STRUKTUR MANUSIA
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA
Mujib (2006:53) menjelaskan, menurut James Drever (1986:467) struktur
adalah “komposisi pengaturan bagian-bagian komponen, dan susunan suatu
kompleks keseluruhan”. James P. Caplin (1989:489) mendefinisikan struktur
dengan “satu organisasi permanen, pola atau kumpulan unsur-unsur yang
bersifat relatif stabil, menetap dan abadi” (Ahmad Rivauzi, 2015:18).
Berdasarkan pengertian di atas, maka struktur manusia dapat diartikan
dengan kumpulan komponen-komponen yang terorganisir sehingga menjadi satu
kesatuan yang kemudian disebut dengan manusia (Ahmad Rivauzi, 2015:18).
Abdul Mujib (2006:56) mengutip Khayr al-Din al-Zarkali menyebut tiga
struktur manusia, yaitu pisik, psikis dan psikofisik. Hal tersebut disebut
dalam terminologi Islam dengan al-jasad, al-ruh, dan al-Nafs.
Jasad merupakan aspek biologis atau fisik manusia, ruh merupakan aspek
psikologis atau psikis, dan nafs merupakan aspek psikofisik manusia yang
merupakan sinergi jasad dan ruh. Kalangan ulama lain pada umumnya menyebut
struktur manusia terdiri dari dua aspek, yaitu jasad dan ruh (Ahmad Rivauzi,
2015:18).
Ahmad Rivauzi (2015: 19), lebih cenderung
pada pendapat kedua yang memandang struktur manusia dikelompokkan kepada dua,
yaitu jasad dan ruh. Ruh dalam buku ini dipandang sama dengan al-nafs
karena penulis memandang substansinya hakikinya sama. Berikut dijelaskan dua struktur
manusia tersebut.
1.
Jasad (Jasmani) Serta Penciptaannya
Dilihat dari tinjauan penciptaan, al-Quran
memberikan penjelasan tentang dari apa dan bagaimana tahapan penciptaannya. Jika
ditinjau dari aspek penciptaan jasmani, al-Quran menyebut beberapa istilah
tentang asal kejadian manusia.
a.
تُرَابٍ (tanah). QS. Al-Kahfi [18]: 37
قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلًا
Kawannya (yang mu'min) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap
dengannya: "Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari
tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang
laki-laki yang sempurna?
b.
طِينٍ (tanah) QS. As-Sajadah [32]: 7
الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنْسَانِ مِنْ طِينٍ
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang
memulai penciptaan manusia dari tanah.
c.
طِينٍ لَازِبٍ (tanah liat) QS. Ash-Shaffat [37]: 11
فَاسْتَفْتِهِمْ أَهُمْ أَشَدُّ خَلْقًا أَمْ مَنْ خَلَقْنَا إِنَّا خَلَقْنَاهُمْ مِنْ طِينٍ لَازِبٍ
“Maka tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah): "Apakah mereka
yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa yang telah Kami ciptakan itu?"
Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat.
d.
صَلْصَالٍ كَالْفَخَّار ( tanah karing seperti tembikar) QS.Ar-Rahman,55:
14
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ
“Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar”.
e.
صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ (tanah kering dari
lumpur hitam yang diberi bentuk. QS.al-Hijir [15]:26
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ
“Dan sesungguhnya Kami telah meciptakan manusia (Adam) dari tanah liat
kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.”
f.
الْمَاءِ (air) QS. Al-Furqan [25]: 54
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan
manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa”.
g.
مَاءٍ دَافِقٍ (air yang terpancar) QS.Ath-Thariq [86]: 5-6
فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ , خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ
“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia
diciptakan dari air yang terpancar”.
h.
سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ (saripati dari tanah) QS al-Mukminun [23]:12.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah”.
Jika diperhatikan ayat di atas dapat dipahami bahwa al-Quran yang
menyebut manusia berasal dari tanah dan air lebih ditujukan kepada penciptaan wujud
jasmani Adam sebagai manusia pertama, sedangkan wujud jasmani anak cucunya
diciptakan dari saripati yang berasal dari tanah atau air yang dipancarkan yang
kemudian disebut dengan air mani (Ahmad Rivauzi, 2015:20-21).
.Tahapan
penciptaan anak cucu Adam dapat ditemukan pada QS. Al-Mukminun [23]:13-14
ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ , ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا ءَاخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat
yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu
segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami
jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.
Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah
Allah, Pencipta Yang Paling Baik.
Nuthfah adalah air yang sudah bercampur (hasil
pembuahan dari spermatozoa dan ovum) yang berada di dalam rahim. Proses
selanjutnya adalah menjadi ‘alaqah yang berarti segumpal darah atau
sesuatu yang tergantung menempel pada dinding rahim. Setelah itu, Allah jadikan
segumpal daging, dan segumpal daging itu Allah jadikan tulang belulang, lalu
tulang belulang itu dibungkus dengan daging. Kemudian Allah jadikan dia makhluk
yang berbentuk sempurna. Isa Abduh dan Ismael Yahya (tt:99), menjelaskan makna al’alaq
selain dari pengertian sesuatu yang tergantung, ia juga berati lintah.
Kenyataannya memamang ‘alaqah itu berbentuk darah yang bergumpal seperti
lintah (Ahmad Rivauzi, 2015:21).
Struktur jasad atau jasmani memiliki gharizah atau daya hidup yang
mengembangkan proses fisiknya yang disebut al-hayah. Hayah adalah
daya, tenaga, energi atau vitalitas hidup manusia yang karenanya manusia hidup.
Aspek ini sangat bergantung pada susunan sel, fungsi kelenjar, alat pencernaan,
susunan syaraf sentral dan sebagainya. Daya hidup atau hayah pada diri
manusia sudah ada sejak adanya sel-sel seks pria (sperma) dan wanita (ovum).
Sel-sel ini hidup dan kehidupannya mampu menjalin hubungan hingga terjadilah
pembuahan (embrio). Dengan demikian, maka nyawa (al-hayah) berbeda
dengan ruh (Abdul Mujib, 2006:44-62).
Ja’far ibn Harb menyatakan bahwa ruh itu berbeda dengan nyawa (hayah),
sebab hayat bersifat ‘aradh (sifat) sedang ruh bersifat jawhar
(substantif). Al-Juba’i juga menyatakan bahwa ruh itu jisim, ia bukan al-hayat, sebab hayat
merupakan ‘aradh (Ibn Qayyim al-Jawziyyah, 1939:175-176)
Hayah sudah ada semenjak adanya sel-sel seks,
sedangkan ruh ada atau baru ditiupkan setelah embrio berumur empat bulan dalam
kandungan. Nyawa (al-hayah) dimiliki oleh tumbuhan, hewan dan manusia.
Sedangkan ruh cuma dimiliki oleh manusia. Kematian al-hayat tidak berati
kematian al-ruh sebab al-ruh selalu hidup sebelum dan sesudah
adanya hayat jasad. Ruh bersifat substantif (jawhar), sedang nyawa
merupakan sesuatu yang baru datangnya (‘aradh) bersamaan dengan adanya
tubuh. Daya hidup pada jasad manusia memiliki batas, batas itu disebut dengan ajal.
Apabila batas energi itu sudah habis, atau rusak parah, maka akan terjadi
kematian (Ahmad Rivauzi, 2015:22).
. Sebagaimana firman Allah, QS. Al-Munafiqun
[63]: 11.
وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang
apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
2.
Ruh atau al-Nafs
Menurut Muhammad Mahmud Mahmud (1984: 29-32) sebagaimana dikutip Mujib
(2006: 59) kata ruh disebutkan dalam al-Quran sebanyak 21 kali, sedangkan kata al-nafs
disebutkan dalam al-Quran dalam bentuk tunggal sebanyak 116 kali dan dalam
bentuk jamak sebanyak 155 kali (Ahmad Rivauzi, 2015:22-23).
Berbicara
tentang ruh, al-Quran menjelaskan sebagaimana firman Allah pada QS.
Al-Isra’[17]: 85
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلً
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu
termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit".
Dalam ayat di
atas tergambar bahwa pemahaman hakikat ruh merupakan misteri sehingga dikatakan
sebagai urusan Tuhan. Ruh bukan sesuatu yang material. Ruh merupakan al-qudrah
al-Ilahiyyah (daya ketuhanan) yang tercipta dari alam perintah (al-amar),
sehingga sifatnya beda dengan jasad. Ruh dikatakan tidak dibatasi oleh ruang
dan waktu, dia mampu beraktifitas diluar jasad dengan izin Allah seperti ketika
orang tidur dan masuk kembali seketika orang terbangun dari tidurnya. Ruh sudah
ada sebelum tubuh atau jasad ada. Kematian jasad tidak berarti matinya ruh. Ruh
ditiupkan kepada jasad ketika jasad tersebut sudah siap untuk menerimanya.
Menurut hadits Nabi, bahwa kesiapan itu ketika manusia berusia empat bulan
dalam kandungan ibu dan pada sa’at itulah ruh berubah sifat dan nama menjadi al-nafs
(Abdul Mujib, 2006:74).
إنّ أحدكم يُجمَعُ خَلقُه في بَطْنِ أمِّه أربعين يوما ثم يكون علقةً مثلَ ذالك ثم يكون مضغة مثلَ ذالك ثم يَبْعَثُ اللهُ ملكاً فيُؤْمَرُ بأَربع كلمات ويُقال له أكْتب عَملَه ورزقَه وأجَلَهُ وشَقِيُّ أو سعيدٌ ثم يُنْفَخُ فيه الروح ( البخار واحمد )
“Sesungguhnya seseorang di antara kalian diciptakan dalam perut ibunya
empat puluh hari dalam bentuk nuthfah, lalu empat puluh hari menjadi ‘alaqah,
empat puluh hari mudhghah. Kemudian Allah menyuruh malaikat untuk menulis empat
perkara, yaitu amal, rezeki, ajal dan celaka bahagianya, kemudia ruh ditiupkan
ke padanya (HR. Al-Bukhari dan Ahmad)
Muncul pertanyaan, apa yang terjadi di sa’at seseorang tidur? Al-Gazhali
(tt:376), menjelaskan “tidur merupakan tertahannya ruh dari dunia lahir untuk
menuju dunia batin”. Aktivitas batin ini yang disebut dengan mimpi. Yang
membedakan kondisi tidur dengan kondisi seseorang mati adalah; ketika tidur,
jasad manusia istirahat dan ruhnya tetap tertahan namun mampu beraktifitas
melampau dimensi jasadnya. Kemampuan ini disebabkan karena ruh memiliki natur
ruhaniah yang multidimensi dan tidak terbatasi ruang dan waktu. Aktivitas ruh
serta merta akan kembali pada jasad ketika seseorang terbangun karena al-hayat
atau daya hidup jasad masih ada. Adapun mati, daya hayat jasad hilang
sehingga ruh keluar dalam pengertian terlepas dari jasad seseorang
selama-lamanya (Ahmad Rivauzi, 2015:24).
Menurut Ahmad Rivauzi (2015:24), terdapat
beberapa pandangan para ahli tentang nafs dan ruh ini. Pendapat
tersebut dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama, menurut
Abd al-Lathif Muhammad al-Abduh (tt:166), menjelaskan bahwa menurut Ikhwan
al-Shafa, ruh dan nafs merupakan substansi yang sama, hanya saja berbeda
dalam penyebutannya. Pandangan ini dikemukakan oleh dan umumnya para filosof
(Abdul Mujib, 2006:57).
Hal ini dapat dilihat dalam QS. al-A’raf [7]:
172
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
Pada ayat ini kata nafs memiliki makna sama dengan ruh. Sayid
Husen Naser (1994:28), menyatakan bahwa Allah telah memberikan perjanjian
ketuhanan kepada ruh. Ikhwan al-Shafa menyatakan bahwa ayat tersebut berkaitan
dengan ruh di alam perjanjian (‘alam mitsaq) atau alam pertunjukan
pertama (‘alam al-‘ardh al-awwal) (Mujib, 2006:74-75).
Selanjutnya, ruh juga dimaknai nafs. Hal
ini dapat dijumpai dalam QS. Al-An’am[6]: 93
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ قَالَ أُوحِيَ إِلَيَّ وَلَمْ يُوحَ إِلَيْهِ شَيْءٌ وَمَنْ قَالَ سَأُنْزِلُ مِثْلَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَوْ تَرَى إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلَائِكَةُ بَاسِطُو أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنْفُسَكُمُ الْيَوْمَ تُجْزَوْنَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ وَكُنْتُمْ عَنْ ءَايَاتِهِ تَسْتَكْبِرُونَ
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan
terhadap Allah atau yang berkata: "Telah diwahyukan kepada saya",
padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan orang yang berkata:
"Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah". Alangkah
dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim (berada)
dalam tekanan-tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan
tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu (ruh)". Di hari
ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu
mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu
menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya. (QS.
Al-An’am[6]: 93)
Dapat disimpulkan wujud ruhani manusia disebut ruh karena wujud
substansinya bukan sesuatu yang materi atau benda. Setelah ruh itu ditiupkan
kepada jasad, maka ia bersinergi dan menyatu dengan jasad dan pada saat ini ruh
disebut dengan nafs (Ahmad Rivauzi, 2015:26).
Pendapat kedua, ruh dan nafs dianggap
berbeda. Ruh dipandang lebih spesifik dari pada nafs, sebab ruh naturnya
asli, sementara nafs telah memiliki kecenderungan pada duniawi dan
kejelekan (Abd al-Lathif Muhammad al-Abduh (tt:115-165). Pandangan ini
pada dasarnya tidak menafikan bahwa hakikat ruh pada dasarnya sama dengan nafs
walaupun memiliki karakteristik yang berbeda.
Aspek wujud ruhani manusia ditiupkankan Allah
sebagaimana digambarkan Allah dalam firman-Nya: QS. As-Sajadah [32]: 7-9
الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنْسَانِ مِنْ طِينٍ , ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ , ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia
ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah.
Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani).
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan)
-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi)
kamu sedikit sekali bersyukur.(QS.
As-Sajadah [32]:7-9)
Dengan ditupkannya ruh oleh Allah menjadikan manusia memiliki
sifat-sifat ketuhanan yang cenderung pada kebenaran. Hal inilah yang menjadikan
manusia itu menjadi istimewa dibanding makhluk lain. Inilah yang disebut dengan
fitrah yang hanif (Ahmad Rivauzi, 2015:27).
Al-Ghazali dalam Ibn Qayyim al-Jauziyah (1992:212-214) sebagaimana
dijelaskan Mujib (2006: 59) menyebut nafs sama dengan ruh. Dia
menyebutnya dengan ruh-ruhani. Ibn Qayyim al-Jawziyyah berpendapat bahwa
nafs dalam al-Quran tidak disebutkan untuk substansinya sendiri,
sedangkan ruh disebut untuk menjelaskan substansinya sendiri. Nafs
memiliki sifat tanah (al-thiniyyat) dan api (al-nariyyah),
sedangkan ruh bersifat seperti cahaya (al-nuriyyah) dan ruhani (al-ruhaniyyah.
Nafs bersifat kemanusiaan (al-nasutiyyah), sedang ruh bersifat
ketuhanan (al-lahutiyyah). Sirajuddin zar (1994:156) menulis
pandangan Ikhwan al-Shafa tentang unsur jasad manusia, yaitu Api memiliki natur
panas, udara memiliki natus dingin, air memiliki natur basah, dan tanah
memiliki natur kering. Empat unsur ini disebutnya dengan unsur alam terendah (anashir
al-‘alam al-sufla). Sehingga Ibn
Qayyim menyimpulkan bahwa ruh dan nafs itu merupakan substansi yang
sama, tetapi berbeda sifatnya. Kesimpulan ini sama dengan pandangan Ikhwan
al-Shafa tentang kesamaan hakikat atau substansi ruh dengan nafs.
Dapat disimpulkan dari pandangan Ibn Qayyim ini bahwa nasf
menjadi berbeda sifatnya dengan ruh karena nafs itu pada hakikatnya ruh
yang sudah bersenyawa dengan jasad sehingga dia memperoleh penambahan sifat
dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh jasad yang ditempatinya. Adanya unsur
tanah pada penciptaan jasmani manusia dengan sendirinya menjadikan manusia juga
dipengaruhi oleh kekuatan material alam seperti halnya dengan makhluk-makhluk
lain, sehingga ia butuh makan, minum, hubungan seks dan sebagainya. Dengan
adanya Ruh, manusia memiliki kecendrungan kepada keindahan, pengorbanan,
kesetiaan, pemujaan dan sebagainya (Quraish Shihab, 2006:69).
Abdul Mujib menegaskan bahwa ruh adalah substansi yang masih murni yang
belum berhubungan dengan jasad, sedangkan nafs adalah ruh yang sudah
menyatu dengan jasad (Abdul Mujib, 2006:60). Namun demikian Mujib tetap
mamandang struktur pribadi manusia menjadi tiga, yaitu jasad, ruh, dan nafs.
Sebagai substansi yang esensial, ruh membutuhkan jasad untuk aktualisasi
diri pada alam dunia (alam bendawi) ini, bukan sebaliknya. Adanya ruh pada manusia
menjadikan eksistensi manusia berbeda dengan eksistensi makhluk lain (Abdul
Mujib, 2006:70). Jasmani manusia karena berasal dari tanah atau saripati tanah,
maka ia butuh segala sesuatu yang juga berasal dari tanah. Namun ruh manusia
berasal dari Allah, maka ia juga memiliki kebutuhan utamanya kepada Allah dan
segala sesuatu yang datangnya dari Allah (Ahmad Rivauzi, 2015:28).
Sumber:
Ahmad
Rivauzi, Wawasan Studi Keislaman; Memahami Universalitas Islam untuk Mendidik Pribadi
dan Masyarakat yang Berkarakter Rahmatan li al-‘Alamin, (Ciputat: Sakata
Cendikia, 2015) Cet I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar