Rabu, 19 Desember 2012

Spiritualitas dan Psikologi


Spiritualitas dan Psikologi
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA.
A. Teori-teori Psikologi Dan Perkembangannya
1. Behaviorisme
               Jalaluddin Rahmad dalam Danah Zohar (2001: xiv) menulis mengenai aliran psikologi ini dengan ungkapan bahwa aliran psikologi ini adalah aliran ilmu jiwa yang tak peduli dengan jiwa. Aliran psikologi ini dikelompokkannya pada kelompok angkatan pertama.
               Aliran ilmu jiwa ini dimulai semenjak Ivan Pavlov (1849-1936)  sebagai peletak dasarnya dan William MC. Dougall (1871-1938)  dengan teori instiknya yang mengatakan bahwa instink adalah kecendrungan bertingkah laku tertentu dalam situasi tertentu sebagi hasil pembawaan sejak lahir dan tidak dipelajari sebelumnya. Semua tingkah laku manusia dapat dikembalikan pada instinknya.[2] Behaviorisme dirumuskan dalam bentuk teori yang bersifat umum oleh John B. Watson (1878-1958). Tokoh-tokoh aliran ini adalah seperti Edwar Thorndike, Clark Hull, John Dollard, Neal Miller, B.F. Skinner dan masih banyak lagi yang lainnya.[3]
               Salah satu eksperimen dilakukan pada tikus di Amerika Serikat pada th. 1940-an dan 1950-an. Namun, psikologi ini hanya mampu mempelajari prilaku yang tampak dan dapat diukur. Pada masa ini psikologi dianggap sains yang hanya berhubungan dengan apa saja yang dapat diamati. Menurut teori ini psikosis bukanlah gangguan kejiwaan, melainkan merupakan prilaku menyimpang (maladaptive behavior) yang diakibatkan oleh pelaziman (conditioning) yang terus menerus. Untuk mengobatinya, kata mereka, tidak perlu meneliti jiwa  cukup dengan melakukan pelaziman baru atau kontra pelaziman (counter conditioning).Istilah pelaziman ini lahir dari eksperimen yang dilakukan oleh Pavlov terhadap seekor anjing yang lapar  yang kemudian dihadapkan padanya sebuah bola lampu yang menyala dan anjing itu tidak bereaksi apa-apa. Kemudian setiap lampu dinyalakan, dihadapkan kepadanya daging segar dan anjing itu mengeluarkan air liurnya. Setelah beberapa kali percobaan, setiap kali lampu dinyalakan, anjing mengeluarkan air liurnya walaupun  tidak ada daging di hadapannya. Air liur anjing sudah menjadi conditioned stimulus.[4]
               Sebagaimana telah disebutkan di atas, untuk perbaikan, bisa dilakukan langkah modifikasi prilaku. Namun ini hanya efektif untuk binatang tidak pada manusia karena sebagaimana ditulis Jalaluddin, untuk manusia akan efektif bila dibarengi dengan perubahan pola berfikir (insight-using terapies).
               Prilaku maladaptif, bagi Toto Tasmara diistilahkan dengan saghafa majnun (kegilaan)[5] atau diistilahkan oleh Allah dengan “ qalbun maridhun” yaitu hati yang sakit yang memiliki stabilitas batin.yang merupakan tipologi kondisi ruhani yang sudah kehilangan cahaya kebenaran.
               Behaviorisme tidak peduli akan kesadaran manusia dan hanya berlaku pada sebagian penyakit mental. Behaviorisme dikritik karena  behaviorisme tidak memasukkan data pengalaman subjektif individu seperti kesadaran diri.  Kedua, behaviorisme tidak menjelaskan dimensi prilaku manusia yang komplek seperti cinta, keberanian, keimanan, harapan dan lain sebagainya. Ketiga, behaviorisme tidak mengenal akan pemahaman terhadap nilai-nilai dan makna dalam eksistensi manusia dan bagaimana manusia harus berhubungan satu sama lain.Keempat, behaviorisme juga tidak mengenal pengarahan diri (self determination), kebebasan memilih dan tidak memperhitungkan kesadaran manusia dan motif-motif tak sadarnya.[6]
2. Psikoanalisis
               Psikoanalisis disebut juga Dept psychology, yaitu mencari sebab-sebab prilaku manusia pada dinamika jauh dalam dirinya yaitu pada alam tak sadarnya.. Bapak mazhab ini adalah Sigmund Freud, seorang neorolog yang hidup di Wina pada akhir abad kesembilan belas. Pada masa itu, ilmu kedokteran yang menyingkap sebab-sebab penyakit fisik dan mental masih sedikit. Penyakit yang banyak terjadi pada waktu itu adalah histeria yaitu penyakit yang menunjukkan masalah pisik tanpa ada sebab-sebab masalah pisik yang diketahui.. Untuk menghilangkan masalah histeria ini, Freud melakukan hipnotis. Dari penelitian Josef Breur terbukti bahwa metode hipnotis kurang efektif dan kemudian Freud mengembangkan metode psikoanalitik untuk menggali pengalaman masa lalunya.
               Menurut Freud, Semua prilaku manusia , baik yang tampak (gerakan otot) maupun yang tersembunyi (pikiran) disebabkan oleh peristiwa mental sebelumnya. Ada peristiwa mental yang disadari dan ada yang tidak, Tetapi mudah untuk diakses (preconcious), dan ada yang sulit diakses (unconcious) yang dinamakan alam tak sadar. Di sini terdapat dua struktur mental yang merupakan bagian terbesar gunung es yaitu Id sebagai reservoir energi psikis yang hanya memikirkan kesenangan. Di sini jugalah terdapat Super Ego sebagai reservoir nialai-nilai sosial yang diserap dari lingkungan masyarakat dan orang tua. Dipuncak gunung es terdapat Ego sebagai pengawas realitas.[7] Ego merupakan seperangkat mekanisme dan strategi untuk menghadapi hidup, yang digunakan diri untuk menemui dirinya.[8]
               Frank G. Goble menulis kesamaan antara Behaviorisme dan Psikoanalitis terutama dalam hal mempersepsi manusia. Kedua aliran ini sama-sama menganggap manusia tidak ubahnya binatang dan menganggap kesusilaan sama sekali tidak memiliki dasar ilmiah. Perbedaan kedua aliran ini adalah bahwa Behaviorisme lebih menekankan kekuatan-kekuatan luar yang berasal dari lingkungan  atau lebih mengagungkan proses belajar stimulus-respon sedangkan Psikoanalitis lebih menekankan dorongan-dorongan dalam diri seseorang dalam menentukan bentuk tingkah laku seseorang yaitu Id.[9]
               Menurut Freud, perkembangan kepribadian seseorang pada masa anak-anak ditentukan sepenuhnya oleh Id. Pada masa ini berlaku proses berfikir primer (primary process thinking). [10] Itulah sebanya anak-anak tidak bisa menbedakan antara real dan tidal real, antara “aku” dan bukan “aku”, juga tidak mampu menahan impuls emosional (dorongan emosi). Pada anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa, Ego sudah berkembang dan sudah berlangsung preses berpikir jenis kedua yaitu IQ (secondary process thinking). Pada masa ini penundaan pemuasan keinginan sudah bisa dikendalikan.
               Tujuan psikoanalitis menurut Freud adalah mengurangi derita neurotis menjadi ketakbahagiaan bisaa. Carl Gustav mengkritik Freud karena penekanan yang berlebihan pada seksualitas dan agresifitas. Sebab ketaksadaran bukan hanya komponen instingtual sek dan agresifitas tetapi juga dimensi spiritualitas. Jiwa tidak hanya mengandung the personal unconscious, sebagai himpunan pengalaman pribadi, tetapi juga the collective unconscious sebagai simpanan pengalaman jutaan kehidupan manusia. The collective unconscious (ketaksadaran kolektiv) dilanjutkan dari generasi ke generasi melalui arketip (archetyps), yaitu bentuk dan citra universal yang terdapat pada mitos-mitos dari berbagai kebudayaan (akar-akar kepribadian).[11]The collective unconscious ini bagi Danah Zohar mengacu pada Dewa-dewa mitologi Yunani kuno sebagai arketip seperti anak Tuhan, ibu yang agung, ksatria, raja, ratu, orang tua yang bijak, tukang sihir dan sebagainya. Bagi umat Islam itulah Allah dengan asmaul husna-Nya.[12]
               Menurut Jung, kesehatan psikologi adalah kemampuan untuk membiarkan arketip ini memasuki kita, memberikan bentuk pada pengalanan psikologi kita dengan mengorganisasikan pikiran, perasaan dan tindakan kita. Derita dan tekanan psikologis timbul karena kita hanya mampu mengidentivikasi beberapa arketip sehingga membatasi jati diri dan perasaan. Pusat arketip “psyche” adalah “the self” (diri). The self ini digambarkan sebagai mandala yang merupakan citra the self yaitu arketip pusat.[13]
               Di tangan Jung, alam tak sadar Freud yang instintif seksual berubah menjadi reservoir energi spiritual sebagaimana Freud membantah keberadaan ruh.
3. Psikologi Humanistis
               Psikologi ini dipelopori oleh Abraham Maslow pada pertengahan abad dua puluh sebagai reaksi atas psikologi behaviorisme dan psikoanalitis. Maslow menulis bahwa:” Dengan sedikit menyederhanakan, kita dapat menyatakan bahwa Freud baru memberikan kepada kita setengah psikologi yang sakit, maka kita harus melengkapinya dengan tengahan lainnya yang sehat”.[14]
               Frankl mengisahkan pengalamannya yang dijebloskan ke dalam kamp konsentrasi Nazi yang mengerikan. Setiap hari dia melihat tindakan kejam, penyiksaan, pembunuhan massal dan eksekusi kejam lainnya. Di saat yang sama dia juga melihat peristiwa yang mengharukan seperti berkorban untuk kawan, kesabaran yang luar bisaa dan daya hidup yang perkasa. Sebagian tahanan ada yang berpurus asa  dan berakhir dengan kematian termasuk bunuh diri. Namun ada juga yang tetap memiliki harapan tinggi dan kebanyakan mampu bebas dari lobang jarum kematian.
               Penyebab yang membedakan keduanya adalah dalam kemampuan memberi makna. Frankl menjelaskan bahwa pada manusia terdapat kebebasan tidak dapat dihancurkan bahkan oleh pagar berduri sekalipun. Kebebasan itu adalah kebebasan untuk memilih makna. Melebihi Jung yang menganggap prilaku manusia sebagai akibat proses psikis saja, Frank dengan fenomenologisnya dengan menjelaskan bahwa pemberian makna berada di luar proses psikologis. Ia mengembangkan teknik psikoterapi yang disebut dengan logoterapi.
               Logo terapi memandang manusia sebagai totalitas yang terdiri dari tiga dimensi yaitu fisik, psikologis, dan spiritual[15]. Untuk memahami diri dan kesehatan, kita harus memperhitungkan ketiganya. Dimensi spiritual yang selama ini diberikan kepada agama, sehingga dalam persoalan fisik dan psikologis, agama tidak dibawa ikut serta.
               Frankl banyak memberikan kontribusi pada Danah Zohar dalam perumusan SQ nya (terutama bab dua). Loga terapi mencoba menyingkap kiat-kiat mengembangkan dan menemukan makna. Ada lima situasi, makna membersit keluar dan mengubah jalan hidup seseorang kemudian menyusun kembali hidup yang telah porak-poranda
a.       Makna akan kita temukan ketika kita akan menemukan diri kita (Self discovery). Sa’di seorang penyair iran, pernah kehilangan sepatunya di masjid Damaskus. Ketika dia bersungut-sungut jengkel, dia melihat seorang penceramah yang berbicara dengan senyum dan tawa sementara kedua kakinya patah. Sa’di kemudian sadar, kenapa dia sedih karena kehilangan sepatu sedangkan penceramah itu mampu gembira dengan kehilangan kedua kakinya.
b.      Makna muncul ketika kita menemukan pilihan. Hidup jadi tanpa makna ketika kita terjebak dalam satu situasi kita tidak dapat memilih
c.       Makna ditemukan ketika kita merasa istemewa, unik, dan tidak tergantinkan oleh orang lain. Fabry mengatakan : carilah orang yang mendengarkan kita dengan penuh perhatian, kita akan merasa hidup kita bermakna”.
d.      Makna membersit dari tanggung jawab akan sebuah amanah.
e.       Makna mencuat dalam situasi transendensi, gabungan dari keempat hal di atas. Ketika mntransendensikan diri kita, kita melihat seberkas diri kita yang antik, kita membuat pilihan merasa istimewa, dan kita mampu menegaskan tanggung jawab.[16]
Hanna Djumhana Bustaman menulis ada tiga nilai yang merupakan sumber makna hidup yaitu pertama, Creative Values (nilai-nilai kreasi) yaitu bekerja dan berkarya dengan penuh keterlibatan tanggung jawab. Kedua, Experiental Values (nilai-nilai penghayatan) yaitu menyakini dan menghayati kebenaran, kebajikan  keindahan, keimanan dan nilai-nilai yang agung. Ketiga, Attitudinal Values (nilai-nilai bersikap) yaitu menerima sepenuhnya dengan tabah dan mengambil sikap yang tepat terhadap penderitaan setelah usaha optimal mengatasinya.[17]
4. Psikologi Transpersonal
Psikologi ini merupakan kelanjutan dari psikologi humanistis. Jadi penggagasnya termasuk juga Jung, Abraham Maslow, Victor Frankl, William James yang banyak mempengaruhi pemikiran Jung.
Menurut Maslow pengalaman keagamaan adalah peak experience, plateau dan fathers reaches of human nature[18] dalam artian kata psikologi belum sempurna sebelum difokuskan kembali pada pandangan spiritual agama. Dalam hal ini psikologi tranpersonal berusaha menggabungkan tradisi psikologis dengan tradisi-tradisi agama besar timur. Dia ingin mengambil pelajaran dari kearifan perenial yaitu phylosofia perennis.
Tradisi keagamaan memberikan jawaban tentang pertanyaan “siapa aku” dengan menjawabnya “wujud spiritual” atau ruh. Paraktek keagamaan mengajarkan penyambungan diri dengan bagian diri yang terdalam. Psikologi tranpersonal dan psikoterapi menawarkan perjalanan psikologis untuk menemukan diri dengan melihat kedalam “Self, ego, eksistensi psikologis”. Agama membicarakan tentang kesadaran spiritual yang luas dan multi dimensional. Diri kita, eksisitansi psikologis kita, merupakan penampakan luar dari esensi spiritual kita. Cortright (1997, h 9) seperti yang dikutip jalaluddin rahmat menulis :
“studi sedalam apapun tentang genetika, bio kimia, atau neorologi pada satu sisi, atau sistem keluarga, interaksi ibu-anak, dan pengalaman masa kecil pada sisi yang lain atau dengan perkataan lain tidak ada penjelasan apapun, yang memperhitungkan hanya penampakan luar dari masalah nature (tabiat) dan nurture (lingkungan)-dapat memberikan jawaban memuaskan pada masalah fundamental kehidupan. Hanya dengan memandang ke dimensi spiritual, yang memasukkan dan sekaligus mentransendensikan warisan dan lingkungan, kita dapat menemukan jawaban yang tepat untuk masalah eksistensi manusia”.[19]
            .
5. Kecerdasan Emosional (EQ)
Kecerdasan emosional dirumuskan oleh Daniel Goleman yang menawarkan bentuk kecerdasan selain kecerdasan intelektual (IQ). Dia menyatakan dua bentuk berpikir yaitu satu yang berpikir (neokorteks) dan satu lagi yang merasa. Bagian yang merasa inilah yang selama ini dikenal dengan istilah lembik.
Daniel Goleman menjelaskan bentuk kerja otak hasil penelitian  Le Doux bahwa mata, dan semua organ pengindera mengirimkan sinyal ke- talamus, dan dari sini dilanjutkan ke wilayah neokorkeks yang memproses penginderaan menjadi benda dan sesuatu yang dipahami. Selanjutnya sebagaimana teori konvensional  kerja saraf, dari neokorteks sinyal-sinyal itu dikirim ke otak lembik dan dari situ respon yang cocok direfleksikan melalui otak dan bagian tubuh lainnya. Inilah bentuk kerja otak sampai akhirnya Le Doux menemukan bahwa ada neuron yang lebih kecil yang menghubungkan talamus langsung dengan amigdala, selain neuron-neuron yang berada di saluran neuron yang lebih besar yang menuju korteks. Saluran yang lebih kecil dan pendek ini, mirip jalan pintas saraf yang memungkinkan amigdala untuk menerima sejumlah masukan langsung  dari indera dan merespon sebelum masukan-masukan itu terdata sepenuhnya oleh neokorteks. Jadi amigdala tidaklah harus bergantung seluruhnya pada sinya-sinyal dari neokorteks untuk mereaksi secara emosional.[20]
Penulis  menyimpulkan  dari  bukunya  Daniel, Hippocampus dan amigdala merupakan dua bagian penting dalam sistem lembik. Amigdala merupakan spesialais masalah-masalah emosional, yang berfungsi sebagai semacam gudang ingtan emosionalf dan mampu mencerap, mengingat, mengataur emosional secara mandiri, dan sebagai pusat hawa nafsu.[21] (Le Doux). Pendapat lama yang mengatakan bahwa hippocampus sebagai kunci struktur lembik, ternyata lebih berkaitan dengan perekaman dan pemaknaan pola persepsi ketimbang reaksi emosional. Peran utama hippocampus adalah dalam hal penyediaan ingatan terperinci akan konteks, hal yang amat penting bagi pemaknaan   emosional. Hippocampus  mengenali  perbedaan  makna  antara  ular yang berada di kebun binatang dengan ular yang berda di halaman rumah. Bila hippocampus meningat fakta mentah, amigdala menyisipkan nuansa emosional yang melekat pada fakta-fakta itu. Peran hippocampus penting untuk mengenali bahwa suatu wajah adalah wajah sepupu anda . Tetapi amigdala-lah yang mengingatkan anda bahwa anda tidak menyukainya.[22] Daniel Goleman memberikan gambaran pembajakan emosi bagaimana seseorang bisa berbuat lepas kendali emosi yang kemudian menyesalinya. Hal ini disebabkan oleh karena pola kerja amigdala lebih cepat ketika menerima suatu penginderaan sebelum ada konfirmasi rasional dari neokorteks.
Bagian otak emosional yang mampu menangani reaksi impulsif emosional amigdala adalah lobus prefrontal yang berada di ujung sirkuit penting neokorteks tepat di balik dahi. Korteks prefrontal ini bekerja disaat seseorang sedang merasa takut atau marah dan ia bekerja sebagai sakelar meredam perasaan secara efektif. Proyeksi terbesar imformasi penginderaan dari talamus adalah ke neokorteks untuk diberi makna dan respon kita di situ dikoordinasikan oleh lobus prefrontal, tempat tindakan perencanaan dan pengorganisasian menuju sasaran , termasuk sasaran emosional . Dalam neokorteks, serangkaian tahapan sirkuit mendata dan menganalisis imformasi tersebut, memahaminya, dan melaui lobus prefrontal, mengatur reaksi. Bila dalam proses itu dibutuhkan respon emosional, lobus prefrontal itu akan memerintahkannya, bekerja sama dengan amigdala dan sirkuit-sirkuit lainnya dalam otak emosional. Lobus prefrontal melakukan sesuatu yang mirip dengan pertimbangan , perbandingan resiko mamfaat meliaran reaksi yang mungkin , dan memilih salah satu yang terbaik. Salah satu strategi menghindari pembajakan emosional yang impulsif adalah dengan memberikan kelapangan ruang neokorteks  bekerja secara efektif dengan menahan impulsif emosi dan memfungsikan lobus prefrontal untuk bekerja. Kehilangan Lobus prefrontal berakibat sama dengan amigdala yaitu kehilangan kehidupan emosi seseorang. Sakelar utama untuk mematikan impulsif emosi adalah prefrontal kiri sebagaimana hasil penelitian yang dilaporkan oleh ahli-ahli neuropsikologi yang menemukan bahwa tugas prefrontal kiri adalah  bertindak sebagai termostat saraf, mengtaur emosi-emosi yang tidak menyenangkan dan lobus prefrontal kanan merupakan tempat perasaan-perasaan negatif seperti rasa takut dan amarah. Sehingga orang yang kehilangan lobus prefrontal kiri menjadi orang yang lebih mudah takut dan marah sedangkan orang yang kehilangan lobus prefrontal kanan akan menjadi orang yang kelewat ceria. Dari anatomi kerja saraf inilah nampaknya Daniel Goleman menyimpulkan bahwa gangguan emosional bisa melumpuhkan dan merusak kemampuan rasional intelektual seseorang.[23]
Menurut Daniel, IQ menyumbang 20 persen untuk kesuksesan sedang selebihnya adalah faktor kekuatan lainnya yang ambil bagian. Gardner menyimpulkan tentang kecerdasan  yaitu kecerdasan antar pribadi dan intra pribadi. Kecerdasan antar pribadi pada intinya adalah kemampuan memahami, mengenali orang lain, dan berinteraksi secara baik dengan mereka. Hal ini mirip dengan teori kcerdasan sosial E.L. Thorndike. Kecerdasan intra pribadi yaitu kemampuan membentuk suatu model diri dan menggunakannya menempuh hidup.
Salovey menjelaskan lima wilayah utama inti kecerdasan pribadi[24] dan ini menurut penulis sudah merupakan representatif dari jabaran kecerdasan emosi Daniel Goleman yaitu:
1)      Mengenali emosi diri disaat emosi itu terjadi. Hal ini senada dengan pendapat John Mayer yang menyatakn “ bahwa mengenali suasana hati  yang tidak mengenakkan berarti ingin lepas darinya”.
2)      Mengelola emosi . Sebagaimana jabaran Daniel Goleman pada bab 5 bukunya dengan prinsip upaya kendali emosi dari impulsif emosi.
3)      Memotivasi diri. Ini kemampuan yang diawali dengan membangun suasana hati yang positif. Daniel Goleman mengistilahkannya dengan flow yaitu suaru kondisi ketika seseorang larut dalam optimisme pencapaian tujuan kerja positif.
4)      Mengenali emosi orang lain . Ini merupakan kemampuan empati sebagaimana yang diungkap Martin Hoffmen yang berpendapat bahwa akar moralitas ada dalam empatif
5)      Membina hubungan. Hal ini merupakan wujud pola interaksi yang membutuhkan pengaplikasian kemampuan seni bersosialisasi secara baik dengan orang lain. 
              Daniel Goleman berhasil memformulasikan pola strategis menciptakan pola interaksi yang baik dengan orang lain tetapi masih hampa dari strategi membangun keharmonisan interaksi dengan Tuhan. Daniel menulis” Kecerdasan emosional menambahkan jauh lebih banyak sifat-sifat yang membuat kita menjadi lebih manusiawai.”[25]
               Akan tetapi teori ini masih dirasakan memiliki kehampaan isi. Humanis Daniel Goleman masih humanis yang semu dan kosong dari ruh nilai-nilai moral yang hakiki. Teori ini mengintrodusir pola aktivitas semu yang hanya mampu melihat aktivitas pada eksistensi pinggiran diri dan hidup manusia belum menyentuh pada bagian hakikat diri dan hidup itu senduri.
6. Spiritualitas  Sebagai Kajian Psikologi Moderen (SQ)
Danah Zohar dan Ian Marshal mengukir sejarah baru dalam wacana spiritualitas di dunia barat dengan SQ nya. Keinsyafan Danah Zohar akan kondisi moral spiritual yang ironis di barat diungkapkannya dalam tulisannya.:
“Zaman moderen kita ditandai oleh hal-hal, seperti keruntuhan keluarga, masyarakat, agama tradisional, dan hilang atau langkanya pahlawan … kita hidup dalam suatu masa yang tidak ada lagi tujuan, aturan yang jelas, nilai-nilai yang pasti, jalan yang terang untuk tumbuh, dan visi tanggung jawab yang jelas”.[26]
Danah Zohar menulis bahwa kekeringan spiritual di dunia barat diakibatkan oleh produk dari IQ manusia yang tinggi, sebagai dampak revolusi ilmiah abad ketujuh belas dan munculnya individualisme dan rasionalisme yang diilhami oleh pemikiran Isac Newton dengan doktrin atomisme dengan landasan “determinisme” dan “objektivitas”. Atomisme merupakan suatu pandangan bahwa dunia pada intinya terdiri dari bagian-bagian partikel yang masing-masing terisolasi dalam ruang dan waktu. Atom itu keras dan tidak dapat disusupi dengan batasan-batasan yang keras dan bergerak cepat. Ia saling berhubungan melalui aksi dan reaksi, saling mendorong dan menghindar. John Locke sebagai pelopor demokrasi  liberal abad kedelapan belas menggunakan atom sebagai model individu yaitu unit dasar masyarakat . Dengan demikian bangunan sosial secara keseluruhan adalah hayalan dan yang terpenting adalah hak dan kebutuhan individu. Atomisme ini jugalah yang mengilhami landasan teori “relasi objek” Sigmund Freud yang beranggapan “anda adalah objek bagi saya dan saya adalah objek bagi anda”[27]
Jika ditinjau dari ilmu saraf, semua sifat kecerdasan itu bekerja melalui dan dikendalikan oleh otak. Beserta jaringan sarafnya di seluruh tubuh. Jadi seluruh pengorganisasian, aktivitas dan kreativitas hidup  manusia  berpusat  di  otak.  Pengorganisasian  saraf  yang   memungkinkan  untuk  berpikir  rasional,  logis  dan  taat  azaz  disebut  dengan  IQ, yang memungkinkan  untuk  berpikir  assosiatif  yang  terbentuk  oleh  kebisaaan dan     kemampuan     untuk  mengenali pola-pola emosi disebut dengan EQ, sedangkan yang memungkinkan untuk berfikir kreatif, berwawasan yauh , membuat dan mengubah aturan, menata kembali dan mentransformasikan dua jenis berfikir sebelumnya disebut dengan SQ. SQ merupakan suatu kecerdasan yang memberi kita makna, yang melakukan kontekstualisasi, dan bersifat transformatif. SQ ini tidak dapat diukur sebagaimana IQ.[28]Manusia memiliki suatu kemapuan untuk merasakan secara utuh, berpemahaman holistik dan berfikir secara unitif yang merupakan proses awal neurologis SQ.[29]
Argumen neurologis untuk SQ ini adalah adanya getaran listrik atau osilasi 40 Hz pada seluruh bagian otak dalam berbagai sistem dan tingkatan yang merupakan syarat sebuah kesadaran. Osilasi ini terjadi ketika sel saraf tunggal berosilasi secara koheren dengan seluruh sel saraf pada otak ketika otak berada dalam keadaan waspada penuh dan tidur bermimpi. .Penelitian Pare-Llines dengan menggunakan alat magneto-ence phalograpy menunjukkan kondisi ini.
Mengenai kesadaran, Chalmer mengikuti filosof sebelumnya yaitu Betrand Russel pada tahun 1927 mengatakan bahwa semua benda materi seperti massa, spin, pohon dan lain sebagainya  memiliki proto-kresadaran dan struktur seperti otak yang memiliki osilasi 40 Hz –lah yang mampu menggabungkan proto kesadaran ini menjadi kesadaran penuh.[30]
Teori medan kuantum abad dua puluh menggambarkan bahwa semua benda yang ada merupakan keadaan atau pola dari energi yang berosilasi  dan dinamis. Semua benda-benda yang ada adalah hasil dari ikatan (eksitasi) energi hampa kuantum sehingga ruang hampa kuantum adalah pusat dari segala yang ada. Hampa kuantum adalah latar belakang dari energi alam semesta dan merupakan realitas paling transenden yang dapat digambarkan dunia fisika. Ia merupakan “samudra” yang diam dan tenang, yang di dalamya eksistensi segala benda muncul sebagai gelombang-gelombang osilasi energi. Yang pertama muncul adalah medan higgs (kuantum) yang berisi osilasi energi yang koheren yang sangat luas , yang merupakan sumber dari semua medan dan partikel fundamental di alam semesta dan Danah zohar dalam membangun kerangka teorinya merujuk pada teori ini.
Danah Zohar Menyimpulkan bahwa keberadaan hampa kuantum ini sangat mirip dengan keberadaan Tuhan dalam dunia mistik. Dalam tradisi agama besar seperti Islampun dapat kita jadikan perbandingan bahwa karakteristik eksistensial hampa kuantum mirip dengan sifat Allah yang memiliki energi penentu yang mempengaruhi garis takdir alam raya.
Peneltian ilmiah seperti yang dialukan oleh Ramachandran dan Persinger dengan memakai alat EEG telah membuktikan bahwa di dalam otak telah ada mesin saraf yang dirancang untuk berhubungan dengan yang gaib yaitu lobus temporal yang diistilah oleh Danah Zohar dengan god spot. Mereka telah berasumsi bahwa keyakinan beragama sudah terpatri dalam otak manusia dan god spot sebagai perangkatnya. Terbukti dengan meningkatnya aktivitas osilasi saraf pada lobus temporal ketika sesorang diberikan wejangan-wejangan religius. Namun yang disayangkan adalah bahwa mereka masih meragukan akan apakah god spot ini membuktikan adanya Tuhan.
Persepsi ini sangat mirip dengan fitrah dalam islam dengan potensi fu’ad sebagai salah satu dimensi qalbiyah yang cendrung pada prinsip yang hanif seperti yang dikemukakan oleh Toto Tasmara. Titik Tuhan (god spot) berperan terhadap pengalaman spiritual namun hanya merupakan syarat perlu (necessary condition) tidak sebagai syarat cukup (sufficient condition) sebab orang yang cerdas secara spiritual akan mempunyai aktivitas tinggi pada god spot dan tidak semua orang yang tinggi aktivitas apada god spot adalah orang yang cerdas spiritualnya seperti orang yang menderita epilepsi. Untuk mencapai SQ tinggi , seluruh bagian otak, aspek diri, seluruh segi kehidupan harus diintegrasikan.[31]
Mengenai diri, Danah Zohar menawarkan model baru dengan merujuk pada filosofi timur seperti Tao, Budha, Yunani dan Yahudi. Dia menulis tentang gambaran sejarah penciptaan manusia dari berbagai macam sketsa mitologis dan mengawinkannya dengan sains moderen (timur dan barat). Dia mencoba merumuskan jawaban-jawaban dari pertanyaan- pertanyaan yang muncul dari sekian panjang sejarah peradaban manusia. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah darimana kita berasal?  Bagaimana asal usul kita dalam waktu? Di mana akar kita ? Berapa lama kita hidup? Apakah sumber dari kecerdasan kita? Dan pakah sumber dari kecendrungan kita untuk menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti itu?. Danah menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan teori terati diri yang berlambangkan setangakai bunga teratai.
Pertanyaan-pertanyaan ini sudah cukup mendasar untuk mencari jawaban tentang asal usul eksistensi namun belum mampu nenjawab tujuan eksistensi yang pada dasarnya juga merupakan persoaalan yanag sangat mendasar.
Danah Zohar menulis:
 “ Pada dasarnya, kecerdasan spiritual mewakili keutuhan diri yang dinamis saat diri menyatu dengan dirinya sendiridan dengan seluruh ciptaan… model diri yang lebih lengkap ini hanya dapat digambarkan dengan menggabungkan wawasan psikologis moderen, pemikiran filsafat timur, dan sebagian pemikiran sains abad moderen” [32]
Menurut Danah Zohar, kita memiliki tiga kecerdasan (rasional, emosional, spiritual), tiga bentu berpikir(seri, assositif, unitif), dan tiga tingkatan diri(pusat-transpersonal, tengah-interpersonal, dan pinggiran –ego personal). Diri yang cerdas secara spiritual menggabungkan ketiganya. Pusat teratai adalah pucuknya-itulah lambang pusat diri.[33]
Ali Ashraf dengan redaksi dan ungkapan yang berbeda mengatakan bahwa berpikir afektif itu memiliki tiga tahap yaitu logis, relasional, dan imajinatif.[34]Berpikir logis identik dengan proses berpikir IQ, berpikir relasional sama dengan berpikir assosiatif (EQ), dan berpikir imajinatif inilah yang identik dengan proses berpikir unitif (SQ).
Tentang asal usul dan sumber alam semesta, danah zohar merujuk kepada teori fisika quantum yang menjelaskan bahwa kita mulai dari debu bintang di hampa quantum. Debu bintang inilah diasosiasikan dengan proto-kesadaran atau ketaksadaran kolektif versi jung. Mengenai sumberalam dan diri, Danah Zohar menyimbolkannya dengan lumpur tempat tumbuhnya teratai sebagai eksistensi orisinal primeval yang tak dapat dibedakan.
Pertama kali manusia mengenali dirinya dari perspektif ego kesadaran, dari pinggiran diri. Ego bersikap rasional terhadap pendekatannya terhadap pengalaman dan berkaitan dengan program dan jalur saraf seri otak. Selanjutnya kita sadar akan ketaksadaran pribadi dan kolektif, yang merupakan penampungan luas motivasi, energi, citra, asosiasi dan arketipe yang mempengaruhi pemikiran, kepribadian, dan sikap dari “dalam”. Ini adalah bagian tengah diri asosiatif, yaitu bagian pikiran yang diasosiasikan dengan jaringan saraf paralel dalam otak. Tengah diri utamanya berfungsi melalui tubuh dan energi.
Sadar atau tidak, menurut Danah Zohar kita selalu berhubungan dengan pusat diri ketika mengalamia wawasan baru, melihat kehidupan dalam konteks yang lebih luas, atau mengajukan pertanyaan pokok. Pusat diri berkaitan dengan osilasi 40 Hz diseluruh otak dan pada dasarnya, ia memiliki fungsi pemersatu atau integratif.
Sesuai dengan tradisi timur dan tradisi barat, ada aspek diri yang berada di luar segala bentuk, inilah yang disebut sumber, Tuhan, dan wujud dengan berbagai nama dengan berbagai tradisi. Dalam semua tradisi, sumber diri yang berada di luar kesadaran adalah dasar keberadaan itu sendiri, sumber segala manifestasi dan sumber utama dari energi yang menjadi pikiran sadar dan tak sadar.
Ego dilambangkan dengan kelopak bunga bagian luar. Ini adalah lapisan diri yang paling belakangan berkembang dan paling rasional. Ia berkaitan dengan jalur program saraf seri otak, yaitu sistem saraf yang bertanggung jawab atas pemikiran logis, rasional, pemikiran sadar, berorientasi tujuan dan pemikiran strategis. Ia adalah seperangkat mekanisme dan strategi untuk menghadapi hidup, yang digunakan diri untuk menemui dunianya. Untuk pikiran Ego pada kelopak-kelopak bunga teratai Danah Zohar menggunakan enam tipe kepribadian psikolog Amerika J.L. Holland pada tahun 1958. Enam tipe kepribadian itu adalah :Kovensional, sosial, investigative, artistik, realistik dan pengusaha.[35]
Danah Zohar juga mengawinkan tipologi Holland dengan teori Jung yang mengemukakan enam aktivitas ego sebagai tiga pasangan yang berlawanan yaitu : Intoversi vs ekstroversi, pikiran vs perasaan, sensasi vs intuitif. Teori ini menjadi dasar tes indikator tipe  Myers-Briggs.
Lapisan tengah teratai adalah ketaksadaran asosiatif yang menjadi gudang penyimpan gambar, hubungan, pola, simbol dan arketif yang mempengaruhi sikap dan bahasa tubuh, membentuk mimpi, mengikat keluarga dan sosial, dan memberikan rasa bermakna dalam hidup tanpa perlu rujukan pikiran rasional. Disini juga terdapat kebisaaan, asosiasi, tradisi hidup, narasi dan citra agama, mitologi dan irama internal budaya.
Pada bagian tengah diri ini, terdapat Id nya Sigmund Freud. Yang menghubungkan Ego sadar dengan ketaksadaran asosiatif ini adalah motivasi. Ego berkaitan dengan IQ dan cara kita memahami situasi. Tengah asosiatif berkaitan dengan EQ dan apa serta bagaimana perasaan kita mengenai situasi. Tempat keduanya bertemu itulah letak motiv yaitu apa yang ingin kita lakukan dengan situsasi itu. Motiv adalah hal yang menggerakkan energi laten dalam emosi kesaluran kepribadian Ego dan perbuatan yang dihasilkannya. Memahami motiv sangat penting untuk melatih SQ.
Secara neurologis, pengalaman penyatuan dari dinamika osilasi-osilasi 40 Hz yang berjalan di seluruh otok, menyediakan “kolam” atau”latar belakang” tempat lebih banyak gelombang otak dapat “beriak” yang mengasilkan pengalaman dari mental sadar dan tak sadar kita, inilah pusat diri yang secara mitologis, sumber “aku” muncul.[36]Pusat adalah sumber dalam diri kita yang penuh dan tak pernah habis yang merupakan jantung dari realitas lebih luas dan suci dan bersifat Ilahiah.[37]
Ali Ashraf menulis pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa bentuk tertinggi kegiatan mental adalah kontemplasi di mana intelek secara langsung menangkap secara intuitif banyak kebenaran  dalam kesatuan sebuah gagasan tunggal. SQ Danah Zohar merupakan suatu bentuk kegiatan mental ini dan dari aktivitas inilah SQ dimulai.[38]
Seperti ditulis Danah Zohar, semua benda yang ada adalah hasil ikatan (eksitasi) ruang hampa kuantum sehingga ruang hampa kuantum adalah pusat dari segala benda. Energi ruang hampa kuantum mendasari dan sekaligus menembus kosmos. Karena manusia bagian dari kosmos, energi ruang hampa kuantum pun mendasari dan memasuki kita. Kita adalah “gelombang” di atas “samudra” ruangan hampa sedangkan ruangan hampa adalah pusat dan dasar diri. Ketika diri kita benar-benar terpusatkan, ia terpusatkan pada dasar seluruh wujud[39] yang dalam tradisi mistis Iislam dikenal dengan istilah “fana”.
Pada diagram teratai diri, hampa kuantum adalah “lumpur” tempat tumbuhnya  teratai.. Inti dari cerdas secara spiritual adalah hampa kuantum. SQ adalah kemampuan bawaan otak manusia dan jiwa selalu dapat mengingat dan mengingat ini adalah SQ dalam bentuk tindakan. Penyakit spiritual adalah disebabkan buruknya hubungan dengan pusat diri yang terdalam. Menurut Danah, SQ rendah menyebabkan kita menjadi karikatur bagi diri kita sendiri, serta emosi dan pola emosi kita menjadi karikatur dari tanggapan manusia  yang sehat  sedangkan tanggapan kita sendiri terpecah belah. Kita tidak mampu memecahkan masalah rasional dengan IQ rendah, EQ rendah menyebabkan kita berlaku asing dalam situasi kita dan SQ rendah akan menyusutkan keberadaan kita  karena SQ merupakan keseimbangan batin.[40]
Sedangkan dalam Islam kecerdasan ruhani dalam bentuk tindakan adalah zikrullah dan ketidak sediaan diri berhubungan dengan pusat diri (Ilahiah) merupakan faktor penyebab penderitaan batin.
Untuk cerdas secara spiritual, diperlukan keinginan untuk memahami diri sendiri dan menjalani hidup dengan penuh kreatif kemudian mengungkapkan motiv-motiv yang mendasari tindakan dan belajar bertindak dari pusat. Kemajuan alamiah untuk SQ adalah bermula dari perenungan, pemahaman, menuju kearifan.
Jadi kecerdasan spiritual itu seperti yang ditulis oleh Danah Zohar adalah:
 “kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan prilaku dan hidup dalam konteks yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna. SQ merupakan kecerdasan tertinggi yang diperlukan untuk memfungsikan IQ, EQ secara kreatif”.[41]

B.       Psikologi Sufi
Sebuah pertanyaan menggelitik seperti yang pernah juga dilontarkan oleh Cecep Ramli Bihar Anwar yang berhubungan dengan pembahasan sub bab ini adalah; “Bisakah pengalaman diletakkan di bawah mikroskop?”. [42] Pertanyaan ini wajar muncul karena di dasari oleh realitas bahwa jelas-jelas pengalaman spiritual sudah pasti berada di luar jangkauan konsep psikologi yang berkembang selama ini. Dalam konteks ini, psikologi agaknya menghadapi kontradiksi dan lebih terkesan bersikap ambigu. Di satu sisi, sebagai ilmu empiris ytang bersifat sekuler-positif, antroposentrism, ia tentunya enggan mengakui segala hal yang berbau spiritual atau mistikal. Pada sisi lain, kenyataannya bagitu banyak psikolog yang buah pikirannya berbau spiritual atau bahkan kental rasa mistikalnya, sebagaimana contoh yang telah dipaparkan pada bagian yang telah terdahulu, semisal, teori peak-experience-nya Maslow (1908-1970) yang mengakui “pengalaman puncak” spiritual para nabi, sufi, yogi, rahib dan lain sebagainya. Atau juga teori logoterapi-nya Viktor Frankl (1905-1997) dan Ian Marshall serta Danah Zohar yang mengakui sisi-sisi spiritualitas manusia- sekalipun spirituality  dalam pandangan mereka bukan berarti religius. Begitu juga dengan Erich From yang, dalam bukunya Psychoanaliysis and Zen Buddhism, menela’ah pandangan Budhisme aliran Zen tentang hakikat manusia berikut perkembangannya untuk kemudian dibandingkan dengan teori psokoanalitis. Lebih jauh lagi, Hall dan Linzey dalam bukunya Theories of personality memasukkan abhidhamma (teori kepribadian asal Budha) sebagai salah satu aliran psikologi. Atau juga Elizabeth Leach dan Terry Graham yang meneliti psikologi sufi. [43]
Berhubungan dengan tema ini, maka sebagaimana yang diungkapkan oleh Komaruddin Hidayat, ada hal-hal yang dapat mendekatkan dua disiplin ilmu yang selama ini sering dipentangkan ini, antara tasawuf dengan psikologi. EQ dan SQ tidak dapat dipungkiri merupakan hasil dari kajian psikologi modern, tetapi disbanding dengan kajian tasawuf tentunya hasil temuannya masih sangat dangkal sekali. Sebagaimana pendapat Lynn Welcox yang menjelaskan tentang perbedaan antara psikologi dengan tasawuf secara sederhana namun eksplisit dengan menunjukkan lampu sebagai model. Sebagai sains, psikologi- tepatnya psikoterapi, EQ, danm SQ- menganalisis karakteristik lampu; berapa voltagenya, bagaimana bahannya, bentuknya, kegunaannya dan lain sebagainya. Sedangkan yang menjadi concern tasawuf bagimana menghubungkan lampu tersebut dengan sumber energi. Yaitu, bagaimana menghubungkan hati seseorang sebagai pusatnya dengan Tuhan sehingga hati tersebut yang menjadi instrument cahaya rahmat Tuhan disebar luaskan kepada sesame manusia lainnya dan lingkungannya. Tampa sumber cahaya, lampu bagus sekalipun tentu tidak akan berguba selain sebagai penghias ruang tamu dan dinding kamar rumah. [44]

Kepustakaan

Ahmad Rivauzi, Pendidikan Berbasis Spiritual; Pemikiran Pendidikan Abdurrauf Singkel dalam Kitab Tanbih al-Masyi, (Padang: Jasa Surya, 2013) Cet. 1



                [1] Jalaluddin Rahmad, SQ: Psikologi dan Agama. Dalam buku Danah Zohar dan Ian Marshall, 
                [2] Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama ;Kepribadian Muslim Pancasila,(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995)
                [3] Frank G. Goble, Mazhab Ketiga ;Psikologi Humanistik Abraham Maslow, (Yogyakarta:  Kanisius,1987)
            [4] Suatu hari pada tahun 1914, seorang mahasiswa Pavlov kembali melakukan pelaziman pada seekor anjing untuk membedakan antara lingkaran dan elips. Anjing mengeluarkan air liur ketika melihat elips yang disuguhkan bersama daging dan tidak pada lingkaran yang tidak disuguhi bersama daging. Secara perlahan-perlahan bentuk elips dirubah hingga menyerupai lingkaran. Akhirnya anjing tidak lagi mampu membedakan antara lingkaran dan elips. Pada saat yang sama anjing berubah secara drastis dari penurut menjadi galak dengan mencabik-cabik alat eksperimen ketika dia dibawa ke ruangan eksperimen. Menurut Pavlov, anjing itu mengalami “neurosis eksperiental” . Manusiapun akan mengalami hal yang sama bila dihadapkan pada situasi stres yang tak teratasi.. Prilaku maladaptive didefinisikan sebagai reaksi yang tidak dikehendaki akibat proses belajar yang keliru atau stres yang berlebihan.  Jadi segala sesuatu yang dianggap gangguan jiwa menurut mereka tidak ada hubungannya dengan jiwa . Prilaku maladaptive  dapat juga ditimbulkan oleh perasaan negatif depresi, kecemasan, atau penderitaan sebagaimana ditulis oleh Jalaluddin Rahmat tentang sebuah eksperimen yang dlakukan oleh Watson dan rekannya Rosalie Raynen yang bekerja di Johns Hopkins. Percobaan dilakukan pada seorang anak bernama Albert, B., seorang bayi sehat berusia sebelas bulan yang tinggal di rumah perawatan anak cacat yang kebetulan ibunya bekerja di sana. Pada percoabaan itu seekor tikus diberikan pada Albert, dan ia langsung meraihnya. Namun ketika dia menyentuh tikus kecil itu, Watson memukul baja dengan palu tepat di belakang kepala Albert. Albert melonjak, jatuh dan berlari ketakutan. Haln ini dilakukan berulang kali hingga akhirnya Albert sangat takut ketika melihat tikus bahkan dia telah mengembangkan rasa takutnya pada setiap yang berbulu. Lihat, Jalaluddin , op. cit.,  h. xv- xvi
                [5] Toto Tasmara, op. cit.
                [6] .Jalaluddin, op. cit.
                [7] Ibid. 
                [8] Ibid. 
                [9] Frank G.Goble, 
                [10] Danah Zohar dan Ian Marshall, 
                [11] Ibid. 
                [12] Ary Ginanjar Agustian,
                [13] Danah Zohar dan Ian Marshall, loc. cit.,
                [14] Frank G. Goble. op. cit.
[15] Dimensi spiritual disebuit Frankl sebagai noos, yang mengandung semua sifat khas manusia, seperti keinginana untuk mencati makna, orientasi tujuan, kreativitas, imajinasi, intuisi, keimanan, visi, kemampuan mencintai diluar kecintaan yang visio-psikologis, kemampuan mendengarkan hati nurani diluar kendali super ego. Didalamnya terkandung pembebasan diri dan kemempuan keluar memandanga diri, transendensi diri, kemampuan mencintai dan mengejar tujuan yang diyakini. Dalam dunia spirit, kita tidak dipandu karena kita yang memandu dan mengambil keputusan.. Reservoir ini ada pada setiap orang, apa pun agama dan keyakinannya dan kebanyakan terdapat pada alam tak sadar kita. Lihat  Jalaluddin, op. cit.,   
                [16]  Ibid  
                [17]  Muhammad Wahyuni Nafis, op. cit.,
                [18]  Jalaluddin, op. cit.
                [19]  Ibid.
                [20] Daniel Goleman, E I, (Jakarta;PT.Gramedia Pustaka Prima, 2001), 
                [21] Ibid. 
                  [22]Ibid. 
                [23] Ibid.
                [24] Ibid
                [25] Ibid.
                [26] Danah Zohar dan Ian Marshall, op. cit., 
                [27] Ibid. 
                [28] Ibid. 
                [29] Ibid. 
            [30] Danah Zohar menambahkan bahwa:” Segala sesuatu memiliki tingkat proto kesadaran masing-masing, tetapi hanya struktur seperti otaklah yang memungkinkan kesadaran penuh. … kesadaran manusia memiliki akar-akar di dalam alam semesta ini. Kecerdasan spiritual menempatkan kita si dalam kosmos yang lebih besar dan hidup lebih jadi bermakna dan bertujuan  di dalam konteks proses evolusi kosmis yang lebih luas. Zohar menegaskan lagi, “SQ, memberi pikiran kualitas transenden  yang mengakarkan kita pada semua kehidupan ini . “ pusat diri” berakar pada sesuatu semacam ketaksadaran kolektif versi Jung . Kita tidak sendirian. Kecerdasan katanya tidak mengisolasi kita di dalam dunia pengalaman manusia saja, akan tetapi ada konteks makna dan nilai yang lebih luas untuk mendapatkan pengalaman manusia.  ibid.h. 
                [31] Ibid 
                [32] Ibid. 
                [33]  Ibid
                [34] Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam,(Pustaka Firdaus, 1996),
            [35] Kecendrungan dan kemampuan menampilkan ciri-ciri dari kategori yang berbeda-beda dari tipe kepribadian merupakan tanda kedewasaan personal dan SQ yang tinggi. Pribadi yang sangat tidak dewasa mungkin hanya mengembangkan satu gaya ego (satu kelopak teratai), dan tidak mampu menapilkan ciri-ciri yang berimbang dari enam tipe kepribadian. Ciri-ciri ego atau tipe kepribadian konvensional cendrung bersikap hati-hati, mengikuti arus, metodis, efesien dan cermat, defensif dan tidak fleksibel, pemalu, tidak mau menonjalokan diri, patuh, teratur, tekun, prakris, cermat, bisa juga terlalu sopan dan tidak imajinatif. Mereka suka mengikuti konvensi. Kepribadian sosial bercirikan suka dan menikmati pergaulan, ramah, dermawan, suka menolong dan baik hati, gampang berempati dan sangat persuasif, penyabar dan suka bekerja sama, idealistis, bertanggung jawab, bijaksana dan hangat. Kepribadian investigatif suka menyelidiki, rasional, intelektual, analitis, selalu ingin tahu, teliti, kritis, senang menyendiri, introspektif, pemalu, sederhana, hati-hati, dan tidak mau terbawa emosi. Kepribadian artistik bercirikan, bisaanya tidak rapi, emosinal, impulsif dan tidak praktis, idealisme mereka sangat mempengaruhi sedemikian rupa, suka mandiri dan introspektif, tetapi tidak kesulitan untuk mengekspresikan imanjinatifnya, orisinal, intuitif, peka dan terbuka. Kepribadian realistis cenderung keras kepala, matrealistis, prakris, cenderung menjauhkan diri dari hubungan sosial, bersikap wajar dan tidak dibuat-buat, suka bicara terus terang, cenderung mengikuti arus, tekun dan cermat walaupun jarang memunculkan pandangan orisinal, lebih menyukai pekerjaan fisik. Tipe kepribadian pengusaha dikenal gigih, menyenangkan, ambisius, sering mendominasi, menyukai petualangan yang berenergi, pencari kesenangan, suka coba-coba, optimis, sering menularkan rasa percaya diri pada orang lain, mudah bergaul dan suka bicara. ibid  
                [36] Ibid.. 
                [37] Ibid.
                [38] Ali Ashraf, op. cit.,
                [39] Danah Zohar dan Ian Marshall, op. cit.,
                [40] Ibid.
                [41] Ibid. 
[42] Pertanyaan ini agaknya juga terilhami oleh Michael Foucault, penulis buku psychology From 1850-1950.  Foucault agaknya ingin menyindir bahwa sejarah psikologi mengandung kontradiksi; di satu sisi psikologi menginginkan dirinya menjadi sains objektif seperti biologi; tetapi di sisi lain realitas manusia ternyata tidak bisa disederhanakan sekadar menjadi objek ilmiah. Baca : Cecep Ramli Bihar Anwar, Relung-relung Tercerahkan; Perspektif Psikologi Sufi, dalam Jalaluddin Rahmat dkk, Menyinari Relung-relung Ruhani; Mengembangkan EQ dan SQ cara sufi, ( Jakarta: Hikmah, 2002), 
[43] Ibid.
[44] Komaruddin Hidayat, Psikologi Sufi; Sebuah Pengantar, dalam Jalaluddin Rahmat, ibid.,