Jumat, 01 Mei 2015

POLITIK DAN TATA NEGARA DALAM PANDANGAN ISLAM

POLITIK DAN TATA NEGARA DALAM PANDANGAN ISLAM
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA

A.  Pendahuluan        
Politik dalam bahasa Arab disebut dengan siyasah yang berarti administration (pengaturan), management (pengelolaan), policy (kebijakan), diplomacy (diplomasi atau perdebatan argumentatif untuk memperjuankan misi) (Abuddin Nata, 2011:449).
Menurut W.J.S. Poerwadarminta (1991: 96), politik dapat juga diartikan dengan ilmu pengetahuan ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan, dan sebagainya. Atau dapat juga berarti segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu negara. Ada juga yang mengartikan politik dengan tipu muslihat, dan kelicikan akal (Ahmad Rivauzi, 2015: 259-260).
Berdasarkan pengertian di atas, Abuddin Nata (2011: 449) menjelaskan bahwa politik adalah perilaku manusia yang berkaitan dengan urusan pengaturan, pengelolaan, pengendalian, pemamfaatan, penentuan kebijakan, siasat dalam mengelola kekuasaan, dan ketaanegaraan.
Menurut Munawir Sjadzali (1991:2), sistem politik adalah suatu konsepsi yang memuat ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan negara; siapa pelaksana kekuasaan tersebut; apa dasar dan bagaimana cara untuk untuk menentukan kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan; kepada siapa pelaksana kekuasaan itu bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya (Ahmad Rivauzi, 2015: 260).
Berdasarkan difinisi di atas, maka pembicaraan politik meliputi konsep yang berkisar pada bebera aspek:
1.      Sumber kekuasaan
2.      Siapa pelaksana kekuasaan
3.      Apa dasar kekuasaan tersebut
4.      Mekanisme penentuan kepada siapa kekuasaan itu diserahkan
5.      Kepada siapa pertanggung jawaban diberikan
6.      Bentuk pertanggung jawaban kekuasaan
Menurut Mohammad Husein Haikal dalam Sjadzali (1991: 2), Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam bukanlah kitab politik. Dengan demikan, di dalam Islam tidak terdapat sistem ketata negaraan, namun di dalam Islam terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Pandangan ini dikemukakan oleh  sebagaimana dikutip oleh (Ahmad Rivauzi, 2015: 261) .
Munawir Sjadzali (1991:4-7) menyatakan, di dalam al-Qur’an, terdapat sejumlah ayat yang mengandung petunjuk serta pedoman dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Petunjuk tersebut adalah:
1.    Al-Qur’an berbicara tentang kedudukan manusia di muka bumi.
Penjelasan al-Qur’an tentang kedudukan manusia di muka bumi di antaranya dapat ditemukan dalam QS. Ali Imran: 26, al-Hadid: 5, al-An’am: 165 dan Yunus: 14.
Pada ayat-ayat tersebut dijelaskan beberapa hal di antaranya tentang:
a.    Pemilik kekuasaan dan sumber kekuasaan pada hakikatnya adalah Allah
b.   Manusia diangkat oleh Allah untuk jadi pemimpin yang kepadanya diberikan amanah kekuasaan
c.   Allah meninggikan sebagian manusia dari lainnya sehingga sebagiannya dapat menjadi pemimpin bagi yang lainnya.
2.    Prinsip musyawarah
Perintah bermusyawarah di dalam al-Qur’an dapat ditemukan dalam QS. Ali Imran: 159 dan al-Syura: 38. Pada ayat-ayat ini Allah mengajarkan kepada para pemimpin agar memperhatikan nilai-nilai kesantunan dan lemah lembut serta menyelesaikan urusan-urusan dengan bermusyawarah sehingga ditemukan kebulatan tekat dan pandangan dengan senantiasa bertawakkal kepada Allah.
3.    Keta’atan kepada pemimpin
Allah menyuruh manusia untuk mentaati pemimpin. Perintah ini dapat ditemukan dalam QS. An-Nisa’: 59. Pada ayat ini Allah memberikan pelajaran bahwa keta’atan kepada pemimpin menempati kedudukan yang penting sehingga Allah menempatkannya pada urutan ketiga setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
4.    Keadilan
Keadilan merupakan prinsip yang penting dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal ini dapat ditemukan dalam al-Qur’an pada QS. An-Nahl: 90 dan an-Nisa: 58.
