ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA
Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dalam Islam dapat
dikethaui pada ayat pertama yang diterima Nabi Muhammad saw.
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ , خَلَقَ
الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ , اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ , الَّذِي عَلَّمَ
بِالْقَلَمِ , عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.
Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-‘alaq,
96:1-5)
Menurut Quraish Shihab (2007:
433), kata iqra’ terambil dari akar kata yang berarti menghimpun.
Dari makna menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah,
mendalami, meneliti, membaca yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Ayat
pertama turun di atas mengandung makna bahwa objek yang harus dibaca tidak
dibatasi. Semuanya diperintah untuk dibaca selama bacaan tersebut memberikan
mamfaat untuk kemanusiaa. Pada ayat di atas juga terkandung makna bahwa membaca
dianjurkan dilakukan secara berulang-ulang sebagaimana terdapat pengulangan
pada perintah membaca pada suart tersebut. Pada surat tersebut juga terisyarat
bahwa terdapat dua cara perolehan dan pengembangan ilmu. Pertama, yaitu Allah
mengajar dengan pena (perolehan ilmu melalui alat-alat dan usaha manusia).
Kedua, perolehan ilmu pengetahuan tanpa alat dan usaha manusia (ilham, intuisi,
wahyu dll) (Ahmad Rivauzi, 2015: 306).
Menurut Quraish Shihab
(2007:436), kata ilmu dengan berbagai gubahan bentuknya dalam al-Quran terulang
sebanyak 854 kali pengulangan. Secara bahasa ilmu berarti kejelasan. Dengan
demikian ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Berdasarkan
ayat-ayat al-Quran, maka objek ilmu dalam Islam terbagi kepada dua yaitu objek
materi dan objek non materi ( Ahmad Rivauzi, 2015: 306).
Islam sangat mementingkan ilmu
dan pengetahuan. Bahkan al-Quran menggambarkan bahwa Allah memberikan
ketinggian derajat kepada orang-orang yang beriman dan berilmu. Allah juga
menggambarkan bahwa hanya orang-orang yang berilmu yang memiliki rasa kekaguman
kepada kebesaran dan keagungan Allah:
...يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ
آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
...niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mijadilah,
58:11)
... إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ
الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
... Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha
Pengampun. (QS. Fathir, 35:28)
Islam mendorong umatnya untuk
selalu mencari ilmu pengetahuan dan kemudian mengembangkannya. Di dalam
al-Quran sangat sangat banyak ayat yang mendorong umat Islam untuk menghidupkan
budaya ilmiyah karena kebahagiaan serta kebaikan hidup di dunia dan akhirat
sangat bergantung kepada kehidupan budaya ilmiyah ini (Ahmad Rivauzi, 2015: 307).
Di indonesia, penggunaan istilah
“ilmiah” kadang cukup membingungkan. Jika ada sebuah pengetahuan diungkap atau
ditulis seseorang, sering muncul pertanyaan: apakah pengetahuan ini atau karya
ini, karya atau pengetahuan ilmiah atau tidak? Karya ini berbasis riset atau
tidak? Dan pertanyaan-pertanyan sejenis lainnya. Tidak jarang dan tidak sedikit
pertanyaan tersebut memicu pertentangan pendapat di kalangan akademisi yang
masing-masing bersitegang dengan pemahaman masing-masing yang dianggapnya
paling benar (Ahmad Rivauzi, 2015: 307).
Istilah “ilmiah” itu sendiri
sesungguhnya terambil dari bahasa Arab, bukan terambil dari bahasa inggris,
bukan pula dari bahasa Jerman, Belanda dan lainnya. Dalam bahasa Inggris
misalnya dikenal dua istilah yaitu “science” dan “knowledge”. Dua istilah ini
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan pengertian ilmu dan pengetahuan.
Science itu sendiri dibatasi pengertiannya kepada pengetahuan yang diperoleh
dari hasil kajian atau penelitian yang didasarkan kepada prinsip dan metode
saintifik. Metode saintifik mensyaratkan bahwa pengetahuan tersebut harus
dibuktikan kebenarannya secara logis dan didukung oleh data serta fakta
empiris. Sedangkan knowledge tidak menghendaki hal tersebut (Ahmad Rivauzi,
2015: 307).
