Hakikat Belajar dalam Islam
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA
Menurut Hilgard yang
dikutip Wina Sanjaya, belajar adalah proses perubahan prilaku sebagai akibat
dari pengalaman dan latihan. Belajar bukanlah sekedar mengumpulkan pengetahuan,
tetapi belajar adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga
menyebabkan munculnya perubahan perilaku. Aktivitas mental ini dianggap terjadi
karena adanya interaksi individu dengan lingkungan yang disadari (Wina Sanjaya,
2010: 112). Sedangkan dalam pandangan Islam, belajar adalah perubahan al-Nafs
dari ammarah dan lawwamah menjadi nafs al-mutmainnah (Ahmad Rivauzi, 2015: 179)
Proses belajar atau pembelajaran, menurut Wina
Sanjaya (2010:107-108) sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015: 180-181) memiliki tiga karakteristik sebagai berikut:
Pertama, pembelajaran adalah proses berpikir. Menurut Wina Sanjaya, belajar adalah
proses berpikir dengan menekankan kepada proses mencari dan menemukan
pengetahuan melalui interaksi antara individu dengan lingkungan. Dalam
pembelajaran tidak hannya menekankan kepada menekankan akumulasi pengetahuan
materi pelajaran, tetapi yang harus diutamakan adalah kemampuan siswa untuk
memperoleh pengetahuannya sendiri (self regulated). Asumsi ini
didasarkan kepada bahwa pengetahuan itu tidak datang dari luar, akan tetapi
dibentuk oleh individu itu sendiri dalam struktur kognisi yang dimilikinya.
Sehingga atas asumsi ini, pembelajaran bukanlah memindahkan pengetahuan dari
guru kepada murid, melainkan aktivitas yang memungkinkan siswa dapat membangun
pengetahuannya sendiri.
La Costa (1985) dikutip Wina Sanjaya (2010:
107) mengklasifikasikan pembelajaran berpikir kepada tiga hal yang tidak bisa
terpisahkan, yaitu teaching of thinking, teaching for thinking, dan teaching
about thinking. Teaching of thinking adalah proses pembelajaran yang
diarahkan untuk pembentukan keterampilan mental tertentu. Misalnya, berpikir
kritis, kreatif, dan lain sebagainya. Teaching of thinking pembelajaran
yang menekankan kepada aspek tujuan pembelajaran. Teaching for thinking
adalah proses pembelajaran yang diarahkan pada usaha menciptakan lingkungan
belajar yang dapat mendorong terhadap pengembangan kognisi. Misalnya,
menciptakan lingkungan belajar yang demokratis, iklim yang menyenangkan dan
lain sebagainya. Sedangkan teaching about thinking adalah pembelajaran
yang menekankan kepada upaya membantu murid agar lebih sadar terhadap proses
berpikirnya. Jenis ini lebih menekankan kepada metodologi yang digunakan dalam
proses pembelajaran.
Kedua, pembelajaran adalah memamfa’atkan potensi otak. Pembelajaran menurut Wina
Sanjaya adalah pemamfaatan dan penggunaan otak secara maksimal. Potensi otak
yang dimaksudkan di sini adalah kiri yang bersifat logis, linear, dan rasional,
dan otak kanan yang bersifat acak, intuitif, dan holistik (Wina Sanjaya, 2010:
108).
Ketiga, pembelajaran berlangsung sepanjang hayat. Belajar adalah siklus dan proses
tampa henti di sepanjang kehidupan dan tidak dibatasi oleh dinding ruang kelas.
Hal ini didasarkan kepada asumsi bahwa sepanjang hidupnya manusia akan selalu
dihadapkan pada masalah dan tujuan yang ingin dicapainya. Dalam proses mencapai
tujn itu tidak jarang manusia akan dihadapkan kepada berbagai tantangan. Untuk
itulah manusia selalu membutuhkan proses belajar untuk bisa menghadapi berbagai
masalah dan tantangan tersebut.
Di samping konsep karakteristik pembelajaran
yang ditawarkan Wina Sanjaya di atas, dalam perspektif Islam, jelas bahwa
pembelajaran tidak hannya proses berfikir, memamfatkan dan memaksimalkan
potensi otak, dan berlansung sepanjang hayat, namun jauh lebih luas dan dalam
dari pada itu. Di dalam pandangan Islam,
pembelajaran adalah pengembangan semua potensi diri, jasmani dan rohani
(al-Nafs) (Ahmad Rivauzi, 2015: 181).
Di dalam al-Quran dijelaskan bahwa pembelajaran dalam Islam disebut sebagai proses mengembangkan
fithrah manusia dan menapak tilasi perjanjian yang telah terikrar di alam ruh
dengan Allah. Dalam konteks ini, pembelajaran dapat dikatakan sebagai proses
pengembangan dimensi qalbu atau olah qalbu. Tanpa proses ini, maka dapat
dipastikan pendidikan dan pembelajaran akan gagal membentuk pribadi yang utuh
dan kedewasaan serta pematangan mental manusia akan gagal (Ahmad Rivauzi, 2015: 181-182).
Kata
fitrah itu sendiri berulang sebanyak 20 kali di dalam
al-Qur’an dalam berbagai bentuknya. Kata
fitrah merupakan bentuk masdar dari fathara dengan segala
perubahannya. Semuanya diturunkan dan digolongkan
kepada surat Makiyyah dengan ciri-ciri:
Ø Ditujukan
kepada manusia secara umum
Ø Berisi
tentang keimanan bukan mu’amalah
Ø
Setiap
penciptaan yang digambarkan Allah dengan menggunakan kata fitrah selalu
dikaitkan dengan keimanan (Abd Mujib, 1997:23-25.
Abd Mujib mengatakan bahwa kata fitrah dapat
dibagi kepada tiga katergori; Pertama, kata fitrah menunjukkan objek
kepada manusia; Kedua, jika kata fitrah menunjukkan kepada kondisi, maka fitrah bersifat
psikis, namun jika ayat yang mengandung kata fitrah menunjukkan dan
menggambarkan aktualisasi fitrah, maka dipahami bahwa struktur fitrah adalah
psiko-pisik; Ketiga, fitrah merupakan suatu wujud yang abstrak yang membutuhkan
pengaktulisasian melalui ibadah Dalam
hal ini, aktivitas dipahami sebagai aktualisasi fitrah, karena ibadah merupakan
ekspresi suci, sehingga ibadah merupakan aktualisasi fitrah manusia yang sehat
bahkan dipahami sebagai aktualisasi diri yang tertinggi (Ahmad Rivauzi, 2015: 182). [1]
Fitrah, secara etimologi berarti: Pertama,
fitrah berarti al-insyqaq (pecah belah), objeknya adalah langit, kedua,
al-khilqat, al-ījād, al-ibda’
(penciptaan), objeknya adalah manusia dan alam semesta yang meliputi
psiko-pisik (Mujib, 1997: 34-35).
Penting ditegaskan di sini, makna nasabi kata fitrah adalah, suci (ath-thahr),
potensi ber-Islam, mengakui keesaan Allah atau tauhid dalam bentuk perjanjian
pertama ( mitsaq awwal) dan perjanjian terakhir di alam materi (mitsaq
al-ākhir), kontiniu (al-istiqamat) dan keselamatan (as-salamat),
perasaan tulus, kesanggupan menerima kebenaran (isti’dad li qubūli al-Haqq),
potensi dasar untuk mengabdi (syu’ur al-ubūdiyyah), ketetapan atau
kejadian (as-sa’adah, asy-syaqawah), tabiat atau watak asli manusia,
sifat-sifat Allah.
Sedangkan secara istilah, fithrah adalah wujud organisasi dinamis yang terdapat
pada diri manusia dan terdiri atas system psiko-pisik yang dapat menimbulkan
tingkah laku (Abdul Mujib, 1997: 55).
Dengan demikian, fitrah merupakan citra potensi penciptaan alam
raya yang tidak bisa dilepaskan dengan citra Allah yang maha suci sebagai
subjeknya. Dalam artian, dengan citra potensi penciptaan ini pada tahap
berikutnya, Allah menciptakan citra penciptaan ruh dan jasad. Pada ruh ini
terdapat qalbu dengan segala potensi yang dimilikinya.; fu’ad, shard,
dan hawa, seperti layaknya pada
jasad yang memiliki organ-organ yang memiliki fungsi masing-masing (Ahmad Rivauzi, 2015: 183).
Qalbu, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama,
bisa dipandang sebagai wujud materi organic yang terdapat pada jasad manusia,
dan dapat dipandang sebagai system kognisi yang berdaya emosi (Mujib,
1997: 96). Sebagai sebuah citra
penciptaan, maka fitrah secara umum dapat diartikan sebagi citra potensi dasar,
dan citra energi mengaktual. Untuk memudahkan pemahaman, untuk membedakan
antara fitrah yang masih bersifat potensial dengan yang sudah berkembang
menjadi sebuah kemampuan, maka fitrah yang sudah berkembang dapat diistilahkan
dengan “fitrah yang menjadi” (Ahmad Rivauzi, 2013: 109).
Kepustakaan
Abdul Mujib,
Kepribadian dalam Psikologi
Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006
Abdul Mujib,
Konsep Fitrah; Tela’ah atas Struktur Kepribadian dalam Perspektif Islam, (
Padang: PPs. IAIN IB Padang, 1997
Ahmad Rivauzi,
Pendidikan Berbasis Spiritual; Pemikiran Pendidikan Abdurrauf Singkel dalam
Kitab Tanbih al-Masyi, (Padang: Jasa Surya, 2013) Cet. 1
Ahmad
Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman; Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik
Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, (Ciputat:
Sakata Cendikia, 2015) Cet I
M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Bandung: Mizan, 2006, Cet. XXIX
M.
Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2007, cet. XVIII
M.
Quraish Shihab, Lentera al-Quran, Kisah dan Hikmah Kehidupan,
Bandung:Mizan, 2013 Edisi II, Cet. 1.,
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar
Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2010) Cet. VII
وَمَا لِيَ لَا أَعْبُدُ الَّذِي
فَطَرَنِي وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Mengapa Aku tidak menyembah (Tuhan) yang Telah menciptakanku dan
yang Hanya kepada-Nya-lah kamu (semua) akan dikembalikan? (QS. Yasin:22)
Lihat, Abdul Mujib, 1997: 23-47 ; Ahmad Rivauzi, 2013: 106
َإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ
مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ
Maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan
kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud (QS.
Al-Hijr: 29)
Lihat: Abdul Mujib, 1997: 37-54 ; Ahmad Rivauzi, 2013: 106
Tidak ada komentar:
Posting Komentar