5.    Persamaan
Asas persamaan ini dapat ditemukan dalam QS. Al-Hujurat: 13. Pada ayat ini Allah menempatkan semua manusia sama derjatnya di hadapan Allah. Tingkat kemuliaan seseorang cuma ditentukan oleh kualitas taqwa seseorang. Diciptakan manusia secara qudrati bersuku-suku, berbangsa-bangsa agar antara satu dengan lainnya dapat saling mengenal sehingga antara satu dan lainnnya dapat saling memperkaya wawasan dan pemahaman masing-masing.
6.    Pola hubungan dengan umat yang berbeda agama.
Dalam konteks hubungan antar umat yang berbeda keyakinan, al-Qur’an juga memberikan pedoman dan tuntunan. Hal ini dapat ditemukan dalam QS. Al-Baqarah: 256, Yunus: 99, Ali Imran: 64 dan al-Mumtahanah: 8-9.
Dari ayat-ayat tersebut terdapat beberapa hal penting untuk dipedomani, yaitu:
a.     Tidak boleh ada pemaksaan dalam memeluk Islam. Sebab, jika Allah kehendaki sudah pasti semua manusia beriman. Namun Allah tidak menghendaki itu.
b.    Dibolehkan untuk melakukan himbauan kepada orang yang beda agama agar pengabdian semata-mata ditujukan kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lainnya. Namun jika hal itu ditolak, maka tampakkanlah sikap yang islami; yang santun dan berserah diri kepada Allah.
c.    Kepada orang-orang yang beda agama namun mereka tidak memusuhi umat Islam, maka mereka harus disikapi dengan adil. Namun jika mereka memusuhi dan memerangi umat Islam, maka tidak boleh menjadikan mereka sebagai teman atau kawan.
            Nasrul Hs., dkk. (2011: 151) juga menyebutkan tiga  prinsip dasar dalam politik Islam. Yaitu tauhid, risalah, dan khailfah. Tauhid adalah keyakinan dasar, risalah adalah pedoman normatif, dan khalifah adalah tugas yang harus disadari oleh setiap muslim bahwa dirinya adalah wakil Allah di permukaan bumi (Ahmad Rivauzi, 2015: 266).
          Ahmad Rivauzi (2015: 266-267), menjelaskan bahwa tauhid adalah pondasi dasar dari politik Islam. Tauhid adalah ruh yang menjadi jiwa dalam politik dan penataan kenegaraan. Tidak dapat dikatakan suatu konsepsi politik itu sebagai konsepsi politik Islam jika pondasi dan jiwanya bukan tauhid. Acuan politik Islam adalah risalah Allah yang dibawa oleh Muhammad Rasulullah. Melalui al-Quran dan Sunnah, ditemukan nilai-nilai yang harus dipedomani oleh umat Islam dalam  politik. Melalui al-Quran dan Sunnah ditemukan nilai-nilai musyawarah, anjuran untuk taat kepada pemimpin, nilai keadilan, persamaan, dan nilai-nilai toleransi. Khilafah adalah missi politik Islam. Khilafah yang dimaksudkan di sini bukanlah khilafah sebagai bentuk ketatanegaraan seperti bentuk ketaanegaraan di zaman kekhalifahan Islam tempo dulu. Tetapi nilai-nilai yang mengajarkan bahwa setiap pribadi muslim pada dasarnya adalah khalifah Allah di permukaan bumi. Setiap pribadi muslim harus menyadari tanggung jawab penciptaannya sebagai khalifah Allah yang memikul amanah untuk menata kehidupan di dunia ini sesuai dengan pesan-pesan suci agama Allah.
B.  Kekhalifahan Substantif  Bukan Kekhalifahan Historis
            Pada dasarnya Islam tidak pernah mengatur secara tegas bentuk negara atau bentuk ketatanegaraan. Islam hanya mengatur norma-norma dasar yang yang harus diperhatikan oleh setiap muslim dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara (Ahmad Rivauzi, 2015: 267).       
            Di kalangan umat Islam, sebagaimana dijelaskan oleh Munawir Sjadzali (1991:1-2), terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan ketatanegaraan. Tiga aliran tersebut adalah:
1.  Aliran yang berpandangan bahwa Islam bukanlah semata-mata agama yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, tetapi Islam adalah suatu agama yang sempurna dan lengkap yang mengatur segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Para penganut aliran ini umumnya berpendirian bahwa Islam adalah agama yang lengkap. Di dalamnya juga terdapat antara lain sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya, dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketaanegaraan Islam dan tidak meniru sistem ketatanegaraan Barat. Sistem ketatanegaraan yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan empat khulafaurrasyidin. Tokoh-tokoh aliran ini antara lain Syekh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan Maulana al-Maududi.
