Kamis, 17 Januari 2013

ALI SYARI’ATI; PEMIKIRAN DAN PERJUANGANNYA


ALI   SYARI’ATI;  PEMIKIR, PENDIDIK, DAN PEJUANG
REVOLUSIONER IRAN

Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA

A.  Pendahuluan

Islam yang dimasa Nabi dan beberapa zaman sesudah beliau telah membingkai peradaban gemilang dan ikut menjadi satu rangkaian penyebab Barat mampu menemukan titik cerah peradabannya. Sebagaimana disebut oleh Ali Syari’ati, dengan melupakan sejarah Islam dalam pemahaman kita, maka pemahaman sejarah akan pincang.
Iran sebagai suatu wilayah Islam yang bermazhab Syi’ah juga telah membuktikan kepada dunia bahwa Islam mampu menjadi motor yang menggerakkan dan membingkai peradaban.
Ali Syari’ati adalah salah seorang tokoh intelektual Iran telah membuktikan kepada kita melalui gagasan-gagasan, tulisan-tulisan, karya dan aksinya bahwa Islam mampu merubah wajah dunia.
Dengan menjadikan Islam sebagai satu mazhab pemikiran, Ali Syari’ati membangun tanggung jawab sosial yang kokoh pada dirinya dan mampu menularkannya kepada orang lain. Ini adalah salah satu keistimewaan Ali Syariati dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain baik yang hidup pada masa lampau maupun yang hidup pada masa sekarang ini.
Walaupun tidak semua pemikiran Syari’ati dapat diterima oleh semua pihak, namun pemahaman yang benar akan seorang Ali Syari’ati akan membantu dalam melihat dan mengukur pemahaman ke Islaman kita.
Sebagaimana ditulis oleh Syari’ati bahwa pemahaman yang benar akan terbuktikan pada diri kita pada sejauh mana pemahaman itu mempunyai nilai pengaruh dan mamfa’atnya pada diri kita dalam kehidupan kita. Karena tugas kita barangkali adalah menjawab pertanyaan:  Apa mamfaat ke Islaman saya bagi diri saya dan kehidupan saya?


B.   Sejarah Ringkas Ali Syari’ati


Ali Syari’ati lahir di Mazinan[1] yang terletak di perbatasan kota Masyhad, bagian timur laut Iran, pada tanggal 24 November 1933 dan pada beberapa tulisan menjelaskan bahwa Ali Syari’ati lahir pada tanggal 24 November. Dia adalah anak pertama Muhammad Taqi dan Zahra dalam keluarga yang religius, zuhud dan suka membantu masyarakat.
Pada tahun 1940-an Ali Syari’ati turut dalam “Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan” dan “Pusat Syi’ar Kebenaran Islam” yang didirikan oleh ayahnya Muhammad Taqi Syari’ati yang pada waktu mengajar pada sekolah lanjutan atas, sarjana, dan Islamolog).[2]
Pada tahun 1941, Ali masuk tingkat pertama sekolah swasta Ibn Yamin, tempat ayahnya M. Taqi mengajar. Ketika kecil, Ali Syari’ati dipandang mempunyai dua prilaku yang berbeda; pendiam, tak mau diatur, rajin dan penyendiri, tidak punya kontak dengan dunia luar dan sepertinya punya sifat acuh tak acuh. Kendatipun Ali Syari’ati biasa bersama ayahnya, membaca sampai larut malam dan kadang sampai subuh, dia tidak pernah membaca bacaan yang diwajibkan sekolah, juga tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya.[3]
Setelah menamatkan Sekolah Dasar, Syari’ati melanjutkan studinya ke Akademi dengan Sastra sebagai pilihan dan berhasil meraih gelar B.A. dalam bahasa Arab dan Perancis pada tahun 1958. Pada tahun 1960, Syariati berkesempatan studi di Sarbon Paris dengan mendapat beasiswa sebagai imbalan prestasinya. Ketika berada di Paris inilah Syari’ati berkesempatan menela’ah karya-karya pilosof, sosilog, dan Islamolog[4] dan pada tahun 1964, Syari’ati kembali ke Iran; ditahan di perbatasan dan dipenjara selama enan bulan.[5] Ali Syariati ditahan dan dibawa ke penjara Khoy di Azarbaijan. Kemudian Ali Syari’ati dipindahkan ke penjara Qezel Qal’eh dekat Taheran. Adapun alasan penangkapannya adalah karena dituduh telah melakukan upaya melawan pemerintah di Paris. Syari’ati baru dibebaskan setelah adanya desakan dunia internasional.[6]
Setelah dibebaskan, Ali Syariati aktif dalam berbagai kegiatan; diantara aktivitas Syari’ati antara tahun 1964 – 1969 adalah sebagai pengajar sementara di sekolah lanjutan dan di Akademi Pertanian. Pada tahun 1969 ini Syari’ati melawat ke Taheran untuk mendirikan Husayniah Irsyad dan mengajar di sana. Tahun ini adalah tahun yang paling produktif bagi Ali Syari’ati dengan pengertian apa yang dinamakan Syari’ati sebagai “Islamic Renaissance”  dan pada tahun ini juga Syari’ati pergi haji pertama ke Makkah.[7]
Pada tahun 1970, Syari’ati naik haji untuk yang kedua kalinya dan menyempatkan diri melakukan lawatan ke negeri-negeri lain di wilayah itu. Dua tahun sesudah itu yaitu pada tahun 1972, Husayniah Irsyad terpaksa menghentikan berbagai aktivitasnya dan Syari’ati ditahan karena berbagai aktivitas politiknya. Pada masa beberapa tahun ini Syari’ati sering keluar masuk penjarabaru pada tahun 1975 Ali Syari’ati dibebaskan setelah ditahan dan setelah Organisasi Internasional, para intelektual Paris dan Aljazair membanjiri Taheran berikut petisi untuk membebaskan Syari’ati. Pada tahun 1975 sampai dengan tahun 1977, Ali Syari’ati menjalani tahanan rumah.[8]
Pada bulan Mei tahun 1977 Ali Syari’ati  meninggalkan Iran menuju Inggris dan pada bulan Juni pada tahun yang sama, Syari’ati ditemukan meninggalkan misterius dan dikebumikan di Damaskus, Syria. [9] Dalam penjelasan Ali Rahnema dalam bukunya “Para Perintis Zaman Baru Islam” lebih tegas menyatakan bahwa meninggalnya  pada tanggal 19 Juni 1977. Ali Syari’ati ditemukan meninggal dan tergeletak di lantai rumah  kerabatnya secara misterius.[10]

