Spiritualitas
dan Psikologi
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA.
A. Teori-teori Psikologi Dan Perkembangannya
1. Behaviorisme
Jalaluddin Rahmad dalam Danah Zohar (2001: xiv) menulis mengenai aliran psikologi ini dengan ungkapan
bahwa aliran psikologi ini adalah aliran ilmu jiwa yang tak peduli dengan jiwa.
Aliran psikologi ini dikelompokkannya pada kelompok angkatan
pertama.
Aliran
ilmu jiwa ini dimulai semenjak Ivan Pavlov (1849-1936) sebagai peletak dasarnya dan William MC.
Dougall (1871-1938) dengan teori
instiknya yang mengatakan bahwa instink adalah kecendrungan bertingkah laku
tertentu dalam situasi tertentu sebagi hasil pembawaan sejak lahir dan tidak
dipelajari sebelumnya. Semua tingkah laku manusia dapat dikembalikan pada
instinknya.[2]
Behaviorisme dirumuskan dalam bentuk teori yang bersifat umum oleh John B.
Watson (1878-1958). Tokoh-tokoh aliran ini adalah seperti Edwar Thorndike,
Clark Hull, John Dollard, Neal Miller, B.F. Skinner dan masih banyak lagi yang
lainnya.[3]
Salah
satu eksperimen dilakukan pada tikus di Amerika Serikat pada th. 1940-an dan
1950-an. Namun, psikologi ini hanya mampu mempelajari prilaku yang tampak dan
dapat diukur. Pada masa ini psikologi dianggap sains yang hanya berhubungan
dengan apa saja yang dapat diamati. Menurut teori ini psikosis bukanlah
gangguan kejiwaan, melainkan merupakan prilaku menyimpang (maladaptive
behavior) yang diakibatkan oleh pelaziman (conditioning) yang terus
menerus. Untuk mengobatinya, kata mereka, tidak perlu meneliti jiwa cukup dengan melakukan pelaziman baru atau
kontra pelaziman (counter conditioning).Istilah pelaziman ini lahir dari
eksperimen yang dilakukan oleh Pavlov terhadap seekor anjing yang lapar yang kemudian dihadapkan padanya sebuah bola
lampu yang menyala dan anjing itu tidak bereaksi apa-apa. Kemudian setiap lampu
dinyalakan, dihadapkan kepadanya daging segar dan anjing itu mengeluarkan air
liurnya. Setelah beberapa kali percobaan, setiap kali lampu dinyalakan, anjing
mengeluarkan air liurnya walaupun tidak
ada daging di hadapannya. Air liur anjing sudah menjadi conditioned
stimulus.[4]
Sebagaimana
telah disebutkan di atas, untuk perbaikan, bisa dilakukan langkah modifikasi
prilaku. Namun ini hanya efektif untuk binatang tidak pada manusia karena
sebagaimana ditulis Jalaluddin, untuk manusia akan efektif bila dibarengi
dengan perubahan pola berfikir (insight-using terapies).
Prilaku
maladaptif, bagi Toto Tasmara diistilahkan dengan saghafa majnun
(kegilaan)[5] atau diistilahkan oleh Allah dengan “ qalbun maridhun” yaitu hati
yang sakit yang memiliki stabilitas batin.yang merupakan tipologi kondisi
ruhani yang sudah kehilangan cahaya kebenaran.
Behaviorisme
tidak peduli akan kesadaran manusia dan hanya berlaku pada sebagian penyakit
mental. Behaviorisme dikritik karena
behaviorisme tidak memasukkan data pengalaman subjektif individu seperti
kesadaran diri. Kedua, behaviorisme
tidak menjelaskan dimensi prilaku manusia yang komplek seperti cinta,
keberanian, keimanan, harapan dan lain sebagainya. Ketiga, behaviorisme tidak
mengenal akan pemahaman terhadap nilai-nilai dan makna dalam eksistensi manusia
dan bagaimana manusia harus berhubungan satu sama lain.Keempat, behaviorisme
juga tidak mengenal pengarahan diri (self determination), kebebasan
memilih dan tidak memperhitungkan kesadaran manusia dan motif-motif tak
sadarnya.[6]
2. Psikoanalisis
Psikoanalisis disebut juga Dept psychology, yaitu mencari
sebab-sebab prilaku manusia pada dinamika jauh dalam dirinya yaitu pada alam
tak sadarnya.. Bapak mazhab ini adalah Sigmund Freud, seorang neorolog yang hidup
di Wina pada akhir abad kesembilan belas. Pada masa itu, ilmu kedokteran yang
menyingkap sebab-sebab penyakit fisik dan mental masih sedikit. Penyakit yang
banyak terjadi pada waktu itu adalah histeria yaitu penyakit yang
menunjukkan masalah pisik tanpa ada sebab-sebab masalah pisik yang diketahui..
Untuk menghilangkan masalah histeria ini, Freud melakukan hipnotis. Dari
penelitian Josef Breur terbukti bahwa metode hipnotis kurang efektif dan
kemudian Freud mengembangkan metode psikoanalitik untuk menggali pengalaman
masa lalunya.
Menurut
Freud, Semua prilaku manusia , baik yang tampak (gerakan otot) maupun yang
tersembunyi (pikiran) disebabkan oleh peristiwa mental sebelumnya. Ada
peristiwa mental yang disadari dan ada yang tidak, Tetapi mudah untuk diakses (preconcious),
dan ada yang sulit diakses (unconcious) yang dinamakan alam tak
sadar. Di sini terdapat dua struktur mental yang merupakan bagian terbesar
gunung es yaitu Id sebagai reservoir energi psikis yang hanya
memikirkan kesenangan. Di sini jugalah terdapat Super Ego sebagai
reservoir nialai-nilai sosial yang diserap dari lingkungan masyarakat dan
orang tua. Dipuncak gunung es terdapat Ego sebagai pengawas realitas.[7]
Ego merupakan seperangkat mekanisme dan strategi untuk menghadapi hidup,
yang digunakan diri untuk menemui dirinya.[8]
Frank
G. Goble menulis kesamaan antara Behaviorisme dan Psikoanalitis terutama dalam
hal mempersepsi manusia. Kedua aliran ini sama-sama menganggap manusia tidak
ubahnya binatang dan menganggap kesusilaan sama sekali tidak memiliki dasar
ilmiah. Perbedaan kedua aliran ini adalah bahwa Behaviorisme lebih menekankan
kekuatan-kekuatan luar yang berasal dari lingkungan atau lebih mengagungkan proses belajar
stimulus-respon sedangkan Psikoanalitis lebih menekankan dorongan-dorongan
dalam diri seseorang dalam menentukan bentuk tingkah laku seseorang yaitu Id.[9]
Menurut
Freud, perkembangan kepribadian seseorang pada masa anak-anak ditentukan
sepenuhnya oleh Id. Pada masa ini berlaku proses berfikir primer (primary
process thinking). [10]
Itulah sebanya anak-anak tidak bisa menbedakan antara real dan tidal real,
antara “aku” dan bukan “aku”, juga tidak mampu menahan impuls emosional (dorongan
emosi). Pada anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa, Ego sudah
berkembang dan sudah berlangsung preses berpikir jenis kedua yaitu IQ (secondary
process thinking). Pada masa ini penundaan pemuasan keinginan sudah bisa
dikendalikan.