2.   Aliran yang berpandangan bahwa Islam adalah agama yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan  urusan kenegaraan. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul biasa seperti rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal yaitu mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dan berbudi pekerti luhur. Tokoh terkemuka dari golongan ini adalah Ali Abd al-Raziq dan Dr. Thaha Husein.
3.  Golongan yang berpendapat bahwa Islam memang bukan agama yang hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, tetapi Islam juga bukan agama yang memuat segala sesuatu secara detail lengkap seperti sistem ketatanegaraan. Aliran ini berpandangan bahwa di dalam Islam hanya dimuat seperangkat tata nilai bagi kehidupan bernegara. Tokoh dalam golongan ini yang menonjol adalah Muhammad Husein Haikal, penulis buku Hayatu Muhammad.
            Menurut Abuddin Nata (2011: 455), di dalam al-Quran dijumpai beberapa istilah yang berkaitan dengan kepemimpinan atau pemimpin. Sebutan pemimpin dalam al-Quran tersebut adalah ulil amri (pemegang urusan) dalam QS. An-Nisa (4: 59); khalifah (pemimpin atau pengganti) QS. Al-An’am (6: 165); al-muluk (raja); wali (pelindung) dan ra’in sebagaimana termuat dalam Hadits:
كلكم راع وكلكم مسؤل عن رعيته (رواه البخاري ومسلم)
Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan ditanyai tentang kepemimpinannya (Bukhari dan Muslim)
Jika diperhatikan ayat-ayat al-Quran dan Hadits Nabi, maka semua itu menunjukkan bahwa Islam sesungguhnya menganut sistem politik yang fleksibel. Dengan demikian, yang perlu diperhatikan oleh umat Islam adalah nilai-nilai atau norma-norma yang perlu dirujuk oleh umat Islam dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedangkan tentang bentuk negara atau ketatanegaraan boleh disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat muslim itu sendiri (Ahmad Rivauzi, 2015: 269).
Ini berarti pendapat Muhammad Husein Haikal yang mengatakan bahwa Islam hanya memuat seperangkat sistem nilai, bukan mengatur bentuk negara lebih sesuai dengan semangat ajaran Islam itu sendiri yang mengendaki kehidupan umat Islam itu dinamis namun tetap berpijak kepada nilai-nilai Islam (Ahmad Rivauzi, 2015: 269)..
Sebagaimana ditegaskan oleh Abuddin Nata (2011: 456), pendapat Muhammad Husein Haikal ini di dukung oleh fakta sejarah umat Islam, mulai dari zaman Nabi Muhammad sampai sekarang. Pada zaman Nabi Muhammad misalnya, setelah beliau pindah dari Makkah ke Madinah, beliau tidak hanya melaksanakan tugas sebagai rasul Allah, tetapi juga sebagai kepala pemerintahan. Harun Nasution memandang bahwa model pemerintahan atau kepemimpinan Nabi Muhammad adalah theodemocraci (demokrasi ketuhanan). Hal ini didasarkan dengan fakta bahwa setiap kali pengambilan keputusan, Nabi Muhammad selalu bermusyawarah dengan para sahabat, namun keputusan akhirnya adalah keputusan Allah melalui wahyu-Nya.
