Jumat, 01 Mei 2015

Teori Belajar al-Nafs

Teori Belajar al-Nafs
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA

Ahmad Rivauzi (2014: 418) menawarkan teori belajar al-Nafs yang berangkat dari pandangan Islam tentang hakikat manusia. Dalam Islam, manusia dipandang sebagai makhluk dua dimensi, yaitu dimensi ruh dan dimensi jasad. Persenyawaan ruh dan jasad melahirkan potensi an-nafs sebagai dimensi psiko-pisik manusia. Manusia dipandang dalam Islam memikul amanah sebagai hamba dan wakil Allah di permukaan bumi ini yang oleh karenanya, manusia dibekali dengan berbagai potensi baik dalam bentuk potensi jasmani yang diciptakan dalam bentuk dan wujud yang sempurna, maupun ruhani yang karenanya manusia menjadi makhluk yang berkeadaban. Penjelasan tentang hakikat manusia dalam Islam ini telah dijelaskan pada bagian bab terdahulu.
Ahmad Rivauzi (2014: 440-441) membandingkan teori belajar Behavioristik, Kognitif, dan teori belajar al-Nafs sebagai berikut:
TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK
TEORI BELAJAR KOGNITIF
TEORI BELAJAR AL-NAFS
Mementingkan pengaruh lingkungan
Mementingkan apa yang ada dalam diri
Manusia dipengaruhi oleh faktor internal dan lingkungan
Mementingkan bagian-bagian (perubahan prilaku dipecah menjadi bagian-bagian prilaku)
Mementingkan keseluruhan
Kebermaknaan dari keseluruhan dengan tidak mengabaikan bagian-bagian
Mengutamakan peranan reaksi (kesiapan merespon)
Mengutamakan fungsi kognitif
Kesiapan Reaksi dan kognisi
Hasil belajar terbentuk secara mekanis
Terjadi keseimbangan dalam diri
Pada akhirnya, hasil belajar terbentuk akibat keseimbangan dalam diri
Dipengaruhi pengalaman masa lalu
Tergantung pada kondisi saat ini
Dapat dipengaruhi masa lalu dan kondisi saat kini
Pembiasaan
Mementingkan terbentuknya struktur kognisi
Pembiasaan dan terbentuknya kognisi
Memecahkan masalah dengan trial and error
Memecahkan masalah didasarkan kepada insight
Pengalaman dan insight
            Peranan guru pada teori belajar al-Nafs adalah menghimpun ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan setiap materi pembelajaran. Seorang guru dituntut memiliki perbendaharaan dan pemahaman tentang al-Quran sebagai kitab suci yang menjadi pedoman hidup bagi umat manusia. Pada dasarnya semua bidang ilmu pengetahuan memiliki keterkaitan dengan nilai, dan isyarat-isyarat yang terdapat dalam al-Quran, walaupun tidak disebutkan secara spesifik dalam al-Quran. Namun keumuman, dan keuniversalan al-Quran akan menempatkan pembelajaran dapat dijadikan sebagai proses perubahan tingkah laku dan kualitas al-Nafs yang berbasiskan al-Quran (Ahmad Rivauzi, 2014: 441).
            Pada sisi lain, siswa harus digiring oleh guru untuk mengkaji dan melihat berbagai disiplin ilmu yang dipelajari dengan ayat-ayat al-Quran. Siswa dapat diberikan tugas-tugas belajar oleh guru, untuk mencari ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan permasalahan dan materi pembelajaran yang dipelajarinya. Guru dan siswa harus sama-sama memiliki pemahaman akan pentingnya mengembangkan ilmu pengetahuan berbasiskan al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw (Ahmad Rivauzi, 2014: 441).
            Dengan menjadikan al-Quran sebagai basis pembelajaran, akan menghindarkan peserta didik dari sekulasrisasi ilmu pengetahuan dan akan terbentuk sebuah pengetahuan yang terintegral dengan al-Quran. Peserta didik diharapkan akan menjadi scientis yang Qurani (Ahmad Rivauzi, 2014: 441).
Dengan ditupkannya ruh oleh Allah menjadikan manusia memiliki sifat-sifat ketuhanan yang cenderung pada kebenaran. Hal inilah yang menjadikan manusia itu menjadi istimewa dibanding makhluk lain. Inilah yang disebut dengan fitrah yang hanif(Ahmad Rivauzi, 2015: 213).
