Islam dan Seni
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA
Menurut Quraish Shihab (2007: 386), sebagaimana dikuti Ahmad Rivauzi (2015: 312-313) menjelaskan bahwa seni
adalah keindahan yang merupakan ekspresi ruh dan budaya manusia yang mengandung
dan mengungkapkan keindahan. Seni lahir dari sisi terdalam manusia dan jika
diperhatikan kandungan utama pesan suci al-Quran adalah tauhid (Quraish Shihab,
2007: 386). Mulai dari ayat pertama al-Quran yang memerintahkan membaca
terkandung isyarat kepada manusia untuk
membaca dan memperhatikan segala sesuatu, kemudian menemukan keagungan,
kesempurnaan dan keindahan Allah sebagai Zat yang Maha Mencipta.
Allah berfirman,
إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاء
الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ , وَحِفْظاً مِّن كُلِّ شَيْطَانٍ مَّارِدٍ
Sesungguhnya
Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang,
dan telah memeliharanya (sebenar-benarnya) dari setiap syaitan yang
sangat durhaka, (QS. Ash-Shaffat, 37:6-7)
وَالأَنْعَامَ خَلَقَهَا لَكُمْ
فِيهَا دِفْءٌ وَمَنَافِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ , وَلَكُمْ فِيهَا جَمَالٌ حِينَ
تُرِيحُونَ وَحِينَ تَسْرَحُونَ
Dan
Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang
menghangatkan dan berbagai-bagai manfa`at, dan sebahagiannya kamu makan.
Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu
membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat
penggembalaan. (QS. Al-Nahl, 16:5-6)
Pada
ayat di atas digambarkan bagaimana Allah menghiasi alam semesta yang
diciptakan-Nya dan membolehkan manusia untuk memandangnya dan menikmati
keindhannya serta melukiskan keindahan tersebut sesuai dengan subjektifitas
perasaannya (Quraish Shihab, 2007: 388).
Dengan demikian, sebagaimana dijelaskan Quraish Shihab (2007: 389),
keindahan alam raya sesungguhnya memiliki peran dan fungsi dalam hal
membuktikan keesaan dan kekuasaan Allah. Mengabaikan sisi-sisi keindahan
ciptaan Allah berarti mengabaikan salah satu dari bukti keesaan Allah. Bahkan
Immannuel Kant dan Syaikh Abdul Halim Mahmud mengatakan, “Bukti terkuat tentang
wujud Allah terdapat dalam rasa manusia”. Imam al-Ghazali juga menulis:
من لم يحركه الربيع وأزهارها
والعود وأوتاره فهو فاسد المزاج ليس له علاج
Siapa
yang tidak terkesan hatinya di musim bunga dengan kembang-kembangnya, atau oleh
alat musik dan getaran nadanya, maka fitrahnya telah mengidap penyakit parah
yang sulit diobati
Rasulullah saw sendiri sebagaimana diungkap Quraish Shihab (2007:
390) pernah memakai pakaian yang indah. Bahkan suatu ketika beliau memperoleh
hadiah berupa pakaian yang bersulam benang emas, lalu beliau naik ke mimbar,
namun beliau tidak berkhutbah dan kemudian beliau turun. Para sahabat kagum
dengan baju itu, sampai mereka memegang dan merabanya. Kemudian Rasulullah
bersabda,
أتعجبون من هذا ؟ قالوا ما
رأينا ثوبا قط أحسن منه فقال ص.م لمنا ويل سعد بن معاذ في الجنة أحسن مما ترون
(رواه الترمذي عن مغيرة بن ثعبة)
“Apakah kalian mengagumi baju ini?” Mereka berkata, “kami sama
sekali belum pernah melihat pakaian lebih indah dari ini”. Nabi bersabda,”
sesungguhnya sapu tangan Sa’at bin Muadz di surga jauh jauh lebih indah dari
yang kalian lihat”.
Keterangan
di atas menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai keindahan. Namun demikian,
kenapa warna kesenian kurang muncul pada masa Nabi, bahkan terkesan ada
pembatasan-pembatasan? Dalam menjawab pertanyaan ini Quraish Shihab (2007:390-391)
menjelaskan sebagaimana juga dijelaskan
oleh Sayyid Quthb bahwa pada masa Rasulullah dan para sahabat, proses
penghayatan nilai-nilai Islam baru di mulai, bahkan sebagian mereka baru dalam
tahap upaya membersihkan gagasan-gagasan Jahiliyyah yang telah meresap selama
ini dalam benak dan jiwa masyarakat, sehingga kehati-hatian amat diperlukan
baik dari Nabi sendiri sebagai pembimbing maupun dari kaum muslimin lainnya (Ahmad Rivauzi, 2015: 314-315).