Tujuan
psikoanalitis menurut Freud adalah mengurangi derita neurotis menjadi
ketakbahagiaan bisaa. Carl Gustav mengkritik Freud karena penekanan yang
berlebihan pada seksualitas dan agresifitas. Sebab ketaksadaran bukan hanya
komponen instingtual sek dan agresifitas tetapi juga dimensi spiritualitas.
Jiwa tidak hanya mengandung the personal unconscious, sebagai himpunan
pengalaman pribadi, tetapi juga the collective unconscious sebagai
simpanan pengalaman jutaan kehidupan manusia. The collective unconscious
(ketaksadaran kolektiv) dilanjutkan dari generasi ke generasi melalui arketip (archetyps),
yaitu bentuk dan citra universal yang terdapat pada mitos-mitos dari berbagai
kebudayaan (akar-akar kepribadian).[11]The
collective unconscious ini bagi Danah Zohar mengacu pada Dewa-dewa mitologi
Yunani kuno sebagai arketip seperti anak Tuhan, ibu yang agung, ksatria, raja,
ratu, orang tua yang bijak, tukang sihir dan sebagainya. Bagi umat Islam itulah
Allah dengan asmaul husna-Nya.[12]
Menurut
Jung, kesehatan psikologi adalah kemampuan untuk membiarkan arketip ini
memasuki kita, memberikan bentuk pada pengalanan psikologi kita dengan
mengorganisasikan pikiran, perasaan dan tindakan kita. Derita dan tekanan
psikologis timbul karena kita hanya mampu mengidentivikasi beberapa arketip
sehingga membatasi jati diri dan perasaan. Pusat arketip “psyche” adalah
“the self” (diri). The self ini digambarkan sebagai mandala yang
merupakan citra the self yaitu arketip pusat.[13]
Di
tangan Jung, alam tak sadar Freud yang instintif seksual berubah menjadi
reservoir energi spiritual sebagaimana Freud membantah keberadaan ruh.
3. Psikologi Humanistis
Psikologi
ini dipelopori oleh Abraham Maslow pada pertengahan abad dua puluh sebagai
reaksi atas psikologi behaviorisme dan psikoanalitis. Maslow menulis bahwa:”
Dengan sedikit menyederhanakan, kita dapat menyatakan bahwa Freud baru
memberikan kepada kita setengah psikologi yang sakit, maka kita harus
melengkapinya dengan tengahan lainnya yang sehat”.[14]
Frankl
mengisahkan pengalamannya yang dijebloskan ke dalam kamp konsentrasi Nazi yang
mengerikan. Setiap hari dia melihat tindakan kejam, penyiksaan, pembunuhan
massal dan eksekusi kejam lainnya. Di saat yang sama dia juga melihat peristiwa
yang mengharukan seperti berkorban untuk kawan, kesabaran yang luar bisaa dan
daya hidup yang perkasa. Sebagian tahanan ada yang berpurus asa dan berakhir dengan kematian termasuk bunuh
diri. Namun ada juga yang tetap memiliki harapan tinggi dan kebanyakan mampu
bebas dari lobang jarum kematian.
Penyebab
yang membedakan keduanya adalah dalam kemampuan memberi makna. Frankl
menjelaskan bahwa pada manusia terdapat kebebasan tidak dapat dihancurkan
bahkan oleh pagar berduri sekalipun. Kebebasan itu adalah kebebasan untuk
memilih makna. Melebihi Jung yang menganggap prilaku manusia sebagai akibat
proses psikis saja, Frank dengan fenomenologisnya dengan menjelaskan bahwa
pemberian makna berada di luar proses psikologis. Ia mengembangkan teknik
psikoterapi yang disebut dengan logoterapi.
Logo
terapi memandang manusia sebagai totalitas yang terdiri dari tiga dimensi
yaitu fisik, psikologis, dan spiritual[15].
Untuk memahami diri dan kesehatan, kita harus memperhitungkan ketiganya.
Dimensi spiritual yang selama ini diberikan kepada agama, sehingga dalam
persoalan fisik dan psikologis, agama tidak dibawa ikut serta.
Frankl
banyak memberikan kontribusi pada Danah Zohar dalam perumusan SQ nya (terutama
bab dua). Loga terapi mencoba menyingkap kiat-kiat mengembangkan dan menemukan
makna. Ada lima situasi, makna membersit keluar dan mengubah jalan hidup
seseorang kemudian menyusun kembali hidup yang telah porak-poranda
a.
Makna akan kita
temukan ketika kita akan menemukan diri kita (Self discovery). Sa’di
seorang penyair iran, pernah kehilangan sepatunya di masjid Damaskus. Ketika
dia bersungut-sungut jengkel, dia melihat seorang penceramah yang berbicara
dengan senyum dan tawa sementara kedua kakinya patah. Sa’di kemudian sadar,
kenapa dia sedih karena kehilangan sepatu sedangkan penceramah itu mampu
gembira dengan kehilangan kedua kakinya.
b.
Makna muncul
ketika kita menemukan pilihan. Hidup jadi tanpa makna ketika kita terjebak
dalam satu situasi kita tidak dapat memilih
c.
Makna ditemukan
ketika kita merasa istemewa, unik, dan tidak tergantinkan oleh orang lain.
Fabry mengatakan : carilah orang yang mendengarkan kita dengan penuh perhatian,
kita akan merasa hidup kita bermakna”.
d.
Makna membersit
dari tanggung jawab akan sebuah amanah.
e.
Makna mencuat
dalam situasi transendensi, gabungan dari keempat hal di atas. Ketika
mntransendensikan diri kita, kita melihat seberkas diri kita yang antik, kita
membuat pilihan merasa istimewa, dan kita mampu menegaskan tanggung jawab.[16]
Hanna Djumhana Bustaman menulis ada tiga nilai yang merupakan
sumber makna hidup yaitu pertama, Creative Values (nilai-nilai kreasi)
yaitu bekerja dan berkarya dengan penuh keterlibatan tanggung jawab. Kedua, Experiental
Values (nilai-nilai penghayatan) yaitu menyakini dan menghayati kebenaran,
kebajikan keindahan, keimanan dan
nilai-nilai yang agung. Ketiga, Attitudinal Values (nilai-nilai
bersikap) yaitu menerima sepenuhnya dengan tabah dan mengambil sikap yang tepat
terhadap penderitaan setelah usaha optimal mengatasinya.[17]
4. Psikologi Transpersonal
Psikologi ini merupakan kelanjutan dari psikologi humanistis. Jadi
penggagasnya termasuk juga Jung, Abraham Maslow, Victor Frankl, William James
yang banyak mempengaruhi pemikiran Jung.
Menurut Maslow pengalaman keagamaan adalah peak experience,
plateau dan fathers reaches of human nature”[18]
dalam artian kata psikologi belum sempurna sebelum difokuskan kembali pada
pandangan spiritual agama. Dalam hal ini psikologi tranpersonal berusaha
menggabungkan tradisi psikologis dengan tradisi-tradisi agama besar timur. Dia
ingin mengambil pelajaran dari kearifan perenial yaitu phylosofia perennis.
Tradisi keagamaan memberikan jawaban tentang pertanyaan “siapa aku”
dengan menjawabnya “wujud spiritual” atau ruh. Paraktek keagamaan mengajarkan
penyambungan diri dengan bagian diri yang terdalam. Psikologi tranpersonal dan
psikoterapi menawarkan perjalanan psikologis untuk menemukan diri dengan
melihat kedalam “Self, ego, eksistensi psikologis”. Agama membicarakan
tentang kesadaran spiritual yang luas dan multi dimensional. Diri kita,
eksisitansi psikologis kita, merupakan penampakan luar dari esensi spiritual
kita. Cortright (1997, h 9) seperti yang dikutip jalaluddin rahmat menulis :
“studi sedalam apapun tentang genetika, bio kimia, atau neorologi
pada satu sisi, atau sistem keluarga, interaksi ibu-anak, dan pengalaman masa
kecil pada sisi yang lain atau dengan perkataan lain tidak ada penjelasan
apapun, yang memperhitungkan hanya penampakan luar dari masalah nature (tabiat)
dan nurture (lingkungan)-dapat memberikan jawaban memuaskan pada masalah
fundamental kehidupan. Hanya dengan memandang ke dimensi spiritual, yang
memasukkan dan sekaligus mentransendensikan warisan dan lingkungan, kita dapat
menemukan jawaban yang tepat untuk masalah eksistensi manusia”.[19]
.
5. Kecerdasan Emosional (EQ)
Kecerdasan emosional dirumuskan oleh Daniel Goleman yang menawarkan
bentuk kecerdasan selain kecerdasan intelektual (IQ). Dia menyatakan dua bentuk
berpikir yaitu satu yang berpikir (neokorteks) dan satu lagi yang merasa.
Bagian yang merasa inilah yang selama ini dikenal dengan istilah lembik.
Daniel Goleman menjelaskan bentuk kerja otak hasil penelitian Le Doux bahwa mata, dan semua organ
pengindera mengirimkan sinyal ke- talamus, dan dari sini dilanjutkan ke wilayah
neokorkeks yang memproses penginderaan menjadi benda dan sesuatu yang dipahami.
Selanjutnya sebagaimana teori konvensional
kerja saraf, dari neokorteks sinyal-sinyal itu dikirim ke otak lembik
dan dari situ respon yang cocok direfleksikan melalui otak dan bagian tubuh
lainnya. Inilah bentuk kerja otak sampai akhirnya Le Doux menemukan bahwa ada
neuron yang lebih kecil yang menghubungkan talamus langsung dengan amigdala,
selain neuron-neuron yang berada di saluran neuron yang lebih besar yang menuju
korteks. Saluran yang lebih kecil dan pendek ini, mirip jalan pintas saraf yang
memungkinkan amigdala untuk menerima sejumlah masukan langsung dari indera dan merespon sebelum
masukan-masukan itu terdata sepenuhnya oleh neokorteks. Jadi amigdala tidaklah
harus bergantung seluruhnya pada sinya-sinyal dari neokorteks untuk mereaksi
secara emosional.[20]
Penulis menyimpulkan dari
bukunya Daniel, Hippocampus
dan amigdala merupakan dua bagian penting dalam sistem lembik. Amigdala
merupakan spesialais masalah-masalah emosional, yang berfungsi sebagai semacam
gudang ingtan emosionalf dan mampu mencerap, mengingat, mengataur emosional
secara mandiri, dan sebagai pusat hawa nafsu.[21]
(Le Doux). Pendapat lama yang mengatakan bahwa hippocampus sebagai kunci
struktur lembik, ternyata lebih berkaitan dengan perekaman dan pemaknaan
pola persepsi ketimbang reaksi emosional. Peran utama hippocampus adalah
dalam hal penyediaan ingatan terperinci akan konteks, hal yang amat penting
bagi pemaknaan emosional. Hippocampus mengenali
perbedaan makna antara
ular yang berada di kebun binatang dengan ular yang berda di halaman
rumah. Bila hippocampus meningat fakta mentah, amigdala
menyisipkan nuansa emosional yang melekat pada fakta-fakta itu. Peran
hippocampus penting untuk mengenali bahwa suatu wajah adalah wajah sepupu anda
. Tetapi amigdala-lah yang mengingatkan anda bahwa anda tidak
menyukainya.[22]
Daniel Goleman memberikan gambaran pembajakan emosi bagaimana seseorang bisa
berbuat lepas kendali emosi yang kemudian menyesalinya. Hal ini disebabkan oleh
karena pola kerja amigdala lebih cepat ketika menerima suatu
penginderaan sebelum ada konfirmasi rasional dari neokorteks.
Bagian otak emosional yang mampu menangani reaksi impulsif
emosional amigdala adalah lobus prefrontal yang berada di ujung
sirkuit penting neokorteks tepat di balik dahi. Korteks prefrontal
ini bekerja disaat seseorang sedang merasa takut atau marah dan ia bekerja
sebagai sakelar meredam perasaan secara efektif. Proyeksi terbesar imformasi
penginderaan dari talamus adalah ke neokorteks untuk diberi makna
dan respon kita di situ dikoordinasikan oleh lobus prefrontal, tempat
tindakan perencanaan dan pengorganisasian menuju sasaran , termasuk sasaran
emosional . Dalam neokorteks, serangkaian tahapan sirkuit mendata dan
menganalisis imformasi tersebut, memahaminya, dan melaui lobus prefrontal,
mengatur reaksi. Bila dalam proses itu dibutuhkan respon emosional, lobus
prefrontal itu akan memerintahkannya, bekerja sama dengan amigdala
dan sirkuit-sirkuit lainnya dalam otak emosional. Lobus prefrontal
melakukan sesuatu yang mirip dengan pertimbangan , perbandingan resiko mamfaat
meliaran reaksi yang mungkin , dan memilih salah satu yang terbaik. Salah satu
strategi menghindari pembajakan emosional yang impulsif adalah dengan
memberikan kelapangan ruang neokorteks
bekerja secara efektif dengan menahan impulsif emosi dan memfungsikan lobus
prefrontal untuk bekerja. Kehilangan Lobus prefrontal berakibat sama
dengan amigdala yaitu kehilangan kehidupan emosi seseorang. Sakelar
utama untuk mematikan impulsif emosi adalah prefrontal kiri sebagaimana
hasil penelitian yang dilaporkan oleh ahli-ahli neuropsikologi yang
menemukan bahwa tugas prefrontal kiri adalah bertindak sebagai termostat saraf, mengtaur
emosi-emosi yang tidak menyenangkan dan lobus prefrontal kanan merupakan
tempat perasaan-perasaan negatif seperti rasa takut dan amarah. Sehingga orang
yang kehilangan lobus prefrontal kiri menjadi orang yang lebih mudah
takut dan marah sedangkan orang yang kehilangan lobus prefrontal kanan
akan menjadi orang yang kelewat ceria. Dari anatomi kerja saraf inilah nampaknya
Daniel Goleman menyimpulkan bahwa gangguan emosional bisa melumpuhkan dan
merusak kemampuan rasional intelektual seseorang.[23]
Menurut Daniel, IQ menyumbang 20 persen untuk kesuksesan sedang
selebihnya adalah faktor kekuatan lainnya yang ambil bagian. Gardner
menyimpulkan tentang kecerdasan yaitu
kecerdasan antar pribadi dan intra pribadi. Kecerdasan antar pribadi pada
intinya adalah kemampuan memahami, mengenali orang lain, dan berinteraksi
secara baik dengan mereka. Hal ini mirip dengan teori kcerdasan sosial E.L.
Thorndike. Kecerdasan intra pribadi yaitu kemampuan membentuk suatu model diri
dan menggunakannya menempuh hidup.
Salovey menjelaskan lima wilayah utama inti kecerdasan pribadi[24]
dan ini menurut penulis sudah merupakan representatif dari jabaran kecerdasan
emosi Daniel Goleman yaitu:
1) Mengenali emosi diri disaat emosi itu terjadi. Hal ini senada
dengan pendapat John Mayer yang menyatakn “ bahwa mengenali suasana hati yang tidak mengenakkan berarti ingin lepas
darinya”.
2) Mengelola emosi . Sebagaimana jabaran Daniel Goleman pada bab 5
bukunya dengan prinsip upaya kendali emosi dari impulsif emosi.
3) Memotivasi diri. Ini kemampuan yang diawali dengan membangun
suasana hati yang positif. Daniel Goleman mengistilahkannya dengan flow yaitu
suaru kondisi ketika seseorang larut dalam optimisme pencapaian tujuan kerja
positif.
4) Mengenali emosi orang lain . Ini merupakan kemampuan empati
sebagaimana yang diungkap Martin Hoffmen yang berpendapat bahwa akar moralitas
ada dalam empatif
5) Membina hubungan. Hal ini merupakan wujud pola interaksi yang
membutuhkan pengaplikasian kemampuan seni bersosialisasi secara baik dengan
orang lain.
Daniel
Goleman berhasil memformulasikan pola strategis menciptakan pola interaksi yang
baik dengan orang lain tetapi masih hampa dari strategi membangun keharmonisan
interaksi dengan Tuhan. Daniel menulis” Kecerdasan emosional menambahkan jauh
lebih banyak sifat-sifat yang membuat kita menjadi lebih manusiawai.”[25]
Akan
tetapi teori ini masih dirasakan memiliki kehampaan isi. Humanis Daniel Goleman
masih humanis yang semu dan kosong dari ruh nilai-nilai moral yang hakiki.
Teori ini mengintrodusir pola aktivitas semu yang hanya mampu melihat aktivitas
pada eksistensi pinggiran diri dan hidup manusia belum menyentuh pada bagian
hakikat diri dan hidup itu senduri.
6. Spiritualitas Sebagai Kajian Psikologi Moderen (SQ)
Danah Zohar dan Ian Marshal mengukir sejarah baru dalam wacana
spiritualitas di dunia barat dengan SQ nya. Keinsyafan Danah Zohar akan kondisi
moral spiritual yang ironis di barat diungkapkannya dalam tulisannya.:
“Zaman moderen kita ditandai oleh hal-hal, seperti keruntuhan
keluarga, masyarakat, agama tradisional, dan hilang atau langkanya pahlawan …
kita hidup dalam suatu masa yang tidak ada lagi tujuan, aturan yang jelas,
nilai-nilai yang pasti, jalan yang terang untuk tumbuh, dan visi tanggung jawab
yang jelas”.[26]
Danah Zohar menulis bahwa kekeringan spiritual di dunia barat
diakibatkan oleh produk dari IQ manusia yang tinggi, sebagai dampak revolusi
ilmiah abad ketujuh belas dan munculnya individualisme dan rasionalisme
yang diilhami oleh pemikiran Isac Newton dengan doktrin atomisme dengan
landasan “determinisme” dan “objektivitas”. Atomisme merupakan
suatu pandangan bahwa dunia pada intinya terdiri dari bagian-bagian partikel
yang masing-masing terisolasi dalam ruang dan waktu. Atom itu keras dan tidak
dapat disusupi dengan batasan-batasan yang keras dan bergerak cepat. Ia saling
berhubungan melalui aksi dan reaksi, saling mendorong dan menghindar. John
Locke sebagai pelopor demokrasi liberal
abad kedelapan belas menggunakan atom sebagai model individu yaitu unit dasar
masyarakat . Dengan demikian bangunan sosial secara keseluruhan adalah hayalan
dan yang terpenting adalah hak dan kebutuhan individu. Atomisme ini
jugalah yang mengilhami landasan teori “relasi objek” Sigmund Freud yang
beranggapan “anda adalah objek bagi saya dan saya adalah objek bagi anda”[27]
Jika ditinjau dari ilmu saraf, semua sifat kecerdasan itu bekerja
melalui dan dikendalikan oleh otak. Beserta jaringan sarafnya di seluruh tubuh.
Jadi seluruh pengorganisasian, aktivitas dan kreativitas hidup manusia
berpusat di otak.
Pengorganisasian saraf yang
memungkinkan untuk berpikir
rasional, logis dan
taat azaz disebut
dengan IQ, yang memungkinkan untuk
berpikir assosiatif yang
terbentuk oleh kebisaaan dan kemampuan untuk
mengenali pola-pola emosi disebut dengan EQ, sedangkan yang memungkinkan
untuk berfikir kreatif, berwawasan yauh , membuat dan mengubah aturan, menata
kembali dan mentransformasikan dua jenis berfikir sebelumnya disebut dengan SQ.
SQ merupakan suatu kecerdasan yang memberi kita makna, yang melakukan kontekstualisasi,
dan bersifat transformatif. SQ ini tidak dapat diukur sebagaimana IQ.[28]Manusia
memiliki suatu kemapuan untuk merasakan secara utuh, berpemahaman holistik
dan berfikir secara unitif yang merupakan proses awal neurologis
SQ.[29]
Argumen neurologis untuk SQ ini adalah adanya getaran listrik atau
osilasi 40 Hz pada seluruh bagian otak dalam berbagai sistem dan tingkatan yang
merupakan syarat sebuah kesadaran. Osilasi ini terjadi ketika sel saraf tunggal
berosilasi secara koheren dengan seluruh sel saraf pada otak ketika otak berada
dalam keadaan waspada penuh dan tidur bermimpi. .Penelitian Pare-Llines dengan
menggunakan alat magneto-ence phalograpy menunjukkan kondisi ini.
Mengenai kesadaran, Chalmer mengikuti filosof
sebelumnya yaitu Betrand Russel pada tahun 1927 mengatakan bahwa semua benda
materi seperti massa, spin, pohon dan lain sebagainya memiliki proto-kresadaran dan struktur
seperti otak yang memiliki osilasi 40 Hz –lah yang mampu menggabungkan proto
kesadaran ini menjadi kesadaran penuh.[30]
Teori medan kuantum abad dua puluh menggambarkan bahwa semua benda
yang ada merupakan keadaan atau pola dari energi yang berosilasi dan dinamis. Semua benda-benda yang ada
adalah hasil dari ikatan (eksitasi) energi hampa kuantum sehingga
ruang hampa kuantum adalah pusat dari segala yang ada. Hampa kuantum
adalah latar belakang dari energi alam semesta dan merupakan realitas paling
transenden yang dapat digambarkan dunia fisika. Ia merupakan “samudra” yang
diam dan tenang, yang di dalamya eksistensi segala benda muncul sebagai
gelombang-gelombang osilasi energi. Yang pertama muncul adalah medan higgs (kuantum)
yang berisi osilasi energi yang koheren yang sangat luas , yang merupakan
sumber dari semua medan dan partikel fundamental di alam semesta dan Danah
zohar dalam membangun kerangka teorinya merujuk pada teori ini.
Danah Zohar Menyimpulkan bahwa keberadaan hampa kuantum ini sangat
mirip dengan keberadaan Tuhan dalam dunia mistik. Dalam tradisi agama besar
seperti Islampun dapat kita jadikan perbandingan bahwa karakteristik
eksistensial hampa kuantum mirip dengan sifat Allah yang memiliki energi
penentu yang mempengaruhi garis takdir alam raya.
Peneltian ilmiah seperti yang dialukan oleh Ramachandran dan
Persinger dengan memakai alat EEG telah membuktikan bahwa di dalam otak telah
ada mesin saraf yang dirancang untuk berhubungan dengan yang gaib yaitu lobus
temporal yang diistilah oleh Danah Zohar dengan god spot. Mereka
telah berasumsi bahwa keyakinan beragama sudah terpatri dalam otak manusia dan god
spot sebagai perangkatnya. Terbukti dengan meningkatnya aktivitas osilasi
saraf pada lobus temporal ketika sesorang diberikan wejangan-wejangan
religius. Namun yang disayangkan adalah bahwa mereka masih meragukan akan
apakah god spot ini membuktikan adanya Tuhan.
Persepsi ini sangat mirip dengan fitrah dalam islam dengan potensi fu’ad
sebagai salah satu dimensi qalbiyah yang cendrung pada prinsip yang
hanif seperti yang dikemukakan oleh Toto Tasmara. Titik Tuhan (god spot)
berperan terhadap pengalaman spiritual namun hanya merupakan syarat perlu (necessary
condition) tidak sebagai syarat cukup (sufficient condition) sebab
orang yang cerdas secara spiritual akan mempunyai aktivitas tinggi pada god
spot dan tidak semua orang yang tinggi aktivitas apada god spot
adalah orang yang cerdas spiritualnya seperti orang yang menderita epilepsi.
Untuk mencapai SQ tinggi , seluruh bagian otak, aspek diri, seluruh segi
kehidupan harus diintegrasikan.[31]
Mengenai diri, Danah Zohar menawarkan model baru dengan merujuk
pada filosofi timur seperti Tao, Budha, Yunani dan Yahudi. Dia menulis tentang
gambaran sejarah penciptaan manusia dari berbagai macam sketsa mitologis dan
mengawinkannya dengan sains moderen (timur dan barat). Dia mencoba merumuskan
jawaban-jawaban dari pertanyaan- pertanyaan yang muncul dari sekian panjang
sejarah peradaban manusia. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah darimana kita
berasal? Bagaimana asal usul kita dalam
waktu? Di mana akar kita ? Berapa lama kita hidup? Apakah sumber dari kecerdasan
kita? Dan pakah sumber dari kecendrungan kita untuk menanyakan
pertanyaan-pertanyaan seperti itu?. Danah menjawab pertanyaan-pertanyaan ini
dengan teori terati diri yang berlambangkan setangakai bunga teratai.
Pertanyaan-pertanyaan ini sudah cukup mendasar
untuk mencari jawaban tentang asal usul eksistensi namun belum mampu nenjawab
tujuan eksistensi yang pada dasarnya juga merupakan persoaalan yanag sangat
mendasar.
Danah Zohar menulis:
“ Pada dasarnya, kecerdasan
spiritual mewakili keutuhan diri yang dinamis saat diri menyatu dengan dirinya
sendiridan dengan seluruh ciptaan… model diri yang lebih lengkap ini hanya
dapat digambarkan dengan menggabungkan wawasan psikologis moderen, pemikiran
filsafat timur, dan sebagian pemikiran sains abad moderen” [32]
Menurut Danah Zohar, kita memiliki tiga kecerdasan (rasional,
emosional, spiritual), tiga bentu berpikir(seri, assositif, unitif), dan tiga
tingkatan diri(pusat-transpersonal, tengah-interpersonal, dan pinggiran –ego
personal). Diri yang cerdas secara spiritual menggabungkan ketiganya. Pusat
teratai adalah pucuknya-itulah lambang pusat diri.[33]
Ali Ashraf dengan redaksi dan ungkapan yang berbeda mengatakan
bahwa berpikir afektif itu memiliki tiga tahap yaitu logis, relasional, dan
imajinatif.[34]Berpikir
logis identik dengan proses berpikir IQ, berpikir relasional sama
dengan berpikir assosiatif (EQ), dan berpikir imajinatif inilah
yang identik dengan proses berpikir unitif (SQ).
Tentang asal usul dan sumber alam semesta, danah zohar merujuk
kepada teori fisika quantum yang menjelaskan bahwa kita mulai dari debu
bintang di hampa quantum. Debu bintang inilah diasosiasikan dengan proto-kesadaran
atau ketaksadaran kolektif versi jung. Mengenai sumberalam dan diri,
Danah Zohar menyimbolkannya dengan lumpur tempat tumbuhnya teratai sebagai
eksistensi orisinal primeval yang tak dapat dibedakan.
Pertama kali manusia mengenali dirinya dari perspektif ego kesadaran,
dari pinggiran diri. Ego bersikap rasional terhadap pendekatannya
terhadap pengalaman dan berkaitan dengan program dan jalur saraf seri otak.
Selanjutnya kita sadar akan ketaksadaran pribadi dan kolektif, yang merupakan
penampungan luas motivasi, energi, citra, asosiasi dan arketipe yang
mempengaruhi pemikiran, kepribadian, dan sikap dari “dalam”. Ini adalah bagian
tengah diri asosiatif, yaitu bagian pikiran yang diasosiasikan dengan jaringan
saraf paralel dalam otak. Tengah diri utamanya berfungsi melalui tubuh dan
energi.
Sadar atau tidak, menurut Danah Zohar kita
selalu berhubungan dengan pusat diri ketika mengalamia wawasan baru, melihat
kehidupan dalam konteks yang lebih luas, atau mengajukan pertanyaan pokok. Pusat
diri berkaitan dengan osilasi 40 Hz diseluruh otak dan pada dasarnya, ia
memiliki fungsi pemersatu atau integratif.
Sesuai dengan tradisi timur dan tradisi barat, ada aspek diri yang
berada di luar segala bentuk, inilah yang disebut sumber, Tuhan, dan wujud
dengan berbagai nama dengan berbagai tradisi. Dalam semua tradisi, sumber diri
yang berada di luar kesadaran adalah dasar keberadaan itu sendiri, sumber
segala manifestasi dan sumber utama dari energi yang menjadi pikiran sadar dan
tak sadar.
Ego dilambangkan dengan kelopak bunga bagian luar. Ini adalah lapisan
diri yang paling belakangan berkembang dan paling rasional. Ia berkaitan dengan
jalur program saraf seri otak, yaitu sistem saraf yang bertanggung jawab atas
pemikiran logis, rasional, pemikiran sadar, berorientasi tujuan dan pemikiran
strategis. Ia adalah seperangkat mekanisme dan strategi untuk menghadapi hidup,
yang digunakan diri untuk menemui dunianya. Untuk pikiran Ego pada
kelopak-kelopak bunga teratai Danah Zohar menggunakan enam tipe kepribadian
psikolog Amerika J.L. Holland pada tahun 1958. Enam tipe kepribadian itu adalah
:Kovensional, sosial, investigative, artistik, realistik dan
pengusaha.[35]
Danah Zohar juga mengawinkan tipologi Holland
dengan teori Jung yang mengemukakan enam aktivitas ego sebagai tiga pasangan
yang berlawanan yaitu : Intoversi vs ekstroversi, pikiran vs perasaan, sensasi
vs intuitif. Teori ini menjadi dasar tes indikator tipe Myers-Briggs.
Lapisan tengah teratai adalah ketaksadaran
asosiatif yang menjadi gudang penyimpan gambar, hubungan, pola, simbol dan
arketif yang mempengaruhi sikap dan bahasa tubuh, membentuk mimpi, mengikat
keluarga dan sosial, dan memberikan rasa bermakna dalam hidup tanpa perlu
rujukan pikiran rasional. Disini juga terdapat kebisaaan, asosiasi, tradisi hidup, narasi dan
citra agama, mitologi dan irama internal budaya.
Pada bagian tengah diri ini, terdapat Id nya Sigmund Freud.
Yang menghubungkan Ego sadar dengan ketaksadaran asosiatif ini adalah
motivasi. Ego berkaitan dengan IQ dan cara kita memahami situasi. Tengah
asosiatif berkaitan dengan EQ dan apa serta bagaimana perasaan kita mengenai
situasi. Tempat keduanya bertemu itulah letak motiv yaitu apa yang ingin kita
lakukan dengan situsasi itu. Motiv adalah hal yang menggerakkan energi laten
dalam emosi kesaluran kepribadian Ego dan perbuatan yang dihasilkannya.
Memahami motiv sangat penting untuk melatih SQ.
Secara neurologis, pengalaman penyatuan dari
dinamika osilasi-osilasi 40 Hz yang berjalan di seluruh otok, menyediakan
“kolam” atau”latar belakang” tempat lebih banyak gelombang otak dapat “beriak”
yang mengasilkan pengalaman dari mental sadar dan tak sadar kita, inilah pusat
diri yang secara mitologis, sumber “aku” muncul.[36]Pusat
adalah sumber dalam diri kita yang penuh dan tak pernah habis yang merupakan
jantung dari realitas lebih luas dan suci dan bersifat Ilahiah.[37]
Ali Ashraf menulis pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa
bentuk tertinggi kegiatan mental adalah kontemplasi di mana intelek secara
langsung menangkap secara intuitif banyak kebenaran dalam kesatuan sebuah gagasan tunggal. SQ
Danah Zohar merupakan suatu bentuk kegiatan mental ini dan dari aktivitas
inilah SQ dimulai.[38]
Seperti ditulis Danah Zohar, semua benda yang ada adalah hasil
ikatan (eksitasi) ruang hampa kuantum sehingga ruang hampa
kuantum adalah pusat dari segala benda. Energi ruang hampa kuantum
mendasari dan sekaligus menembus kosmos. Karena manusia bagian dari kosmos,
energi ruang hampa kuantum pun mendasari dan memasuki kita. Kita adalah
“gelombang” di atas “samudra” ruangan hampa sedangkan ruangan hampa adalah
pusat dan dasar diri. Ketika diri kita benar-benar terpusatkan, ia terpusatkan
pada dasar seluruh wujud[39]
yang dalam tradisi mistis Iislam dikenal dengan istilah “fana”.
Pada diagram teratai diri, hampa kuantum adalah “lumpur” tempat
tumbuhnya teratai.. Inti dari cerdas
secara spiritual adalah hampa kuantum. SQ adalah kemampuan bawaan otak manusia
dan jiwa selalu dapat mengingat dan mengingat ini adalah SQ dalam bentuk
tindakan. Penyakit spiritual adalah disebabkan buruknya hubungan dengan pusat
diri yang terdalam. Menurut Danah, SQ rendah menyebabkan kita menjadi karikatur
bagi diri kita sendiri, serta emosi dan pola emosi kita menjadi karikatur dari
tanggapan manusia yang sehat sedangkan tanggapan kita sendiri terpecah
belah. Kita tidak mampu memecahkan masalah rasional dengan IQ rendah, EQ rendah
menyebabkan kita berlaku asing dalam situasi kita dan SQ rendah akan
menyusutkan keberadaan kita karena SQ
merupakan keseimbangan batin.[40]
Sedangkan dalam Islam kecerdasan ruhani dalam bentuk tindakan
adalah zikrullah dan ketidak sediaan diri berhubungan dengan pusat diri
(Ilahiah) merupakan faktor penyebab penderitaan batin.
Untuk cerdas secara spiritual, diperlukan keinginan untuk memahami
diri sendiri dan menjalani hidup dengan penuh kreatif kemudian mengungkapkan
motiv-motiv yang mendasari tindakan dan belajar bertindak dari pusat. Kemajuan
alamiah untuk SQ adalah bermula dari perenungan, pemahaman, menuju kearifan.
Jadi kecerdasan spiritual itu seperti yang ditulis oleh Danah Zohar
adalah:
“kecerdasan untuk menghadapi
dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan
prilaku dan hidup dalam konteks yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk
menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna. SQ merupakan
kecerdasan tertinggi yang diperlukan untuk memfungsikan IQ, EQ secara kreatif”.[41]
B. Psikologi Sufi
Sebuah pertanyaan menggelitik seperti yang pernah juga dilontarkan
oleh Cecep Ramli Bihar Anwar yang berhubungan dengan pembahasan sub bab ini
adalah; “Bisakah pengalaman diletakkan di bawah mikroskop?”. [42]
Pertanyaan ini wajar muncul karena di dasari oleh realitas bahwa jelas-jelas
pengalaman spiritual sudah pasti berada di luar jangkauan konsep psikologi yang
berkembang selama ini. Dalam konteks ini, psikologi agaknya menghadapi
kontradiksi dan lebih terkesan bersikap ambigu. Di satu sisi, sebagai ilmu
empiris ytang bersifat sekuler-positif, antroposentrism, ia tentunya enggan mengakui
segala hal yang berbau spiritual atau mistikal. Pada sisi lain, kenyataannya
bagitu banyak psikolog yang buah pikirannya berbau spiritual atau bahkan kental
rasa mistikalnya, sebagaimana contoh yang telah dipaparkan pada bagian yang
telah terdahulu, semisal, teori peak-experience-nya Maslow (1908-1970)
yang mengakui “pengalaman puncak” spiritual para nabi, sufi, yogi, rahib dan
lain sebagainya. Atau juga teori logoterapi-nya Viktor Frankl (1905-1997) dan
Ian Marshall serta Danah Zohar yang mengakui sisi-sisi spiritualitas manusia-
sekalipun spirituality dalam
pandangan mereka bukan berarti religius. Begitu juga dengan Erich From yang,
dalam bukunya Psychoanaliysis and Zen Buddhism, menela’ah pandangan
Budhisme aliran Zen tentang hakikat manusia berikut perkembangannya untuk
kemudian dibandingkan dengan teori psokoanalitis. Lebih jauh lagi, Hall dan
Linzey dalam bukunya Theories of personality memasukkan abhidhamma
(teori kepribadian asal Budha) sebagai salah satu aliran psikologi. Atau juga Elizabeth Leach dan Terry Graham yang meneliti psikologi
sufi. [43]
Berhubungan dengan tema ini, maka sebagaimana yang diungkapkan oleh
Komaruddin Hidayat, ada hal-hal yang dapat mendekatkan dua disiplin ilmu yang
selama ini sering dipentangkan ini, antara tasawuf dengan psikologi. EQ dan SQ
tidak dapat dipungkiri merupakan hasil dari kajian psikologi modern, tetapi
disbanding dengan kajian tasawuf tentunya hasil temuannya masih sangat dangkal
sekali. Sebagaimana pendapat Lynn Welcox yang menjelaskan tentang perbedaan
antara psikologi dengan tasawuf secara sederhana namun eksplisit dengan
menunjukkan lampu sebagai model. Sebagai sains, psikologi- tepatnya
psikoterapi, EQ, danm SQ- menganalisis karakteristik lampu; berapa voltagenya,
bagaimana bahannya, bentuknya, kegunaannya dan lain sebagainya. Sedangkan yang
menjadi concern tasawuf bagimana menghubungkan lampu tersebut dengan sumber
energi. Yaitu, bagaimana menghubungkan hati seseorang sebagai pusatnya dengan
Tuhan sehingga hati tersebut yang menjadi instrument cahaya rahmat Tuhan
disebar luaskan kepada sesame manusia lainnya dan lingkungannya. Tampa sumber
cahaya, lampu bagus sekalipun tentu tidak akan berguba selain sebagai penghias
ruang tamu dan dinding kamar rumah. [44]
Kepustakaan
Ahmad Rivauzi,
Pendidikan Berbasis Spiritual; Pemikiran Pendidikan Abdurrauf Singkel dalam
Kitab Tanbih al-Masyi, (Padang: Jasa Surya, 2013) Cet. 1
[4]
Suatu hari pada tahun 1914, seorang mahasiswa Pavlov kembali
melakukan pelaziman pada seekor anjing untuk membedakan antara lingkaran dan
elips. Anjing mengeluarkan air liur ketika melihat elips yang disuguhkan
bersama daging dan tidak pada lingkaran yang tidak disuguhi bersama daging.
Secara perlahan-perlahan bentuk elips dirubah hingga menyerupai lingkaran.
Akhirnya anjing tidak lagi mampu membedakan antara lingkaran dan elips. Pada
saat yang sama anjing berubah secara drastis dari penurut menjadi galak dengan
mencabik-cabik alat eksperimen ketika dia dibawa ke ruangan eksperimen. Menurut
Pavlov, anjing itu mengalami “neurosis eksperiental” . Manusiapun akan
mengalami hal yang sama bila dihadapkan pada situasi stres yang tak teratasi..
Prilaku maladaptive didefinisikan sebagai reaksi yang tidak dikehendaki
akibat proses belajar yang keliru atau stres yang berlebihan. Jadi segala sesuatu yang dianggap gangguan
jiwa menurut mereka tidak ada hubungannya dengan jiwa . Prilaku maladaptive dapat juga ditimbulkan oleh perasaan negatif
depresi, kecemasan, atau penderitaan sebagaimana ditulis oleh Jalaluddin Rahmat
tentang sebuah eksperimen yang dlakukan oleh Watson dan rekannya Rosalie Raynen
yang bekerja di Johns Hopkins. Percobaan dilakukan pada seorang anak bernama
Albert, B., seorang bayi sehat berusia sebelas bulan yang tinggal di rumah perawatan
anak cacat yang kebetulan ibunya bekerja di sana . Pada percoabaan itu seekor tikus
diberikan pada Albert, dan ia langsung meraihnya. Namun ketika dia menyentuh
tikus kecil itu, Watson memukul baja dengan palu tepat di belakang kepala
Albert. Albert melonjak, jatuh dan berlari ketakutan. Haln ini dilakukan
berulang kali hingga akhirnya Albert sangat takut ketika melihat tikus bahkan
dia telah mengembangkan rasa takutnya pada setiap yang berbulu. Lihat,
Jalaluddin , op. cit., h.
xv- xvi
[15]
Dimensi spiritual disebuit Frankl sebagai noos, yang mengandung semua
sifat khas manusia, seperti keinginana untuk mencati makna, orientasi tujuan,
kreativitas, imajinasi, intuisi, keimanan, visi, kemampuan mencintai diluar
kecintaan yang visio-psikologis, kemampuan mendengarkan hati nurani
diluar kendali super ego. Didalamnya terkandung pembebasan diri dan
kemempuan keluar memandanga diri, transendensi diri, kemampuan mencintai dan
mengejar tujuan yang diyakini. Dalam dunia spirit, kita tidak dipandu karena
kita yang memandu dan mengambil keputusan.. Reservoir ini ada pada
setiap orang, apa pun agama dan keyakinannya dan kebanyakan terdapat pada alam
tak sadar kita. Lihat Jalaluddin, op.
cit.,
[30]
Danah Zohar menambahkan bahwa:” Segala sesuatu memiliki tingkat proto
kesadaran masing-masing, tetapi hanya struktur seperti otaklah yang
memungkinkan kesadaran penuh. … kesadaran manusia memiliki akar-akar di dalam
alam semesta ini. Kecerdasan spiritual menempatkan kita si dalam kosmos yang
lebih besar dan hidup lebih jadi bermakna dan bertujuan di dalam konteks proses evolusi kosmis yang
lebih luas. Zohar menegaskan lagi, “SQ, memberi pikiran kualitas
transenden yang mengakarkan kita pada
semua kehidupan ini . “ pusat diri” berakar pada sesuatu semacam ketaksadaran
kolektif versi Jung . Kita tidak sendirian. Kecerdasan katanya tidak
mengisolasi kita di dalam dunia pengalaman manusia saja, akan tetapi ada
konteks makna dan nilai yang lebih luas untuk mendapatkan pengalaman
manusia. ibid.h.
[35] Kecendrungan dan kemampuan menampilkan ciri-ciri dari kategori yang
berbeda-beda dari tipe kepribadian merupakan tanda kedewasaan personal dan SQ
yang tinggi. Pribadi yang sangat tidak dewasa mungkin hanya mengembangkan satu gaya ego (satu kelopak
teratai), dan tidak mampu menapilkan ciri-ciri yang berimbang dari enam tipe
kepribadian. Ciri-ciri ego atau tipe kepribadian konvensional cendrung bersikap
hati-hati, mengikuti arus, metodis, efesien dan cermat, defensif dan tidak
fleksibel, pemalu, tidak mau menonjalokan diri, patuh, teratur, tekun, prakris,
cermat, bisa juga terlalu sopan dan tidak imajinatif. Mereka suka mengikuti
konvensi. Kepribadian sosial bercirikan suka dan menikmati pergaulan, ramah,
dermawan, suka menolong dan baik hati, gampang berempati dan sangat persuasif,
penyabar dan suka bekerja sama, idealistis, bertanggung jawab, bijaksana dan
hangat. Kepribadian investigatif suka menyelidiki, rasional, intelektual,
analitis, selalu ingin tahu, teliti, kritis, senang menyendiri, introspektif,
pemalu, sederhana, hati-hati, dan tidak mau terbawa emosi. Kepribadian artistik
bercirikan, bisaanya tidak rapi, emosinal, impulsif dan tidak praktis,
idealisme mereka sangat mempengaruhi sedemikian rupa, suka mandiri dan
introspektif, tetapi tidak kesulitan untuk mengekspresikan imanjinatifnya,
orisinal, intuitif, peka dan terbuka. Kepribadian realistis cenderung keras
kepala, matrealistis, prakris, cenderung menjauhkan diri dari hubungan sosial,
bersikap wajar dan tidak dibuat-buat, suka bicara terus terang, cenderung
mengikuti arus, tekun dan cermat walaupun jarang memunculkan pandangan
orisinal, lebih menyukai pekerjaan fisik. Tipe kepribadian pengusaha dikenal
gigih, menyenangkan, ambisius, sering mendominasi, menyukai petualangan yang berenergi,
pencari kesenangan, suka coba-coba, optimis, sering menularkan rasa percaya
diri pada orang lain, mudah bergaul dan suka bicara. ibid
[42]
Pertanyaan ini agaknya juga terilhami oleh Michael Foucault, penulis buku psychology
From 1850-1950. Foucault agaknya
ingin menyindir bahwa sejarah psikologi mengandung kontradiksi; di satu sisi
psikologi menginginkan dirinya menjadi sains objektif seperti biologi; tetapi
di sisi lain realitas manusia ternyata tidak bisa disederhanakan sekadar
menjadi objek ilmiah. Baca : Cecep Ramli Bihar Anwar, Relung-relung
Tercerahkan; Perspektif Psikologi Sufi, dalam Jalaluddin Rahmat dkk, Menyinari
Relung-relung Ruhani; Mengembangkan EQ dan SQ cara sufi, ( Jakarta:
Hikmah, 2002),
[43] Ibid.
[44]
Komaruddin Hidayat, Psikologi Sufi; Sebuah Pengantar, dalam Jalaluddin
Rahmat, ibid.,