Sementara itu, di dalam
kebudayaan Arab, istilah “ilmiah” atau “ilmu” memiliki makna yang luas,
tercakup di dalamnya science dan non science. Hans Wehr
dalam Abuddin Nata (2011: 363) menjelaskan bahwa kata ‘ilmu dalam bahasa Arab
memiliki beberapa pengertian, antara lain knowledge (pengetahuan), learning
(pengajaran), lore (adat dan pengetahuan), cognizance (pengetahuan),
acquaintance (kenalan), information (pemberitaan), cognition (kesadaran),
intelection (kepandaian), dan perception (pendapat). Jamak dari
‘ilm adalah ‘ulum yang juga dapat berarti science dan natural
science (ilmu alam) (Ahmad Rivauzi, 2015: 308).
Menurut ‘Abd al-Hamid Hakim (tt:
7) sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015: 308) menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan ilmu adalah:
العلم هو صفةٌ يَنْكَشِفُ بها المطلوب إنكشافا تامًّا
Ilmu adalah suatu sifat yang yang mengungkapkan
tentang suatu objek dengan pengungkapan yang sempurna.
Dalam bahasa Indonesia, “‘ilmu”
diartikan dengan pengetahuan atau kepandaian (baik yang berkenaan dengan segala
jenis pengetahuan kebatinan maupun yang berkenaan dengan alam dan sebagainya.
Sedangkan pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui (W.J.S.
Poerwadarminta, 1991: 373 dan 731)
Al-Raghib al-Asfahani (tt: 355)
menjelaskan bahwa yang dikatakan ilmu adalah:
إدراك الشيء بحقيقته وذالك ضربان
أحدهما إدراك ذات الشيء والثاني الحكم على شيء هو موجود له أو نفي شيء هو منفي عنه
Ilmu adalah mengetahui sesuatu
sampai kepada hakikatnya, dan ia terbagi kepada dua. Pertama, mengetahui
sesuatu, dan yang kedua mengetahui sesuatu dengan kepastian ada dan tiadanya.
Abuddin Nata (2011: 365) mengutip
pendapat Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani yang mengatakan bahwa ilmu atau
pengetahuan adalah segala sesuatu yang dicapai atau didapatkan lewat panca
indera, akal manusia, atau diperoleh melalui intuisi dan ilham (Ahmad Rivauzi,
2015: 309).
Dari pengertian di atas, maka
ilmu sesungguhnya memiliki makna yang luas yang meliputi pengetahuan fisika (science)
atau metafisika. Lain halnya dengan Ahmad Tafsir (2004: 5-14), yang
memandang bahwa ilmu sama dengan sains. Pendapat Ahmad Tafsir ini memiliki
kelemahan karena kata “ilmu” itu sendiri jika diterjemahkan berarti
“pengetahuan”. Ahmad Tafsir membuat tabel yang menggambarkan matriks
pengetahuan sebagai berikut:
Macam Pengetahuan
|
Objek
|
Cara Mengetahui
|
Paradigma
|
Potensi
|
Metode
|
Kriteria/ Ukuran Kebenaran
|
Sains (ilmu)
|
Empiris
|
Riset
|
Sains
|
Akal dan Indera
|
Sains
|
Logis dan Empiris
|
Filsafat
|
Abstrak
|
Berfikir Logis
|
Logis
|
Akal
|
Logis
|
Logis
|
Mistik
|
Abstrak Supralogis
|
Riyadhah Hati
|
Mistik
|
Hati/ Rasa
|
Mistik
|
Keyakinan Rasa/ Pengalaman Batin
|
Terlepas dari pandangan Ahmad
Tafsir di atas, jika merujuk kepada penggunaan kata ilmu dalam Islam, maka akan
ditemui keluasan cakupan dari ilmu tersebut.
Ahmad Rivauzi (2015: 310)
menjelaskan matriks ilmu menurut Islam.
Macam Ilmu
|
Objek
|
Cara Mengetahui
|
Paradigma
|
Potensi
|
Metode
|
Kriteria/ Ukuran Kebenaran
|
Ilmu Sains
|
Ayat Kauniah
|
Iqra’ melalui Riset
|
Sains
|
Akal dan Indera
|
Sains
|
Logis dan Empiris
|
Ilmu Filsafat
|
Ayat Qauliyah
(Quran/Hadits) dan ayat Kauniyah
|
Iqra’ melalui Berfikir Logis
|
Logis
|
Akal
|
Logis
|
Logis
|
Ilmu Mistik/ Tashawwuf
|
Ayat Qauliyah
Dan Dunia Ruhani
|
Iqra’ melalui Riyadhah Hati
|
Mistik
|
Hati/ Rasa
|
Intuisi, Wahyu/ ilham.
|
Keyakinan Rasa/ Pengalaman Batin
|
Matriks ilmu di atas agaknya
lebih sesuai dengan isyarat Islam dalam al-Quran dan Hadits Rasulullah Saw. dan
pengertian-pengertian yang dijelaskan oleh ulama yang berkembang di dunia
Islam. Karena dalam bahasa Arab, kata “pengetahuan” tidak ditemukan, dan bahkan
pengetahuan itu sendiri merupakan terjemahan dari kata “ilmu” itu sendiri
(Ahmad Rivauzi, 2015: 310).
Dalam
perspektif Islam, semua jenis ilmu pengetahuan diyakini sebagai anugerah dan berasal dari Allah. Tidak ada manusia yang membuat
ilmu. Manusia Cuma menemukan atau memperoleh. Jenis ilmu science, mengkaji
alam semesta yang kemudian dikelompokkan kepada ilmu
pengetahuan tentang ayat-ayat kauniyah.
Sementara ilmu al-diniyyah
(ilmu agama) yang sumbernya al-Qur’an dan Sunnah Nabi, disebut sebagai kelompok ilmu pengetahuan tentang ayat-ayat qauliyah yang diperoleh melalui
pengindraan terhadap ayat qauliyah, olah akal, dan olah hati dan intusi
(Ahmad Rivauzi, 2015: 310)
Menurut
Abuddin Nata (2011: 367), Al-Qur’an sebagai ayat-ayat qauliyah juga
memotivasi umat Islam untuk memahami ayat-ayat kauniyah tersebut. Hal
itu dapat dilihat dari besarnya perhatian al-Qur’an terhadap ilmu pengetahuan.
Bahkan, kata ilmu dalam
berbagai bentuknya tidak kurang dari 854 kali disebut dalam al-Quran
Al-Quran memuat ayat yang berbicara tentang ilmu atau keharusan mencari ilmu, termasuk
ilmu-ilmu sience tersebut. Sehingga
pakar-pakar ke-Islaman berpendapat bahwa ilmu menurut al-Quran mencakup segala
macam pengetahuan yang berguna bagi manusia dalam kehidupannya, baik masa kini
maupun masa depan; fisika atau metafisika (Ahmad Rivauzi, 2015: 311).
Abuddin Nata
(2005: 81-82) menjelaskan bahwa ayat-ayat al-Quran memuat perintah yang terkait
dengan perintah menggunakan akal (la’allakum ta’qilun) dan perintah merenungkan tanda-tanda kekuasaan Allah (yatadabbarun) yang melahirkan ilmu filsafat dan
ilmu hikmah bahkan ilmu ruhaniah (spiritual), perintah
memperhatikan jagad raya (afala yanzhurun) melahirkan ilmu science, perintah mendalami
dan memahami ajaran agama (yatafaqqahun) melahirkan ilmi agama atau ilmu al-diniyyah, yang semuanya
merupakan kegiatan dari aktivitas ilmiyah (iqra’) yang secara
keseluruhan berkaitan dengan aktivitas mengembangkan ilmu pengetahuan. Seluruh
istilah tersebut dapat dipergunakan sesuai dengan bidang ilmu yang akan
dikembangkannya. Dengan demikian munculnya berbagai istilah yang amat beragam
dalam al-Qur’an menunjukkan adanya keragaman dalam ilmu pengetahuan. Hal ini
sekaligus memberi isyarat bahwa al-Qur’an mengakui eksistensi dan fungsi dari
berbagai macam ilmu pengetahuan tersebut dalam kehidupan umat manusia ( Ahmad Rivauzi, 2015: 311).
Berdasarkan keterangan di atas,
maka kata “ilmiah” seharusnya tidak Cuma dimaksudkan untuk hal-hal yang
bersifat science, tetapi juga meliputi non science seperti
filsafat dan mistik. Menarik untuk dikutip perkataan Mulyadi Kartanegara
(2005: 30) yang dikutip Abuddin Nata (2011: 366). Mulyadi mengungkapkan bahwa
sains modern sangat bias dengan paradigma positivisnya dan sering menganggap
tidak objektif terhadap seluruh pengalaman manusia selain pengalaman indrawi.
Pandangan positivistik menilai bahwa pengalaman intelektual, intuitif, mistik,
dan religius adalah sangat rentan terhadap subjektivitas dan sulit untuk dapat
mencapai tingkat objektivitas yang layak untuk diperhitungkan sebagai data-data
yang bersifat ilmiah. Manusia positivistik melupakan bahwa pengalaman indrawi
yang mereka anggap objektif sesungguhnya tidak kalah subjektifnya dibandingkan
dengan lainnya seperti mimpi, pengalaman mistik, religius dan lainnya yang
sesungguhnya juga memiliki basis ontologis yang kuat, walaupun memiliki
perbedaan wujud dan karakternya dengan dunia fisika (Ahmad Rivauzi, 2015:
311-312).
Dengan demikian, dalam konteks
apakah suatu pengetahuan itu didukung oleh data-data empiris atau tidak,
menenggunakan metode saintifik atau tidak dan lain sebagainya, maka pertanyaan
yang relevan adalah “apakah pengetahuan itu saintis atau tidak”. Tetapi
jika pertanyaannya diungkapkan dengan ungkapan ”apakah pengetahuan ini ilmiah
atau tidak” maka jawabannya tentu ilmiyah karena semua pengetahuan sesungguhnya
ilmiah. Semua ilmu atau pengetahuan, apakah filsafat, mistik dan pengetahuan
ke-agamaan pada umumnya, telah melalui tahapan, langkah dan metodenya
sendiri-sendiri sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ilmu atau pengetahun
sains memiliki metodenya sendiri, ilmu filsafat memiliki metodenya sendiri dan
ilmu mistik memiliki metodenya sendiri (Ahmad Rivauzi, 2015: 312).
Kepustakaan
Abuddin Nata, Studi Islam
Komprehensif, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011, Cet I.
Ahmad Rivauzi, Wawasan Studi
Keislaman; Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik Pribadi dan Masyarakat
yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, (Ciputat: Sakata Cendikia, 2015) Cet I
Abuddin Nata, Pendidikan dalam
Perspektif al-Quran, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005) cet. I
Abuddin Nata, Pendidikan dalam
Perspektif Hadits, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005) cet. I
Abuddin Nata,Studi Islam
Komprehensif, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011, Cet I.
M. Quraish Shihab, Membumikan
al-Quran, Bandung: Mizan, 2006, Cet. XXIX
M. Quraish Shihab, Wawasan
al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung:
Mizan, 2007, cet. XVIII
M. Quraish Shihab, Lentera
al-Quran, Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung:Mizan, 2013 Edisi II, Cet.
1.,
Munawir Sjadzali, Islam dan
Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran , (Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 1991), Cet. III
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991
Dalam memahami teks diatas nampak nya tidak cukup satu atau dua kali dalam membaca nya.. Dan semakin berulang membacanya.. Semakin berbeda tentang pemahamannya.. Jadi bagaimana cara agar dalam memahami teks diatas bisa lebih cepat untuk di pahami..
BalasHapusDalam teks diatas.. Mqsih banyak pemahaman saya yang belum sampai untuk menjangkau makna dari poin poin nyan...misalnya antara ilmu pasti dan ilmu mistik.. Dan juga kaitan mimpi dalam ilmu mistik... Apakah mimpi itu sebuah ilmu juga..
BalasHapus