Menurut Al-Ghazali, nafs sama dengan ruh. Dia menyebutnya dengan ruh-ruhani. Nafs memiliki sifat tanah (al-Thiniyyat) dan api (al-nariyyah), sedangkan ruh bersifat seperti cahaya (al-nuriyyah) dan ruhani (al-ruhaniyyah. Nafs bersifat kemanusiian (al-nasutiyyah), sedang ruh bersifat ketuhanan (al-lahutiyyah). Sehingga Ibn Qayyim menyimpulkan bahwa ruh dan nafs itu merupakan substansi yang sama, tetapi berbeda sifatnya. Kesimpulan ini sama dengan pandangan Ikhwan al-Shafa tentang kesamaan hakikat atau substansi ruh dengan nafs (Ahmad Rivauzi, 2015: 213)..
Muhammad Quthb juga menegaskan, manusia merupakan perpaduan antara jasad dan ruh. Islam di samping yakin  akan adanya aspek jasmani dan ruh dengan berbagai kebutuhan dan daya setiap pada setiap aspek tersebut, Islam juga menjelaskan pula tentang kesatuan dan keterpaduan wujud manusia tersebut, dan tidak mungkinnya dipisah-pisahkan satu dengan yang lain fitrah sempurna yang berjalan menurut garis yang telah diciptakan Allah SWT tersebut (Ahmad Rivauzi, 2015: 213)..
Ruh adalah bagian manusia yang paling mulia karena ia adalah tiupan dari Allah SWT., ia harus dididik dengan tujuan untuk mempermudah jalan dihadapannya untuk bermakrifat kepada Allah SWT  dan membiasakannya serta melatihnya untuk benar-benar ibadah kepada Allah SWT. Dalam konteks inilah pendidikan dan pembelajaran menempati peran yang sangat penting. Dengan pendidikan dan pembelajaran,  ruh (nafs) dapat terpelihara kesuciannya dari pengaruh sifat-sifat materila seperti binatang, berkembang potensinya, berobah prilakunya dari ammarah, lawwamah menjadi muthmainnah. Inilah yang dimaksudkan dengan teori belajar al-Nafs (Ahmad Rivauzi, 2015: 213-214)..
Pendidikan harus berbasis pada nilai-nilai dan aspek spiritualitas. Dalam konsep ini, pendidikan harus ditempatkan sebagai sebuah  sistem pendidikan yang menekankan pada pengembangan kemampuan ruhaniah atau spiritual dengan dasar dan standar spiritual yang dapat dirasakan oleh peserta didik untuk meraih kesempurnaan hidup menurut ukuran Islam. Pengembangan kemampuan spiritual ini harus dipahami tidak terbatas pada peserta didik, akan tetapi mencakup semua elemen dan pelaku pendidikan. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa mendidik dan mengikuti pendidikan adalah ibadah. Ibadah secara fungsionil bertujuan pada pencerahan spiritual (Rivauzi, 2013:104). Pencerahan spiritual merupakan syarat untuk dapat diperolehnya hidayah dan terhubungnya manusia dengan Zat yang Maha Sempurna; Allah swt (Ahmad Rivauzi, 2015: 214)..
Dasar spiritual yang dimaksudkan adalah bahwa pendidikan berbasis spiritual harus memiliki nilai dasar sebagai pondasi dan landasan pendidikan. Dalam hal ini, nilai tauhid adalah nilai dasar dan al-Quran serta Hadits Nabi merupakan sumber utamanya. Sedangkan standar spiritual yang dimaksudkan adalah bahwa spiritualitas tidak dapat diukur dengan ukuran kuantitatif (angka-angka), namun lebih bersifat kualitas batin yang dapat dirasakan dan dipahami dengan indrawi zdauqiyah (cita rasa batin) (Rivauzi, 2013: 104).
Dalam pendidikan, spiritualitas seharusnya tidak sebatas dijadikan tujuan kegiatan pendidikan, akan tetapi spiritualitas perlu dijadikan ruh dari semua elemen dan komponen pendidikan. Ruh pendidikan ini yang pada gilirannya akan menjadikan pendidikan itu hidup, dinamis dan bermakna dalam menunaikan tugas dan fungsinya dalam pembetukan pribadi yang mulia yang dapat memberikan makna terhadap kehidupannya (Ahmad Rivauzi, 2013: 105).
Pendidikan Berbasis Spiritual didasari oleh keyakinan bahwa aktivitas pendidikan merupakan ibadah kepada Allah swt. Manusia diciptakan sebagai hamba Allah yang suci dan diberi amanah untuk memelihara kesucian tersebut. Secara umum pendidikan berbasis spiritual memusatkan perhatiannya pada spiritualitas sebagai potensi utama dalam menggerakkan setiap tindakan pendidikan dan pengajaran, dalam hal ini dipahami sebagai sumber inspiratif normative dalam kegiatan pendidikan dan pengajaran, dan sekaligus spiritualitas sebagai tujuan pendidikan (Ahmad Rivauzi, 2013: 105).
