Sabtu, 28 September 2013

MAKNA IBADAH BAGI SEORANG MUSLIM

MAKNA IBADAH BAGI SEORANG MUSLIM
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA.
            Ibadah merupakan satu pola hubungan yang menghubungkan diri seorang hamba dengan tuhannya. Dengan beribadah, seseorang menjadi terhubung dengan Allah. Hal ini bermakna bahwa Allah dengan segala keagungan dan kebesaran-Nya, akan terhubung keagungan dan kebesaran itu dengan manusia melalui ibadah. Dengan memahami makna ibadah, seorang muslim dapat terhubung dengan kasih sayang Allah, karunia dan perlindungan Allah, pertolongan dan pemeliharaan-Nya yang maha luas. Allah adalah sumber segala-galanya (Ahmad Rivauzi, 2015: 101).
            Menurut Yunasril Ali (2009: 7), sejatinya, dengan ibadah, manusia memperoleh pencerahan dan membuat hidupnya menjadi  lebih baik. Sayangnya, kebanyakan umat Islam mempersepsikan ibadah semata-mata sebagai kewajiban rutin. Akibatnya, ibadah tidak mengubah sifat, perilaku, dan akhlaknya. Tidak mengherankan jika kemudian banyak orang merasa jenuh dan lelah beribadah. Lama-lama, mereka meninggalkan ibadah karena semua bentuk ketaatan itu tidak melahirkan mamfaat dan perubahan pada dirinya dan kehidupannya (Ahmad Rivauzi, 2015: 102).
            Yunasril Ali (2009:11) menjelaskan bahwa agar ibadah menjadi bermakna, maka dituntut pengetahuan dan pemahaman yang bersifat spiritual (esoterik) sebagai satu bentuk pencerahan pengetahuan dan pemahaman (kasyaf) yang datang langsung dari Allah. Al-Ghazali (w.505 H/1111 M) mengatakan bahwa kasyaf adalah kebalikan dari pembuktian rasional yang dipraktekkan oleh para teolog dan filosof yang membuat kesimpulan (pengetahuan) berdasatkan premis-premis yang ada. Kasyaf adalah pengetahuan yang tak ubahnya laksana cahaya yang dilimpahkan Allah ke dalam qalbu seseorang. Hal ini diperoleh jka seseorang memiliki sikap zuhud terhadap dunia, pembebasan hati dari belenggu dunia dan penghambaan diri pada Allah sepenuh hati dan ikhlash. Barang siapa yang menjadi milik Allah, niscaya Allah menjadi miliknya (Ahmad Rivauzi, 2015: 102).
            Pengetahuan dan pemahaman yang bersifat spiritual, atau kasyaf (esoterik) ini akan diperoleh ketika seseorang mengamalkan ilmu eksoteriknya (syari’ah) yang terhimpun dalam aturan-aturan syariat (al-Quran dan Hadits). dengan begitu, Allah akan membukakan sekat dari hati dan memasukkan ke dalamnya pengetahuan dan pemahamanan yang tinggi yang berasal dari-Nya (Ahmad Rivauzi, 2015: 102).
Dalam hal ini Allah berfirman,
... وَاتَّقُواْ اللّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّهُ وَاللّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
...dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. Al-Baqarah, 2: 282)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَآمِنُوا بِرَسُولِهِ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِن رَّحْمَتِهِ وَيَجْعَل لَّكُمْ نُوراً تَمْشُونَ بِهِ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, (QS, Al-Hadid, 57: 28)
Menurut Ibn ‘Arabi, sebagaimana dikutip Yunasril Ali (2009:12), ada tiga pendekatan ilmu dalam Islam. Pertama,  pendekatan melalui penalaran yang hasilnya disebut ilmu akal yang meliputi objek fisik dan meta fisik termasuk dalil-dalil agama. Kedua, pendekatan melalui dzawq baik lahir (pengetahuan fisikal-empiris) maupun batin (psikis) yang menghasilkan ilmu ahwal. Ketiga, pendekatan melalui penyucian hati yang menghasilkan ilmu asrar (ilmu rahasia) berupa pancaran pengetahuan ketuhanan ke dalam hati manusia (Ahmad Rivauzi, 2015: 103)
Dengan demikian, maka semua bentuk ketaatan kepada Allah dan pelaksanaan syari’at harus disertai penghayatan batin sehingga hamba mencapai kedekatan kepada Allah. Penghayatan batin dapat dicapai melalui pemahaman terhadap segala bentuk ibadah yang diamalkan. Bentuk lahiriyah ibadah adalah lambang yang menyimpan makna batin. Makna batin itulah yang dihayati para pelaku ibadah sehingga memberi arti khusus dalam kehidupan. Bentuk lahir keber-agamaan laksana wadah, sementara makna batin adalah air yang mengisinya (Ahmad Rivauzi, 2015: 103).
Allah berfirman,
لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Hajj, 22: 37)
Yunasril Ali menulis (2009: 15), berdasarkan ayat di atas menjelaskan bahwa yang menjadikan seseorang dekat kepada Allah bukanlah lahiriyah ibadah semata, tetapi batiniyah ibadah. Batiniyah ibadah akan diperoleh ketika seseorang melakukan ibadah yang disertai dengan penghayatan batin (dzawq). Dalam hal ini dikenal ungkapan para sufi :من لم يذوق لم يعرف ( orang yang tak pernah merasakan, tidak akan mengenal) (Ahmad Rivauzi, 2015: 104)
Dari segi kebahasaan, “ibadah” berasal dari kata bahasa Arab ‘ibadah yang berarti pengabdian, penghambaan, ketundukan, dan kepatuhan. Dari akar kata yang sama dikenal istilah ‘abd (hamba, budak) yang menghimpun makna kekurangan, kehinaan, dn kerendahan (Yusaril Ali menulis, 2009: 17). Dengan demikian, hakikat ibadah adalah pengungkapan rasa kekurangan, kehinaan, dan kerendahan diri dalam bentuk pengangungan, penyucian, dan syukur atas segala nikmat dengan perbuatan dan tindakan baik bersifat jasmani maupun ruhani (Ahmad Rivauzi, 2015: 104). 
Dari sisi keagamaan, menurut Yunasril Ali (2009: 18), ibadah adalah ketundukan atau penghambaan diri kepada Allah yang meliputi semua bentuk kegiatan manusia di dunia ini, yang dilakukan dengan niat pengabdian dan penghambaan diri hannya kepada Allah untuk meraih keredhaan-Nya (Ahmad Rivauzi, 2015: 104). Allah berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Al-Dzariyat, 51: 56)
Dengan demikian, semua tindakan seorang mukmin yang diniatkan untuk untuk meraih redha Allah walaupun sepele atau bahkan dianggap tabu jika dibicarakan kepada orang lain seperti buang hajat, melakukan hubungan seks (hubungan suami istri) dan lain sebagainya merupakan ibadah kepada Allah. Inilah makna umum dari ibadah (‘ibadah ‘ammah).  Sebuah riwayat dari Abu Dzarr bahwa beberapa sahabat bertanya kepada Nabi saw., tentang pahala shalat, puasa, dan sedekah. Rasulullah saw menjelaskan bahwa bukan hannya itu perbuatan yang diberi pahala, melainkan juga memerintahkan yang baik, melarang yang buruk, dan bahkan hubungan seks yang dilakukan suami istri juga diberi pahala oleh Allah. Bahkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw bersabda: “sorang muslim yang menanam pohon atau tumbuhan, kemudian buahnya dimakan oleh burung, manusia, atau binatang, semuanya itu menjai sedekah baginya (Yunasril Ali, 2009: 18) .
Yunasril Ali (2009: 20-21) mengutip Abd al-Hamid Hakim (1949: 215), adapun ibadah dalam makna khusus (‘ibadah khashshah) adalah ibadah yang meliputi bentuk-bentuk  ritual tertentu yang diajarkan syara’ seperti thaharah, shalat, puasa, zakat, dan haji. Ibadah khusus ini memiliki ruang lingkup, batasan, dan aturan-aturannya diatur oleh syara’. Dalam ibadah khusus ini,seseorang tidak boleh keluar dari aturan syara’. Jika seseorang malakukan sesuatu yang diluar ketentuan syara’, maka inilah dienal dengan prilaku bid’ah  yang ditolak dan dikecam oleh Rasulullah saw. Berdasarkan inilah maka para ulama dan fuqaha membuat rumusan yang berbunyi “hukum asal ibadah adalah haram (tidak boleh) sehingga ada dalil yang memerintahkannya”. Dengan kata lain, seseorang tidak boleh membuat suatu bentuk ibadah khusus (‘ibadah mahdhah) tanpa ada dalil al-Quran dan sunnah yang memerintahkannya. Hal ini berbeda dengan ibadah umum (ghairu mahdhah) yang biasa disebut dengan ibadah mu’amalah, maka para ulama membuat rumusan “ segala tindakan manusia pada dasrnya dibolehkan salama tidak ada dalil al-Quran dan sunnah yang melarangnya” . Dengan demikian, secara umum, semua tindakan manusia dapat menjadi ibadah jika memenuhi dua syarat yaitu: Pertama, niat ibadah kepada Allah. Kedua, tindakan yang dilakukan tidak bertentangan dengan syara’ (Ahmad Rivauzi, 2015: 105-106).
Ibadah merupakan hakikat keberadaan dan inti keber-agamaan manusia. semakin tulus seseorang beribadah, semakin dekat ia kepada Allah. Dengan demikian ibadah tidak boleh hanya dilakukan secara lahiriyah semata tanpa melibatkan kesadaran hati. Ibadah yang benar adalah di saat gerakan tubuh dilakukan, pada saat itu juga gerakan tubuh tersebut menyatu dengan gerakan hati. Nilai ibadah tidak ditentukan oleh bentuk lahirnya, tetapi tergantung pada kesadaran batin pelakunya (Ahmad Rivauzi, 2015: 105-106)..
            Nurcholis Madjid (1992: 63) menulis, manusia lahir telah membawa beberapa kecenderungan alami yang tidak berubah. Salah satunya ialah mengabdi kepada Yang Mahakuasa sekaligus mengagungkan-Nya. Dalam kenyataannya menunjukkan bahwa hampir tidak ada seorang pun yang bebas sepenuhnya dari bentuk ekspresi pengagungan yang mengandung nilai ibadah dan ketundukan. Jika seseorang tidak melakukan suatu bentuk ibadah tertentu, ia pasti sedang melakukan bentuk ibadah yang lain. Perjanalan sejarah manusia juga telah membuktikan, dari yang paling primitif hingga yang moderen, bahwa tidak ada seorang atau satu bangsa pun yang terlepas dari bentuk pengabdian. Manusia primitif mungkin melakukan ritual pengabdian karena didasari oleh rasa takut kepada kekuatan dan kedahsyatan alam, dan manusia modern melakukannya karena ketidakmampuan pikirannya menghadapi impitan kehidupan yang tak habis-habisnya (Ahmad Rivauzi, 2015: 106-107).
            Nurcholis Madjid (1992: 63) menambahkan, kalangan ateis mungkin dapat dikatakan sebagai kelompok manusia modern yang berupaya keras menafikan serta menentang semua bentuk ekspresi dan rasa keagamaan. Namun kenyataannya, mereka tidak pernah lepas sepenuhnya dari sesuatu yang berciri keagamaan. Pengagungan mereka terhadap para pemimpin dan ajaran ateis juga merupakan bentuk ritual ketundukan mereka. Firaun dalam sejarah klasik Mesir terkenal sebagai orang yang mengaku sebagai Tuhan, tetapi ketika tenggelam di Laut Merah, ia meraung-raung menyeru Tuhan Musa a.s. Manusia, kendati memiliki kemampuan berpikir yang luar biasa, tetap saja memiliki keterbatasan. Karena itulah ketika sampai pada batas akhir kemampuannya ia akan mengakui adanya sesuatu Yang Mahakuasa dan Mahaagung. Itulah Tuhan. Akhirnya, dengan penuh kepasrahan ia akan mengakui kekerdilan dirinya sembari mengagungkan Tuhan dan mengadukan ketidakberdayaannya (Ahmad Rivauzi, 2015: 107).
            Manusia memang merupakan makhluk Tuhan yang paling mulia dan paling pintar. Namun, ia tidak akan mampu menggapai kebenaran secara sempurna, apalagi yang berkaitan dengan persoalan metafisika dan eskatologi yang serba gaib. Ia memerlukan pertolongan dan bimbingan agar mampu meraih kebenaran. Karena itulah melalui perantaraan para rasul, Tuhan menurunkan Kitab Suci untuk membimbing manusia menuju kebenaran dan kebaikan sejati. Salah satu ajaran Kitab Suci ialah ibadah kepada Tuhan, yang tujuannya untuk penyempurnaan dan pemeliharaan diri manusia itu sendiri.  Ajaran dan tuntunan Ilahi itu diturunkan agar manusia senantiasa berada di atas fitrah kebenaran (Ahmad Rivauzi, 2015: 107).
            Ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu fitrah manusia. Hal ini sudah dijelaskan Allah dalam firmannya:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفاً فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, QS . al-Rum [30]:  30).

            Ayat di atas berkaitan dengan ayat lain tentang janji primordial manusia yang  meyakini keberadaan Tuhan:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتَ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", (QS. Al-A’raf, 7: 172)

            Al-Junayd al-Baghdadi, sufi abad ketiga Hijriah, sebagaimana dikutip Yunasril Ali (2009: 25), mengatakan bahwa sebelum manusia memiliki wujud seperti di dunia ini ia telah memiliki wujud ruhani, yang disebutnya sebagai wujud Rabbani. Dengan kata lain, sebelum dilahirkan ke dunia, manusia telah mengenal adanya Tuhan. Para nabi dan rasul diutus ke dunia ini untuk mengingatkan manusia terhadap pengetahuan dan keyakinannya di masa lalu. Fitrah keagamaan yang senantiasa  memunculkan ketundukan dan pengagungan kepada Tuhan Yang Mahakuasa merupakan pembawaan dan pengetahuan asali manusia sehingga ia akan tetap hidup dalam jiwa manusia. Fitrah itu merupakan hakikat keberadaan manusia. Karena itu, dalam situasi dan kondisi apa pun, selama masih ada manusia yang hidup di dunia ini, agama tidak akan pernah mati dan sirna. Sekeras apa pun manusia berusaha menghapus dan membunuh agama, ia tidak akan pernah mati.  Will Durant' seorang sarjana Amerika, ketika membahas sejarah dan agama dalam karyanya The Lesson of History, mengatakan, “Agama memiliki seratus jiwa. Segala sesuatu akan mati untuk selama-lamanya bila ia dibunuh. Sedangkan agama, dibunuh ratusan kali pun ia akan muncul lagi dan hidup kembali setelah itu" (Ahmad Rivauzi, 2015: 108-109)





Dikutip dari Sumber :  
Ahmad Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman; Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, Ciputat: Sakata Cendikia, 2015 Cet I