 Menurut Munawir Sjadzali (1991) masyarakat Madinah di zaman Rasul diikat oleh kesepakatan Piagam Madinah. Isi Piagam Madinah yang berjumlah 47 Pasal tersebut adalah
1.    Umat Islam adalah satu walau berasal dari banyak suku
2.    Hubungan antar agama didasari prinsip:
a.    Bertetangga baik
b.    Saling bantu hadapi musuh bersama
c.    Membela mereka yang teraniaya
d.   Saling menasihati
e.    Kebebasan beragama
f.     Sama di depan hukum
g.    Keadilan
h.    Penyelesaian selisih perkara  adalah ketentuan Allah dan Muhammad Rasulullah
3.  Piagam Madinah tidak memuat agama negara
            Abuddin Nata (2011: 457), menjelaskan bahwa setelah Rasulullah wafat, kepemimpinan negara Islam dipegang oleh khulafaurrasyidin; Abu Bakar memerintah selama ­ + 3 tahun, Umar Ibn Khattab memerintah selama 10 tahun, Usman Ibn ‘Affan selama 12 tahun, dan Ali bin Abi Thalib selama + 5 tahun.  Selama masa khulafaurrasyidin ini, tidak terdapat satu pola yang baku mengenai cara pengangkatan khalifah. Abu Bakar diangkat melalui musyawarah atas usulan Umar, dan Umar melalui penunjukan langsung dari Abu Bakar, Utsman melalui musyawarah dewan (formatur) yang terdiri dari enam orang yang dibentuk oleh Umar, sedangkan Ali bin Abi Thalib dipilih melalui pertemuan terbuka di Madinah tetapi hanya dihadiri oleh beberapa sahabat senior, suasananya kacau, dan keabsahan pemilihan Ali ditentang oleh sebagian masyarakat termasuk Muawiyah. Sebagian pakar berpendapat, sistem ketatanegaran di zaman khulafaurrasyidin adalah sistem aristokrat demokrasi, yaitu demokrasi yang diwakili oleh sekelompok elit masyarakat (Ahmad Rivauzi, 2015: 271)
            Selanjutnya, sistem ketatanegaraan di zaman Muawiyah berbeda lagi dengan sistem keatanegaraan dengan zaman khulafaurrasyidin. Muawiyah mendapatkan kedudukan khalifah tidak melalui musyawarah, dan tidak pula atas persetujuan tokoh-tokoh elit, tetapi melalui ketajaman pedang dan tipu muslihat. Menjelang akhir hayatnya ia menunjuk anaknya Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikannya. Inilah awal model ketatanegaraan monarkhi (kerajaan) di dalam Islam. Sistem ini dilanjutkan oleh dinasti sesudahnya Abbasiyah, hingga kehancuran kekhalifahan Turki Utsmani pada Abad ke 15 M. Setelah ini, maka sistem ketatanegaran di dunia Islam menjadi sangat beragam (Abuddin Nata, 2011: 458).
            Dengan demikian, dalam tinjauan sejarah, Islam tidak menganut sistem kettatanegaran yang baku. Islam sesungguhnya tidak pernah mempersoalkan bentuk atau sistem ketatanegaraan, apakah kerajaan, republik, dan lain sebagainya. Islam sesungguhnya lebih mementingkan isi dari pada bentuk. Atau Islam lebih mementingkan nilai dan prinsip-prinsip. Tentang bentuk dan sistem ketatanegaraan, umat Islam boleh berijtihad sesuai dengan kebutuhan zamannya untuk mensejahterakan masyarakatnya dan terwujudnya kehidupan yang adil dan diredhai oleh Allah Swt (Ahmad Rivauzi, 2015: 272)..
            Dengan demikian yang dimaksudkan dengan kekhalifahan substantif adalah  sistem nilai yang bersifat normatif dan filosofis yang harus dipahami dan diikuti oleh umat Islam. Hal ini mengisyaratkan bahwa setiap manusia adalah wakil Allah di permukaan bumi dan dalam kehidupannya ia harus memegang kuat nilai-nilai yang diajarkan di dalam Islam seperti nilai tauhid, nilai keadilan, persamaan, musyawarah dan lain-lain. Dan ini sangat penting untuk dipahami oleh umat Islam (Ahmad Rivauzi, 2015: 272).
            Sedangkan kekhalifahan historis adalah bentuk-bentuk sistem ketatanegaran yang pernah dimiliki oleh umat Islam dalam perjalanan sejarah panjangnya mulai dari bentuk dan sistem ketatanegaraan dari zaman khulafaurrasyidin sampai dengan zaman kekhalifahan Turki Utsmani. Dan hal ini tentunya tidak ada keharusan bagi umat Islam untuk mengambil bentuk sistem ketaanegaran ini. Untuk bentuk dan sistem ketatanegaran umat Islam perlu berijtihad sesuai dengan kebutuhan zamannya (Ahmad Rivauzi, 2015: 272)


Kepustakaan
Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011, Cet I.