Pendidikan juga harus memiliki dasar yang kokoh yang mampu menyangga berdirinya sebuah sistem pendidikan yang mampu mengantarkan peserta didik mampu mengembangkan semua potensi dirinya dan mampu memikul tugas penciptaannya (Ahmad Rivauzi, 2015: 215)..
Mampunya seseorang memikul dan melaksanakan amanah penciptaan akan mengantarkan seseorang untuk dapat merasakan kedamaian, ketenangan sebagai akibat lahirnya keyakinan dalam diri yang dianugerahkan Allah. Keyakinan tersebut muncul dalam bentuk visi, dan optimisme masa depan (dunawi dan akhrawi) dan jaminan rahmat serta ridha Allah. Hal ini akan melahirkan  kebahagiaan hidup. Sumber kedamaian dan ketenangan dalam Islam adalah pada hati manusia itu sendiri akibat kebersamaannya dengan Allah melalui zikir. Sehingga melupakan dan mengabaikan aspek pengelolaan dan pendidikan qalbiyah (hati) merupakan kecerobohan dalam pendidikan dan sangat membahayakan kehidupan umat manusia itu sendiri, baik pribadi maupun sosial (Ahmad Rivauzi, 2015: 215-216)..
Jika hal-hal yang digambarkan di atas tidak terwujud pada diri seseorang, maka kehampaan spiritual dengan sendirinya akan datang.
Di dalam al-Quran, Allah berfirman:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ , الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ , وَالَّذِينَ  يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ , أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezkiyang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang Telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang Telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung (QS. Al-Baqarah:2-5)
Ayat di atas ditujukan untuk memotong keraguan-raguan manusia tentang kebenaran tuntunan dan petunjuk Allah (al-Quran). Al-Quran datang dengan dalil kebenaran yang sudah semestinya dijadikan sebagai dasar dan pedoman hidup tanpa keraguan.
a.    Asas-asas Belajar dalam Teori Belajar al-Nafs
Ahmad Rivauzi (2015: 217- 224) memaparkan asas-asas belajar dalam teori belajar al-Nafs adalah:
Pertama, pembelajaran dan Pendidikan adalah Ta’abbudiyah dan Perwujudan Amanah sebagai Khalifah Allah. Mendidik, membelajarkan harus dipahami sebagai bentuk penghambaan diri yang dimaknai sebagai ibadah kepada Allah. Mendidik, membelajarkan diri dan orang lain juga harus vdipahami sebagai bentuk menunaikan manah kekhalifahan yang diamanahkan oleh Allah.  Hal ini, seseorang perlu melakukan upaya mengeklusifkan tauhid rububiyyah dan uluhiyyah. Rububiyyah berkaitan dengan keyakinan dan penyadaran ketuhanan bahwa Allah adalah satu-satunya pengatur dan pendidik; Allah-lah yang menunjuki dan pendidik yang sesungguhnya, sementara posisi dan peranan manusia(guru) hanya sebagai khalifah Allah dalam melakukan bimbingan dan bantuan pendidikan. Uluhiyyah, adalah mengembangkan keyakinan bahwa semua yang dilakukan harus berpedoman kepada suara Ilahiyah dan bertujuan untuk redha Ilahi. Eksklusifitas keyakinan ini merupakan hakikat dari iman seorang hamba yang cinta amal shaleh dan rindu kepada perjumpaan (liqa) dengan Allah. Inilah kualitas iman yang bercahaya dan menyinari dada orang yang mukmin. Allah membimbing kepada cahaya ini siapa yang Dia kehendaki. Cahaya Allah yang menempati hati orang yang Islam ini membentuk akal dan hati nuraninya yang dengan cahaya itu ia mengenal berbagai hakikat. Inilah bashirah anugrah Allah. Kemudian Allah juga memberinya furqan sebagai sebuah kemampuan untuk membedakan yang hak dan kemudian mengikutinya dan mengenal yang batil kemudian menjauhinya (Ahmad Rivauzi, 2013:117-118).
Allah Menjanjikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman sebagaimana Firman-Nya:
يَقُولُونَ لَئِنْ رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الْأَعَزُّ مِنْهَا الْأَذَلَّ وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ
 Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya". Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mu'min, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui..(QS.al-Munafiqun: 8)
