Teori
Belajar al-Nafs
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA
Ahmad Rivauzi (2014: 418) menawarkan teori belajar
al-Nafs yang berangkat dari pandangan Islam tentang hakikat manusia. Dalam
Islam, manusia dipandang sebagai makhluk dua dimensi, yaitu dimensi ruh dan
dimensi jasad. Persenyawaan ruh dan jasad melahirkan potensi an-nafs
sebagai dimensi psiko-pisik manusia. Manusia dipandang dalam Islam memikul
amanah sebagai hamba dan wakil Allah di permukaan bumi ini yang oleh karenanya,
manusia dibekali dengan berbagai potensi baik dalam bentuk potensi jasmani yang
diciptakan dalam bentuk dan wujud yang sempurna, maupun ruhani yang karenanya
manusia menjadi makhluk yang berkeadaban. Penjelasan
tentang hakikat manusia dalam Islam ini telah dijelaskan pada bagian bab
terdahulu.
Ahmad Rivauzi (2014: 440-441) membandingkan teori belajar Behavioristik,
Kognitif, dan teori belajar al-Nafs sebagai berikut:
TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK
|
TEORI BELAJAR KOGNITIF
|
TEORI BELAJAR AL-NAFS
|
Mementingkan pengaruh lingkungan
|
Mementingkan apa yang ada dalam diri
|
Manusia dipengaruhi oleh faktor internal dan lingkungan
|
Mementingkan bagian-bagian (perubahan prilaku dipecah menjadi
bagian-bagian prilaku)
|
Mementingkan keseluruhan
|
Kebermaknaan dari keseluruhan dengan tidak mengabaikan bagian-bagian
|
Mengutamakan peranan reaksi (kesiapan merespon)
|
Mengutamakan fungsi kognitif
|
Kesiapan Reaksi dan kognisi
|
Hasil belajar terbentuk secara mekanis
|
Terjadi keseimbangan dalam diri
|
Pada akhirnya, hasil belajar terbentuk akibat keseimbangan dalam diri
|
Dipengaruhi pengalaman masa lalu
|
Tergantung pada kondisi saat ini
|
Dapat dipengaruhi masa lalu dan kondisi saat kini
|
Pembiasaan
|
Mementingkan terbentuknya struktur kognisi
|
Pembiasaan dan terbentuknya kognisi
|
Memecahkan masalah dengan trial and error
|
Memecahkan masalah didasarkan kepada insight
|
Pengalaman dan insight
|
Peranan guru pada
teori belajar al-Nafs adalah menghimpun ayat-ayat al-Quran yang berkaitan
dengan setiap materi pembelajaran. Seorang guru dituntut memiliki
perbendaharaan dan pemahaman tentang al-Quran sebagai kitab suci yang menjadi
pedoman hidup bagi umat manusia. Pada dasarnya semua bidang ilmu pengetahuan
memiliki keterkaitan dengan nilai, dan isyarat-isyarat yang terdapat dalam
al-Quran, walaupun tidak disebutkan secara spesifik dalam al-Quran. Namun
keumuman, dan keuniversalan al-Quran akan menempatkan pembelajaran dapat
dijadikan sebagai proses perubahan tingkah laku dan kualitas al-Nafs yang
berbasiskan al-Quran (Ahmad Rivauzi, 2014: 441).
Pada sisi lain,
siswa harus digiring oleh guru untuk mengkaji dan melihat berbagai disiplin
ilmu yang dipelajari dengan ayat-ayat al-Quran. Siswa dapat diberikan
tugas-tugas belajar oleh guru, untuk mencari ayat-ayat al-Quran yang berkaitan
dengan permasalahan dan materi pembelajaran yang dipelajarinya. Guru dan siswa
harus sama-sama memiliki pemahaman akan pentingnya mengembangkan ilmu
pengetahuan berbasiskan al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw (Ahmad Rivauzi, 2014: 441).
Dengan menjadikan al-Quran sebagai
basis pembelajaran, akan menghindarkan peserta didik dari sekulasrisasi ilmu
pengetahuan dan akan terbentuk sebuah pengetahuan yang terintegral dengan al-Quran.
Peserta didik diharapkan akan menjadi scientis yang Qurani (Ahmad Rivauzi, 2014: 441).
Dengan ditupkannya ruh oleh Allah
menjadikan manusia memiliki sifat-sifat ketuhanan yang cenderung pada
kebenaran. Hal inilah yang menjadikan manusia itu menjadi istimewa dibanding
makhluk lain. Inilah yang disebut dengan fitrah yang hanif(Ahmad Rivauzi, 2015: 213).
Menurut
Al-Ghazali, nafs sama dengan ruh. Dia menyebutnya dengan ruh-ruhani.
Nafs memiliki sifat tanah (al-Thiniyyat) dan api (al-nariyyah),
sedangkan ruh bersifat seperti cahaya (al-nuriyyah) dan ruhani (al-ruhaniyyah.
Nafs bersifat kemanusiian (al-nasutiyyah), sedang ruh bersifat ketuhanan
(al-lahutiyyah). Sehingga Ibn Qayyim menyimpulkan bahwa ruh dan nafs
itu merupakan substansi yang sama, tetapi berbeda sifatnya. Kesimpulan ini sama
dengan pandangan Ikhwan al-Shafa tentang kesamaan hakikat atau substansi ruh
dengan nafs (Ahmad Rivauzi, 2015: 213)..
Muhammad Quthb juga menegaskan, manusia merupakan
perpaduan antara jasad dan ruh. Islam di samping yakin akan adanya aspek
jasmani dan ruh dengan berbagai kebutuhan dan daya setiap pada setiap aspek tersebut,
Islam juga menjelaskan pula tentang kesatuan dan keterpaduan wujud manusia
tersebut, dan tidak mungkinnya dipisah-pisahkan satu dengan yang lain fitrah
sempurna yang berjalan menurut garis yang telah diciptakan Allah SWT tersebut (Ahmad Rivauzi, 2015: 213)..
Ruh adalah bagian manusia yang paling mulia karena ia
adalah tiupan dari Allah SWT., ia harus dididik dengan tujuan untuk mempermudah
jalan dihadapannya untuk bermakrifat kepada Allah SWT dan membiasakannya
serta melatihnya untuk benar-benar ibadah kepada Allah SWT. Dalam konteks
inilah pendidikan dan pembelajaran menempati peran yang sangat penting. Dengan
pendidikan dan pembelajaran, ruh (nafs)
dapat terpelihara kesuciannya dari pengaruh sifat-sifat materila seperti
binatang, berkembang potensinya, berobah prilakunya dari ammarah, lawwamah
menjadi muthmainnah. Inilah yang dimaksudkan dengan teori belajar al-Nafs (Ahmad Rivauzi, 2015: 213-214)..
Pendidikan harus berbasis pada nilai-nilai dan
aspek spiritualitas. Dalam konsep ini, pendidikan harus ditempatkan sebagai sebuah sistem pendidikan yang menekankan pada
pengembangan kemampuan ruhaniah atau spiritual dengan dasar dan standar
spiritual yang dapat dirasakan oleh peserta didik untuk meraih kesempurnaan
hidup menurut ukuran Islam. Pengembangan kemampuan spiritual ini harus dipahami tidak
terbatas pada peserta didik, akan tetapi mencakup semua elemen dan pelaku pendidikan. Hal ini berangkat dari asumsi
bahwa mendidik dan mengikuti pendidikan adalah ibadah. Ibadah secara fungsionil
bertujuan pada pencerahan spiritual (Rivauzi,
2013:104). Pencerahan spiritual merupakan syarat untuk dapat
diperolehnya hidayah dan terhubungnya manusia dengan Zat yang Maha Sempurna;
Allah swt (Ahmad Rivauzi, 2015: 214)..
Dasar spiritual yang dimaksudkan adalah bahwa pendidikan
berbasis spiritual harus memiliki nilai dasar sebagai pondasi dan landasan
pendidikan. Dalam hal ini, nilai tauhid adalah nilai dasar dan al-Quran serta
Hadits Nabi merupakan sumber utamanya. Sedangkan standar spiritual yang
dimaksudkan adalah bahwa spiritualitas tidak dapat diukur dengan ukuran
kuantitatif (angka-angka), namun lebih bersifat kualitas batin yang dapat
dirasakan dan dipahami dengan indrawi zdauqiyah (cita rasa batin) (Rivauzi, 2013: 104).
Dalam pendidikan, spiritualitas seharusnya tidak sebatas
dijadikan tujuan kegiatan pendidikan, akan tetapi spiritualitas perlu dijadikan
ruh dari semua elemen dan komponen pendidikan.
Ruh pendidikan ini yang pada gilirannya akan menjadikan pendidikan itu hidup,
dinamis dan bermakna dalam menunaikan tugas dan fungsinya dalam pembetukan
pribadi yang mulia yang dapat memberikan makna terhadap kehidupannya (Ahmad Rivauzi, 2013: 105).
Pendidikan
Berbasis Spiritual didasari oleh keyakinan bahwa aktivitas pendidikan merupakan
ibadah kepada Allah swt. Manusia diciptakan sebagai hamba Allah yang suci dan
diberi amanah untuk memelihara kesucian tersebut. Secara umum pendidikan berbasis
spiritual memusatkan perhatiannya pada spiritualitas sebagai potensi utama
dalam menggerakkan setiap tindakan pendidikan dan pengajaran, dalam hal ini
dipahami sebagai sumber inspiratif normative dalam kegiatan pendidikan dan
pengajaran, dan sekaligus spiritualitas sebagai tujuan pendidikan (Ahmad Rivauzi, 2013: 105).
Pendidikan juga harus memiliki dasar yang
kokoh yang mampu menyangga berdirinya sebuah sistem pendidikan yang mampu
mengantarkan peserta didik mampu mengembangkan semua potensi dirinya dan mampu
memikul tugas penciptaannya (Ahmad Rivauzi, 2015: 215)..
Mampunya seseorang memikul dan melaksanakan
amanah penciptaan akan mengantarkan seseorang untuk dapat merasakan kedamaian,
ketenangan sebagai akibat lahirnya keyakinan dalam diri yang dianugerahkan
Allah. Keyakinan tersebut muncul dalam bentuk visi, dan optimisme masa depan
(dunawi dan akhrawi) dan jaminan rahmat serta ridha Allah. Hal ini akan
melahirkan kebahagiaan hidup. Sumber
kedamaian dan ketenangan dalam Islam adalah pada hati manusia itu sendiri
akibat kebersamaannya dengan Allah melalui zikir. Sehingga melupakan dan
mengabaikan aspek pengelolaan dan pendidikan qalbiyah (hati) merupakan
kecerobohan dalam pendidikan dan sangat membahayakan kehidupan umat manusia itu
sendiri, baik pribadi maupun sosial (Ahmad Rivauzi, 2015: 215-216)..
Jika hal-hal yang digambarkan di atas tidak
terwujud pada diri seseorang, maka kehampaan spiritual dengan sendirinya akan
datang.
Di dalam al-Quran, Allah berfirman:
ذَلِكَ
الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ , الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ
وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ , وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا
أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ , أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ
وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Kitab
(Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebahagian rezkiyang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka
yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang Telah diturunkan kepadamu dan
kitab-kitab yang Telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya
(kehidupan) akhirat. Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan
mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung (QS. Al-Baqarah:2-5)
Ayat
di atas ditujukan untuk memotong keraguan-raguan manusia tentang kebenaran
tuntunan dan petunjuk Allah (al-Quran). Al-Quran datang dengan dalil kebenaran
yang sudah semestinya dijadikan sebagai dasar dan pedoman hidup tanpa keraguan.
a.
Asas-asas Belajar dalam Teori Belajar al-Nafs
Ahmad Rivauzi (2015: 217- 224) memaparkan asas-asas belajar dalam teori belajar al-Nafs adalah:
Pertama, pembelajaran dan Pendidikan adalah Ta’abbudiyah dan Perwujudan
Amanah sebagai Khalifah Allah. Mendidik, membelajarkan harus dipahami sebagai
bentuk penghambaan diri yang dimaknai sebagai ibadah kepada Allah. Mendidik,
membelajarkan diri dan orang lain juga harus vdipahami sebagai bentuk
menunaikan manah kekhalifahan yang diamanahkan oleh Allah. Hal ini, seseorang perlu melakukan upaya
mengeklusifkan tauhid rububiyyah dan uluhiyyah. Rububiyyah berkaitan
dengan keyakinan dan penyadaran ketuhanan bahwa Allah adalah satu-satunya
pengatur dan pendidik; Allah-lah yang menunjuki dan pendidik yang sesungguhnya,
sementara posisi dan peranan manusia(guru) hanya sebagai khalifah Allah dalam
melakukan bimbingan dan bantuan pendidikan. Uluhiyyah, adalah mengembangkan keyakinan bahwa semua yang dilakukan harus
berpedoman kepada suara Ilahiyah dan bertujuan untuk redha Ilahi.
Eksklusifitas keyakinan ini merupakan hakikat dari iman seorang hamba yang
cinta amal shaleh dan rindu kepada perjumpaan (liqa) dengan Allah.
Inilah kualitas iman yang bercahaya dan menyinari dada orang yang mukmin. Allah
membimbing kepada cahaya ini siapa yang Dia kehendaki. Cahaya Allah yang
menempati hati orang yang Islam ini membentuk akal dan hati nuraninya yang
dengan cahaya itu ia mengenal berbagai hakikat. Inilah bashirah anugrah
Allah. Kemudian Allah juga memberinya furqan sebagai sebuah kemampuan
untuk membedakan yang hak dan kemudian mengikutinya dan mengenal yang batil
kemudian menjauhinya (Ahmad Rivauzi, 2013:117-118).
Allah
Menjanjikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman sebagaimana Firman-Nya:
يَقُولُونَ
لَئِنْ رَجَعْنَا إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الْأَعَزُّ مِنْهَا الْأَذَلَّ
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ
لَا يَعْلَمُونَ
Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita
telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang
yang lemah daripadanya". Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi
Rasul-Nya dan bagi orang-orang mu'min, tetapi orang-orang munafik itu tiada
mengetahui..(QS.al-Munafiqun: 8)
Kehadiran
Allah yang dirasakan oleh seseorang yang tunduk dan berserah diri kepada Allah akan membangun
kekuatan untuk menyeru manusia kepada kebenaran itu. Dia memiliki kemapuan
untuk memimpin dirinya sendiri dan layak untuk menjadi pemimpin dan suri
tauladan bagi lingkungannya (Ahmad Rivauzi,
2013:119).
كُنْتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ
لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf,
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.(QS. Ali Imran: 110)
Orang yang Islam memiliki keyakinan yang tidak tergoyahkan. Mereka menyatu dengan qudrat
dan iradat Allah dan akan mendapatkan ketangguhan dalam menjalani hidup
karena Allah satu-satunya wali yang melindungi dan membimbingnya (Ahmad Rivauzi, 2013:119).
Seorang guru, murid dan semua elemen dalam pendidikan dan
pembelajaran harus memiliki istiqamah penghambaan dirinya kepada Allah
istiqamah ini akan diberikan kekuatan oleh Allah dalam menghadapi dinamika dan
persoalan dalam pendidikan dan pembelajaran. Bagi orang yang istiqamah,
tantangan hanya sebagai cambuk dalam menapaki hidup yang mereka jadikan sebagai
hamparan sajadah ibadah kepada Tuhannya dan senatiasa berpegang teguh pada misi
rahmatan lil’alamin (Ahmad Rivauzi, 2013:119).
فَاسْتَمْسِكْ
بِالَّذِي أُوحِيَ إِلَيْكَ إِنَّكَ عَلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan
kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus.(QS.az-Zukhruf:43)
إِنَّ
الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ
الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ
الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah
Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun
kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan
janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga
yang telah dijanjikan Allah kepadamu".(QS. Fushilat:30)
فَاسْتَقِمْ
كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ
بَصِيرٌ
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan
kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu
melampaui batas. Sesungguhnya
Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.(QS.Hud:
112)
Abu
Ali ad-Daqqaq yang menjelaskan:
“Ada tiga
derajat pengertian istiqamah, yaitu menegakkan atau membentuk sesuatu (taqwim),
menyehatkan atau meluruskan (iqamah), dan berlaku lurus (istiqamah). Taqwim menyangkut disiplin jiwa, iqamah berkaitan dengan
penyempurnaan, dan istiqamah berhubungan dengan tindakan mendekatkan diri
kepada Allah” (Toto Tasmara,
2001:203)
Istiqamah juga harus dipahami bukanlah
sikap yang jumud akan tetapi dinamis dan terbuka (open minded), inovatif,
dan kreatif (Toto Tasmara,
2001:203). Kebermaknaan hidup, pendidikan dan pembelajaran penting
dimiliki oleh setipa pelaku pendidikan dan pembelajaran. Viktor Frankl yang menulis tentang
hidup dan maknanya sebagaimana ditulis oleh Hanna Djumhana Bustaman dalam “Meraih
Hidup Bermakna: Kisah Pribadi Dengan Pengalaman Tragis,
mengungkapkan:
”Dalam setiap keadaan, termasuk dalam penderitaan sekalipun
kehidupan ini selalu mempunyai makna.
Kehendak untuk hidup secara bermakna mrupakan motivasi utama setiap
orang.Dalam batas-batas tertentu manusia memiliki kebebasan dan tanggung
jawab pribadi untuk memilih dan
menentukan makna dan tujuan hidupnya . Hidup bermakna diperoleh dengan jalan
merealisasikan tiga nilai kehidupan yang disebut: Creative values(nilai-nilai
kreasi), experiental values(nilai-nilai penghayatan, dan attitudinal values
(nilai-nilai bersikap)” (Muhammad Wahyuni Nafis, 1996: 149)
Teori
Viktor Frankl ini kemudian dikmbangkan oleh Danah Zohar dengan SQ nya. Namun semua teori ini hanya mampu
mengintrodusir teori untuk menciptakan kebermaknaan hidup di dunia saja dan
mengabdi pada hidup itu sendiri. Hal ini jelas berbeda dengan Islam yang memuat
konsep kebermaknaan hidup di dunia dan akhirat atau dengan prinsip keseimbangan (Rivauzi, 2013:121).
Menurut Hanna
Djumhana, makna hidup adalah
hal-hal yang dipandang penting, dirasakan berharga, dan diyakini sebagai suatu
yang benar serta dapat dijadikan tujuan hidupnya. Bila makna ini ditemukan dan
tujuan itu terealisasikan, maka hidup akan dirasakan berarti (meaningful)
dan bahagia (happines). Makna hidup bersifat personal, temporal, dan
unik, Islam menawarkan makna dan tujuan hidup yang lebih paripurna yaitu bertemu dengan
Allah dalam keredhaan-Nya (Ahmad Rivauzi, 2013:122).
Menurut Yusuf al-Qardhawi (1995:172), tujuan
pokok hidup manusia dan makna hidup bagi
seorang muslim adalah beribadah kepada Allah, Menjadi khalifah di muka bumi,
dan memakmurkan bumi sesuai dengan keinginan Allah.
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku.(QS.
adz-Zariyat: 56)
وَإِذْ قَالَ
رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا
أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ
وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا
تَعْلَمُونَ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah)
di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui".(QS.
al-Baqarah:30)
وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ
يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ هُوَ أَنْشَأَكُمْ
مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ
إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ
Dan
kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai
kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia
telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya,
karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya
Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (do`a hamba-Nya).(QS. Hud: 61)
Asas kedua, membaca (iqra’). Iqra’
atau perintah membaca, adalah kata pertama dari wahyu yang turun pertama yang
diterima Nabi Muhammad Saw. Karena pentingnya makna yang dikandung kata ini,
sehingga Allah mengulangnya dua kali dalam rangkaian wahyu pertama tersebut.
Kata iqra’ terambil dari kata قرأ yang pada mulanya berati
“menghimpun”. Arti lain dari kata ini
adalah, menyampaikan, menela’ah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui
ciri-ciri, dan lain sebagainya (M. Quraish Shihab, 2006: 167-168).
Kata قرأ berulang dalam al-Quran sebanyak tiga
kali, yaitu pada QS. Al-Isra’, 17: 14) dan QS. Al-‘Alaq, 19:1dan 3). Sedangkan
kata jadian dari akar kata tersebut dalam berbagai bentuknya, berulang sebanyak
17 kali selain dari kata al-Quran yang terulang sebanyak 70 kali. Menurut
Quraish Shihab (2006: 167-168), objek bacaan dari kata-kata qara’a
kadang ia menyangkut dengan bacaan yang berasal dari tuhan, dan kadang juga
objeknya adalah suatu kitab yang merupakan himpunan karya manusia atau yang
bukan berasal dari Allah. Dengan demikian objek dari perintah membaca tersebut
sebagaimana yang dimaksud pada waktu pertama di atas adalah sangat luas sekali.
Keluasan ini ditambah lagi dengan tidak disebutkannya objek yang harus dibaca
pada wayu pertama tersebut menunjukkan keluasan objek yang harus dibaca oleh
umat manusia.
Dalam kaitannya dengan asas pembelajaran sebagaimana
dimaksudkan dalam tulisan ini, maka dunia pendidikan dan pembelajaran harus
menempatkan motivasi dan kegairahan membaca ini untuk tercapainya tujuan
pendidikan.
Ketiga, pembelajaran adalah Bertanya dan Mencari Jawab. Sebagaimana
dijelaskan oleh Wina Sanjaya, bertanya adalah merupakan satu bentuk proses
berpikir. Bertanya dapat ditujukan untuk menarik perhatian siswa, atau
bersiafat melacak informasi ilmu, mengembangkan kemampuan atau menguji (Wina
Sanjaya, 2010:200). Oleh sebab itu, guru, dan siswa harus membiasakan dan
melatih keterampilan memunculkan pertanyaan-pertanyaan demi pertanyaan karena
setiap pertanyaan akan memunculkan kebutuhan untuk mencari jawaban. Jawaban
itulah yang dikatakan dengan ilmu pengetahuan.
Allah juga memberikan petunjuk akan pentingnya bertanya dalam
pembelajaran.
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُواْ أَهْلَ
الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Dan Kami tidak
mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada
mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu
tidak mengetahui, (QS. An-Nahl, 16:43)
Keempat, pembelajaran adalah Memaksimalkan Potensi Pikir dan Zikir. Tentang
komponen berfikir dan berzikir ini dapat dilihat pada firman Allah di bawah
ini:
إِنَّ
فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ,الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ
قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ
فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali
Imran, 190-191)
Berfikir dan
berzikir dalam pembelajaran seagaimana dimaksudkan dalam tulisan ini merupakan
hakikat dari proses pembelajaran itu sendiri. Pembelajaran adalah memaksimalkan
potensi otak dan potensi qalbu sehingga terbentuk pribadi yang uli al-bab. Berdasarkan
ayat di atas, maka dapat dipetik pelajaran bahwa perubahan tingkah laku dan kualitas diri
sebagaimana menjadi sasaran utama pembelajaran Cuma dapat terjadi pada
orang-orang yang memaksimalkan potensi pikir dan potensi zikirnya kepada Allah.
b. Tahapan Proses Belajar dalam Teori Belajar al-Nafs
Ahmad Rivauzi (2015: 224) menjelaskan out put (Standar Kompetensi Lulusan)
pendidikan dan pembelajaran secara umum. Deskripsi umum ini dapat diterjemahkan
ke dalam Standar Kompetensi, Kompetensi dasar dan tujuan-tujuan pembelajaran
pada semua mata pelajaran pada semua institusi pendidikan. Out put tersebut
adalah:
o
Pertama, pengakuan keber-Tuhanan (QS. Ali Imran, 3: 190-191)
o
Kedua, Kemampuan mengabdi
kepada Allah(QS. Al-An’am, 6: 161-162)
o
Ketiga, memiliki sikap Tegas, Ruhama’, Pencari Redha
Allah(QS. Al-Fath, 48: 29)
o
Keempat, kesejahteraan hidup lahir dan batin (QS.
Saba’, 34: 15)
Ahmad Rivauzi (2015: 225) menulis tahapan pembelajaran al-Nafs sebagai berikut:
Ahmad Rivauzi (2015: 225) menulis tahapan pembelajaran al-Nafs sebagai berikut:
Tahapan Kegiatan Pembelajaran dalam Teori Belajar Al-Nafs
|
|||
No
|
Kegiatan Pendahuluan
|
Kegiatan Inti
|
Penutup
|
1
|
Guru membuka pembelajaran dan mengajak murid untuk membaca basmalah, berserah
diri kepada Allah, mengajak murid untuk merenungkan dan membaca ayat-ayat
Allah (qauliyah dan kauniyah) kebesaran Allah dan mentauhidkan Allah serta
mengajak murid untuk bertafakkur mohon keampunan dari Allah serta
mengharapkan berkah dan rahmat-Nya.
|
Guru mendampingi murid-murid dalam memempelajari materi ajar dan
menghubungkannya dengan ayat-ayat al-Quran terkait dan Hadits Nabi
|
Guru bersama murid menyimpulkan pembelajaran
|
2
|
Guru mengajak murid untuk membersihkan hati, memantapkan tauhid,
meluruskan niat bahwa pembelajaran yang dilakukan adalah bentuk ibadah kepada
Allah.
|
Guru memberikan kesempatan kepada murid untuk melaporkan dan
mempresentasikan tugas-tugas belajar, saling bertanya dan menjawab dan
menemukan kebesaran Allah dari setiap materi pembelajaran.
|
Guru bersama-sama murid melakukan upaya penegasan bahwa segala sesuatu
selain dari pada Allah adalah ayat-ayat dan bukti-bukti keberadaan dan
keesaan Allah dan keagunggan-Nya
|
3
|
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran yang harus dicapai serta mamfaat
dari pembelajaran.
|
Guru mengajak murid untuk selalu berharap keredhaan dan rahmat dari Allah
|
|
4
|
Guru menjelaskan metode dan prosedur pembelajaran; diskusi, belajar
berkelompok atau lain sebagaimya.
|
Evaluasi sesuai kebutuhan
|
Kepustakaan
Abdul Mujib,
Kepribadian dalam Psikologi
Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006
Abdul Mujib,
Konsep Fitrah; Tela’ah atas Struktur Kepribadian dalam Perspektif Islam, (
Padang: PPs. IAIN IB Padang, 1997
Ahmad Rivauzi,
Pendidikan Berbasis Spiritual: Pemikiran Pendidikan Abdurrauf Singkel dalam
Kitab Tanbih al-Masyi, Padang: Jasa Surya, 2013. Cet. 1
Ahmad Rivauzi,
Pemikiran Abdurrauf Singkel tentang Pendidikan dan Implikasinya Pada Pondok
Pesantren Nurul Yaqin Ringan-Ringan Pakandangan Padang Pariaman, (Disertasi),
Padang: Pascasarjana IAIN IB Padang, 2014
Ahmad
Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman: Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik
Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, Ciputat:
Sakata Cendikia, 2015 Cet I
M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Bandung: Mizan, 2006, Cet. XXIX
M.
Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2007, cet. XVIII
M.
Quraish Shihab, Lentera al-Quran, Kisah dan Hikmah Kehidupan,
Bandung:Mizan, 2013 Edisi II, Cet. 1.,
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar
Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2010) Cet. VII
Tidak ada komentar:
Posting Komentar