Ahmad Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman; Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, (Ciputat: Sakata Cendikia, 2015) Cet I
Nasrul HS dkk. Pendidikan Agama Islam Bernuansa Soft Skill untuk Perguruan Tinggi, (Padang: UNP Press, 2011)
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran , (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1991), Cet. III

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991



Islam dan Seni

 Islam dan Seni
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA
Menurut Quraish Shihab (2007: 386), sebagaimana dikuti Ahmad Rivauzi (2015: 312-313) menjelaskan bahwa seni adalah keindahan yang merupakan ekspresi ruh dan budaya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Seni lahir dari sisi terdalam manusia dan jika diperhatikan kandungan utama pesan suci al-Quran adalah tauhid (Quraish Shihab, 2007: 386). Mulai dari ayat pertama al-Quran yang memerintahkan membaca terkandung  isyarat kepada manusia untuk membaca dan memperhatikan segala sesuatu, kemudian menemukan keagungan, kesempurnaan dan keindahan Allah sebagai Zat yang Maha Mencipta.
Allah berfirman,
إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاء الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ , وَحِفْظاً مِّن كُلِّ شَيْطَانٍ مَّارِدٍ
Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, dan telah memeliharanya (sebenar-benarnya) dari setiap syaitan yang sangat durhaka, (QS. Ash-Shaffat, 37:6-7)
وَالأَنْعَامَ خَلَقَهَا لَكُمْ فِيهَا دِفْءٌ وَمَنَافِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ , وَلَكُمْ فِيهَا جَمَالٌ حِينَ تُرِيحُونَ وَحِينَ تَسْرَحُونَ
Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfa`at, dan sebahagiannya kamu makan. Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan. (QS. Al-Nahl, 16:5-6)
Pada ayat di atas digambarkan bagaimana Allah menghiasi alam semesta yang diciptakan-Nya dan membolehkan manusia untuk memandangnya dan menikmati keindhannya serta melukiskan keindahan tersebut sesuai dengan subjektifitas perasaannya (Quraish Shihab, 2007: 388).
Dengan demikian, sebagaimana dijelaskan Quraish Shihab (2007: 389), keindahan alam raya sesungguhnya memiliki peran dan fungsi dalam hal membuktikan keesaan dan kekuasaan Allah. Mengabaikan sisi-sisi keindahan ciptaan Allah berarti mengabaikan salah satu dari bukti keesaan Allah. Bahkan Immannuel Kant dan Syaikh Abdul Halim Mahmud mengatakan, “Bukti terkuat tentang wujud Allah terdapat dalam rasa manusia”. Imam al-Ghazali juga menulis:
من لم يحركه الربيع وأزهارها والعود وأوتاره فهو فاسد المزاج ليس له علاج
Siapa yang tidak terkesan hatinya di musim bunga dengan kembang-kembangnya, atau oleh alat musik dan getaran nadanya, maka fitrahnya telah mengidap penyakit parah yang sulit diobati
Rasulullah saw sendiri sebagaimana diungkap Quraish Shihab (2007: 390) pernah memakai pakaian yang indah. Bahkan suatu ketika beliau memperoleh hadiah berupa pakaian yang bersulam benang emas, lalu beliau naik ke mimbar, namun beliau tidak berkhutbah dan kemudian beliau turun. Para sahabat kagum dengan baju itu, sampai mereka memegang dan merabanya. Kemudian Rasulullah bersabda,
أتعجبون من هذا ؟ قالوا ما رأينا ثوبا قط أحسن منه فقال ص.م لمنا ويل سعد بن معاذ في الجنة أحسن مما ترون (رواه الترمذي عن مغيرة بن ثعبة)
“Apakah kalian mengagumi baju ini?” Mereka berkata, “kami sama sekali belum pernah melihat pakaian lebih indah dari ini”. Nabi bersabda,” sesungguhnya sapu tangan Sa’at bin Muadz di surga jauh jauh lebih indah dari yang kalian lihat”.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai keindahan. Namun demikian, kenapa warna kesenian kurang muncul pada masa Nabi, bahkan terkesan ada pembatasan-pembatasan? Dalam menjawab pertanyaan ini Quraish Shihab (2007:390-391) menjelaskan  sebagaimana juga dijelaskan oleh Sayyid Quthb bahwa pada masa Rasulullah dan para sahabat, proses penghayatan nilai-nilai Islam baru di mulai, bahkan sebagian mereka baru dalam tahap upaya membersihkan gagasan-gagasan Jahiliyyah yang telah meresap selama ini dalam benak dan jiwa masyarakat, sehingga kehati-hatian amat diperlukan baik dari Nabi sendiri sebagai pembimbing maupun dari kaum muslimin lainnya (Ahmad Rivauzi, 2015: 314-315).
Menurut Quraish Shihab (2007:391), atas dasar inilah kaum muslimin sekarang harus memahami larangan-larangan berkaitan dengan adanya larangan tertentu yang berhubungan dengan seni tertentu. Di antara bentuk karya seni yang terdapat adanya larangan tersebut adalah:
1.    Seni Lukis, Pahat, dan Patung
Di antara larangan-larangan yang berhubungan dengan seni lukis dan patung sebagaimana diungkap oleh Yusuf Qaradhawi (2011: 109-111), tentang Hadits-Hadits yang melarang patung dan gambar sebagaimana dapat dijumpai dalam kitabnya “Halal dan Haram” , sebagaimana dijelaskan di bawah ini.
Islam mengharamkan patung-patung yang terdapat di dalam rumah tangga muslim bahkan malaikat pembawa rahmat akan menjauh dari rumah tersebut jika di dalamnya terdapat patung-patung. Hal ini sebagaimana ditemukan dalam Hadits:
إن الملائكة لا تدخل بيتا فيه تماثيل (رواه البخاري ومسلم)
Sesungguhnya malikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya terdapat patung (HR. Bukhari dan Muslim)
إن من أشدِّالناس عذابا يوم القيامة الذين يصورون هذه الصور (رواه متفق عليه)
Sesungguhnya di antara orang yang paling berat siksaannya pada hari kiamat ialah orang yang menggambar gambar-gambar ini (HR. Muttafaq ‘alaih)
من صور صورة كلّف يوم القيامة أن ينفخ فيها الروح وليس بنافخ فيها أبدا (رواه البخاري وغيره)
Barangsiapa membuat gambar maka pada hari kiamat nanti Allah akan memaksanya agar meniupkan ruh padanya, padahal selamnya ia tidak akan dapat meniupkan ruh itu padanya (HR Bukhari dan lainnya).     
Dalam sebuah Hadits Qudsi juga ditemukan pelarangan yang sama,
ومن أظم ممّن ذهب يخلق كخلقي ؟ فيخلقوا ذرّة فيخلقوا شعيرة (رواه متفق عليه)
Siapakah yang lebih zhalim dari pada orang yang hendak menciptakan sesuatu seperti ciptaan-Ku? Karna itu cobalah mereka membuat sebutir dzarrah (atom) atau membuat sebutir anggur (HR. Muttafaq ‘alaih)        
Berkenaan dengan Hadits-Hadits di atas, Yusuf Qardhawi (2011:110 & 129-130) menjelaskan bahwa Islam melakukan tindakan preventif terhadap tergelincirnya akidah umat Islam kepada akidah yang salah sebagaimana yang dianut oleh kaum Jahiliyyah masa lalu. Yusuf Qaradhawi agaknya lebih melihat teks Hadits di atas ketimbang melihat konteksnya sehingga ia berpandangan akan keharaman seni lukis, pahat, dan patung tersebut kecuali boneka mainan untuk anak-anak dan patung kue yang ditujukan untuk di makan (Ahmad Rivauzi, 2015: 316).
Selanjutnya, dalam memahami larangan Hadits- Hadits di atas, Quraish Shihab melihatnya dari perspektif kontekstualnya Hadits. Dalam hal seni lukis, pahat, dan patung ini menurut Quraish Shihab (2007), terdapat ayat al-Quran yang berbicara tentang patung pada beberapa surat. Yaitu:
فَجَعَلَهُمْ جُذَاذاً إِلَّا كَبِيراً لَّهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ
Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. (QS. Al-Anbiya’, 21: 58)        
Pada ayat di atas digambarkan bahwa Nabi Ibrahim menghancurkan patung-patung yang dijadikan sembahan oleh masyarakat pada zamannya, namun Ibrahim tidak menghancurkan  patung yang paling besar dengan tujuan agar melalui patung yang paling besar ini Nabi Ibrahim ingin membuktikan bahwa patung-patung yang mereka sembah sangat tidak layak untuk dijadikan sembahan. Hal ini dapat ditemukan pada QS. Al-Anbiya’, 21: 63-64. Berdasarkan kisah Ibrahim ini, maka dapat dipahami bahwa yang menjadi persoalan sesungguhnya bukan pada patungnya, namun pada sikap terhadap patung tersebut (Ahmad Rivauzi, 2015: 317).
Dalam surat Saba’, 34: 12-13 juga ditemukan uraian tentang nikmat yang diberikan Allah kepada Nabi Sulaiman.
وَلِسُلَيْمَانَ الرِّيحَ غُدُوُّهَا شَهْرٌ وَرَوَاحُهَا شَهْرٌ وَأَسَلْنَا لَهُ عَيْنَ الْقِطْرِ وَمِنَ الْجِنِّ مَن يَعْمَلُ بَيْنَ يَدَيْهِ بِإِذْنِ رَبِّهِ وَمَن يَزِغْ مِنْهُمْ عَنْ أَمْرِنَا نُذِقْهُ مِنْ عَذَابِ السَّعِيرِ , يَعْمَلُونَ لَهُ مَا يَشَاءُ مِن مَّحَارِيبَ وَتَمَاثِيلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُورٍ رَّاسِيَاتٍ اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْراً وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula) dan Kami alirkan cairan tembaga baginya. Dan sebahagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan izin Tuhannya. Dan siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyala-nyala. Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih.(QS. Saba’, 34: 12-13)    
Al-Qurthubi menyebutkan sebagaimana dikutip Quraish Shihab (2007: 392-393), bahwa patung-patung yang dibuatkan untuk Sulaiman tersebut terbuat dari kaca, marmer, dan tembaga. Konon patung-patung tersebut menampilkan ulama dan nabi-nabi terdahulu. Pembicaraan al-Quran tentang patung-patung juga dapat ditemukan pada surat-surat lain misalnya , QS. Ali Imran, 3:48-49 dan QS. Al-Maidah, 5: 110 yang menyebutkan tentang mu’jizat Nabi Isa yang membuat patung burung dari tanah liat kemudian ditiupnya hingga menjadi burung yang sebenarnya. Pada QS. Al-A’raf, 7: 73-74, QS. Asy-Syu’ara’, 26:155-156, dan QS. Asy-Syams, 91: 13-15 yang menceritakan keahlian kaum Tsamud dalam melukis dan memahat. Kepada kaum ini ditunjukkan mu’jizat oleh Nabi Shaleh dengan keluarnya unta yang hidup dari batu karang (Ahmad Rivauzi, 2015: 318).
Bersadarkan penjelasan al-Quran di atas, maka Muhammad Ath-Tahir bin Syur memaparkan bahwa pelarangan Islam terhadap patung lebih dikarenakan oleh sebab Islam ingin mengikis habis tradisi Bangsa Arab yang menjadikan patung sebagai sembahan mereka. Jadi pengharamannya terletak pada kebiasaan menjadikan patung sebagai sembahan, bukan pada patungnya. Bahkan Muhammad Imarah menegaskan bahwa apabila seni dapat dijadikan membawa mamfaat bagi manusia, sebagai hiasan dan menjadikan kehidupan menjadi indah, maka Islam sangat mendukungnya (Quraish Shihab, 2007: 394). Penjelasan ini tentunya juga dapat ditambahkan, jika seni pahat, lukis, dan patung justru dijadikan sebagai sarana untuk mempersekutukan Allah atau sebagai sarana bermaksiat kepada Allah, maka dengan sendirinya seni seperti itu duhukum haram oleh Allah. Tetapi jika tidak ditujukan kepada hal-hal yang dimurkai Allah seperti kesyirikan, maka seni dalam bentuk ini tidak dilarang (Ahmad Rivauzi, 2015: 319).