Kehadiran Allah yang dirasakan oleh seseorang yang tunduk dan berserah diri kepada Allah  akan membangun kekuatan untuk menyeru manusia kepada kebenaran itu. Dia memiliki kemapuan untuk memimpin dirinya sendiri dan layak untuk menjadi pemimpin dan suri tauladan bagi lingkungannya (Ahmad Rivauzi, 2013:119).
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.(QS. Ali Imran: 110)
Orang yang Islam memiliki keyakinan yang tidak tergoyahkan. Mereka menyatu dengan qudrat dan iradat Allah dan akan mendapatkan ketangguhan dalam menjalani hidup karena Allah satu-satunya wali yang melindungi dan membimbingnya (Ahmad Rivauzi, 2013:119).
Seorang guru, murid dan semua elemen dalam pendidikan dan pembelajaran harus memiliki istiqamah penghambaan dirinya kepada Allah istiqamah ini akan diberikan kekuatan oleh Allah dalam menghadapi dinamika dan persoalan dalam pendidikan dan pembelajaran. Bagi orang yang istiqamah, tantangan hanya sebagai cambuk dalam menapaki hidup yang mereka jadikan sebagai hamparan sajadah ibadah kepada Tuhannya dan senatiasa berpegang teguh pada misi rahmatan lil’alamin (Ahmad Rivauzi, 2013:119).
فَاسْتَمْسِكْ بِالَّذِي أُوحِيَ إِلَيْكَ إِنَّكَ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus.(QS.az-Zukhruf:43)
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
 Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu".(QS. Fushilat:30)
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.(QS.Hud: 112)             
Abu Ali ad-Daqqaq yang menjelaskan:
 “Ada tiga derajat pengertian istiqamah, yaitu menegakkan atau membentuk sesuatu (taqwim), menyehatkan atau meluruskan (iqamah), dan berlaku lurus (istiqamah). Taqwim menyangkut disiplin jiwa, iqamah berkaitan dengan penyempurnaan, dan istiqamah berhubungan dengan tindakan mendekatkan diri kepada Allah” (Toto Tasmara, 2001:203)
Istiqamah juga harus dipahami bukanlah sikap yang jumud akan tetapi dinamis dan terbuka (open minded), inovatif, dan kreatif (Toto Tasmara, 2001:203). Kebermaknaan hidup, pendidikan dan pembelajaran penting dimiliki oleh setipa pelaku pendidikan dan pembelajaran. Viktor Frankl  yang menulis tentang hidup dan maknanya sebagaimana ditulis oleh Hanna Djumhana Bustaman dalam “Meraih Hidup Bermakna: Kisah Pribadi Dengan Pengalaman Tragis, mengungkapkan:
”Dalam setiap keadaan, termasuk dalam penderitaan sekalipun kehidupan ini selalu mempunyai makna.  Kehendak untuk hidup secara bermakna mrupakan motivasi utama setiap orang.Dalam batas-batas tertentu manusia memiliki kebebasan dan tanggung jawab  pribadi untuk memilih dan menentukan makna dan tujuan hidupnya . Hidup bermakna diperoleh dengan jalan merealisasikan tiga nilai kehidupan yang disebut: Creative values(nilai-nilai kreasi), experiental values(nilai-nilai penghayatan, dan attitudinal values (nilai-nilai bersikap)” (Muhammad Wahyuni Nafis, 1996: 149)
Teori Viktor Frankl ini kemudian dikmbangkan oleh Danah Zohar dengan SQ nya. Namun semua teori ini hanya mampu mengintrodusir teori untuk menciptakan kebermaknaan hidup di dunia saja dan mengabdi pada hidup itu sendiri. Hal ini jelas berbeda dengan Islam yang memuat konsep kebermaknaan hidup di dunia dan akhirat atau dengan prinsip keseimbangan (Rivauzi, 2013:121).
Menurut Hanna Djumhana, makna hidup adalah hal-hal yang dipandang penting, dirasakan berharga, dan diyakini sebagai suatu yang benar serta dapat dijadikan tujuan hidupnya. Bila makna ini ditemukan dan tujuan itu terealisasikan, maka hidup akan dirasakan berarti (meaningful) dan bahagia (happines). Makna hidup bersifat personal, temporal, dan unik, Islam menawarkan makna dan tujuan hidup yang lebih paripurna yaitu bertemu dengan Allah dalam keredhaan-Nya (Ahmad Rivauzi, 2013:122).
Menurut Yusuf al-Qardhawi (1995:172), tujuan pokok hidup manusia  dan makna hidup bagi seorang muslim adalah beribadah kepada Allah, Menjadi khalifah di muka bumi, dan memakmurkan bumi sesuai dengan keinginan Allah.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.(QS. adz-Zariyat: 56)
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
 Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".(QS. al-Baqarah:30)
وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ
Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (do`a hamba-Nya).(QS. Hud: 61)
Asas kedua, membaca (iqra’). Iqra’ atau perintah membaca, adalah kata pertama dari wahyu yang turun pertama yang diterima Nabi Muhammad Saw. Karena pentingnya makna yang dikandung kata ini, sehingga Allah mengulangnya dua kali dalam rangkaian wahyu pertama tersebut. Kata iqra’ terambil dari kata قرأ yang pada mulanya berati “menghimpun”.  Arti lain dari kata ini adalah, menyampaikan, menela’ah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-ciri, dan lain sebagainya (M. Quraish Shihab, 2006: 167-168).
Kata قرأ berulang dalam al-Quran sebanyak tiga kali, yaitu pada QS. Al-Isra’, 17: 14) dan QS. Al-‘Alaq, 19:1dan 3). Sedangkan kata jadian dari akar kata tersebut dalam berbagai bentuknya, berulang sebanyak 17 kali selain dari kata al-Quran yang terulang sebanyak 70 kali. Menurut Quraish Shihab (2006: 167-168), objek bacaan dari kata-kata qara’a kadang ia menyangkut dengan bacaan yang berasal dari tuhan, dan kadang juga objeknya adalah suatu kitab yang merupakan himpunan karya manusia atau yang bukan berasal dari Allah. Dengan demikian objek dari perintah membaca tersebut sebagaimana yang dimaksud pada waktu pertama di atas adalah sangat luas sekali. Keluasan ini ditambah lagi dengan tidak disebutkannya objek yang harus dibaca pada wayu pertama tersebut menunjukkan keluasan objek yang harus dibaca oleh umat manusia.
Dalam kaitannya dengan asas pembelajaran sebagaimana dimaksudkan dalam tulisan ini, maka dunia pendidikan dan pembelajaran harus menempatkan motivasi dan kegairahan membaca ini untuk tercapainya tujuan pendidikan.
Ketiga, pembelajaran adalah Bertanya dan Mencari Jawab. Sebagaimana dijelaskan oleh Wina Sanjaya, bertanya adalah merupakan satu bentuk proses berpikir. Bertanya dapat ditujukan untuk menarik perhatian siswa, atau bersiafat melacak informasi ilmu, mengembangkan kemampuan atau menguji (Wina Sanjaya, 2010:200). Oleh sebab itu, guru, dan siswa harus membiasakan dan melatih keterampilan memunculkan pertanyaan-pertanyaan demi pertanyaan karena setiap pertanyaan akan memunculkan kebutuhan untuk mencari jawaban. Jawaban itulah yang dikatakan dengan ilmu pengetahuan.
Allah juga memberikan petunjuk akan pentingnya bertanya dalam pembelajaran.
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, (QS. An-Nahl, 16:43)
Keempat, pembelajaran adalah Memaksimalkan Potensi Pikir dan Zikir. Tentang komponen berfikir dan berzikir ini dapat dilihat pada firman Allah di bawah ini:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ,الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imran, 190-191)
Berfikir dan berzikir dalam pembelajaran seagaimana dimaksudkan dalam tulisan ini merupakan hakikat dari proses pembelajaran itu sendiri. Pembelajaran adalah memaksimalkan potensi otak dan potensi qalbu sehingga terbentuk pribadi yang uli al-bab. Berdasarkan ayat di atas, maka dapat dipetik pelajaran bahwa  perubahan tingkah laku dan kualitas diri sebagaimana menjadi sasaran utama pembelajaran Cuma dapat terjadi pada orang-orang yang memaksimalkan potensi pikir dan potensi zikirnya kepada Allah.
b.   Tahapan Proses Belajar dalam Teori Belajar al-Nafs
Ahmad Rivauzi (2015: 224) menjelaskan out put (Standar Kompetensi Lulusan) pendidikan dan pembelajaran secara umum. Deskripsi umum ini dapat diterjemahkan ke dalam Standar Kompetensi, Kompetensi dasar dan tujuan-tujuan pembelajaran pada semua mata pelajaran pada semua institusi pendidikan. Out put tersebut adalah:
o  Pertama, pengakuan keber-Tuhanan (QS. Ali Imran, 3: 190-191)
o  Kedua, Kemampuan mengabdi kepada Allah(QS. Al-An’am, 6: 161-162)
o  Ketiga, memiliki sikap Tegas, Ruhama’, Pencari Redha Allah(QS. Al-Fath, 48: 29)
o  Keempat, kesejahteraan hidup lahir dan batin (QS. Saba’, 34: 15)