C.  Kondisi Sosial dan Politik di Masa Ali Syari’ati


Ali Syari’ati hidup dalam suasana ketika kecenderungan kepada  Peradaban Barat nilai materialistic barat telah berurat berakar dan melanda seluruh lapisan masyarakat termasuk pemerintah yang berkuasa pada saat itu. [11]
Syari’ati melihat abad-20 sebagai abad “analisis ilmiah”, dan juga abad saat filsafat sejarah dikesampingkan; abab ketika iman dipecah-pecah dan dikalahkan oleh materialitas dan kaum ilmuan telah kehilangan kesadaran ilmiah dan komitmen sosialnya; abad ketika kemanusiaan secara umum telah kehilangan kepercayaan pada cita-citanya yang luhur dan Iran berada dalam kelumpuhan ideologis dalam artian bahwa walaupun rakyat Iran tidak senang dengan penguasa tiran waktu itu, namun tidak mampu berbuat. Jadi Islam Syi’ah mereka Cuma sebagai simbolik belaka.
Dalam menggambarkan kondisi masyarakat Iran pada waktu itu, penulis memakai analogis yang diintrodusir oleh Ali Syari’ati sendiri ketika dia melakukan upaya analisis ilmiah terhadap setiap peradaban dalam perspektif sejarah dan sosiologi.
Menurut Ali Syari’ati, analogi yang tepat untuk memahami sejarah dan sosiologi adalah kerucut. Katanya:
“Kerucut adalah kerangka acuan atas berbagai pemikiran, keputusan dan berbagai persepsi kita. Dalam tiap-tiap peradaban, tiap-tiap masyarakat, dan tiap-tiap zaman, sejarah berhubungan manusia lalu tidak sebagai hubungan sesaat, tetapi berbentuk mata rantai yang saling terkait … Jadi untuk memahami tiap-tiap periode, diperlukan kerucut ini, dan masing-masing periode secara akurat dapat dibagi sesuai dengan gambaran ini”. [12]

Lapisan kerucut terbawah adalah kaum awam. Masyarakat atau massa yang kalau dihubungkan dengan kondisi massa di Iran berada dalam kondisi yang dipercundang dan ditindas. Hak-hak mereka didustakan dan kebebasan mereka dihancurkan.
Lapisan berikutnya adalah kaum kaum terpelajar, intelektual, ulama, seniman, penulis dan lain sebagainya. Kelas ini sering dikecam Ali Syari’ati karena sering menjilat pada penguasa, dan mengokohkan status quo. Mereka adalah warisan budaya mapan dan mendapatkan posisi kelas di tengah-tengan tatanan stratifikasi sosial. Mereka dikritik Syariati karena telah melakukan penghianatan dengan memutar balikkan penafsiran dari ajaran-ajaran Syi’ah.[13]
Selain  dari dua kelas di atas, adalagi beberapa orang jenius yang berjumlah kecil yang tidak memiliki kelas dan berseberangan dengan status quo serta warisan budaya dan metode berpikir yang ada. Mereka datang dengan semangat yang baru dan metode berpikir baru. Kelompok ini pada masanya nanti menurut Ali Syari’ati akan bertambah banyak dan akan mendapat posisi kelas di masyarakat seiring dengan meningkatnya kekuatan dukungan kepadanya.[14] Kelompok jenius ini menurut Syari’ati disebut raushanfikr[15].
Hal inilah yang terjadi pada kasus-kasus abad pertengahan seperti pemikiran baru para ilmuan yang berlawanan dengan pemikiran umum yang berkembang seperti ajaran pemikiran gereja. Pada proses awal ilmuan mendapat tantangan dan permusuhan, namun akhirnya ilmuan dengan pemikirannya memperoleh tempat dan berkembang menjadi sesuatu yang dimapankan pada sejarah peradaban.
Pada puncak kerucut adalah penguasa. Di Iran, kelompok penguasa adalah tiran otoriter dan menjadikan kelompok  dan pemikiran syi’ah konservatif sebagai tameng mengekalkan status quo.
Pada masa Ali Syari’ati ini juga sebagaimana dijelaskan Floor, Iran adalah negara pra industri. Masyarakat macam ini dikuasai oleh suatu elite kekuatan kecil, yang mengontrol fungsi-fungsi atau posisi-posisi tersebut baik pada aspek politis, ekonomis, ataupun religius. Kekuasaan elite ini seringkali berlanjut melebihi kehidupan satu dinasti.[16]
Di Iran terdapat kelompok-kelompok kelas menegah tardisional yang bisa berfungsinya melegalkan kekuasaan politik syah.[17] Hal ini yang ditentang keras Ali Syari’ati walaupun pada perkembangannya dalam dinamika politik Iran muncul sekelompok ulama yang menentang penguasa seperti barisan perjuangan Ayatullah Khomeini. Dua tokoh ini walaupun memiliki banyak perbedaan, namun saling melengkapi dalam revolusi Iran.
Perbedaan antara kedua tokoh ini dapat dilihat di antaranya dari latar belakang mereka; yang satu dari kelompok revolusioner modernis dan yang satu dari kelompok tradisional revolusioner. Akan tetapi banyak kesamaan pada diri mereka terutama dari tujuan perjuangan mereka dan kesamaan ideology Syi’ah mereka yang membangun bingkai perjuangan mereka. Kontribusi besar Ali Syari’ati adalah sebagai tokoh yang membangunkan rakyat Iran untuk ikut dalam revolusi yang akhirnya dipimpin oleh Ayatullah dan mampu menumbangkan kekuasaan tiran Syah Iran pada tahun setelah meninggalnya Syari’ati pada tahun 1977.

D. Pokok-Pokok Pikiran Ali Syari’ati


Ali Syari’ati adalah seorang Syi’ah tulen. Di dalam tulisan, ceramah dan setiap gagasan yang disampaikannya hampir tidak pernah dia menjadikan Abu Bakar, Umar, dan sebagainya sebagai referensi membangun aliran pemikirannya. Idola yang sering diapungkannya kepermukaan adalah Ali, Hasan dan Husein, Zainab binti Husein, Salman al-Farisi dan teristimewa adalah Abu Zar al-Ghifari.
Yang sangat menarik dari karakter mazhab pemikiran Ali Syari’ati adalah kemampuannya dalam melakukan interpretasi terhadap ajaran Syi’ah yang memiliki nuansa yang sangat revolusioner.
Adapun pokok pikiran Ali Syari’ati yang cukup mendasar di samping banyak gagasan Ali Syari’ati adalah:

1.    Metode pendekatan pemahaman ke-Islaman.

Ali Syari’ati menawarkan satu metode dalam melakukan pemahaman ke Islaman yang benar. Hal ini dianggap mendasar karena bangunan mazhab pemikirannya berangkat dari sini. Seperti yang diungkapkan sendiri oleh Ali Syari’ati bahwa metode sama dengan jalan.
Berpikir yang benar dengan metode yang benar seperti jalan yang benar. Seseorang yang pincang tetapi memilih jalan yang lurus dan benar, akan sampai ditujuan lebih cepat dari pada seorang juara lari yang memilih lari di jalanan berbatu dan berkelok.[18]
Setiap muslim harus memahami Islam secara benar. Untuk memahami Islam secara benar, menurut Syari’ati, tidak dapat dengan menggunakan pendekatan Eropa yang di dasarkan pada biologi, psikologi dan sosiologi. Saran Ali Syari’ati Cuma sebatas mengetahui metode dan pengetahuan Eropa, tetapi tidak boleh mengikutinya.[19] Hal ini disampaikan Syari’ati karena dia melihat bahwa metode pemikiran Barat dibangun atas materialisme[20].
Menurut Syari’ati, Islam bukanlah agama yang berdimensi satu[21]. Melihat Islam dari satu dimensi sama artinya dengan melihat satu dimensi lampu kristal dan bahkan al-Qur’an sekalipun mengandung banyak dimensi.[22]
Sama dengan metode mengenal seseorang dengan menggunakan metode pendekatan yang pertama dengan mengenali berbagai pemikiran dan gagasannya, yang kedua dengan mempelajari kehidupannya dari awal. Begitu juga dengan metode mengenali Islam. Maka cara yang tepat untuk mengenali Islam adalah dengan mempelajari al-Quran yang merupakan kumpulan pemikiran dan gagasan serta ilmu suatu kepribadian yang dinamakan Islam. Yang ke dua adalah dengan mempelajari sejarah dari Islam yang menggambarkan berbagai perubahan yang terjadi dari awal misi kenabian hingga hari ini.[23]
Selain dari metode di atas, Syari’ati juga mengembangkan tipologi pendekatan untuk mengenali agama-agama. Yaitu:
a.    Tuhan dari agama yang bersangkutan
b.    Kitab suci dari agama yang bersangkutan
c.    Nabi agama  yang mendeklarasikan misi agama yang bersangkutan.
d.    Bentuk dan watak orang-orang yang dihimbau oleh agama yang bersangkutan yang berarti termasuk kalangan dan lapisan orang dari strativikasi sosial orang yang dihimbau.
e.    Para pengikut pilihan dari masing-masing agama yang merupakan model dan wakil umat yang dididik oleh agama yang bersangkutan yang kemudian menyampaikannya kepada masyarakat dan sejarah.[24] 
Sebagai seorang sosilog, Ali Syari’ati menemukan dan menyusun semacam sosiologi agama atas dasar Islam. Masalah baru yang ditemukannya adalah berkenaan dengan asal usul ilmiah tentang sejarah dan sosilogi yang mencerminkan adat dan kebiasaan Nabi. Persoalan penting yang diangkat Ali Syari’ati adalah hijrah. Hijrah yang dipahami oleh dalam istilah sejarah sebagai perpindahan suku primitif karena sebab-sebab geografis dan politis serta hijrah yang dipahami umumnya kaum muslimin sebatas perpindahan sahabat Nabi dari Makkah ke Madinah sebatas satu peristiwa sejarah, bagi seorang Syari’ati merupakan suatu falsafah yang mendalam dan prinsip sosial yang cemerlang. Hijrah adalah faktor yang sangat menentukan dan mempengaruhi sebuah sejarah peradaban. Setiap suku yang primitif akan mampu berubah cuma dengan melakukan hijrah sebagai syarat utamanya.[25]
Selanjutnya Ali Syari’ati juga memaparkan bahwa Islam adalah satu-satunya mazhab pemikiran yang memandang massa sebagai faktor utama perubahan sosial. Hal ini bertentangan dengan mazhab lain yang beranggapan faktor utama perubahan sosialnya adalah kehadiran seorang tokoh. Selanjutnya Ali Syari’ati menyimpulkan faktor-faktor perubahan sosial yaitu, tokoh, tradisi dan kebetulan, serta massa.[26]

2.    Islam Ideologis sebagai sebuah mazhab Pemikiran.

Ali Syari’ati mengutip pendapat Gaston Bachelard yang disejajarkannya dengan Descartes dan Plato tentang bahasa ekspresi sebuah gagasan yang menentukan keshahihannya. Katanya, “ … manakala sebuah gagasan dapat dikonseptualkan dalam bentuk geometris, ia telah menemukan bahasanya yang tepat guna mengekspresikan dan menjelaskan dirinya sendiri”. Gagasan apapun yang bisa dikonseptualkan dan kemudian diekspresikan dalam bentuk geometris dengan sendirinya membuktikan gagasan itu shahih dan logis. Ini artinya setiap mazhab pemikiran mengupayakan pengekspresian yang geometris dan matematis untuk membuktikan kebenarannya. Syari’ati tetap mengakui bahwa tidak semuanya dapat diekspresikan secara geometris seperti agama yang membutuhkan argumentasi dan perbandingan-perbandingan sebagai bahasa ekspresinya. Tetapi ekspresi geometris sesuatu akan membantu orang lain dalam memahami kebenaran sebuah gagasan.[27]
Ali Syari’ati menjelaskan antara sesuatu yang dipahami dengan sesuatu yang dipelajari. Seseorang mungkin saja tahu banyak hal tentang sesuatu apakah seorang tokoh atau agama dan pemikiran, tetapi belum tentu seseorang itu memahami seorang tokoh, agama atau sebuah pemikiran. Menurut Syari’ati, “ memahami berarti mempunyai perasaan yang mendalam terhadap suatu agama atau ideologi, menemukan spirit dan makna yang tersembunyi dalam sebuah gagasan”.[28]
Dari pernyataan di atas, Syari’ati menjelaskan antara Islam sebagai sebuah budaya dan Islam sebagai sebuah ideologi. Islam sebagai sebuah ideologi, bukanlah sebagai satu spesialisasi ilmiah, melainkan perasaan yang dimiliki seseorang berkenaan dengan mazhab pemikiran  sebagai satu sistem keyakinan dan bukan sebagai satu kebudayaan. Kebudayaan yang dimaksudkan adalah informasi-informasi, teori ilmiah dan lain sebagainya yang belum tentu menjadi spirit, ruh atau terjiwai oleh seseorang.[29]
Seseorang yang memiliki mazhab pemikiran kata Syari’ati , maka semua tindakan, gagasan, baik ekonomi, politik, tujuan, arah dan lain sebagainya maka akan berjalan seirama dan utuh serta padu karena dia adalah ruh dan spirit dalam semua hal yang ada dan lahir daripada seseorang itu.[30]
Ketika Islam menjadi sebuah mazhab pemikiran, maka ruh Islam akan menjiwai semua yang timbul pada diri seseorang baik hal ihwal politik, ekonomi, sastra dan lainnya. Oleh karenanya tidak akan kita temui istilah seni untuk seni, ilmu untuk ilmu dan lain sebagainya yang kering dari muatan tanggung jawab ruh Islam.Kemudian Syari’ati juga menjelaskan bahwa setiap ideologi memiliki pijakan infrastruktur yang merupakan sistem penopang dasar yang darinya semua gagasan berkembang. Infrastruktur itu adalah pandangan dunia. Contoh dari pandangan dunia itu adalah pandangan keyakinan seseorang apakah monoteistis, matrealistis, multiteistis dan lain sebagainya. Jadi pandangan dunia itu adalah pemahaman yang dimiliki seseorang tentang “wujud” atau “eksistensi”. Idelogi berkembang dari konteks menyeluruh pandangan dunia. Seseorang yang yakin bahwa dunia ini mempunyai pencipta yang sadar yang memiliki kehendak, dan semua yang dilakukan akan diperetanggung jawabkan kepada-Nya, maka dia memiliki pandangan dunia yang religius. Berdasarkan keyakinan ini seseorang itu akan mengatakan: “ Jalan hidup saya mesti begini, akan harus mengerjakan ini “.[31] Inilah bangunan ideologi seseorang itu.
Syari’ati juga menjelaskan bahwa ada tiga hal yang menjadi tiang menegakkan mazhab pemikiran yaitu pandangan tentang manusia, sejarah, dan masyarakat yang landasannya adalah pandangan dunia seseorang.[32]
Syari’ati melakukan analisis dan penafsiran terhadap doktrin Syi’ah[33] yang disalah artikan penguasa dan agamawan pro penguasa. Konsep-konsep itu bagi Syari’ati memiliki nilai revolusinaer seperti gaibnya Imam bukanlah menyebabkan Iran harus menunggu begitu saja kehadiran Imam untuk memperbaiki kekacauan, tetapi memiliki makna bahwa masing-masing orang memiliki tanggung jawab pribadi dan sosial untuk memperbaiki dalam jalan yang diyakini mengantarkan pada keshalehan.

E.   Upaya-upaya Ali Syari’ati dalam Menyebarluaskan Ide dan Gagasannya, Reaksi Terhadap Gagasannya, dan Kontribusinya dalam Revolusi Iran


        Syari’ati sebelum keberangkatannya ke Paris, aktif bergabung dalam kelompok gerakan nasionalis Dr. Mosaddeq, dia aktif dalam kegiatan-kegiatan demonstrasi dan rapat umum pro Mosaddeq. Di Masyhad, 16 nasionalis penyembah Tuhan yang memadukan sosialis dengan Islam bergabung dengan Partai Iran (Hezb-e Iran), yang merupakan anggota dari Front Nasional Mosaddeq, pada tahun 1951 dan Syari’ati senantiasa bergabung sampai ketika Gerakan Sosialis Pemnyembah Tuhan memisahkan diri dan membentuk  Liga Kemerdekaan Rakyat Iran ( Jam’iyat Azadi-e Mardom-e Iran), bahkan sampai pasca kudeta 1953, Gerakan Nasionalis membentuk Partai Baru yang bernama Partai Rakyat Iran (Hezb-e Mardom Iran), Syari’ati tetap menjalin hub erat dan memberikan sumbangan berharganya akan perjuangan.[34]
Pasca kudeta Mosaddeq, kebebasan dibungkan, dan Ali Syari’ati tetap tegar dan bergabung dengan organisasi rahasia Gerakan Perlawanan Nasional (NRM). Pada tahun 1954, dia mengorganisasi demonstrasi memperingati Mosaddeq. Atas tuduhan agitasi, Syari’ati dipenjarakan selama 17 hari dan pada tahun 1955 setelah dia masuk pada Fakultas Sastra, dia aktif mengembangkan bakatnya dan menjadi seorang editor koran khorasan  yang menyebabkan dia cukup terkenal di lingkungan politik dan intelektual. Pada 1957, Syari’ati kembali ditahan bersama empat belas anggota NRM dan diterbangkan keTeheran dan baru dibebaskan satu bulan kemudian. [35]
Pada tahun 1958, Syari’ati menikah dengan  Pouran dan setahun sesudah itu Syari’ati berangkat ke Paris melanjutkan studi..Selama di Paris, dia juga aktif dalam kegiatan organisasi di lingkungan mahasisiswa Iran pro Mosaddeq, maupun di lingkungan orang-orang Aljazair yang pro dengan Front Pembebasan Nasional yang sedang berjuang melawan kolonialisme Prancis di Aljazair. Syari’ati ikut dalam perdebatan Mahasiswa  Iran mengenai apa yang perlu dilakukan di Iran. Syari’ati juga sangat aktif menulis terlebih dia diangkat sebagai editor majalah Fron Nasional.[36] Agaknya hal inilah menyebabkan dia ditahan ketika dia pulang dari Paris antara Turki-Iran setelah menyelesaikan studinya pada tahun 1964.
Sekembalinya Syari’ati dari Paris Syari’ati berusaha menebarkan kesadaran revolusioner di kalangan intelektual Iran dan yang menjadi sasarannya adalah massa di perguruan tinggi Masyhad. Namun dia agak lambat untuk diterima di Masyhad dan baru pada tahun 1957 dia mengajar di sana dan dalam waktu cepat dia menjadi dosen yang populer. Pada tahun 1969, Syari’ati menerbitkan sebuah buku Eslamshenasi yang merupakan karangan yang sangat kritis yang menyerang ulama konservatif dan tokoh yang terbaratkan. Dia mendapat tantangan keras dari ulama dan menuduh karangannya merupakan karangan sesat bahkan seorang ulama yang bernama Muhammad Ali Anshari, menulis, bahwa selama seribu tahun terakhir sejarah Islam dan Islam Syi’ah, tidak pernah ditemui seorang musuh yang lebih berbahaya, mengerikan dan bandel, selain Ali Syari’ati.[37]
Pada tahun 1971, Syari’ati meninggalkan jabatannya di Masyhad dan kemudian intens di pusat Lembaga Keagamaan yang bentuk pada tahun1969 yang bernama Hosseiniyeh Ershad. Di sini dia menyebarkan gagasan revolusionaernya dan membangkitkan kesadaran kaum muda untuk waktunya melakukan aksi. Beberapa kejadian aksi penolakan terhadap pemerintah terjadi yang dihadapi pemerintah dengan kekerasan dan kekejaman. Ali Syari’ati pernah ditangkap dan dipenjara selama delapan belas bulan di penjara Komiteh setelah sebelumnya Syari’ati melakukan usaha bersembunyi dan dipaksa menyerah oleh pemerintah dengan menyandera ayah dan iparnya.[38]
Pada tahun 1975, Syari’ati dibebaskan dan tetap dalam pengawasan yang ketat. Seluruh buku dan tulisan  Syari’ati dilarang beredar dan siapa saja yang memiliki bukunya akan ditangkap. Namun tidak beberapa kemudian sebuah tulisan lama Syari’ati yang berjudul Ensan, Eslam va Maktaba-ye Maqrebzamin (Manusia, Islam dan Mazhab Pemikiran Barat) diterbitkan oleh pemerintah secara resmi dan berkala. Dalam artikel ini argumennya disetting demikian rupa oleh pemerintah yang melahirkan kesan Syari’ati telah meninggalkan gagasan sosialis Islam dan revolusionernya.[39]
Tahun 1977, Syari’ati meninggalkan Iran yang tidak diketahui apa sebenarnya yang ada dalam benak Syari’ati. Agen Keamanan Iran memburu Syari’ati dan pada bulan Juni 1977 jasad Syari’ati ditemukan tergelak di lantai tanpa nyawa.
Namun kemudian setelah meniggalnya Syari’ati, bukan berarti semangat revolusioner kaum muda tidak mati bahkan semakin bergelora. Setiap khutbah Jumat dan setiap lorong ilmiah, gagasan Syari’ati menjadi referensi utama. Kontribusi pemikiran Syari’ati ini menjadi faktor yang cukup menentukan bergulirnya gelombang massa turun aksi pada tahun berikutnya yang menggulingkan kekuasaan shah yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeni.  

F.    Karya dan ide Ali Syari’ati


Ali Syari’ati telah melahirkan ribuan tulisan dan rekaman-rekaman ceramah yang disampaikannya pada setiap kesempatan. Pemikirannya sangat pilosofis namun tetap realistis sehingga kondisi real Iran mampu menterjemahkannya dan menjadikannya sebagai suluh perubahan yang revolusioner. Sebagai seorang sosiolog, dia telah membuktikan kekuatan nilai tauhid dan menjadikannya sebagai energi yang maha dahsyat.
Bagi Syari’ati, hidup adalah iman dan jihad sehingga dia sering bertutur “setiap tempat adalah Karbala dan setiap saat adalah jihad”. Tidak ada pilihan bagi seorang muslim kecuali menyadari eksistensi diri dan menyadarinya. Ke-Islaman yang menjadi perhatiannya bukanlah ke-Islaman orang ‘alim (intelektual), dan Islamnya orang awam. Yang penting adalah ke-Islamannya orang yang sadar dan ke-Islaman orang yang ingat.
Pada setiap karya tulis dan ceramah yang disampaikan dengan fasih dan serat dengan muatan ideologis, dia selalu berangkat pada aspek ontologis dan epistim filosofis yang dibangun atas basis tauhid. Beberapa karyanya yang fundamental yang banyak beredar adalah diantaranya:
a.    Haji, yang merupakan rumusan pengalaman yang diperolehnya dari pengembaraan spiritualnya sewaktu melaksanakan ibadah haji
b.     Islam Agama protes, yang berisi gagasan cerdas ideologis Islam terhadap berbagai fenomena social termasuk politik
c.    Agama Melawan Agama, yang berisi penjelasan yang mendalam tentang bahwa peradaban manusia dalam sejarahnya selalu terdapat pergulatan antara keyakinan monotheis dan politheis, antara kezaliman dan yang dizalimi, antara kebenaran dan kebatilan dan lain sebagainya.
d.    Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat-sesat Pikir Barat lainnya, yang berisi penjelasan yang menelanjangi kerapuhan dan kebobrokan serta kekeliruan Marxis dan pemikiran Barat yang dilandasai oleh pemikiran pilosofis smaterialistik.
e.    Abu Zar al-Ghiffari, yang merupakan karya Ali Syari’ati yang mengungkap kebesaran Abu Zar bahkan Syari’ati sering mengidentifikasikan dirinya sebagai Abu Zar.
f.     Dan banyak lagi buku-buku baik yang merupakan kumpulan tulisan dan ceramahnya, maupun karya terjemahan karya pemikir besar baik Barat maupun Timur yang diterjemahkannya yang semuanya merupakan hasil kreasi manusia tauhid yang bernama Ali Syariati.

G. Penutup


Sejarah peradaban manusia merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan dan pemaknaan serta pemahaman yang benar sangat diperlukan sehingga sejarah bukanlah hannya sekedar gudang-gudang informasi kejadian masa lalu.
Mobilitas pribadi dan sosial sangat diperlukan dalam membingkai sebuah peradaban. Kehadiran tokoh yang tercerahkan membantu terciptanya sebuah perubahan peradaban disetiap belahan dunia dan massa adalah sebagai faktor utama dari perubahan itu.
Islam harus dijadikan sebagai sebuah ideology yang hidup yang tidak hanya sebagai pengetahuan semata, tetapi harus dipahami dengan benar.
Ukuran kebenaran pemahaman ke-Islaman kita adalah pada sejauh mana pemahaman ke-Islaman itu mampu memberikan kemamfaatan dalam kehidupan kita terutama  pada kehidupan ruhaniah yang bebas dan merdeka yang hannya mau tunduk dihadapan Allah swt.
Wa Allahu a’lamu bi al-shawabi 




Catatan Akhir

[1]   Mazinan adalah sebuah dusun kecil yang terletak di pinggir gurun provinsi Khurasan. Lihat: Ali Rahnema, Ali Syari’ati Guru Penceramah Pemberontak, dalam Buku: Para Perintis Zaman Baru Islam, Editor Ali Rahnema , Bandung: Mizan,
[2]  Ali Syari’ati, Islam Agama Protes, Penj: Laleh Bakhtiar dan Husen Shaleh. Bandung: Pustaka Hidayah, Buku ini yang merupakan kumpulan dari rekaman dan tulisan ceramah dan kuliah Ali Syari’ati.
[3]        Ali Rahnema, 
[4]        Di antara filosof, sosiolog, dan Islamolog yang dianggap Ali Syari’ati memberikan pencerahan pemikiran pada dirinya adalah Jaques Berque yang membantu Syari’ati mencapai pandangan tentang sosiologi agama, Sartre tentang prinsip-prinsip kebebasan manusia dari peninidasan, Jean Cocteau tentang pandangan sejauh mana jiwa manusia bisa berkembang, dan Alexis Carel dengan pandangan keselarasan antara ilmu pengetahuan dan agama. 
[5]        Ali Syari’ati, Islam Agama Protes, 
[6]        Ali Rahnema, Para Perintis Zaman Baru Islam, 
[7]        Ali Syari’ati, Islam Agama Protes, 
[8]        Ibid.,
[9]        Ibid.
[10]       Ali Rahnema, Para Perintis Zaman Baru Islam
[11]       Bahkan pada tahun 1935, Reza Khan pernah melarang guru-guru dan murid-murid wanita memakai cadar yang merupakan salah satu budaya Islam Iran. Lihat: Ali Syariati , Ideolpgi Kaum Intelektual Suatu Wawasan Islam, Penyunting: Syaiq Basri dan Haidir Bagir, Bandung: Nizam,
[12]       Ali Syari’ati, Islam Agama Protes, op cit.
[13]       Ibid, 
[14]       Ibid, 
[15]       Raushanfikr, secara harfiah diartikan dengan “pemikir tercerahkan”. Pada awalnya istilah ini Cuma digunakan kepada kelompok intelektual modernis liberal yang memperoleh pengaruh dari filosof Eropa abad 18. Kelompok ini profesional, dan terpanggil untuk melakukan perubahan-perubahan politik, sosial, dan kultural. Istilah ini berbeda dengan mullah  yang Iran merupakan kelompok ulama Syi’ah konservatif. Bagi Ali Syari’ati Istilah raushanfikr berkembang meliputi para ulama yang berpihak pada revolusi. Lihat: Ali Syari’ati, Krtik Islam atas Marxisme dan Sesat Pikir BaratLainnya,Penj : Husin Anis al-Habsyi dan Penyunting: Jalaluddin Rahmat , Bandung: Mizan
[16]       Lihat : W.M.Floor, The Office of Kalanter In Quyar Persia, Journal of The Economic and social History of The Orient (Jesho),
[17]       Lihat: Michael M. Fischer, Iran, From Religious Dispute to Revolution, Harvar University Press, 
[18]       Lihat: Ali Syari’ati, Islam Agama Protes dan Ali Syari’ati, Sosiologi Islam, Terj: Parsi Inggris oleh Hamid Algar, Inggris Indonesia oleh Saifullah Mahyudin ,Yokyakarta: Ananda, 
[19]       Ali Syari’ati, Islam Agama Protes
[20]        Untuk hal ini Ali Syariati merasa perlu menulis sebuah buku khusus untuk menghantam Marxis dan Barat. Lihat: Ali Syari’ati, Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat Pikir Barat Lainnya.

[21]       Yang dimaksudkan Syariati adalah tidak boleh memahami Islam Cuma dari dimensi mistisisme saja, akan tetapi perlu menggunakan pendekatan metode sosiologi dan sejarah terutama Islam yang berkenaan dengan cara hidup seorang muslim di muka bumi. Baca: Ali Syari’ati, Islam Agama Protes
[22]       Dimensi al-Qur’an yang sedikit diketahui menurut Syari’ati adalah aspek manusia, dimensi sosial, sejarah dan psikologi. 
[23]       Ibid., 
[24]       Ibid., h.
[25]       Ibid., h.
[26]       Tradisi yang dimaksudkan di sini adalah hukum-hukum dan adat istiadat manusia dan alam yang tidak dapat diubah yaitu berbentuk sunatullah. Misalnya untuk menundukkan sebuah peperangan memerlukan kekuatan yang lebih dari kekluatan lawan.Lihat : Ibid,h.
27]       Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, ed. Afif Mahmud, Bandung: Mizan,
[28]       Ibid., h.
[29]       Ibid, h.
[30]       Ali Syari’ati mengumpamakannya dengan sebuah galaksi yang diputari oleh planet-planet. Semua planet bersumbu pada pusat galaksi dan bergerak seirama dan selaras dan searah. Ibid., h
[31]       Ibid., h.
[32]       Ibid., h.
[33]     ‘Itrah ( para pengganti Nabi Suci yang shaleh),‘Ishmah (kesucian para Imam dari dosa),Wishayah (pengangkatan washi dan wali oleh Nabi Suci),Wilayah (menerima kepemimpinan seorang Imam),Imamah (kepemimpinan orang-orang shaleh),Taqiyah (menyembunyikan dan berhati-hati dalam masalah agama),Sunnah (praktik Nabi Suci),Ghaybah (gaibnya Imam Mahdi),Syafa’ah (pertolongan 14 orang suci di akhirat kelak),Ijtihad,Do’a,dan Taqlid.  Ibid., h60-61
[34]    Ali Rahnema, Ali Syari’ati Guru Pencerama Pemberontak, dalam Buku: Para Perintis Zaman Baru Islam, Editor Ali Rahnema 
, Bandung: Mizan,
[35]       Ibid., h. 
         [36] Ibid., h. 
[37]       Ibid., h
[38]       Ibid., h 
[39]       Ibid., h. 
       

Senin, 14 Januari 2013

Struktur Ruh atau Nafs

STRUKTUR RUH/NAFS
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA
A.  Struktur Ruh/ Nafs
Ahmad Rivauzi (2015:28), menjelaskan bahwa ruh atau nafs memiliki elemen atau komponen berupa daya-daya atau potensi. Daya-daya tersebut adalah daya qalbu, ‘aqal’ dan hawa nafs
1.         Qalbu
Qalbu dengan segala bentuknya (tunggal, dua, atau jama’) diungkap al-Quran sebanyak 132 kali dalam 126 surat. Jumlah ini tidak termasuk dalam bentuk kata kerjanya (fi’il). Al-Gazhali melihat qalbu dari dua aspek. Pertama aspek jasmani atau disebut juga qalbu jasmani. Yang dimaksud di sini adalah daging yang berbentuk seperti jantung pisang yang terletak di dalam dada sebeleh kiri. Kedua, qalbu ruhani, yaitu sesuatu yang halus (lathif), rabbani, dan ruhani. Qalbu dalam pengertian ini merupakan esensi manusia (Abdul Mujib,  2006:92).
Qalbu jasmani merupakan jantung (heart) yang menjadi pusat jasmani manusia. Ia berfungsi sebagai pusat peredaran dan pengaturan darah. Jika fungsi ini berhenti, maka ajal (batas) hidup manusia habis dan terjadilah kematian. Qalbu jasmani tidak cuma dimiliki manusia, tetapi dimiliki oleh semua makhluk bernyawa seperti binatang. Sedangkan qalbu dalam pengertian ruhani hanya dimiliki oleh manusia, yang menjadi pusat kepribadiannya. Namun demikian, qalbu jasmani dan qalbu ruhani memiliki keterkaitan. Apabila kondisi kejiwaan seseorang normal, senang, gembira atau bersedih, maka frekuensi denyutnya akan terpengaruh (Abdul Mujib,  2006:87) .
Menurut Victor Said Basil (tt:155) qalbu memiliki karakteristik khusus yaitu ia memiliki kecendrungan dan kemampuan yang disebut dengan cahaya ketuhanan (nur al-Ilahi) dan mata batin (al-bashirah al-bathiniyyah) yang memancarkan keimanan dan keyakinan (Mujib, 2006: 87). Qalbu bersifat fitrah yang memiliki kecendrungan untuk menerima kebenaran dari Allah karena ia disebut juga memiliki natur ilahiyyah yang merupakan aspek supra-kesadaran manusia yang dipancarkan dari Tuhan (Mujib, 2006: 87).[i]
Al-Thabathaba’i menjelaskan bahwa fungsi qalbu memiliki daya emosi; cinta, senang, benci, sedih, dan ingkar. Di samping daya emosi, qalbu juga memiliki daya kognisi yang bersifat halus dan rabbani yang mampu mencapai hakikat sesuatu. Qalbu dapat mencapai pengetahuan (ma’rifah) melalui daya cita rasa (al-dzawqiyyah)[ii] dan intuisi (al-hadsiyyah)[iii]. Qalbu mencapai puncak pengetahuan apabila manusia menyucikan dirinya (tazkiyat al-nafs), sehingga ia dapat memperoleh ilham dan kasyaf (terbukanya hijab yang mendinding qalbu. Qusyairi mengatakan bahwa pengetahuan qalbiyah jauh lebih luas dan dalam ketimbang pengetahuan aqliyyah. Aqal tidak dapat mengetahui hakikat Tuhan, sedangkan qalbu dapat mengetahui hakikat yang ada (Abdul Mujib,  2006:91).
Hasil capaian kebenaran yang menurut akal sehat dipandang tidak masuk akal, tidak tepat disebut irasional. Hal ini lebih tepat disebut sebagai sesuatu yang transenden atau supra-rasional (supra-kesadaran). Capaian kebenaran yang dimaksud seperti hal-hal yang berhubungan dengan keyakian (al-i’tiqadiyyah), hidayah, ketaqwaan, rahmah, tertangkapnya isyarat yang akan terjadi esok dan hal-hal lainnya. Seperti ditegaskan Iqbal (1981:3), intuisi qalbu merupakan bentuk tertinggi dari jenis intelektual (Mujib, 2006:92).
Menurut Mujib (2006:94-98), dengan mempedomani QS. Al-Nahal [16]: 78; al-Isra’ [17]: 36; al-Mukminun [23]: 78; as-Sajadah [32]: 9 dan al-Mulk [67]: 23, fungsi dan aktivitas qalbu (al-af’al al-qalbiyyah) adalah sebagai berikut:
a.    Al-Sama’; daya qalbu yang mampu mendengar bisikan halus dan gaib atau suara hati ( al-ashwat al-qalbiyyah). Bisikan itu bisa dalam bentuk lintasan dan perintah bathiniyyah:
1)     (al-khathir). Bisikan atau lintasan tiba-tiba itu bisa datangnya dari syetan (al-khathir al-syaythani), dari manusia itu sendiri (al-khathir al-insani) yang bersumber dari suara hati manusia dan melahirkan firasat insani,  dari malaikat (al-khathir al-malaki), dan datang dari Allah langsung (al-khathir al-rabbani). Para nabi dan rasul memperoleh anugrah ini melalui mu;jizat seperti wahyu, sedangkan para wali dalam bentuk karamah.
2)    Al-Warid; bisikan batin berupa limpahan pengetahuan, ketajaman berfikir, dan bisikan kegembiraan atau kesedihan. Hal ini lebih tinggi dari al-khathir. Hal ini kalau tanpa diiringi rahmat Allah juga bisa menyebabkan kegaiban dan kegilaan (majnun).
3)    Al-Bawadih;bisikan batin berupa kejutan-kejutan gaib yang muncul tiba-tiba yang menimbulkan kegembiraan atau kesedihan
4)    Al-Hujum; bisikan batin secara tiba-tiba tanpa usaha. Hal ini pernah terjadi pada masa Umar ibn Khattab yang mampu melihat kondisi peperangan dari jarak jauh hingga beliau memerintahkan kaum muslimin naik bukit. Kaum muslimin mendengarkan seruan jarak jauh ini sehingga kaum muslimin memperoleh kemenangan.
b.    Al-Bashar; daya qalbu yang dapat melihat sesuatu yang gaib yang sering disebut dengan kata hati (al-a’yan al-qalb). Melalui ini al-Gazhali memahami rahasia-rahasia Tuhan (ma’rifah).
c.    Al-Fu’ad; daya qalbu yang dapat melihat kebenaran, al-Shadr; daya qalbu yang menjadi tempat merasakan kelapangan (al-insyirah) dan kesempitan (al-dhayq), al-taqallub; yang dapat berubah, al-syaghaf; daya qalbu yang merupakan tempat cinta kepada pekerti baik, al-lubb; daya qalbu yang menjadi inti relung kesadaran berupa keyakinan, kesaksian santun dan kemuliaan, habat al-qalb; tempat cinta kepada kebenaran, al-suwida’; daya qalbu tempat ilmu-ilmu agama, mahajat al-qalb; daya qalbu yang merupakan manifestasi sifat-sifat Allah atau mengkufurinya, al-Dhamir, daya qalbu tempat merasa yang mengendalikan seseorang untuk kebaikan, al-sirr; relung kesadaran paling dalam yang menjadi tempat terjadinya komunikasi dengan Allah, bayt al-hikmah; daya qalbu yang hasilkan keikhlasan, bayt al-muqaddas; daya qalbu lahir yang berhubungan dengan orang lain, bayt al-haram; daya qalbu yang menyebabkan manusia memiliki keyakinan ekslusif hanya kepada Allah, bayt al-izzah; daya qalbu yang antarkan seseorang mampu fana,dan al-afaq al-mubin; puncak tingkatan qalbu manusia.
d.    Al-Syu’ur; daya qalbu yang berfungsi untuk merasakan suatu emosi.
Tipologi qalbu seseorang menurut Ibn Qayyim juga tergolong kepada beberapa kategori. Pertama, qalbu yang hidup, yaitu hati yang selamat (salim), baik (khair), dan suci (thuhur). Kedua, qalbu mayyitun, yaitu hati para pendosa yang diselimuti ketamakan, keras, dan somong serta ingkar. Ketiga, hati yang berpenyakit (qalbu al-maridh),  yaitu hati orang menemima kebenaran tapi sering mengabaikan kebenaran seperti iri, rakus dan lainya (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 1939:7-15).  Mari simak Hadits berikut:
إنّ في الجسد مضغة إذا صَلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله ألا وهي القلب
Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik, maka akan baiklah seluruh tubuh. Jika ia rusak maka akan rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa daging itu adalah qalbu, (HR al-Bukhari dari Nu’man ibn Basyir)
2.    Aqal
Menurut Ma’an Ziyadat (1986:596) sebagaimana dikutip Mujib (2006:101), secara etimologi, ‘aqal berarti menahan (al-imsak), ikatan (al-ribath), menahan (al-hajr), melarang (al-nahi), dan mencegah (man’u).
 Menurut Abi al-Baqa’ Ayyub ibn Musa al-Husain al-Kufwi (1992:618), dalam Mujib (2006:102), berdasarkan makna bahasa ini maka orang yang berakal dapat dikatakan sebagai orang yang mampu menahan dan mengikat hawa nafsunya.‘Aqal juga memiliki dua makna.
a.    ‘Aqal jasmani, yaitu salah satu organ tubuh yang terletak di kepala yang biasanya disebut juga dengan otak (al-dimagh).
b.    ‘Aqal ruhani, yaitu cahaya ruhani dan daya nafsani yang dipersiapkan untuk memperoleh pengetahuan dan kognisi (al-mudrikat).
Menurut Ma’an Ziyadat (1986:596), ‘aqal berbeda dengan tabiat (al-thab’u) dan qalbu.Aqal mampu memperoleh pengetahuan melalui daya nalar (al-nazhar), sedangkan tabi’at memperoleh pengeahuan melalui daya naluri atau daya alamiyah (al-dharuriyyah). Aqal memperoleh pengetahuan melalui daya argumentatif (al-istidlaliyyah), sedang qalbu memperoleh pengetahuan melalui cita rasa (dzawqiyyah) dan intuisi (al-hadsiyyah) (Mujib, 2006:103).
‘Aqal disebut di dalam al-Quran sebanyak 49 kali. ‘Aqal dalam al-Quran dan  sunnah diungkap hanya dalam bentuk kata kerja. Tidak pernah ditemukan dalam bentuk kata benda (isim). Dengan demikian, áqal  bukanlah suatu substansi (jawhar), melainkan aktivitas dari substansi tertentu (Abdul Mujib,  2006:103-104).
Para ulama ada yang menyebut bahwa ‘Aqal merupakan aktivitas qalbu sebagaimana ayat Allah, QS. Al-Hajj [22]: 46.
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ ءَاذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami (ber’aqal) atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”.(QS.Al-Hajj,22: 46.)
Al-Zukhaili berpandangan bahwa ‘aqal merupakan aktivitas otak. Senada dengan pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa rasional bertempat di kepala (otak) manusia. Ibn Miskawaih juga menyatakan bahwa jiwa berakal itu berkedudukan di otak manusia, jiwa syahwat berkedudukan di hati, sedang jiwa marah (ghadab) berkedudukan di jantung (Abdul Mujib,  2006:105).
Menurut Ahmad Rivauzi (2015:34), akal merupakan aktivitas nafs namun menggunakan otak jasmani. Jika nafs mengindera menggunakan qalbu, maka pandangannya bersifat ruhaniah (rasa dan intuisi), namun jika nafs mengindera melalui akal, maka penginderaannya bersifat jasmaniyah yaitu melaui media otak yang karakteristiknya adalah logika rasional. Dengan demikian, maksud ayat di atas lebih ditujukan kepada qalbu dalam pengertian tempat yang mampu menyerap cahaya iman dan nur Ilahi, dituntut untuk memfungsikan indrawi jasmani otak untuk melakukan proses ta’aqqul yang logis serta rasional.
Akal mampu mengantarkan manusia pada tingkat kesadaran, namun tidak mampu mencapai supra-kesadaran. Akal mampu berpikir dengan logika formal pada dunia sadar, tetapi tidak mampu manangkap sesuatu yang datangnya dari alam supra-kesadaran (gaib). Pengetahuan yang diperoleh akal terbagi kepada dua bentuk. Pertama, pengetahuan rasional-empiris, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui bantuan indrawi. Kedua, pengetahuan rasional-idealis, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui pemikiran sehingga pengetahuan yang dihasilkannya disebut dengan pengetahuan filsafat (Abdul Mujib,  2006:106-109).
Menurut al-Ghazali sebagaimana dikutip Ahmad Rivauzi (2015:35), ada beberapa bentuk aktivitas akal (al-af’al al-‘aqliyyah). 
a.    Al-nazhar (sight atau vision); secara bahasa berarti melihat, mempertimbangkan, memperhatikan, mengawasi dan menyidik dengan pikiran. Al-nazhar lazimnya menggunkan alat bantu indra mata.
b.    Al-Tadabbur; daya akal yang memperhatikan sesuatu secara seksama dan teratur, yang mengikuti logika sebab akibat.
c.      Al-Ta’ammul (contemplation); daya akal yang mampu merenungkan sesuatu yang abstrak.
d.    Al-Istibshar (insight); daya akal yang mencapai wawasan dan pengertian yang mendalam.
e.     Al-I’tibar; daya akal yang mampu mengaitkan suatu peristiwa dengan sesuatu tanda-tanda (al-‘alamah).
f.      Al-Tafkir (thinking);berpikir yang meliputi kegiatan-kegiatan:
·      Al-hifzh; menghafal
·      Al-fahm; memahami
·      Al-dhihn; mencerna secara logika
·      Al-ta’rif; mendefinisikan
·      Al-tafsir; menjelaskan
g.     Al-Tadakkur; mengingat, mengembalikan memori yang lazimnya melalui meditasi
3.        Hawa
Al-Ghazali (tt:347) menjelaskan, hawa adalah dorongan atau potensi nafsani yang memiliki dua daya yaitu: pertama,  al-ghadhab adalah daya menghindar dari segala yang membahayakan.  Al-ghadhab memiliki natur seperti halnya binatang buas (subu’iyyah) yang memiliki naluri dasar menyerang, membunuh, merusak, menyakiti, dan membuat yang lain menderita. Jika hal ini dikelola, maka ia akan menjadi kekuatan yang positif. Kedua, al-syahwat; suatu daya yang berpotensi menginduksi diri dengan segala hal yang menyenangkan. Syahwat memiliki natur binatang jinak (al-bahimiyyah) seperti seks, erotisme dan lain sebagainya yang mendatangkan kenikmatan. Menurut Ibn Sina, daya indra hawa nafsu ada dua, yaitu indera lahir dan indra batin melalui daya imajinasi (Mujib, 2006: 109-110).
B.  Tipologi Nafs
1.     Nafsu al-Ammarah
Nafsu al-Ammarah adalah tipe ruh atau nafs seseorang yang cenderung pada tabi’at mengejar kenikmatan jasadiyah (Ahmad Rivauzi, 2015:36).
. Firman Allah dalam QS. Yusuf [12]: 53,
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ruh atau nafs seseorang akan tergolong kepada kelompok ini jika ia memperturutkan dorongan mengejar kenikmatan dunia. Ibn Qayyim menjelaskan ketika seseorang menjadikan hawa sebagai pemimpin, syahwat sebagai komandan, kebodohan sebagai sopir, kelalaian sebagai kendaraan, maka ruh atau nafs akan cenderung mengajak kepada kebatilan (Mujib, 2006: 153). Kepribadian seperti ini tergolong menganiaya diri (zhalim li nafsih). Keruhanian seseorang akan berujung kepada penderitaan dan kegelapan (Ahmad Rivauzi, 2015:37).
.
2.        Nafsu al-Lawwamah
Menurut Ibn Qayyim, lawwamah  berasal dari kata al-taluum yang bearti al-taraddud (bimbang dan ragu-ragu). Kondisi diri seseorang yang lawwamah seperti mengingat lalu lupa, menerima lalu menolak, halus lalu kasar, taubat lalu durhaka, cinta lalu benci, senang lalu bersedih. Dikatakan lawwamah karena sifatnya tercela karena meninggalkan iman, atau celaan karena berbuat maksiat dan meninggalkan ketaatan (Mujib, 2006:158).
Kepribadian lawwamah adalah kepribadian orang-orang yang telah memperoleh cahaya kalbu, lalu bangkit menyesali kesalahannya. Dalam upayanya kadang ia berbuat buruk karena watak aniayanya, tetapi kemudian ia diingatkan oleh nur ilahi, sehingga ia mencoba memperbaiki dan menyesalinya serta mohon ampun. Kepribadian ini antara kepribadian ammarah dan muthmainnah (Abdul Mujib,  2006:158).
وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”. (QS. Al-Qiyamah [75]: 2)  
3.    Nasu al-Muthmainnah
Menurut (Abd al-Razzaq al-Kalasyani, 1992:116), ruh atau nafs seseorang akan menjadi muthmainnah apabila seseorang selalu berorientasi kepada suara qalbu untuk menghilangkan semua kotoran dan raih kesucian sehingga ia dapat memperoleh ketentraman. Pribadi yang muthmainnah adalah pribadi yang telah diberi kesempurnaan cahaya qalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik (Mujib, 2006:162).
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى ,فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya)”.( QS. An-Nazi’at [79]: 40-41 )
يَاأَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ,ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً,فَادْخُلِي فِي عِبَادِي,وَادْخُلِي جَنَّتِي
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku”. (QS. Al-Fajr, 89:27-30)
Berdasarkan gambaran ayat di atas dapat dipahami bahwa satu-satunya tipe manusia yang akan memperoleh seruan untuk memperoleh derjat hamba Allah adalah orang yang jiwanya (ruh atau nafs) yang terkategori nafs muthmainnah;  yang mampu mengendalikan dorongan hawa nafsu yang cenderung mengejar kepuasan bendawi (Ahmad Rivauzi, 2015:38).
Sumber:
Ahmad Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman; Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik Pribadi dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, (Ciputat: Sakata Cendikia, 2015) Cet I



[i]  Istilah supra kesadaran (di atas kesadaran) tidak terdapat dalam kajian psikologi Barat. Dalam psikologi Barat yang dikenal Cuma istilah kesadaran dan bawah sadar atau ketidak sadaran. Dalam perspektif kaum religius, beragama dan keber-agamaan tidak semata-mata pilihan sadar manusia, tetapi juga atas hidayah Allah sehingga pencapaiannya merupakan anugrah dari Allah Swt.  Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam,2006: 88
[ii] Dzawq  adalah cita rasa atau pengetahuan spiritual langsung. Dzawq dikatakan tahapan pertama dalam pengungkapan pengalaman rahasia Allah (tajalli). Pengalaman ini diikuti oleh mabuk spiritual (sukr). Orang-orang yang merasakan pasti dapat mengetahuinya. Tanpa secara langsung merasakan tidak akan ada pemahaman atau ma’rifah. Amatullah Amstrong, Khasanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tashawuf, Terj. MS Nasrullah, judul asli “Sufi Terminology (al-Qamus al-Sufi): The Mystical Language of Islam”, (Bandung: Mizan, 1998) h. 62
[iii] Dalam Grolier Enccyclopedia 2000 , intuisi diartikan senagai pengetahuan tentang konsep, kebenaran, atau pemecahan masalah , yang dicapai secara spontan, tanpa melalui tahapan-tahapan penalaran dan penyelidikan. Ia merupakan hasil dari kecakapan, kemampuan, dan simpati khusus terhadap objek. Copyright (c) 1999 Grolier Interactive Inc