2.    Seni Suara  (nyanyian) dan Musik
Yusuf Qaradhawi (2011:345-350) memiliki pandangan yang berbeda dengan nyanyian dan musik. Dalam hal nyanyian, ia malah memandang dibolehkannya nyanyian dan musik. Islam memperbolehkan nyanyian asalkan tidak kotor, cabul, dan mengajak berbuat dosa. Hal ini didasarkannya kepada beberapa Hadits sebagai berikut:
عن عائشة رضي الله عنها أنها زَفَّتِ امرأةً الى رجل من الأنصار فقال النبي ص م ياعائشة ماكان معهم من لَهْوٍ فإن الأنصار يعجبهم اللَّهوُ (رواه البخاري)
Dari ‘Aisyah r.a bahwa ketika ia mengantarkan pengantin perempuan ke tempat laki-laki Anshar, Nabi saw bertanya,”Wahai ‘Aisyah, apakah mereka diiringi dengan hiburan? Karena orang-orang Anshar suka dengan hiburan (HR. Bukhari)
زوَّجت عائشة ذات قرابة لها من الأنصار فجاء رسول الله ص م أهديتُهم الفتاة ؟ قالوا نعم قال أرسلتم معها من يغني ؟ قالت لا . فقال رسول الله ص م إن الأنصار قوم فيهم غَزَل فلو بعثتم معها من يقول أتيناكم أتيناكم فحيَّانا وحيَّاكم (ابن ماجه)
Aisyah pernah menikahkan kerabatnya dari Anshar, kemudian Rasulullah saw datang seraya bertanya, “Apakah kamu akan memberi hadiah kepada gadis itu?’ Meraka menjawab, ‘Ya”. Beliau bertanya lagi, “ Apakah kamu kirim bersamanya seseorang untuk bernyanyi?” Aisyah menjawab, ‘Tidak’. Lalu Rasulullah saw bersabda, “ Sesungguhnya kaum Anshar adalah kaum yang suka merayu, maka alangkah baiknya kalu kamu kirimkan bersama gadis itu orang yang mengatakan (menyanyikan): ‘Kami datang, kami datang, selamat datang kami, selamat datang kamu”. (HR. Ibn Majah)           
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ sebagaimana dikutip Yusuf Qaradhawi (2011: 346-348), menjelaskan bahwa Hadits-Hadits tentang nyanyian dua wanita (yang memuja kepahlawanan para syahid di Badar), permainan orang Habasyah di Masjid Nabi saw,   dll terdapat dalam Shahihain, dan ini merupakan nash yang jelas bahwa menyanyi dan bermain itu boleh. Sehingga dengan demikian, bermain anggar seperti permainan orang Habasyah, bermain di Masjid, bernyanyi, bermusik dan memukul gendang merupakan hal-hal yang dibolehkan oleh agama. Bahkan Yusuf Qaradhawi juga menegaskan bahwa Hadits-Hadits yang melarang nyanyian semuanya memiliki cacat. Ibn Hazm juga berkata, “Semua riwayat Hadits yang mengharamkan nyanyian adalah bathil dan maudhu’ (palsu)” (Ahmad Rivauzi, 2015: 320).
Qaradhawi (2011: 348) juga menambahkan bahwa sebagian ulama yang mengharamkan nyanyian, mendasarkan pendapatnya pada QS Luqman, (31) ayat 6, yang mengungkapkan tentang ungkapan “lahwul Hadits” (perkataan yang tidak berguna) dan menganggap nyanyian sebagai perkataan yang tidak berguna.
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman, 31: 6)
Pada hal menurut Ibn ‘Azm bahwa yang dimaksudkan dengan lahwul Hadits tersebut adalah perbuatan atau sesuatu yang memiliki sifat yang apabila dilakukan bisa membawa pelakunya menjadi ingkar kepada Allah. Dengan demikian, menurut Ibn Hazm, mendengarkan nyanyian dengan maksud atau mengandung kemaksiatan kepada Allah, maka itu adalah fasik, termasuk segala hal yang lain. Namun jika nyanyian ditujukan untuk menghibur hati, agar hatinya lebih kuat melakukan ketaatan kepada Allah, berbuat kebajikan, maka hal itu adalah boleh dan dinilai baik. Namun jika seseorang mendengar nyanyian tanpa maksud untuk keta’atan dan tidak pula bermaksud keamaksiatan, maka hal itu dipandang sebagai perbuatan sia-sia yang dima’afkan (Ahmad Rivauzi, 2015: 321).
Quraish Shihab (2007: 395) juga menjelaskan bahwa nyanyian yang dilarang adalah nyanyian yang menyebabkan  seseorang menjadi lengah dan lalai, atau nyanyian yang bersifat olok-olokan terhadap agama Allah. Seperti yang tergambar pada firman Allah:
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ , وَتَضْحَكُونَ وَلَا تَبْكُونَ , وَأَنتُمْ سَامِدُونَ

Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?  Sedang kamu melengahkan (nya)? (QS. Al-Najm, 53: 59-61)


Kepustakaan

Ahmad Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman; Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, (Ciputat: Sakata Cendikia, 2015) Cet I
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Bandung: Mizan, 2006, Cet. XXIX
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2007, cet. XVIII
M. Quraish Shihab, Lentera al-Quran, Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung:Mizan, 2013 Edisi II, Cet. 1.,

Yusuf al-Qardhawi , Halal dan Haram, Penj. Abu Sa’id al-Falahi dkk dari judul Asli al-Halal wa al-Haram fi al-Islam(Jakarta: Robbani Press, 2011) cet IX