Ahmad Rivauzi (2015: 225) menulis tahapan pembelajaran al-Nafs sebagai berikut:


Tahapan  Kegiatan Pembelajaran dalam Teori Belajar Al-Nafs
No
Kegiatan Pendahuluan
Kegiatan Inti
Penutup
1
Guru membuka pembelajaran dan mengajak murid untuk membaca basmalah, berserah diri kepada Allah, mengajak murid untuk merenungkan dan membaca ayat-ayat Allah (qauliyah dan kauniyah) kebesaran Allah dan mentauhidkan Allah serta mengajak murid untuk bertafakkur mohon keampunan dari Allah serta mengharapkan berkah dan rahmat-Nya.
Guru mendampingi murid-murid dalam memempelajari materi ajar dan menghubungkannya dengan ayat-ayat al-Quran terkait dan Hadits Nabi

Guru bersama murid menyimpulkan pembelajaran

2
Guru mengajak murid untuk membersihkan hati, memantapkan tauhid, meluruskan niat bahwa pembelajaran yang dilakukan adalah bentuk ibadah kepada Allah.

Guru memberikan kesempatan kepada murid untuk melaporkan dan mempresentasikan tugas-tugas belajar, saling bertanya dan menjawab dan menemukan kebesaran Allah dari setiap materi pembelajaran.
Guru bersama-sama murid melakukan upaya penegasan bahwa segala sesuatu selain dari pada Allah adalah ayat-ayat dan bukti-bukti keberadaan dan keesaan Allah dan keagunggan-Nya
3
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran yang harus dicapai serta mamfaat dari pembelajaran.

Guru mengajak murid untuk selalu berharap keredhaan dan rahmat dari Allah
4
Guru menjelaskan metode dan prosedur pembelajaran; diskusi, belajar berkelompok atau lain sebagaimya.

Evaluasi sesuai kebutuhan

Kepustakaan

Abdul Mujib,  Kepribadian dalam Psikologi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006
Abdul Mujib, Konsep Fitrah; Tela’ah atas Struktur Kepribadian dalam Perspektif Islam, ( Padang: PPs. IAIN IB Padang, 1997
Ahmad Rivauzi, Pendidikan Berbasis Spiritual: Pemikiran Pendidikan Abdurrauf Singkel dalam Kitab Tanbih al-Masyi, Padang: Jasa Surya, 2013. Cet. 1
Ahmad Rivauzi, Pemikiran Abdurrauf Singkel tentang Pendidikan dan Implikasinya Pada Pondok Pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan Pakandangan Padang Pariaman, (Disertasi), Padang: Pascasarjana IAIN IB Padang, 2014
Ahmad Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman: Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, Ciputat: Sakata Cendikia, 2015 Cet I
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Bandung: Mizan, 2006, Cet. XXIX
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2007, cet. XVIII
M. Quraish Shihab, Lentera al-Quran, Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung:Mizan, 2013 Edisi II, Cet. 1.,

Wina Sanjaya,  Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2010) Cet. VII

Tidak ada komentar:

Posting Komentar