Islamisasi Struktur Kultural Minangkabau
Oleh: Ahmad Rivauzi, MA
Walaupun Islam diperkirakan sudah
masuk mulai pada abad ke 7 M., melalui jalur Selat Malaka, sungai Siak, Kampar
terus ke pusat Minangkabau, namun Islamisasi struktur pusat kekuasaan politik
di Minangkabau (kerajaan Pagaruyung) menurut Mahmud Yunus diperkirakan baru
terjadi pada tahun 1500 M atau 1650 M atau abad 16 dan 17 M. [1]
Berbeda dengan perkiraan Mahmud
Yunus, di dalam tambo Pagaruyung sebagaimana diungkap Irhash A. Shamad,
terdapat silsilah raja-raja Pagaruyung yang di mulai dari Adityawarman
(berkuasa dari tahun 1347-1376 M),[2] Ananggawarman (berkuasa 1376 M
s/d...) , Sultan Bakilap Alam, Sultan Pasambahan,
Sultan Alif Khalifatullah (1560-1580 M), Sultan Muning I, Sultan Fatah (Sultan
Muning II, 1615 M), Sultan Muning III, Sultan Sembahyang dan seterusnya. Kalau
dilihat dari gelar raja pagaruyung, maka dapat disimpulkan bahwa raja ke 3 Pagaruyung yaitu Sultan Bakilap Alam sudah
memeluk agama Islam, yang diperkirakan sudah berkuasa pada awal abad 15 M. [3] Dari data ini sudah dapat diasumsikan
islamisasi pusat kekuasaan raja Pagaruyung sudah terjadi pada awal abad ke 15 M
dan sekaligus menunjukkan bahwa islamisasi pusat kerajaan Pagaruyung jauh lebih
awal dari perkiraan Mahmud Yunus.
Namun penting juga diungkapkan
bahwa dalam penulisan sejarah raja Pagaruyung terdapat bagian yang hilang.
Setidaknya semenjak meninggalnya Adityawarman yang digantikan anaknya
Ananggawarman pada tahun 1375 atau menurut beberapa sumber menyebut tahun 1376,
sampai tahun 1560 yang merupakan masa Sultan Alif naik tahta. Sultan Bakilap
Alam dan Sultan Pasambahan cuma ditemukan dalam tambo (Datoek Toeah, 1976: 118)
dan sayangnya tidak dilengkapi dengan informasi dan penjelasan yang lengkap.
Islam terserap ke dalam
struktur adat dan politik struktur kekuasaan Pagaruyung, terekpresikan dalam
struktur kekuasaan dan adat yang disebutkan dengan Rajo Tigo Selo yaitu Rajo
Alam yang Dipertuan Minangkabau di Pagaruyung, Rajo Adat yang memegang
kekuasaan dibidang adat di Buo, dan Rajo Ibadat yang memegang kekuasaan di
bidang agama yang berkedudukan di Sumpur Kudus. Di bawah Rajo Tigo Selo
terdapat struktur Basa Ampek Balai yang
berperan sebagai dewan menteri yaitu, Bandaro Titah di Sungai Tarab sebagai
perdana menteri, Tuan Qadhi di Padang Gantiang membawahi urusan agama,[4] Indomo di Saruaso membidangi
urusan keuangan, dan Makhudum di Sumanik yang mengurusi urusan pertahanan dan
keamanan. Menurut Marjani Martamin, penobatan dan pelantikan Rajo Tigo Selo dan
Basa Ampek Balai dilaksanakan sejalan dengan pengangkatan dan pengiriman Sultan
nan Delapan ke rantau Minangkabau yaitu, Aceh, Palembang, Tambusai, Rao, Sungai
Pagu, Bandar Sepuluh, Siak Sri Inderapura, dan Rembau Sri Menanti. Pengiriman
dan pelantikan ini dilakukan oleh Sultan Bakilap Alam. [5]
Pada tingkat nagari, islamisasi
struktur adat juga terlihat pada struktur adat misalnya pada beberapa nagari
terdapatnya gelar malin, imam dan khatib di samping adanya pangulu, dubalang
dan datuak. Dalam struktur adat di Nagari, gelar-gelar tersebut merupakan
jabatan yang diwariskan dari mamak kepada kemenakan dan orang yang memangku
gelar tersebut terkategori sebagai ninik mamak yang memperoleh otoritas dalam
adat. Hal tersebut tentunya berbeda dengan jabatan tuanku yang memperoleh
otoritas bukan atas dasar warisan gelar adat, tetapi lebih didasari kepada
pengetahuan agama yang dimiliki.[6]
Islamisasi Minangkabau juga
dapat dilihat pada aforisme [7]atau pepatah adat. Sebelum
kedatangan Islam dikenal pepatah “adat basandi alua dan patuik” (adat
bersendikan kepada alur dengan kepatutan). Setelah Islam datang, pepatang itu
kemudian berubah dengan “adat basandi alua, syara’ basandi dalil” (adat
bersendikan alur, syara’ bersendikan dalil). Tahap berikutnya, dalam dinamika
islamisasi adat, muncul aforisme baru “ adat basandi syara’, syara’
basandi adat” (adat bersendi kepada syara’, dan syara’ bersendi kepada adat).
Aporisme terakhir sebagaimana dilaporkan Azra
yang dikutip dari Abdullah dirumuskan setelah perang Padri (1821-1838)
sebagai berikut “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah (al-Quran)”.[8] Aporisme terakhir inilah yang
dipandang oleh beberapa sejarawan sebagai hasil kesepakatan Sumpah Sati Bukit
Marapalam.[9]
Terdapat kesimpang siuran dalam hal kapan sumpah sati bukit
marapalam itu terjadi. Apakah setelah perang Padri atau sebelum perang Paderi. Menurut
catatan Syekh Sulaiman Ar-Rasuly, sebagimana dipaparkan oleh Azwar Datuk Mangiang. Dt. Mangiang pernah
mewawancarai Inyiak Canduang (penulis buku “Perdamaian Adat dan Syarak”) pada
akhir tahun 1966 di Pekan Kamis Candung. Hasil wawancaranya itu di tulis dalam
makalah “Piagam sumpah satie Bukik Marapalam”, menyatakan bahwa peristiwa itu
terjadi sekitar tahun 1644 Masehi (M), jauh sebelum revolusi perkembangan Islam
di alam Minang oleh Paderi.[10]
Menurut Masu’d Abidin[11],piagam
sumpah sati tersebut adalah sebuah konsep dalam tataran ideologis dan dijadikan
sebagai falsafah atau pedoman dalam kehidupan sosial, budaya, agama dan politik
masyarakat Minang. Falsafah itu hampir sama dengan falsafah di daerah lain
seperti di Aceh yang diekspresikan dengan “hukum ngon adat hantom cre,
lagee zat ngon sifeut” (hukum adat dan Islam tidak dapat dipisahkan,
seperti zat dan sifat suatu benda), atau di Ambon dikenal “adat dibikin di
mesjid” (adat dibuat di dalam mesjid). Sebagaimana
diungkap Masud Abidin, sebagian besar masyarakat Minang meyakini perjanjian itu terjadi di puncak
Bukit Marapalam. Nama bukit itu awalnya sebuah istilah, berdasarkan foklor
berasal dari kata “Merapatkan Alam” yaitu merapat atau terhubung dengan
alam Luhak nan Tigo. Asumsi lain tentang nama itu ialah rapat
untuk mencari penyelesaian konflik kaum adat dengan ulama atau antar ulama yang
berbeda mazhab dan tariqat.
Mas’ud Abidin, menyimpulkan terdapat enam versi
tentang waktu kejadian Sumpah Sakti Bukit Marapalam itu. Berdasarkan laporan
penelitian dan seminar tentang Sumpah Satie Bukik Marapalam (1991).[12]
Versi pertama tentang peristiwa
kemunculan piagam sumpah satie itu terjadi pada masa Syekh Burhanuddin
menyebarkan Islam di tengah-tengah kuatnya pengaruh adat di alam Minang.
Hamka (1984) bahwa evolusi perkembangan Islam (secara tersirat ia memperkirakan
masa Syekh Burhanuddin) masih berlaku konsensus pertama yaitu “adaik basandi
syarak, syarak basandi adaik”. Fakta sosial pun membuktikan bahwa ia
berhasil mengembangkan aliran Sattariyah di Nagari Andaleh ke pedalaman Minang
yaitu ke Marabukit yang berada di kaki Bukit Marapalam. Burhanuddin berusaha
memurnikan ajaran Islam dari pengaruh budaya Hindu-Budha seperti minum tuak,
menyabung ayam atau berkaul ke tempat keramat. Istana Pagarruyung juga menjadi
sasarannya dan ia berhasil. Keberhasilan itu membuat dia dikenal sebagai ulama
besar di Minang. Para kaum adat dan ulama yaitu Syekh Burhanuddin sebagai
penggagas piagam sumpah satie tersebut dengan dua muridnya (salah satu muridnya
Idris Majolelo) bersama penghulu Ulakan menemui Yang Dipertan Agung
Pagarruyung. Penjelasan Mas’ud Abidin ini senada dengan informasi dalam “Naskah
Ulakan”, sebagaimana dikutip Abu Naim dan Irhash A. Shamad, dikemukakan tentang
upaya Syekh Burhanuddin dan orang nan sebelas Ulakan pergi berunding ke pusat
kerajaan Pagaruyung untuk mendapatkan legitimasi bagi kalangan ulama untuk mengajarkan Islam di
seluruh Minangkabau:
...berkat kekuasaan Allah swt., akhirnya didapatlah
keputusan untuk pergi ke Pariangan Padang Panjang terus ke Sungai Tarab menemui
Basa Ampek Balai dan langsung menghadap daulat yang dipertuan Pagaruyung,
karena walaupun orang nan sebelas ini sudah faham, namun tiada jua artinya jika
di bawah saja yang jernih sedang di atas masih keruh.[13]
Seterusnya mereka bersama Rajo nan Tigo Selo
dan Basa Ampek Balai melakukan upacara pemotongan kerbau. Mereka memakan
dagingnya, dikacau (menebarkan) darahnya, ditanam
tanduknya, dilacak pinang dan ditapung batu,
‘diikat’ dengan Al Fatihah, dikarang sumpah jo satie, siapa
yang melanggar akan dimakan biso kawi di atas dunia, dimakan
kutuk Kalammu`llah pada akhirat dan disudahi dengan doa selamat. Semenjak itu
muncul beberapa pepatah petitih, yaitu syarak mandaki, adaik
manurun; syarak lazim, adaik kawi; syarak babuhue mati, adaik babuhue sintak;
syarak balindueng, adaik bapaneh; syarak mangato, adaik mamakai; syarak
batilanjang, adaik basisampieng.
Mas’ud juga menulis, semenjak Aceh di bawah
Sultanat Tajul Alam Shafiathuddin Syah menguasai Pantai Barat Sumatera dari
tahun 1641-1675 M, Sultan nan Salapan dari Pagarruyung diperintahkan turun ke
Aceh, Bantam, Palembang, Jambi, Indragiri, Siak, Rokan, Sungai Pagu, Indrapura,
dan Pariaman untuk menjadi raja dan berdakwah. Mereka juga yang
menyampaikan buek parbuatan (piagam sumpah satie Bukik Marapalam)
kepada masyarakat di alam Minang. Kepergian
Sultan nan Salapan dilepas oleh rajo-rajo (raja-raja), manti-manti,
Basa Ampek Balai, penghulu-penghulu, tuanku-tuanku dan para hulubalang yang
diundang dari Luhak nan Tigo. Mereka yang diundang sekaligus
ditugaskan menyebarkan piagam sumpah satie itu. Ketika itu Pagarruyung
telah diperintah oleh Sultan Ahmadsyah gelar Tuanku Rajo nan Sati yang
dilewakan dengan gelar tambahan yaitu Raja Alif. Dialah raja Pagarruyung yang
pertama bertugas menyebarluaskan piagam sumpah satie tersebut.
Kalau dibandingkan yang ditulis Mas’ud
Abidin di atas, terdapat perbedaan dengan yang diungkap Irhash dan Marjani
Martamin. Irhash menulis bahwa yang melantik raja nan salapan dan basa ampek
balai sekaligus mengutusnya kepada beberapa daerah di atas adalah Sultan
Bakilap Alam (raja ketiga).[14] Kalau raja-raja sebagaimana di atas dikaitkan
dengan misi dakwah ABS SBK, tentunya pendapat Irhash jelas memiliki kelemahan
karena mustahil pada tahun 1644 yang disinyalir sebagai waktu sumpah bukit
marapalam, Pagaruyung dipimpin oleh raja ketiga. Penulis memandang bahwa baik
Sultan Bakilap Alam maupun Sultan Alif sama-sama tidak mungkin masih hidup pada
saat sumpah sati Bukit Marapalam, karena menurut data sejarah sultan Alif
berkuasa dari tahun 1560-1580 M.
Versi kedua yaitu Piagam sumpah satie Bukit
Marapalam masa awal gerakan/perang Paderi. Gerakan Paderi yang diilhami oleh
kebangkitan Islam oleh kaum Wahabi di Tanah Suci, Arab Timur. Paham Wahabi
berkembang sampai ke Minang secara radikal dan pendukungnya hendak
mengembalikan kemurnian Islam secara revolusi. Mereka disebut kaum Paderi yaitu
orang dari kota pelabuhan di Pidie, Aceh. Daerah pertahanan yang strategis bagi
kaum Paderi adalah puncak Bukit Marapalam. Namun mereka khawatir korban
bertambah di kalangan masyarakat. Kaum Paderi menggagas perjanjian dengan kaum
adat. Datuk Bandaro berinisiatif menemui Datuk Samik untuk menyetujuinya.
Kesepakatan mereka dilaporkan kepada Datuk Surirajo Maharajo di Pariangan.
Mereka berhasil mengeluarkan Piagam sumpah satie Bukik Marapalam yaitu ABSSBK.
Versi ketiga yaitu Piagam sumpah satie
Bukit Marapalam masa awal perang Paderi sekitar tahun 1803-1819. Kedua pihak
yang berperang sama-sama kuat. Namun kaum Paderi sering melakukan serangan
mendadak ke nagari-nagari. Benteng pertahanan mereka sekitar
jalan bukit Marapalam ke Lintau diparit tinggi dan melingkar. Kaum adat melirik
bangsa Eropa (Belanda) untuk mendapatkan dukungan sehingga terjadi perang
Paderi. Korban berjatuhan diketiga pihak yang berkepentingan. Melihat kejadian
itu yang lebih menguntungkan Belanda, maka muncul kesadaran beberapa kaum adat
untuk berdamai dengan ulama Paderi dan bersatu melawan Belanda. Tersebutlah
Datuk Bandaro wakil golongan adat dan Tuanku Lintau sebagai tokoh yang
memprakarsai perjanjian itu di Bukit Marapalam. Fakta sosial membuktikan bahwa
Tuanku Lintau yang mengkonsep, mengatur, dan menjalankan ABSSBK.
Versi keempat yaitu Piagam sumpah satie
Bukit Marapalam masa vacum perang Paderi. Kaum Paderi menganggap kaum adat dan
Belanda sebagai kafir yang harus diperangi. Strategi Belanda yaitu mengalihkan
pasukannya menghadapi Perang Diponegoro di Jawa, sementara Belanda pura-pura
berdamai dengan kaum Paderi, namun antara ulama dengan kaum adat belum juga
berdamai. Melihat strategi Belanda maka kaum Paderi juga melakukan rekonsiliasi
dengan kaum adat untuk menambah kekuatan dengan sebuah perjanjian. Pelopor dari
kaum adat yaitu Datuk Bandaro dan dari Paderi (sekaligus yang mampu menanamkan
ajaran Islam kepada mereka) adalah Tuanku Lintau. Pertentangan mulai reda
semenjak perjanjian itu, namun pertentangan masih terasa antara para datuk dari
Nagari Saruaso dan Batipuh.
Versi kelima yaitu Piagam sumpah satie
Bukik Marapalam masa Perang Paderi II. Strategi perang Belanda berhasil,
terbukti dengan kekalahan Diponegoro dan kemudian jatuhnya benteng pertahanan
Paderi Lintau di puncak Bukit Marapalam bulan Agustus 1831. Berturut-turut
jatuhlah ke tangan Belanda benteng di Talawi, Bukit Kamang dan kekuatan Tuanku
Nan Renceh. Semua Paderi di Agam jatuh ke tangan Belanda akhir Juni 1832.
Mereka telah terlanjur diadu domba oleh Belanda dengan adanya konflik agama dan
adat. Namun sebelum Bukik Marapalam jatuh ke tangan Belanda, antara kaum adat
dan agama telah berunding yang menghasilkan piagam sumpah satie tersebut.
Kembali disebut-sebut Tuanku Lintau sebagai pemprakarsanya.
Versi keenam yaitu Piagam sumpah satie
Bukik Marapalam pada akhir perang Paderi. Setelah kekalahan Paderi Belanda bisa
menguasai Minang. Belanda mulai merubah tatanan sosial masyarakat. Mereka
mengangkat Penghulu Bersurat untuk kepentingan administrasi dan untuk urusan
pemungutan pajak.Nagari-nagari yang otonom di Minang mereka jadikan
bagian wilayah Administratif Pemerintahan Hindia Belanda. Namun kekhawatiran
masyarakat Minang terhadap Belanda yang utama adalah pandangan bahwa mereka
orang kafir, sehingga ada kecemasan terjadinya perubahan struktur sosial dan
nilai-nilai agama dalam masyarakat. Upaya mengantisipasi hal itu adalah memperkuat
persatuan kaum adat dan ulama dengan mencetuskan piagam sumpah satie tersebut.
Ketidakjelasan informasi tentang peristiwa Piagam
sumpah satie Bukit Marapalam telah menggagalkan rencana Pemerintah Daerah
Sumatera Barat membangun tugu Sumpah Satie Marapalam di daerah tersebut.
[1] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam
[2]
Dari manuskrip yang dipahat kembali oleh
Adityawarman pada bagian belakang Arca Amoghapasa disebutkan
pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura
(Kern, J.H.C.,: 1907), Adityawarman
merupakan putra dari Adwayawarman seperti yang terpahat pada Prasasti Kuburajo dan
anak dari Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya seperti
yang disebut dalam Pararaton.
Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang
menaklukkan Bali dan Palembang, (Berg,
C.C.,:1985). Pada masa pemerintahannya Adityawarman memindahkan pusat
pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau. Dari prasasti Suruaso yang
beraksara Melayu menyebutkan
Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman
Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi (Casparis, J.G., 1990: 40-49) yang
sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman
raja Dharmasraya. Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan
daerah-daerah penting di Sumatera, dan bertahta sebagai raja bawahan (uparaja)
dari Majapahit
(Muljana, S.,2005).
Kemudian dari berita Cina diketahui
Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke Cina sebanyak 6 kali selama rentang
waktu 1371 sampai 1377 (Kozok, U.,2006). Setelah meninggalnya
Adityawarman, Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menaklukan kerajaan
ini pada tahun 1409 ( Muljana, S., 2005). Legenda-legenda
Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut
dinamakan demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut
legenda tersebut tentara Jawa berhasil
dikalahkan. Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah
Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi,
yang merupakan lembaga musyawarah dari berbagaiNagari dan Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah,
kerajaan Pagaruyung merupakan semacam perubahan sistem administrasi semata bagi
masyarakat setempat (Suku Minang). Sumber: Wikipedia, Kerajaan
Pagaruyung, http: //id.wikipedia.org/wiki/ (Download tgl.
30
September 2012).
[3] Data tersebut
berasal dari Himpunan Prasaran dan Kertas Kerja Seminar Sejarah dan Kebudayaan
Minangkabau pada tahun 1970. Lihat Irhash A. Shamad, h 39 yang merujuk kepada
tulisan Marjani Martamin, dkk, Sejarah Sumatera Barat, (Jakarta: Dept P &
K, 1978),
[4] Menurut A.A
Navis, basa ampek balai sudah ada mulai sebelum Islam yaitu Bandaro Titah di Sungai Tarab, Tuan Gadang di
Batipuah, Indomo di Saruaso, Makhudum di Sumanik.A.A Navis, Alam Takambang Jadi
Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau, (Jakarta: Grafiti Pers, 1984), h 17.
Namun menurut Hamka, Tuan Gadang di Batipuah bukanlah Basa Ampek Balai, namun
disejajarkan dengan Basa Ampek Balai karena fungsinya hanya sebagai panglima
perang. Lihat Hamka, Ayahku, Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amarullah dan
Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, (Jakarta: Djajamurni, 1967)., h. 20
[5] Irhash A
Shamad, . Baca juga Marjani Martamin, dkk. Sejarah Sumatera Barat,
(Jakarta: Dept P & K., 1978),
[6]
Azyumardi Azra, Surau..
[7] Pernyataan yang padat dan ringkas tentang sikap hidup
atau kebenaran umum namun mengandung
makna kebenaran yang dalam
[8]
Azra, Surau,
Agama Islam mula-mula datang ke Minangkabau dengan
melalui daerah Pesisir (rantau), disambut dengan tangan terbuka oleh
Penghulu-Penghulu dalam Luhak nan Tigo Lareh nan Duo.
Sesudah Islam berkembang di Alam Minangkabau terjadilah
perselisihan antara Kaum Adat dengan Alim Ulama, disebabkan ada sebagian dari
pamaianan kaum adat yang tidak disetujui oleh Alim Ulama seperti basalung
barabab, manyabung, bajudi, badusun bagalanggang, basorak basorai dan
lain-lain. Dan sebagian apa yang diharuskan oleh agama tidak dapat dibenarkan
menurut adat seperti perkawinan sepasukuan.
Untuk memelihara persatuan dalam nagari, diusahakan oleh
orang pandai-pandai dan terkemuka mencari air nan janih sayak nan landai guna
terwujudnya perdamaian antara Penghulu dan Alim Ulama. Nan di atas ke bawah-bawah nan di bawah ke atas-atas,
masing-masing surut salangkah. Kaum adat meninggalkan pamainan yang
bertentangan dengan agama seperti manyabung, berjudi dan sebagainya.
Dan Alim Ulama membenarkan pula ketentuan adat yang tidak
berlawanan dengan agama seperti melarang perkawinan sepasukuan dan lain-lain,
sehingga dapatlah kata sepakat: “Bulat boleh digolongkan picak boleh
dilayangkan”.
Buat mengikrarkan dan ma-ambalaui kebulatan itu,
diadakanlah pertemuan besar di atas Bukit Marapalam (antara Lintau dan Tanjung
Sungayang) yang dihadiri oleh Penghulu-Penghulu dan Alim Ulama serta
orang-orang terkemuka dalam Luhak nan Tigo Lareh nan Duo. Dibantai kerbau,
dagingnya dilapah darahnya dikacau, tanduk ditanamkan, ditapung batu dilicak
pinang, diikat dengan Alfatihah dan dibacakan doa selamat. Dalam pertemuan
besar itulah diikrarkan bersama-sama dan menjunjung tinggi kebulatan yang telah
dibuat oleh orang-orang pandai dan para terkemuka, yaitu:
§
Penghulu rajo dalam nagari, kato badanga, pangaja baturuik, manjua jauh
manggantung tinggi.
§
Alim Ulama suluh bendang dalam nagari, air nan janih sayak nan lancar
tempat batanyo di Panghulu.
Dalam pelaksanaannya, Alim Ulama memfatwakan dan Panghulu mamarintahkan.
Di sinan ditanamlah
Rajo Adat di Buo dan Rajo ibadat di Sumpur Kudus.
Dikarang
sumpah jo satie, yaitu: “Siapa yang melanggar kebulatan ini dimakan bisokewi di
atas dunia , ke atas indak bapucuk, ke bawah indak baurat, di tangah dilarik
kumbang, di akhirat dimakan kutuk kalam Allah.
Di sinan ditetapkan pepatah
adat nan berbunyi: “Adat bapaneh syarak balindung”, artinya: “Adat adalah tubuh
dan syarak adalah jiwa di Alam Minangkabau. Dan pepatah adat nan berbunyi: “Syarak
mangato adat mamakai”.
Itulah sari
pati sumpah satie (Piagam) Bukit Marapalam nan kita terima turun temurun sampai
kini. Dan
hambo terima dahulunya dari tiga orang tuo, yaitu:
1)
Tuangku Lareh
Kapau nan Tuo (sebelum Tuangku Lareh yang terakhir).
2)
Ninik dari mintuo hambo di Ampang Gadang.
3)
Angku Candung
nan Tuo.
Bukti-bukti yang bersua dalam
pelaksanaan, yang bahasa Penghulu memerintahkan menjalankan fatwa Ulama seperti
berzakat, berpuasa, bersunat rasul dan sebagainya, yang sulit dapat dikerjakan
kalau tidak diiringi fatwah Ulama itu dengan perintah Penghulu sebagai rajo
dalam nagari.
Pada akhir abad ke-sembilan belas dan
lai hambo dapati bahwa sesuatu perkara yang terjadi dalam nagari dihukum oleh
Penghulu. Sebelum Penghulu menjatuhkan hukuman malamnya mendatangi Ulama yang
dinamakan waktu itu dengan “Bamuti” (mungkin asalnya bermufti) untuk minta
nasihat dan bermusyawarah tentang hukum yang akan dijatuhkan (waktu itu tempat
“bamuti” adalah Angku Candung nan basurau di Baruhbalai). Dan begitu juga
ditiap nagari di Minangkabau sampai ada peraturan baru oleh Belanda yang
perkara diadili oleh Tuangku Lareh, kemudian Magistraad dan kemudian sekali
Landraad.
Kaum
penjajah (Belanda) sangat kuatir kepada persatuan adat dan agama. Maka
diusahakannya memecahkan dengan mendekati Penghulu dan menjauhi Alim Ulama.
Tambo-tambo
adat yang dipinjam, katanya untuk dipelajari, tetapi sebenarnya untuk
dihabiskan, guna mengaburkan sejarah yang sebenarnya, termasuk sejarah Bukit
Marapalam ini.
Demikianlah
hambo wasiatkan untuk dipedomani oleh anak cucu hambo kemudian hari di Candung
khususnya dan di Minangkabau umumnya, karena sudah terdengar orang-orang yang
hendak mencoba memisahkan antara adat dan agama di Minangkabau.
Wabilahitaufieq. Candung, 7
Juni 1964 / 26 Muharam 1384.(DtoSyekh Suleiman Ar Rasuly).Baca:
Rick Harsen El Thiaz, Gurindam Pitaruah Ayah Untuk Anak Perempuan Karya Yus
Dt. Parpatiah. Tinjauan Sosiologi Sastra. (Skripsi), Jurusan Sastra Daerah Minangkabau. Fakultas
Sastra. Universitas Andalas Padang.
[11]
Bukit Marapalam adalah bukit tertinggi di Kabupaten
Tanah Datar berada di puncak Bukit Marapalam, dinamakan Puncak Pato. Nama itu
berasal dari istilah fakto atau pakta (puncak untuk membuat perjanjian). Asumsi
lain ialah berasal dari katapatongahan (pertengahan) antara
kedudukan Tuanku Lintau di Lintau dengan Yang Dipertuan Agung Raja Pagarruyung
di Pagarruyung. Lihat, Mas’ud Abidin, Piagam Sumpah Sati Bukik
Marapalam, http://www.pandaisikek.net/
, (Download tgl. 30 September 2012).
[12]
Mas’ud
Abidin, Piagam Sumpah Sati Bukik Marapalam, http://www.pandaisikek.net/
, (Download
tgl. 30 September 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar