MAKNA IBADAH BAGI SEORANG MUSLIM
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA.
Ibadah merupakan satu pola hubungan
yang menghubungkan diri seorang hamba dengan tuhannya. Dengan beribadah,
seseorang menjadi terhubung dengan Allah. Hal ini bermakna bahwa Allah dengan
segala keagungan dan kebesaran-Nya, akan terhubung keagungan dan kebesaran itu
dengan manusia melalui ibadah. Dengan memahami makna ibadah, seorang muslim
dapat terhubung dengan kasih sayang Allah, karunia dan perlindungan Allah,
pertolongan dan pemeliharaan-Nya yang maha luas. Allah adalah sumber
segala-galanya (Ahmad Rivauzi, 2015: 101).
Menurut Yunasril Ali (2009: 7), sejatinya, dengan ibadah, manusia
memperoleh pencerahan dan membuat hidupnya menjadi lebih baik.
Sayangnya, kebanyakan umat Islam mempersepsikan ibadah semata-mata sebagai
kewajiban rutin. Akibatnya, ibadah tidak mengubah sifat, perilaku, dan
akhlaknya. Tidak mengherankan jika kemudian banyak orang merasa jenuh dan lelah
beribadah. Lama-lama, mereka meninggalkan ibadah karena semua bentuk ketaatan
itu tidak melahirkan mamfaat dan perubahan pada dirinya dan kehidupannya (Ahmad Rivauzi, 2015: 102).
Yunasril Ali (2009:11) menjelaskan bahwa agar ibadah menjadi bermakna, maka dituntut pengetahuan dan pemahaman yang bersifat spiritual
(esoterik) sebagai satu bentuk pencerahan pengetahuan dan pemahaman (kasyaf)
yang datang langsung dari Allah. Al-Ghazali (w.505 H/1111 M) mengatakan bahwa kasyaf
adalah kebalikan dari pembuktian rasional yang dipraktekkan oleh para teolog
dan filosof yang membuat kesimpulan (pengetahuan) berdasatkan premis-premis
yang ada. Kasyaf adalah pengetahuan yang tak ubahnya laksana cahaya yang
dilimpahkan Allah ke dalam qalbu seseorang. Hal ini diperoleh jka seseorang
memiliki sikap zuhud terhadap dunia, pembebasan hati dari belenggu dunia dan
penghambaan diri pada Allah sepenuh hati dan ikhlash. Barang siapa yang menjadi
milik Allah, niscaya Allah menjadi miliknya (Ahmad Rivauzi, 2015: 102).
Pengetahuan dan pemahaman yang
bersifat spiritual, atau kasyaf (esoterik) ini akan diperoleh ketika seseorang
mengamalkan ilmu eksoteriknya (syari’ah) yang terhimpun dalam aturan-aturan
syariat (al-Quran dan Hadits). dengan begitu, Allah akan membukakan sekat dari
hati dan memasukkan ke dalamnya pengetahuan dan pemahamanan yang tinggi yang
berasal dari-Nya (Ahmad Rivauzi, 2015: 102).
Dalam hal ini Allah berfirman,
Dalam hal ini Allah berfirman,
...
وَاتَّقُواْ اللّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّهُ وَاللّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ
عَلِيمٌ
...dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu (QS. Al-Baqarah, 2: 282)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
وَآمِنُوا بِرَسُولِهِ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِن رَّحْمَتِهِ وَيَجْعَل لَّكُمْ نُوراً
تَمْشُونَ بِهِ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah
kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan
rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan
cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang, (QS, Al-Hadid, 57: 28)
Menurut Ibn
‘Arabi, sebagaimana dikutip Yunasril Ali (2009:12), ada tiga pendekatan ilmu dalam Islam. Pertama, pendekatan melalui penalaran yang hasilnya
disebut ilmu akal yang meliputi objek fisik dan meta fisik termasuk dalil-dalil
agama. Kedua, pendekatan melalui dzawq baik lahir (pengetahuan
fisikal-empiris) maupun batin (psikis) yang menghasilkan ilmu ahwal. Ketiga,
pendekatan melalui penyucian hati yang menghasilkan ilmu asrar (ilmu
rahasia) berupa pancaran pengetahuan ketuhanan ke dalam hati manusia (Ahmad Rivauzi, 2015: 103)
Dengan
demikian, maka semua bentuk ketaatan kepada Allah dan pelaksanaan syari’at
harus disertai penghayatan batin sehingga hamba mencapai kedekatan kepada
Allah. Penghayatan batin dapat dicapai melalui pemahaman terhadap segala bentuk
ibadah yang diamalkan. Bentuk lahiriyah ibadah adalah lambang yang menyimpan makna
batin. Makna batin itulah yang dihayati para pelaku ibadah sehingga memberi
arti khusus dalam kehidupan. Bentuk lahir keber-agamaan laksana wadah,
sementara makna batin adalah air yang mengisinya (Ahmad Rivauzi, 2015: 103).
Allah
berfirman,
لَن يَنَالَ اللَّهَ
لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا
لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat
mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat
mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu
mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira
kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Hajj, 22: 37)
Yunasril Ali menulis (2009: 15), berdasarkan ayat di atas menjelaskan bahwa yang menjadikan seseorang dekat kepada Allah bukanlah
lahiriyah ibadah semata, tetapi batiniyah ibadah. Batiniyah ibadah akan diperoleh
ketika seseorang melakukan ibadah yang disertai dengan penghayatan batin
(dzawq). Dalam hal ini dikenal ungkapan para sufi :من
لم يذوق لم يعرف ( orang yang
tak pernah merasakan, tidak akan mengenal) (Ahmad Rivauzi, 2015: 104)
Dari segi
kebahasaan, “ibadah” berasal dari kata bahasa Arab ‘ibadah yang berarti
pengabdian, penghambaan, ketundukan, dan kepatuhan. Dari akar kata yang sama
dikenal istilah ‘abd (hamba, budak) yang menghimpun makna kekurangan, kehinaan,
dn kerendahan (Yusaril Ali menulis, 2009: 17). Dengan
demikian, hakikat ibadah adalah pengungkapan rasa kekurangan, kehinaan, dan
kerendahan diri dalam bentuk pengangungan, penyucian, dan syukur atas segala
nikmat dengan perbuatan dan tindakan baik bersifat jasmani maupun ruhani (Ahmad Rivauzi, 2015: 104).
Dari sisi
keagamaan, menurut Yunasril Ali (2009: 18), ibadah adalah ketundukan atau penghambaan diri kepada Allah yang meliputi
semua bentuk kegiatan manusia di dunia ini, yang dilakukan dengan niat
pengabdian dan penghambaan diri hannya kepada Allah untuk meraih keredhaan-Nya (Ahmad Rivauzi, 2015: 104). Allah
berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku. (QS. Al-Dzariyat, 51: 56)
Dengan
demikian, semua tindakan seorang mukmin yang diniatkan untuk untuk meraih redha
Allah walaupun sepele atau bahkan dianggap tabu jika dibicarakan kepada orang
lain seperti buang hajat, melakukan hubungan seks (hubungan suami istri) dan
lain sebagainya merupakan ibadah kepada Allah. Inilah makna umum dari ibadah (‘ibadah
‘ammah). Sebuah riwayat dari Abu
Dzarr bahwa beberapa sahabat bertanya kepada Nabi saw., tentang pahala shalat,
puasa, dan sedekah. Rasulullah saw menjelaskan bahwa bukan hannya itu perbuatan
yang diberi pahala, melainkan juga memerintahkan yang baik, melarang yang
buruk, dan bahkan hubungan seks yang dilakukan suami istri juga diberi pahala oleh
Allah. Bahkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim,
Rasulullah saw bersabda: “sorang muslim yang menanam pohon atau tumbuhan,
kemudian buahnya dimakan oleh burung, manusia, atau binatang, semuanya itu
menjai sedekah baginya (Yunasril Ali, 2009: 18) .
Yunasril Ali (2009: 20-21) mengutip Abd al-Hamid Hakim (1949: 215), adapun ibadah
dalam makna khusus (‘ibadah khashshah) adalah ibadah yang meliputi
bentuk-bentuk ritual tertentu yang
diajarkan syara’ seperti thaharah, shalat, puasa, zakat, dan haji. Ibadah
khusus ini memiliki ruang lingkup, batasan, dan aturan-aturannya diatur oleh
syara’. Dalam ibadah khusus ini,seseorang tidak boleh keluar dari aturan
syara’. Jika seseorang malakukan sesuatu yang diluar ketentuan syara’, maka
inilah dienal dengan prilaku bid’ah yang
ditolak dan dikecam oleh Rasulullah saw. Berdasarkan inilah maka para ulama dan
fuqaha membuat rumusan yang berbunyi “hukum asal ibadah adalah haram (tidak
boleh) sehingga ada dalil yang memerintahkannya”. Dengan kata lain, seseorang
tidak boleh membuat suatu bentuk ibadah khusus (‘ibadah mahdhah) tanpa
ada dalil al-Quran dan sunnah yang memerintahkannya. Hal ini berbeda dengan
ibadah umum (ghairu mahdhah) yang biasa disebut dengan ibadah mu’amalah,
maka para ulama membuat rumusan “ segala tindakan manusia pada dasrnya
dibolehkan salama tidak ada dalil al-Quran dan sunnah yang melarangnya” . Dengan
demikian, secara umum, semua tindakan manusia dapat menjadi ibadah jika
memenuhi dua syarat yaitu: Pertama, niat ibadah kepada Allah. Kedua, tindakan
yang dilakukan tidak bertentangan dengan syara’ (Ahmad Rivauzi, 2015: 105-106).
Ibadah
merupakan hakikat keberadaan dan inti keber-agamaan manusia. semakin tulus
seseorang beribadah, semakin dekat ia kepada Allah. Dengan demikian ibadah
tidak boleh hanya dilakukan secara lahiriyah semata tanpa melibatkan kesadaran hati. Ibadah yang benar adalah di saat gerakan tubuh dilakukan, pada saat itu
juga gerakan tubuh tersebut menyatu dengan gerakan hati. Nilai ibadah tidak
ditentukan oleh bentuk lahirnya, tetapi tergantung pada kesadaran batin
pelakunya (Ahmad Rivauzi, 2015: 105-106)..
Nurcholis Madjid (1992: 63) menulis, manusia lahir telah membawa beberapa
kecenderungan alami yang tidak berubah. Salah satunya ialah mengabdi kepada
Yang Mahakuasa sekaligus mengagungkan-Nya. Dalam kenyataannya menunjukkan bahwa
hampir tidak ada seorang pun yang bebas sepenuhnya dari bentuk ekspresi
pengagungan yang mengandung nilai ibadah dan ketundukan. Jika seseorang tidak
melakukan suatu bentuk ibadah tertentu, ia pasti sedang melakukan bentuk ibadah
yang lain. Perjanalan sejarah manusia juga
telah membuktikan, dari yang paling primitif hingga yang moderen, bahwa tidak
ada seorang atau satu bangsa pun yang terlepas dari bentuk pengabdian. Manusia primitif
mungkin melakukan ritual pengabdian karena didasari oleh rasa takut kepada
kekuatan dan kedahsyatan alam, dan manusia modern melakukannya karena
ketidakmampuan pikirannya menghadapi impitan kehidupan yang tak habis-habisnya (Ahmad Rivauzi, 2015: 106-107).
Nurcholis Madjid (1992: 63) menambahkan, kalangan ateis mungkin dapat
dikatakan sebagai kelompok manusia modern yang berupaya keras menafikan serta menentang
semua bentuk ekspresi dan rasa keagamaan. Namun kenyataannya, mereka tidak
pernah lepas sepenuhnya dari sesuatu yang berciri keagamaan. Pengagungan mereka
terhadap para pemimpin dan ajaran ateis juga merupakan bentuk ritual ketundukan
mereka. Firaun dalam sejarah klasik Mesir terkenal sebagai orang yang mengaku
sebagai Tuhan, tetapi ketika tenggelam di Laut Merah, ia meraung-raung menyeru
Tuhan Musa a.s. Manusia, kendati memiliki kemampuan berpikir yang luar biasa,
tetap saja memiliki keterbatasan. Karena itulah ketika sampai pada batas akhir
kemampuannya ia akan mengakui adanya sesuatu Yang Mahakuasa dan Mahaagung. Itulah
Tuhan. Akhirnya, dengan penuh kepasrahan ia akan mengakui kekerdilan dirinya
sembari mengagungkan Tuhan dan mengadukan ketidakberdayaannya (Ahmad Rivauzi, 2015: 107).
Manusia memang merupakan makhluk Tuhan
yang paling mulia dan paling pintar. Namun, ia tidak akan mampu menggapai
kebenaran secara sempurna, apalagi yang berkaitan dengan persoalan metafisika
dan eskatologi yang serba gaib. Ia memerlukan pertolongan dan bimbingan agar
mampu meraih kebenaran. Karena itulah melalui perantaraan para rasul, Tuhan
menurunkan Kitab Suci untuk membimbing manusia menuju kebenaran dan kebaikan
sejati. Salah satu ajaran Kitab Suci ialah ibadah kepada Tuhan, yang tujuannya
untuk penyempurnaan dan pemeliharaan diri manusia itu sendiri. Ajaran dan tuntunan Ilahi itu diturunkan agar
manusia senantiasa berada di atas fitrah kebenaran (Ahmad Rivauzi, 2015: 107).
Ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa
merupakan salah satu fitrah manusia. Hal ini sudah dijelaskan Allah dalam
firmannya:
فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفاً فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا
تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ
لَا يَعْلَمُونَ
Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui,
QS . al-Rum [30]: 30).
Ayat di atas berkaitan dengan ayat
lain tentang janji primordial manusia yang meyakini keberadaan Tuhan:
وَإِذْ
أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى
أَنفُسِهِمْ أَلَسْتَ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah),
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", (QS. Al-A’raf, 7:
172)
Al-Junayd al-Baghdadi, sufi abad
ketiga Hijriah, sebagaimana dikutip Yunasril Ali (2009: 25), mengatakan bahwa sebelum manusia memiliki wujud seperti di dunia
ini ia telah memiliki wujud ruhani, yang disebutnya sebagai wujud Rabbani. Dengan
kata lain, sebelum dilahirkan ke dunia, manusia telah mengenal adanya Tuhan. Para
nabi dan rasul diutus ke dunia ini untuk mengingatkan manusia terhadap
pengetahuan dan keyakinannya di masa lalu. Fitrah keagamaan yang senantiasa memunculkan ketundukan dan pengagungan kepada
Tuhan Yang Mahakuasa merupakan pembawaan dan pengetahuan asali manusia sehingga
ia akan tetap hidup dalam jiwa manusia. Fitrah itu merupakan hakikat keberadaan
manusia. Karena itu, dalam situasi dan kondisi apa pun, selama masih ada
manusia yang hidup di dunia ini, agama tidak akan pernah mati dan sirna. Sekeras
apa pun manusia berusaha menghapus dan membunuh agama, ia tidak akan pernah
mati. Will Durant' seorang sarjana
Amerika, ketika membahas sejarah dan agama dalam karyanya The Lesson of History,
mengatakan, “Agama memiliki seratus jiwa. Segala sesuatu akan mati untuk
selama-lamanya bila ia dibunuh. Sedangkan agama, dibunuh ratusan kali pun ia
akan muncul lagi dan hidup kembali setelah itu" (Ahmad Rivauzi, 2015: 108-109)