Menurut
Quraish Shihab (2007:391), atas dasar inilah kaum muslimin sekarang harus
memahami larangan-larangan berkaitan dengan adanya larangan tertentu yang
berhubungan dengan seni tertentu. Di antara bentuk karya seni yang terdapat
adanya larangan tersebut adalah:
1.
Seni Lukis,
Pahat, dan Patung
Di
antara larangan-larangan yang berhubungan dengan seni lukis dan patung
sebagaimana diungkap oleh Yusuf Qaradhawi (2011: 109-111), tentang
Hadits-Hadits yang melarang patung dan gambar sebagaimana dapat dijumpai dalam
kitabnya “Halal dan Haram” , sebagaimana dijelaskan di bawah ini.
Islam
mengharamkan patung-patung yang terdapat di dalam rumah tangga muslim bahkan
malaikat pembawa rahmat akan menjauh dari rumah tersebut jika di dalamnya
terdapat patung-patung. Hal ini sebagaimana ditemukan dalam Hadits:
إن الملائكة لا تدخل بيتا فيه
تماثيل (رواه البخاري ومسلم)
Sesungguhnya
malikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya terdapat patung (HR. Bukhari
dan Muslim)
إن من أشدِّالناس عذابا يوم
القيامة الذين يصورون هذه الصور (رواه متفق عليه)
Sesungguhnya
di antara orang yang paling berat siksaannya pada hari kiamat ialah orang yang
menggambar gambar-gambar ini (HR. Muttafaq ‘alaih)
من
صور صورة كلّف يوم القيامة أن ينفخ فيها الروح وليس بنافخ فيها أبدا (رواه البخاري
وغيره)
Barangsiapa
membuat gambar maka pada hari kiamat nanti Allah akan memaksanya agar meniupkan
ruh padanya, padahal selamnya ia tidak akan dapat meniupkan ruh itu padanya (HR
Bukhari dan lainnya).
Dalam sebuah Hadits Qudsi juga ditemukan pelarangan yang sama,
ومن أظم ممّن ذهب يخلق كخلقي ؟
فيخلقوا ذرّة فيخلقوا شعيرة (رواه متفق عليه)
Siapakah
yang lebih zhalim dari pada orang yang hendak menciptakan sesuatu seperti
ciptaan-Ku? Karna itu cobalah mereka membuat sebutir dzarrah (atom) atau
membuat sebutir anggur (HR. Muttafaq ‘alaih)
Berkenaan
dengan Hadits-Hadits di atas, Yusuf Qardhawi (2011:110 & 129-130)
menjelaskan bahwa Islam melakukan tindakan preventif terhadap tergelincirnya
akidah umat Islam kepada akidah yang salah sebagaimana yang dianut oleh kaum
Jahiliyyah masa lalu. Yusuf Qaradhawi agaknya lebih melihat teks Hadits di atas
ketimbang melihat konteksnya sehingga ia berpandangan akan keharaman seni
lukis, pahat, dan patung tersebut kecuali boneka mainan untuk anak-anak dan
patung kue yang ditujukan untuk di makan (Ahmad Rivauzi, 2015: 316).
Selanjutnya, dalam memahami larangan Hadits- Hadits di atas, Quraish
Shihab melihatnya dari perspektif kontekstualnya Hadits. Dalam hal seni lukis,
pahat, dan patung ini menurut Quraish Shihab (2007), terdapat ayat al-Quran
yang berbicara tentang patung pada beberapa surat. Yaitu:
فَجَعَلَهُمْ
جُذَاذاً إِلَّا كَبِيراً لَّهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ
Maka
Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang
terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk
bertanya) kepadanya. (QS. Al-Anbiya’, 21: 58)
Pada
ayat di atas digambarkan bahwa Nabi Ibrahim menghancurkan patung-patung yang
dijadikan sembahan oleh masyarakat pada zamannya, namun Ibrahim tidak
menghancurkan patung yang paling besar
dengan tujuan agar melalui patung yang paling besar ini Nabi Ibrahim ingin membuktikan
bahwa patung-patung yang mereka sembah sangat tidak layak untuk dijadikan
sembahan. Hal ini dapat ditemukan pada QS. Al-Anbiya’, 21: 63-64. Berdasarkan
kisah Ibrahim ini, maka dapat dipahami bahwa yang menjadi persoalan
sesungguhnya bukan pada patungnya, namun pada sikap terhadap patung tersebut (Ahmad Rivauzi, 2015: 317).
Dalam
surat Saba’, 34: 12-13 juga ditemukan uraian tentang nikmat yang diberikan
Allah kepada Nabi Sulaiman.
وَلِسُلَيْمَانَ الرِّيحَ
غُدُوُّهَا شَهْرٌ وَرَوَاحُهَا شَهْرٌ وَأَسَلْنَا لَهُ عَيْنَ الْقِطْرِ وَمِنَ
الْجِنِّ مَن يَعْمَلُ بَيْنَ يَدَيْهِ بِإِذْنِ رَبِّهِ وَمَن يَزِغْ مِنْهُمْ
عَنْ أَمْرِنَا نُذِقْهُ مِنْ عَذَابِ السَّعِيرِ , يَعْمَلُونَ لَهُ مَا يَشَاءُ مِن
مَّحَارِيبَ وَتَمَاثِيلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُورٍ رَّاسِيَاتٍ اعْمَلُوا
آلَ دَاوُودَ شُكْراً وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
Dan
Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama
dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan
perjalanan sebulan (pula) dan Kami alirkan cairan tembaga baginya. Dan
sebahagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (di bawah kekuasaannya)
dengan izin Tuhannya. Dan siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah
Kami, Kami rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyala-nyala. Para
jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang
tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan
periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk
bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima
kasih.(QS. Saba’, 34: 12-13)
Al-Qurthubi
menyebutkan sebagaimana dikutip Quraish Shihab (2007: 392-393), bahwa patung-patung yang dibuatkan untuk Sulaiman tersebut terbuat
dari kaca, marmer, dan tembaga. Konon patung-patung tersebut menampilkan ulama
dan nabi-nabi terdahulu. Pembicaraan al-Quran tentang patung-patung juga dapat
ditemukan pada surat-surat lain misalnya , QS. Ali Imran, 3:48-49 dan QS.
Al-Maidah, 5: 110 yang menyebutkan tentang mu’jizat Nabi Isa yang membuat patung
burung dari tanah liat kemudian ditiupnya hingga menjadi burung yang
sebenarnya. Pada QS. Al-A’raf, 7: 73-74, QS. Asy-Syu’ara’, 26:155-156, dan QS.
Asy-Syams, 91: 13-15 yang menceritakan keahlian kaum Tsamud dalam melukis dan
memahat. Kepada kaum ini ditunjukkan mu’jizat oleh Nabi Shaleh dengan keluarnya
unta yang hidup dari batu karang (Ahmad Rivauzi, 2015: 318).
Bersadarkan
penjelasan al-Quran di atas, maka Muhammad Ath-Tahir bin Syur memaparkan bahwa
pelarangan Islam terhadap patung lebih dikarenakan oleh sebab Islam ingin
mengikis habis tradisi Bangsa Arab yang menjadikan patung sebagai sembahan
mereka. Jadi pengharamannya terletak pada kebiasaan menjadikan patung sebagai
sembahan, bukan pada patungnya. Bahkan Muhammad Imarah menegaskan bahwa apabila
seni dapat dijadikan membawa mamfaat bagi manusia, sebagai hiasan dan
menjadikan kehidupan menjadi indah, maka Islam sangat mendukungnya (Quraish
Shihab, 2007: 394). Penjelasan ini tentunya juga dapat ditambahkan, jika seni pahat,
lukis, dan patung justru dijadikan sebagai sarana untuk mempersekutukan Allah
atau sebagai sarana bermaksiat kepada Allah, maka dengan sendirinya seni
seperti itu duhukum haram oleh Allah. Tetapi jika tidak ditujukan kepada
hal-hal yang dimurkai Allah seperti kesyirikan, maka seni dalam bentuk ini
tidak dilarang (Ahmad Rivauzi, 2015: 319).
2.
Seni
Suara (nyanyian) dan Musik
Yusuf
Qaradhawi (2011:345-350) memiliki pandangan yang berbeda dengan nyanyian dan
musik. Dalam hal nyanyian, ia malah memandang dibolehkannya nyanyian dan musik.
Islam memperbolehkan nyanyian asalkan tidak kotor, cabul, dan mengajak berbuat
dosa. Hal ini didasarkannya kepada beberapa Hadits sebagai berikut:
عن عائشة رضي الله عنها أنها زَفَّتِ
امرأةً الى رجل من الأنصار فقال النبي ص م ياعائشة ماكان معهم من لَهْوٍ فإن
الأنصار يعجبهم اللَّهوُ (رواه البخاري)
Dari
‘Aisyah r.a bahwa ketika ia mengantarkan pengantin perempuan ke tempat laki-laki
Anshar, Nabi saw bertanya,”Wahai ‘Aisyah, apakah mereka diiringi dengan
hiburan? Karena orang-orang Anshar suka dengan hiburan (HR. Bukhari)
زوَّجت عائشة ذات قرابة لها من الأنصار فجاء رسول
الله ص م أهديتُهم الفتاة ؟ قالوا نعم قال أرسلتم معها من يغني ؟ قالت لا . فقال
رسول الله ص م إن الأنصار قوم فيهم غَزَل فلو بعثتم معها من يقول أتيناكم أتيناكم
فحيَّانا وحيَّاكم (ابن ماجه)
Aisyah
pernah menikahkan kerabatnya dari Anshar, kemudian Rasulullah saw datang seraya
bertanya, “Apakah kamu akan memberi hadiah kepada gadis itu?’ Meraka menjawab,
‘Ya”. Beliau bertanya lagi, “ Apakah kamu kirim bersamanya seseorang untuk
bernyanyi?” Aisyah menjawab, ‘Tidak’. Lalu Rasulullah saw bersabda, “
Sesungguhnya kaum Anshar adalah kaum yang suka merayu, maka alangkah baiknya kalu
kamu kirimkan bersama gadis itu orang yang mengatakan (menyanyikan): ‘Kami
datang, kami datang, selamat datang kami, selamat datang kamu”. (HR. Ibn Majah)
Imam
al-Ghazali dalam Ihya’ sebagaimana dikutip Yusuf Qaradhawi (2011: 346-348), menjelaskan bahwa Hadits-Hadits tentang nyanyian dua
wanita (yang memuja kepahlawanan para syahid di Badar), permainan orang
Habasyah di Masjid Nabi saw, dll
terdapat dalam Shahihain, dan ini merupakan nash yang jelas bahwa
menyanyi dan bermain itu boleh. Sehingga dengan demikian, bermain anggar seperti
permainan orang Habasyah, bermain di Masjid, bernyanyi, bermusik dan memukul
gendang merupakan hal-hal yang dibolehkan oleh agama. Bahkan Yusuf Qaradhawi
juga menegaskan bahwa Hadits-Hadits yang melarang nyanyian semuanya memiliki
cacat. Ibn Hazm juga berkata, “Semua riwayat Hadits yang mengharamkan nyanyian
adalah bathil dan maudhu’ (palsu)” (Ahmad Rivauzi, 2015: 320).
Qaradhawi
(2011: 348) juga menambahkan bahwa sebagian ulama yang mengharamkan nyanyian,
mendasarkan pendapatnya pada QS Luqman, (31) ayat 6, yang mengungkapkan tentang
ungkapan “lahwul Hadits” (perkataan yang tidak berguna) dan menganggap
nyanyian sebagai perkataan yang tidak berguna.
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ
الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً
أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ
Dan
di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna
untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan
jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.
(QS. Luqman, 31: 6)
Pada
hal menurut Ibn ‘Azm bahwa yang dimaksudkan dengan lahwul Hadits tersebut
adalah perbuatan atau sesuatu yang memiliki sifat yang apabila dilakukan bisa
membawa pelakunya menjadi ingkar kepada Allah. Dengan demikian, menurut Ibn
Hazm, mendengarkan nyanyian dengan maksud atau mengandung kemaksiatan kepada
Allah, maka itu adalah fasik, termasuk segala hal yang lain. Namun jika
nyanyian ditujukan untuk menghibur hati, agar hatinya lebih kuat melakukan
ketaatan kepada Allah, berbuat kebajikan, maka hal itu adalah boleh dan dinilai
baik. Namun jika seseorang mendengar nyanyian tanpa maksud untuk keta’atan dan
tidak pula bermaksud keamaksiatan, maka hal itu dipandang sebagai perbuatan
sia-sia yang dima’afkan (Ahmad Rivauzi, 2015: 321).
Quraish
Shihab (2007: 395) juga menjelaskan bahwa nyanyian yang dilarang adalah
nyanyian yang menyebabkan seseorang
menjadi lengah dan lalai, atau nyanyian yang bersifat olok-olokan terhadap
agama Allah. Seperti yang tergambar pada firman Allah:
أَفَمِنْ
هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ , وَتَضْحَكُونَ وَلَا تَبْكُونَ , وَأَنتُمْ سَامِدُونَ
Maka
apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan
tidak menangis? Sedang kamu melengahkan
(nya)? (QS. Al-Najm, 53: 59-61)
Kepustakaan
Ahmad
Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman; Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik
Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, (Ciputat:
Sakata Cendikia, 2015) Cet I
M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Bandung: Mizan, 2006, Cet. XXIX
M.
Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2007, cet. XVIII
M.
Quraish Shihab, Lentera al-Quran, Kisah dan Hikmah Kehidupan,
Bandung:Mizan, 2013 Edisi II, Cet. 1.,
Yusuf
al-Qardhawi , Halal dan Haram, Penj. Abu Sa’id al-Falahi dkk dari judul
Asli al-Halal wa al-Haram fi al-Islam(Jakarta: Robbani Press, 2011) cet
IX
Tidak ada komentar:
Posting Komentar