil
atau seperti ranting pohon bunga yang telah dilucuti terlebih dahulu
daun-daunnya. Pada ranting-ranting inilah lembaran uang yang merupakan
sumbangan jama’ah tersebut diikatkan. Sumbangan ini dikenal dengan sebutan
“Bungo Lado”. Menurut penjelasan Tuanku Kerajaan, penyebutan “Bungo Lado” ini
ada hubungannya dengan sebagian kegiatan ekonomi masyarakat atau jama’ah yaitu
di bidang pertanian. Di antara hasil tani masyarakat tersebut adalah tanaman
cabe yang bagi masyarakat minang disebut dengan lado. Cabe atau lado ini
sebelum berbuah, dia berbunga terlebih dahulu. Semakin banyak bunganya tentu
akan semakin banyak pula buahnya. Dalam hal ini, sumbangan uang diumpamakan
dengan bunga cabe tersebut. Sumbangan “Bungo Lado” ini merupakan simbol
dari rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah dengan harapan Allah
akan melipat gandakan nikmat karunia serta pahala kebaikan.[2]
Dalam acara maulid ini, semua santri
dilibatkan sebagai panitia yang ditugasi sebagai pengumpul sumbangan dari
jama’ah, menyambut dan melayani tamu atau jama’ah yang datang. Semua tamu yang
datang di sambut dan dijamu makan. Setelah itu, jama’ah yang datang biasanya
akan lansung menemui Buya Ali Imran sebagai bentuk penghormatan kepada guru dan
dilanjutkan dengan menyaksikan kegiatan shalawat dulang dan badikia.
1.
Salawat Dulang
Kegiatan salawat dulang biasanya di mulai
setelah shalat Isya dan akan berakhir sekitar pukul dua atau tiga dini hari.
Karena biasanya, pada waktu lewat tengah malam, para jama’ah sudah banyak yang
berangsur-angsur pulang ke rumah masing-masing. Berbeda dengan kegiatan badikia
(berzikir), kegiatan ini non stop sampai waktu shubuh. Setelah shalat shubuh,
para anggota Dikia (zikir) akan beristirahat dan makan pagi sampai jam
sembilan. Setelah jam sembilan pagi, acara dikia akan dilanjutkan sampai waktu
zhuhur. Setelah makan siang, kegiatan dikia akan dilanjutkan dan ditutup
setelah shalat ‘ashar.[3]
Berkaitan dengan salawat dulang, dalam
kunjungan penulis ke Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-ringan pada moment
maulid Nabi pada tanggal 9 Februari 2013, penulis dapat menyaksikan dari dekat
kegiatan salawat dulang tersebut. Dari keterangan panitian acara maulid, Tuanku
Akmaluddin, group-group yang tampil pada malam maulid tersebut, semuanya adalah
lulusan ponpes tersebut, bahkan ada yang masih aktif sebagai santri. Dari
keterangan Tuanku Akmaluddin diperoleh informasi bahwa salawat dulang tidak
diajarkan di pesantren tersebut. Yang diajarkan Cuma pengajian tarekat yang
berkebetulan isi dari salawat dulang tersebut adalah pengajian tarekat. Mereaka
pandai bersalawat dulang atas dasar inisiatif mereka sendiri untuk belajar
kepada orang yang pandai bersalawat dulang.[4]
Dapat diyakini munculnya inisiatif dan
motivasi beberapa santri untuk mempelajari salawat dulang diperkirakan karena
kultur masyarakat memberikan ruang yang kundusif untuk lestarinya tradisi
salawat dulang ini. Hal ini dapat terlihat dengan seringnya diadakan
pertunjukan salawat dulang pada acara-acara keagamaan seperti maulid,
isra’mi’raj, bahkan pada acara resepsi pernikahan.
Jika ditelusuri dari awal kemunculannya, menurut
Adriyetti Amir (1990:5-24), salawat dulang merupakan sebuah media yang
digunakan oleh Syaikh Burhanuddin Ulakan dalam mendakwahkan Islam, khususnya
ajaran-ajaran tarekat Syathãriyyah. Konon, Syaikh Burhanuddin Ulakan
sendiri pertama kali memperoleh inspirasi untuk mendendangkan ajaran-ajaran
Islamnya, ketika ia belajar Islam di Aceh, dan menyaksikan ajaran Islam yang
disampaikan melalui pendendangan dengan diiringi rebana.[5]
Ketika Burhanuddin kembali ke
Minangkabau, menurut Syamsir Roust (1998/1999:42-43) yang dikutip Fathurrahman,
Burhanuddin pun melakukan hal yang serupa, yaitu menyampaikan ajaran-ajaran
Islam melalui pendendangan, tetapi tidak diiringi rebana, melainkan dulang
atau talam.[6].
Menurut Amir (1990: 5) yang dikutip Fathurrahman, pada awalnya
pertunjukan salawat dulang harus ditampilkan di surau atau mesjid, dalam
berbagai acara keagamaan dan kemasyarakatan, seperti: Maulid Nabi, Peringatan Isra
Miraj, peresmian surau atau mesjid, penggalangan dana pembangunan mesjid, malam
sebelum atau sesudah khatam al-Quran di bulan Ramadan, dan lain-lain[7]
Dalam pertunjukan, kedua tukang salawat, yang masing-masingnya
memegang dulang, duduk bersila dan melipatkan kaki; induk duduk di
sebelah kanan dan anak di sebelah kiri. Kedua dulang diletakan di atas
kaki kanan, tangan kiri ditaruh pada bagian pinggir atas dulang,
sementara tangan kanan ditempatkan pada bagian pinggir bawah dulang.
Selama mendendangkan salawat, kedua tukang salawat ini biasanya
menggerak-gerakkan kepalanya dengan menoleh ke kiri dan ke kanan, seraya
memicingkan mata, dan saling bersahutan antara induk dan anak, sehingga tidak
terdengar ada jeda di antaranya.[8]
Sebelum menjadi “pemain”, para pendendang salawat
dulang disyaratkan untuk masuk ke dalam ikatan tarekat Syathãriyyah
terlebih dahulu, karena tujuan pokok dari salawat dulang adalah
menyampaikan ajaran-ajaran tarekat, khususnya tarekat Syathãriyyah di
kalangan masyarakat Minangkabau.[9]
Dengan demikian, bagi para pendendang, salawat
dulang tidak hanya merupakan kegiatan berkesenian, melainkan lebih dari itu
adalah merupakan cara mereka mengekspresikan ritual tarekatnya. Tidak
mengherankan kemudian bahwa bait-bait salawat dulang yang didendangkan
pun sangat sarat dengan nilai-nilai sufistik. Dan seperti telah dikemukakan,
bait-bait dalam salawat dulang juga seringkali mengandung materi
“pengajian” yang dikenal di kalangan penganut tarekat Syathãriyyah di
Sumatra Barat sebagai “pengajian tubuh”[10],
selain tema-tema lainnya seperti nasihat untuk memperkuat keimanan, cerita
tentang kehidupan akhirat, penyerahan diri kepada Sang Pencipta, dan lain-lain.[11]
Struktur salawat
dulang terdiri dari tiga komponen utama: pertama, katubah (khutbah),
yang berisi pembukaan, puji-pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad, perkenalan,
basa-basi atas kekurangan grupnya, dan pengantar tentang apa yang akan
dibicarakan (dibaco) dalam bagian berikutnya; kedua, batang (isi pokok);
dan ketiga, panutuik (penutup).[12]
Roust (1998/1999:
37-38) menjelaskan bahwa sebuah katubah, biasanya diawali dengan
“imbauan katubah”, atau yang disebut juga dengan “saruan” atau imbauan
salawat, yang bertujuan sebagai pembukaan, demikian halnya sebelum masuk ke
dalam “batang”, biasanya diawali juga dengan “imbauan lagu batang”, yang berisi
persiapan menuju lagu dalam batang. Pada permulaan lagu batang inilah, dulang
atau talam mulai dimainkan (ditabuh) untuk mengiringi bait-bait syair
yang dibacakan. Setelah lagu batang selesai, pendendangan dilanjutkan dengan
Yamolai I, yang juga diawali dengan imbauan Yamolai I. Biasanya, syair dalam Yamolai
ini merupakan persembahan kepada yang dimuliakan (seperti Nabi Muhammad Saw.).
Setelah itu, pendendangan salawat dulang dilanjutkan lagi dengan Yamolai
II, yang juga didahului dengan imbauan Yamolai II. Setelah selesai Yamolai II
inilah, kemudian pendendangan salawat dulang masuk pada bagian yang
umumnya disukai oleh para pendengarnya, karena mulai membacakan syair-syair
bernuansa sufistis yang didendangkan dengan berbagai irama lagu.[13]
Syair-syair dalam salawat
dulang sangat kental dipengaruhi oleh ajaran tashawwuf dan tarekat, khususnya tarekat Syathãriyyah.
Mulai dalam katubah, berbagai himbauan —yang dalam konteks keilmuan tashawwuf
sesungguhnya merupakan ajaran
tarekat “tingkat tinggi”, karena sangat bersifat filosofis— sudah mulai
disampaikan. Formulasi katubah biasanya disusun sedemikian rupa,
sehingga juga mengandung unsur pujian, sindiran, atau ledekan, yang ditujukan
kepada grup lain yang tampil sebelum atau sesudahnya. Berikut adalah contoh
bait-bait salawat dulang transkripsinya penulis kutip seutuhnya dari
tulisan Oman Fathurrahman[14]:
Imbauan Khutbah
Aaa...ei...yo...oo...aa..ooo...aa...ei...ya
|
|
Aaa...ei...yo...aa...Nabi Allah o Na(nga)bi … ya ... o .. ey ...
|
|
Aaayo junju(a)ngan
|
|
Aaayo junju(a)ngan
|
|
Allah Allah ei...
|
|
Allah Allah ei...
|
|
Aaayo junju(a)ngan
|
|
Aaayo junju(a)ngan
|
|
Aaa...ei...eieiei, Allah Allahurabbi, rabbi ya rabbi
|
|
Allahurabbi baktuan kito, Nabi Muhammad pangulu kito
|
Allahurabbi Tuhan kita, Nabi Muhammad penghulu kita
|
Wahai sahabat tolan sudaro
|
Wahai, sahabat dan saudara
|
Khutbah
Assalamu'alaikum e tolan sahabat
|
Assalamu'alaikum saudara dan
sahabat
|
|
O jokalau kito kamangaji hakikat
|
Jika kita akan mengaji hakikat
|
|
Nyawa jo tubuah lah nyato sakabek
|
Nyawa dengan tubuh nyata seikat
|
|
Jangan disangko duo alamaik
|
Jangan disangka dua alamat
|
|
Kok disangko duo lah nyato sasek
|
Jika dua sudah nyata sesat
|
|
Urang mandanga samonyo ingek
|
Orang mendengar semuanya ingat
|
|
Urang aluma banyak nan kiramaik
|
Orang alumma banyak yang keramat
|
|
Janganlah kito bacando bodoh
|
Janganlah kita seperti bodoh
|
|
Mumbang jo kalapo mano nan tuo
|
Putik dan kelapa mana yang tuo
|
|
Anak jo bapo mano nan mudo
|
Anak dengan bapak mana yang tua
|
|
Kok tak ado anak bapo tak ado
|
Jika tidak ada anak bapak juga tidak ada
|
|
Zat jo sifat namo kajinyo
|
Zat dan sifat nama kajinya
|
|
Allah jo Muhammad di mano ko inyo
|
Allah dengan Muhammad di manakah iya
|
|
Di mano bana tampek nyatonyo
|
Di mana benar tempat nyatanya
|
|
Kok tidak dipaham di hati kito
|
Kalau tidak dipaham di hati kita
|
|
Jalan nan samak kabatambah rimbo
|
Jalan yang kotor akan bertambah rimba
|
|
Tak mungkin biawak kamalawan buayo
|
Tidak mungkin kadal akan melawan buaya
|
|
Tak mungkin babi kabaranak ruso
|
Tidak mungkin babi akan melahirkan rusa
|
|
Tak mungkin tumbuah tanduak di kudo
|
Tidak mungkin tumbuh tanduk di kepala kuda
|
|
Adapun raso jo na marasoi
|
Adapun rasa dengan merasai
|
|
Baapo bana lilin jo api
|
Bagaimana lilin dengan api
|
|
Baapo bana cincin jo jari
|
Bagaimana cincin dengan jari
|
|
Nan mano bana nan sipaik maani
|
Yang mana benar sifat maani
|
|
Iyo uju'am sipaik (a)kawi
|
Iya uju'am sifat yang kawi
|
|
Kok iyo mati sabalun mati
|
Kalau mati sebelum mati
|
|
Tantukan jalan kakito lalui
|
Tentukan jalan yang akan dilalui
|
|
Tantukan lauik kakito ranangi
|
Tentukan lautan yang akan direnangi
|
|
Kubaklah kulik (i)lieklah isi
|
Kupaslah kulit lihatlah isi
|
|
Supayo nak dapek bijo nan kawi
|
Supaya dapat bibit yang asli
|
|
Allahlah duduak di ‘aras kursi
|
Allah sudah duduk di ‘aras dan kursi
|
|
Di kapalo jantuang Muhammad badiri
|
Di kepala jantung Muhammad berdiri
|
|
Di panka jantuang sabuku darah mati
|
Di pangkal jantung ada darah mati
|
|
Di situ pulo(e) Abujaia badiri
|
Di situ pula Abujahil berdiri
|
|
Baparang jo Muhammad tak manaruah habi
|
Berperang dengan Muhammad tidak ada henti
|
|
Kok kalah Muhammad narako dihuni
|
Jika kalah Muhammad masuk neraka
|
|
Nagari Makah dimakan api
|
Negeri Mekah dilalap api
|
|
Kok manang Muhammad anggoto suci
|
Jika menang Muhammad anggota suci
|
|
Suci anggoto samo sakali
|
Suci anggota sama sekali
|
|
Yo baitulah misanyo....aaa...
|
Ya begitu misalnya....
|
|
Yonan su...dalah tadiri yao...
|
Sudah terdiri
|
|
Komponen kedua dari salawat dulang adalah “batang”, yang merupakan ajaran pokok tashawwuf
yang ingin disampaikan. Bagi grup
yang tampil pertama kali, selain mengandung berbagai ajaran pokok tashawwuf tersebut, juga berisi pertanyaan untuk grup
yang akan tampil berikutnya, sebaliknya, “batang” dalam grup yang tampil
berikutnya biasanya juga mengandung jawaban atas pertanyaan grup pertama tadi,
demikian seterusnya.[15]
Bait-bait di bagian batang ini, umumnya didendangkan dengan irama
lagu-lagu yang sedang ngetrend, baik lagu dangdut, atau lagu-lagu daerah Minangkabau sendiri.
Boleh jadi, berbagai improvisasi dalam
mendendangkan bait-bait salawat dulang inilah yang, antara lain,
menjadikan tradisi salawat dulang tetap hidup dan disukai hingga kini.[16]
Dalam bait-bait salawat dulang ini, terdapat beberapa tema penting yaitu,
antara lain: interpretasi kalimat zikir لااله الا الله , interpretasi hadis Nabi yang
berbunyi: “man ‘arafa nafsah fa qad ‘arafa rabbah” (barangsiapa mengenal
dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya)[17],
hubungan ontologis Tuhan dan alam, yang dianalogikan dengan hubungan benda
dengan bayangannya di cermin, serta perbincangan tentang a’yãn tsãbitah dan a’yãn khãrijiyyah.[18]
Pada bagian terakhir salawat
dulang (penutup), bait-bait salawat dulang umumnya berisi permintaan
maaf, ucapan terima kasih, serta pesan-pesan agar materi “pengajian” yang
dikemukakannya dapat bermanfaat bagi semuanya. Bagi grup yang pertama kali
tampil, bagian panutuik ini juga dapat berisi permintaan kepada grup
berikutnya untuk menjawab pertanyaan yang sudah diajukan. Berikut adalah contoh
bagian panutuik salawat dulang yang juga diambil dari
transkripsinya Firdaus Binulia yang penulis kutip dari Oman Fathurrahman
(2008:139):
Penutup
Iyo ala nde babari o kandak la de nan tibo
|
Sudah diberi kehendak yang tiba
|
O de nan jo kok dari kami cukup lai sakian sajo
|
Dari kami cukup sekian saja
|
Iyo paneklah dating o litak nan lah tibo
|
Lelahlah datang capeklah tiba
|
O de nan kini baitulah de lai mangko na kaeloknyo
|
Kini begitulah sebaiknya
|
Iyo ala babari kandak nan tibo
|
Sudah diberi kehendak yang tiba
|
Iyo kandak la de nan tibo iyo lai sabantah cako
|
Permintaan yang datang sebentar ini
|
O bak bumi nak sanang padi nak manjadi pulo
|
Bum agar senang padi agar menjadi pula
|
Anak buah nak kambang nagari nak rami pulo
|
Anak murid agar banyak negeri agar ramai pula
|
Ala ibadat la de katuhan batambah-tambah la de handaknyo
|
Ibadah ke Tuhan bertambah hendaknya
|
Dengan wassalam disudahi sajo
|
Dengan wassalam disudahi saja
|
2.
Badikia
Badikia atau berzikir yang dimaksudkan di
sini bukanlah berzikir tahlil, tahmid, atau takbir. Tapi badikia yang
dimaksudkan di sini adalah prosesi tradisi oleh sekelompok borang-orang yang
sengaja di datangkan pada acara-acara tertentu semisal acara maulid Nabi.
Adapun isi dari badikia tersebut adalah pujian, sanjungan, dan shalawat kepada
Nabi Muhammad Saw. Menurut keterangan
Tuanku Zakirman, isi badikia tersebut diambilkan dari Asyrafal Anam dan
kitab Barzanji yang didendangkan dengan suara yang tinggi dan melengking. Jika
diperhatikan, sulit untuk bisa menyimak apa yang mereka dendangkan tersebut. [19]
Terlepas dari itu semua, kegiatan itu
lebih ditujukan kepada pemuliaan dan peringatan kelahiran Nabi Saw. Menurut Oman, dalam
konteks yang lebih besar lagi, salawat dulang, badikia, dan juga ritual basapa
yang dikemukakan sebelumnya, dengan sendirinya juga memberikan gambaran riil
akan apa yang sering disebut sebagai “Islam lokal”, yakni suatu artikulasi dari
“proses penerjemahan” Islam ke dalam sistem sosial-budaya, politik dan
intelektual yang berlaku di suatu masyarakat (Hooker 1983). Islam lokal
mengandung dua konsep penting. pertama, ia adalah konsep tentang sebuah
keadaan yang khusus dan unik dari suatu praktek keagamaan tertentu. Keunikan
tersebut bisa jadi karena dipengaruhi budaya lokal, tetapi juga bisa terjadi
karena proses pembumian dari ajaran-ajaran normatif Islam ke dalam realitas; kedua,
Islam lokal mengandung unsur sebuah proses yang terus berlanjut dari pertemuan
dan interaksi budaya dan Islam dalam proses sejarah. [20]
Selanjutnya, menurut Oman, salawat dulang dan juga ritual basapa
serta berbagai bentuk ritual lokal lain dapat dianggap sebagai contoh yang baik
bagi persemaian Islam lokal. Pertemuan Islam dengan budaya-budaya lokal
tersebut pada gilirannya menjadi kekayaan budaya tersendiri. Dalam hal ini, penting untuk dicatat bahwa di kalangan penganut
tarekat di Indonesia, bukan hanya Syathãriyyah, melainkan juga
Rifa’iyyah, Qadiriyyah, Naqsybandiyyah, Sammaniyah, dll. terdapat banyak
ekspresi budaya lokal seperti pencak silat, debus, dan semacamnya. Semaunya ini
memperlihatkan mozaik Islam Indonesia yang sedemikian kaya.[21]
[1] Tulisan ini merupakan bagian dari Disertasi yang penulis tulis dalam rangka penyelesaian Studi Doktor di IAIN Imam Bonjol Padan yang berjudul: Pemikiran Abdurrauf Singkel Tentang Pendidikan dan Implikasinya Pada Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan
Pakandangan Padang Pariaman, (PPs IAIN IB Padang, 2014)
[6]Dulang
atau talam adalah benda semacam nampan yang terbuat dari kuningan, dan biasa
digunakan untuk menghidangkan makanan yang, di Sumatra Barat, biasanya terdiri
dari nasi lomak (ketan putih), nasi kunyik (nasi kunyir), wajik (hajit),
gelamai, panyiaram, bulek-bulek dan lain-lain. Keseluruhan kumpulan makanan itu
sendiri disebut Jamba.. Umumnya, bentuk dulang adalah bulat berupa
lingkaran dengan diameter sekitar 60 cm. Bagian tengahnya datar, sedangkan
pinggir kelilingnya mempunyai bibir yang tingginya sekitar 3 cm dari dasar,
dengan luas bibir kira-kira 3 cm pula.
Syamsir Roust,, “Sejarah Perkembangan Selawat Talam sebagai Kesenian
Islam di Sumatera Barat”, Laporan penelitian, Fakultas Adab, IAIN Imam Bonjol
Padang. 1998/1999, hlm. 42-43) dalam Oman Fathurrahman, Tarekat Syattariyyah, 2008:
133
[10]
Satu set kaset tentang pertunjukan salawat dulang oleh salah satu grup salawat
dulang di Sumatra Barat, yakni grup Kilek Barapi, misalnya, mengambil judul: “Shalawat Dulang: Mengenai
Hal Tubuah Nan Salapan”. Inti materi yang disampaikan adalah mengenai hakikat
bagian-bagian tubuh lahir, seperti: mata, hidung, telinga, tangan, lidah, hati
dan jantung, daging, darah, dan tulang. Ditegaskan bahwa bagian-bagian tubuh
yang kasar (lahir) tersebut pada hakikatnya “mayat semata”, tidak mempunyai
kemampuan dan kehendak apa-apa, karena bagian tubuh batin lah yang
menggerakannya. Baca: Oman Fathurrahman; 2008:133
[17] Menurut al-Sam’ani, ungkapan ini bukan hadis Nabi, melainkan kata-kata
hikmah dari Yahya al-Razi. Sedangkan
ulama lain, seperti Ibnu Taimiyah dan al-Sagani, menganggapnya sebagai hadis
palsu Mempertimbangkan kemasyhurannya
sebagai hadis di kalangan sufi, tampaknya ia dianggap sebagai 'hadis' sahih dan
benar berdasarkan mukasyafah atau penyingkapan [yakni, visi mistis],
tapi dipandang tidak sahih berdasarkan jalur riwayatnya. (Azhari, 1985: 111).
dalam Oman Fathurahman, 2008, 142.
[18] A’yãn tsãbitah adalah
sebuah istilah yang dalam konteks tashawwuf didefinisikan sebagai entitas-entitas,
arketip-arketip, esensi-esensi, atau potensi-potensi yang tak berubah dan tak
terhingga, yang tetap dalam hakikatnya. A’yãn tsãbitah juga
berarti gambaran nama-nama dan kualitas ilahi dan inti hakikat dalam hadirat
pengetahuan dengan individuasi spesifik. Istilah ini mengandung arti sifat
esensial segala sesuatu yang maujud sejak zaman keazalian dari pengetahuan
ilahi. Semua itu ditetapkan sesuai dengan ketiadaan dan tidak disifati oleh
keberadaan (Armstrong 1996:42). Adapun A’yãn tsãbitah adalah berarti potensi luar, atau ciptaan
Tuhan dalam bentuk konkrietnya, yang keberadaannya bersumber dari A’yãn tsãbitah (lihat Azra
1994: 206).