Jumat, 02 November 2012

Islam dan Pendewasaan Kultural


ISLAM DAN PENDEWASAAN KULTURAL
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA
A.      Pendahuluan

Manusia adalah makhluk yang berbudaya. Budaya itu sendiri dalam kamus Arab disebut tsaqafah, dan peradaban disebut dengan hadharah. Dalam Mu’jam al-Wasith, kebudayaan (tsaqafah) diartikan sebagai ilmu pengetahuan dan berbagai bidang kehidupan manusia yang membutuhkan kecakapan. Secara bahasa, tsaqafah itu sendiri berarti kepintaran, kecakapan, kecerdasan, atau pelurusan. (Qardhawi, 2001: 20)
     Sebagaimana ditegaskan Qardhawi, ada kalangan yang membatasi tsaqafah sebatas bidang pengetahuan seperti hal-hal yang berhubungan dengan ilmu, pemikiran, etika, dan seni. Namun ada pula ulama yang memperluas konsepsi tsaqafah sehingga tidak terbatas pada bidang pengetahuan dan pemikiran, tetapi juga mencakup bidang perasaan yang tidak lain adalah seni, bidang keruhanian yaitu agama, segi praktek atau prilaku ber-agama dan akhlak, bahkan juga mencakup bidang materi dalam kehidupan ini. Dengan demikian, tsaqafah adalah berbagai pemikiran, pengetahuan, dan pencapaian yang dicampur dengan nilai-nilai, keyakinan, dan perasaan yang sering disebut dengan akhlak dan ibadah, adab dan prilaku, juga ilmu, seni, hal-hal yang bersifat materi, dan spiritual. (Qardhawi, 2001: 20)
     Lebih jelasnya, apakah makan, berjalan, kawin itu adalah budaya?
     Jika yang dimaksud makan itu sekedar suapan, kunyahan, dan proses pencernaan, dan Jika yang dimaksudkan dengan berjalan itu sebatas melangkahkan kaki, dan kawin itu dimaksudkan dengan sebatas hubungan kelamin, maka ini semua bukan budaya (tsaqafah), karena hal ini dilakukan oleh manusia dan binatang, bahkan dalam hal ini binatang lebih unggul dibanding manusia.
     Tapi jika yang dimaksudkan dengan makan, berjalan, kawin dan lainnya berkaitan dengan nilai, misalnya, makanlah dengan tangan kanan, makan yang halal lagi baik, awali dengan basmalah dan akhiri dengan hamdalah, maka ini baru dapat dikatan dengan budaya.
Segala yang bersifat materi dan perilaku akan berubah menjadai budaya (tsaqafah) apabila ia berkaitan dengan nilai, tujuan yang mulia, kriteria dan prilaku yang akan meningkatkannya dan memindahkannya dari makna hewani ke cakrawala inisani.  (Qardhawi, 2001: 24)
     Dalam kaitan budaya dengan peradaban seperti yang juga disinyalir oleh Qardhawi, ada sebagian kalangan yang berusaha membedakannya. Di antara perbedaan itu dikatakan, budaya berkaitan dengan aspek individu, sedangkan peradaban berkaitan dengan aspek sosial. Atau budaya tidak dikatakan berkaitan dengan materi, sedangkan peradaban berkaitan dengan materi. Dalam konteks ini, Qardhawi tidak membedakan antara budaya dengan peradaban dan kalau masih harus dibedakan juga, maka dengan melihat keluasan cakupan konsepsi budaya yang diberikannya, dapatlah dikatakan bahwa peradaban merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri.
Berangkat dari konsepsi budaya di atas, menarik untuk ditela’ah berbagai fakta dan fenomena budaya terutama dalam hubungannya dengan agama di Indonesia. Sering muncul kesan wajah muram dan kadang terlihat babak belur dalam pentas kehidupan masyarakat Indonesaia belakangan ini. Di satu sisi, muncul fenomena yang ekstrim dan cenderung dinilai berlebih-lebihan dalam mengapresiasi idealisme Islam, seperti pengahancuran tempat maksiat disertai pemukulan si pelaku maksiat. Kadang juga sering ditemukan sikap merasa benar sendiri dan menyalahkan bentuk-bentuk perbedaan pemahaman di tengah masyarakat, asal beda dianggap bid’ah misalnya yang sering disebabkan karena tidak terpahaminya dengan baik apa itu budaya dan mana yang substansi ajaran agama itu sendiri.
Sementara itu pada sisi yang lain juga muncul sikap cuek dan malah tidak mau tau dengan idealisme budaya Islam dan kadang sering tampil asal ikut-ikutan seperti perayaan tahun baru masehi yang berlebih-lebihan, valentine day di kalangan remaja yang sesungguhnya tidak sesuai dengan spirit dan idealisme tsaqafah Islami. 
Dengan demikian, sangat dibutuhkan spirit dan pemahaman yang tepat tentang budaya dan Islam itu sendiri sehingga muncul sebuah apresiasi idealisme Islam dalam konteks berbudaya yang betul-betul sesuai dengan visi Islam itu sendiri yaitu sebagai rahmatan lil’alamin yang membawa kesejukan dan kedamaian hidup.
 
B.       Awal Mula Kebudayaan Islam di Indonesia
Menyangkut kedatangan Islam ke Nusantara, terdapat berbagai teori dalam diskusi panjang yang berpokok pada tiga permasalahan utama : tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Berdasarkan riwayat-riwayat yang dikemukakan historiografi, dapat diambil kesimpulan terkuat bahwa Islam datang ke Nusantara berasal dari Arabia pada abad pertama Hijri atau pada abad ke 7 Masehi. Para ilmuan telah menyepakati ini pada seminar yang diselenggarakan pada tahun 1969 dan 1978. (Azra, 1998:28)
Kesimpulan ini mematahkan teori-teori yang menyebutkan Islam datang ke Nusantara berasal dari India dan Gujarat pada abad ke-12 atau 13 Masehi seperti teori  dari sejumlah sarjana Belanda, memegang keyakinan bahwa Islam yang datang ke Nusantara berasal dari anak benua India dan Gujarat. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Pijnappel dari Universitas Leiden.  Teori ini kemudian didukung oleh Hurgronje dengan hujjahnya; begitu Islam berpijak kokoh di beberapa kota pelabuhan Anak Benua India,  Muslim Deccan---banyak di antara mereka tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara---datang ke Dunia Melayu Nusantara sebagai penyebar Islam pertama, baru kemudian disusul oleh orang-orang Arab. Kedatangan mereka ini berlangsung pada Abad 12. Sarjana Belanda lain, Moquette, berkesimpulan bahwa Gujaratlah daerah asal Islam Nusantara. Alasannya adalah adanya kesamaan batu nisan di Pasai dengan yang ada di Cambay, Gujarat. Fatimi justru berkesimpulan lain, Islam katanya berasal dari Bengal karena kesamaan batu nisan antara Bengal dengan yang ditemui di Nusantara. Namun Marrison membantah kedua teori ini karena pada sa’at Islamisasi Samudera Pasai, yang raja pertamanya yang wafat pada 698/1297, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Barulah 1 tahun sesudahnya Cambay, Gujarat ditaklukkan kekuasaan Muslim. ( Azra, 1998:25-26)
Dalam kaitan dengan asal kedatangan dan pembawa Islam ke Nusantara, juga terdapat beberapa teori. Arnold mengatakan bahwa Islam datang dari Coromandel, Malabar dengan alasan kesamaan dalam mazhab fiqih yaitu Syafi’iyyah. Pendapat ini juga disepakati oleh Marrison. Akan tetapi menurut Arnold, selain Comandel dan Malabar, Islam juga langsung datang dari Arabia. Dalam pandangannya, para pedagang Arab yang dominan dalam perdagangan Barat-Timur pada abad pertama Hijri atau abad 7 Masehi, juga menyebarkan Islam pada setiap daerah yang disinggahinya yang di antaranya adalah Nusantara. (T.W. Arnold, 1913: 364-365)
Teori Islam yang datang langsung Arabia juga dipegang oleh Crawfurd, serta Niemann dan de Hollander dengan sedikit merevisi pendapat Kejzer yang mengatakan Islam Nusantara datang dari Mesir dengan alasan kesamaan mazhab fiqih. Lebih tegas dua ilmuan yang disebutkan terakhir ini menegaskan bahwa Islam Nusantara bukan datang dari Mesir, akan tetapi dari Hadhramawt. Teori ini juga dikuatkan oleh Naquib al-Attas. All-Attas beralasan bahwa adanya impor batu Nissan dari Gujarat sebagaimana dilansir oleh sarjana Belanda di atas, sesunguhnya lebih didasarkan karena dekatnya jarak geografir kedua daerah ini lebih dekat ketimbang Arabia. (Azra, 1998: 28)
Menarik dikemukan di sini, dalam kajiannya, Azra mengambil kesimpulan; pertama, Islam dibawa langsung dari Arabia; kedua, Islam dibawa oleh penyiar “professional” ---yakni mereka yang memang khusus bermaksud menyebarkan Islam; ketiga, yang mula-mula masuk Islam adalah para penguasa; dan keempat, kebanyakan penyiar profresional ini datang ke Nusantara pada pada abad ke 12-dan 13. (Azra, 1998:30-31).
Dalam kitannya dengan kesimpulan ketiga Azra yang menyimpulkan bahwa yang mula-mula masuk Islam adalah para penguasa, dibutuh analisis kritis juga. Karena ada kemungkinan lain yang masuk Islam pertama itu bisa jadi bukannya dari kalangan penguasa. Hal ini disebabkan oleh karena yang datang untuk pertama kali ini lebih kuat diyakini dari kalangan para pedagang Muslim, maka tentunya yang pertama kali masuk Islam adalah dari kalangan masyarakat pribumi biasa dan para pedagang-pedagang Nusantara. Baru pada tahap berikutnya sebagaimana pendapat Azra, akselerasi penyebaran Islam baru tampak secara nyata pada abad ke 12-16. Hal ini dimungkinkan oleh karena telah berdatangannya para penyiar professional dan para sufi yang memainkan peranan besar terhadap konversi agama besar-besaran penduduk Nusantara. (Rivauzi, 2007:125)
Teori yang lebih aplikabilitas tentang konversi besar-besaran penduduk Nusantara terhadap memeluk Islam sebagaimana dijelaskan oleh Azra adalah teori yang dikemukakan oleh A.H Johns dengan mempertimbangkan kecilnya kemungkinan bahwa para pedagang memainkan pengaruh besar dalam penyebaran Islam, ia mengajukan bahwa para sufi pengembaralah yang terutama melakukan penyebaran Islam dan berpengaruh besar terhadap Islamisasi besar-besaran penduduk Nusantara. Hal ini berlangsung setidaknya mulai dari abad ke-13. Faktor utama keberhasilan para sufi ini adalah kemampuan para sufi menampilkan Islam dalam kemasan yang atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian dengan Islam atau kontiniutas, ketimbang  perubahan dalam kepercayaan dan praktek keagamaan lokal secara radikal. (Azra, 1998:32-33 )
Alasan yang dipakai Johns adalah banyaknya ditemukan sumber-sumber lokal yang mengaitkan pengenalan Islam ke kawasan ini dengan guru-guru pengembara dengan karakteristik sufi yang kental. Karakteristik mereka secara rinci adalah,“ Mereka adalah para penyiar (Islam) pengembara yang berkelana di seluruh dunia yang mereka kenal, yang secara sukarela hidup dalam kemiskinan; mereka sering berkaitan dengan kelompok-kelompok dagang atau kerajinan tangan , sesuai dengan tarekat yang mereka anut; mereka mengajarkan teosofi sinkretik yang kompleks, yang umumnya dikenal baik orang-orang Indonesia,  yang mereka tempatkan ke bawah (ajaran Islam), (atau) yang merupakan pengembangan dari dogma-dogma pokok Islam; mereka menguasai ilmu magis, dan memiliki kekuatan untuk menyembuhkan; mereka siap memelihara kontiniutas dengan masa silam, dan menggunakan istilah-istilah dan unsure-unsur kebudayaan pra Islam dalam konteks Islam”. Johns menguatkan hujjahnya bahwa tarekat sufi tidak menjadi ciri dominan dalam perkembangan dunia Muslim sampai jatuhnya Bagdad ke tangan lascar Mongolia pada 656/1257.  (A.H. Johns, 1961: 10-23)
Sebagimana juga Gibb yang mencatat bahwa setelah kejatuhan Bagdad, kaum sufi memainkan peranan  kian penting dalam memelihara keutuhan dunia Muslim  dengan menghadapi tantangan kecendrungan pengepingan kawasan-kawasan kekhalifahan ke dalam wilayah-wilayah linguistic Arab, Persia, dan Turki. Pada masa ini tarekat sufi secara bertahap menjadi intitusi yang stabil dan disiplin, dan mengembangkan afiliasi dengan kelompok-kelompok dagang dan kerajinan tangan (thawa’if) , yang turut membentuk masyarakat urban. (H.A.R Gibb, 1955:130)
Bahkan lebih awal lagi, Bulliet menyatakan bahwa pada abad ke 10 dan 11 ketika Bagdad mengalami kemerosotan, tokoh-tokoh sufi banyak melakukan perpindahan dan pengembaraan ke berbagai wilayah yang ia kenal. Hal inilah yang diistilahkannya dengan kebangkitan para ulama akan kesadaran mereka tentan krusialnya peran mereka dalam menyebarkan dan memelihara keutuhan pengaruh Islam. (R.W. Bulliet, 36)
Dalam hal ini, Hodgson menyebutkan telah terjadinya internasionalisasi “universalisasi” Islam Sunni pada pada abad ke 11. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya ulama Sunni Bagdad bagian barat yang melakukan pengembaraan. Lebih mencolok katanya, di Persia dalam periode yang sama, Persia kehilangan banyak ulama Sunni. Inilah yang menyebabkan bertumbuhnya Syi’ah di Persia. Migrasi ini ikut ambil andil besar dalam proses konversi besar penduduk yang mendiami anak benua India dan Eropa Timur dan Tenggara dan Nusantara pada abad 10 dan akhir abad 13.  (M.G.S. Hodgson, 1974:1-368)
Berdasarkan hal di atas, menurut Azra, sejak kebangkitan Islam sampai paruh kedua abad 17, telah terbentuk kontak hubungan yang erat antara orang-orang Nusantara dengan pusat-pusat pengetahuan Islam, dalam hal ini Timur Tengah. Jalinan hubungan ini mengambil beberapa bentuk serta fase. Dalam fase pertama, yaitu sejak akhir abad 8 hingga abad 12, bentuk hubungan yang terjalin , umumnya berkenaan dengan perdagangan. Inisiatif hubungan ini lebih diprakarsai oleh para pedagang muslim Timur Tengah, khususnya Arab dan Persia. Pada fase berikutnya, samapai akhir abad ke 15, hubungan kedua kawasan ini mulai menyentuh aspek-aspek yang lebih luas, yaitu menyentuh aspek penyebaran agama Islam. Tahap ketiga, yaitu sejak abad 16 hingga paruh kedua abad 17, hubungan kedua kawasan lebih bersifat politis, di samping, tentunya, keagamaan. Pada periode ini semakin banyak Muslim Nusantara yang datang ke tanah suci, dan yang pada gilirannya mendorong terciptanmya jalinan keilmuan antara Timur Tengah dengan Nusantara. Hubungan ini tentunya, ulama Timur Tengah berperan sebagai guru dan Muslim Nusantara sebagai murid. Dalam bentuk hubungan inilah yang nantinya dipandang oleh Azra, terciptanya semangat pembaharuan di bidang politik dan keagamaan yang nantinya merembes ke Nusantara, terutama sejak paruh abad 17 hingga abad ke 18, ketika murid-murid Haramayn (Makkah dan Madinah) tersebut banyak kembali ke Nusantara (kampung halamannya). Penting dicatat di sini, pada abad 16-17 ini terjadi pertarungan politik antar Portugis dengan Dinasti Utsmani di kawasan Lautan India. Kaum Muslim Nusantara lebih mengambil inisiatif  untuk menjalin hubungan politis dengan penguasa Utsmani, dan sekaligus ikut mmemainkan peran aktif dalam perdagangan di Lautan India. Pada abad ini hubungan politik dan keagamaan juga terjalain dengan penguasa Haramayn. Faktor-faktor ini memberikan kontribusi dalam kelancaran hubungan keilmuan Timur Tengah dengan Nusantara  (Lihat, Azra dalam Oman, 1999:11)
Dalam konteks ini, Azra memasukkan Abdurrauf Singkel sebagai tokoh kunci dalam konteks dinamika pembaharuan ke-Islaman di Nusantara di antara dua tokoh lainya yaitu, Nuruddin ar-Raniri di Aceh, dan Muhammad Yusuf al-Maqassari, yang lahir di Sulawesi Selatan, dan kemudian memuali karirnya di Jawa Barat, sebelum kemudian berkelana hingga ke Arabia, Srilanka, dan Afrika Selatan. Tiga ulama ini, merupakan beberapa di anatar mereka yang termasuk dalam komunitas, yang oleh sumber-sumber Arab disebut sebagai Ashāb a-Jāwiyyīn (saudara kita orang Jāwi) di Haramayn, Makkah dan Madinah. Jasa murid-murid Haramayin ini yang sangat signifikan adalah dalam memberikan dasar pijakan bagi semangat pembaharuan dalam berbagai masyarakat muslim di Nusantara pada abad 17-18. Pertukaran gagasan serta pemeliharaan wacana intelektual pada masa ini sangat penting bagi sejarah pemikiran ke Islaman di Nusantara. Gejolak dan dinamika yang muncul dari hubungan dan kontak yang intens melalui jaringan ulama tersebut, memunculkan efek revitalisasi Islam dalam kehidupan pribadi dan masyarakat Muslim Melayu-Indonesia. Sebagaimana dijelaskan oleh Azra, ciri yang sangat menonjol dari corak keagamaan yang diperjuangkan oleh para ulama decade ini adalah semangat rekonsiliasi antara kubu yang sangat berkomitmen terhadap Syari’ah dengan kubu ulama ahli Haqiqat (tasawuf). Mereka adalah ulama-ulama yang ahli di bidang ilmu Syari’ah dan Haqikat sekaligus. Perjauangan dakwah yang kemudian mereka lakukan sekembalinya mereka dari tanah Arab, kemudian bersentuhan dengan berbagai persoalan dinamika politik, yang pada giliranya, mereka menjadi lokomotif utama dalam mensosialisasikan pemikiran keagamaan serta menawarkan solusi kemasyarakatan termasuk di dalamnya konflik pemahaman di tengah medan pemahaman keagamaan masyarakat muslim. Keterlibatan aktifitas mereka menyentuh jantung dan nadi pemahaman keagamaan masyarakat seperti melalui tulisan-tulisan, keterlibatan mereka dibidang pemerintahan, pendidikan, peradilan dan dakwah (Azra dalam Oman,1999: 12)
Khusus terhadap Abdurrauf, dia mampu menembus inti jaringan ulama di Haramayn yang jauh melampaui ar-Raniri dan al-Maqassari. Abdurrauf Singkel memnpunyai banyak mata rantai yang lansung dan kokoh dengan para tokoh utama dari jaringan ulama. Dari Abdurrauf inilah dapat disaksikan dengan jelas silsilah-silsilah intelektual dan spiritual, yang menempatkan Islam di wilayah Nusantara di atas peta penyebaran global pembaruan Islam. Dari silsilah yang berasal dari Abdurrauf kemudian didapati penyebaran ke Islaman yang menyebar ke seantero Nusantara.
C.       Fenomena Islam Indonesia Pasca Kemerdekaan
Setelah merdeka pada paroh abad 20, bangsa Indonesia mulai dihadapkan dengan berbagai persoalan besar. Derita akibat penjajahan masih dirasakan sakit oleh anak bangsa yang mendiami bumi khatulistiwa ini. Suasana politik yang masih labil, persoalan polemik ideologi berbangsa dan bernegara yang masih panas, ekonomi dan budaya dan semua aspek kehidupan berbangsa sangat membutuhkan pembenahan.
Penjajahan memang sangat kejam karena menempat bangsa terjajah pada derjat yang rendah. Rakyat terjajah diperlakukan sebagai sub-human, tidak sebagaimana manusia penuh dan utuh. Sebagaimana dikemukakan oleh A.Syafi’i Ma’arif, imperialisme menampakkan berbagai bentuk: meliter, politik, ekonomi, dan kultural, dengan watak utamanya dominasi dan eksploitasi oleh suatu bangsa atas bangsa lain (Ma’arif, 1997:168)
Sampai abad 21 ini, walaupun dominasi meliter bangsa lain terhadap Indonesia sudah hilang, namun dominasi ekonomi, sosial budaya dan lainnya masih terasa meremas dan mengacak-acak kehidupan berbangsa. Sehingga, jati diri bangsa betul-betul diuji. Padahal bangsa yang benar-benar merdeka adalah bangsa yang berdaulat lahir dan batin, ke dalam dan ke luar.
Dalam masalah budaya, jati diri kita sebagai bangsa sedang menghadapi gelombang peradaban materialistik, sekularistik, hedonistik, bahkan ateistik. Pengalaman pahit di masa penjajahan berabad-abad menyebabkan anak-anak bangsa ini sulit untuk bangkit percaya diri, berdiri di atas kaki sendiri kemudian membingkai peradaban dan kebudayaan yang bermartabat. Koropsi, manipulasi, mementingkan diri sendiri seolah-olah sudah menjadi budaya bangsa ini.
Kasus contek massal yang diintstruksikan oleh guru-guru kepada anak-anak didiknya yang terjadi pada juni 2011 di salah satu SD di Surabaya, merupakan cerminan kebobrokan budaya bangsa ini. Kalau bangsa ini mau jujur, diperkirakan kasus itu hampir terjadi pada semua daerah Indonesia walupun data akuratnya tidak ada. Bukankah pendidikan adalah pilar utama membangun bangsa yang memiliki peran ganda? Pendidikan merupakan produk dari budaya sekaligus sebagai wadah membentuk dan melahirkan kebudayaan.
D.      Peranan Islam dalam Pendewasaan Kultural di Indonesia

1.    Perbaikan Akhlak
Dekadensi moral yang labil pada dasarnya merupakan cerminan dari budaya bangsa yang sedang sakit. Langkah-langkah yang harus ditempuh adalah melakukan upaya bersama-sama dalam memperbaiki suasana mental manusia Indonesia agar tidak terus menerus menempuh jalan yang bengkok dan korup. Untuk kepentingan ini, jalan satu-satunya adalah agama. Pancasila yang kita jadikan sebagai dasar dan ideologi bangsa, tanpa bantuan agama akan kekeringan sumber nilai transendentalnya. (Ma’arif, 1997:172). Moralitas pancasila akan hidup dengan menghidupan moralitas agama. Sehingga, agama dan negara di Indonesia tidak bisa dipisahkan walaupun bisa dibedakan.
Sebagai bahan renungan, bangsa Indonesia perlu mengambil pelajaran dari  masyarakat yang sangat industrial, seperti Amerika. Masyarakat Amerika, menurut pengamatan Jack Kemp, mantan menteri Perumahan dan Pembangunan Kota, Amerika sudah kelabu dari sisi moral. Kemp menulis: “A society that is indifferent to its moral and spiritual life is indifferent to its future”.  (Masyarakat yang tak peduli terhadap kehidupan moral dan spiritualnya, berarti tidak peduli terhadap masa depannya).  (Jack Kemp, 1995: 34).
Bangsa Indonesia tentunya tidak harus mengalami kehancuran moral seperti yang terjadi di Amerika. Hal ini tentu hanya bisa diwujudkan kalau semua elemen bangsa mau menyadarinya.
Dalam konteks di atas, Ma’arif menulis, bahwa agama harus dipahami secara substantif agar pesannya dapat didaratkan secara bermakna. Sikap beragama yang artifisial tidak akan menolong keadaan bangsa yang kusut. Sebuah agama, yang sudah kehilangan fungsi transendentalnya pada diri pemeluknya, tidak akan berdaya memberi kekuatan  moral kepada peradaban. Ketika fungsi ini tersingkir, maka kegalauan dan kebiadaban peradaban tidak mungkin dibendung lagi.(Ma’arif, 1997:176). Maraknya dekadensi moral pada semua lapisan masyarakat yang dapat dengan mudah disaksikan merupakan bukti dari iklim tertindasnya prinsip moral-transendental yang ada pada agama itu.
Berangkat dari fakta di atas, maka tidak ada jalan lain untuk membenahi kondisi bangsa ini selain membingkainya dengan moralitas agama.
2.        Memberikan Pondasi Pendewasaan Kultural

Islam sebagai sebuah doktrin adalah satu. Namun sebagai ekspresi kultural, Islam itu beragam. Islam bisa saja tampil dalam rona muka yang bervariasi. Ada Islam Indonesia yang berbingkai Pancasila, Islam Pakistan, Islam Arab, Islam Malaysia dan lainnya. Bermacam-macam ekspresi kultural ini muncul sebagai akibat yang logis dari lingkungan sejarah dan feografis yang berbeda-beda. Sejauh Islam kultural ini tidak melanggar prinsip tauhid dan prinsip-prinsip dasar Islam, maka keberagaman tersebut seyogyanya diterima sebagai bentuk penafsiran ke-Islaman yang berjalan secara alamiah. Yang perlu dijaga adalah agar wajah-wajah Islam yang beragam tersebut tidak merusak bangunan tauhid dan persaudaraan universal umat. Mereka yang menganggap Islam sebagai sistem kultur yang monolitik adalah keliru dan perlu diluruskan pemahamannya, karena mereka buta untuk melihat kekayaan Islam sebagai ajaran yang universal sebagaimana telah termanifestasikan dalam pelbagai periode sejarah. (Ma’arif, 1997:15-25)
Begitu juga halnya dengan pemahaman keagamaan umat Islam juga tampil dalam berbagai bentuk rona yang beragam. Munculnya mazhab-mazhab fikih, apresiasi pemahaman keagamaan Ormas Islam semisal Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Perti dan lain sebagainya merupakan contoh keberagamaan yang harus disikapi dan diterima dengan lapang dada sebagai bentuk dari rahmat Allah yang disyukuri. Tidak boleh perbedaan-perbedaan tersebut membawa kepada perpecahan umat.
Namun, pada kali yang lain, perbedaan paham keagamaan akan menjadi tidak dapat ditolerir apabila perbedaan tersebut berada pada tingkat ajaran-ajaran dasar atau prinsip-prinsip dasar Islam. Prinsip-prinsip tersebut adalah hal-hal dasar yang berhubungan dengan prinsip-prinsip keimanan dan ke-Islaman sebagaimana termaktup pada rukun iman dan rukun Islam. Pada wilayah ini tidak boleh ada perbedaan paham. Kalau seseorang telah mengaku beragama Islam, maka keyakinannya harus satu dan wajib sama dengan muslim lainnya; misalnya keyakinan bahwa tidak ada tuhan selain Allah Yang Esa Zat, Shifat dan Af’al-Nya serta meyakini Nabi Muhammad adalah rasulullah. Begitu juga halnya dengan aspek rukun Islam; dia harus ta’at dan patuh menjalankan perintah Allah untuk shalat lima kali sehari dan semalam, wajib puasa pada bulan Ramadhan, kewajiban bayar Zakat dan haji bagi yang mampu dan lain sebagainya. Hal-hal ini merupakan ajaran dasar dalam Islam sehingga tidak boleh ada perbedaan dalam pemahaman dan keyakinan karena sudah diatur tegas oleh Allah serta rasul-Nya dan ini tidak membutuhkan ijtihad.
Muncul pertanyaan, lalu bagaimana dengan perbedaan semisal dalam hal penetapan 1 Ramadhan, 1 Syawal, ke -jaharan Basmalah dalam membaca al-Fatihah, qunut dalam shalat shubuh, perbedaan jumlah shalat tarawih? Permasalahan tersebut termasuk aspek ijtihadiyah atau furu’iyah dalam kehidupan beragama dan itu dibolehkan selama perbedaan tersebut punya landasan syar’i dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar’i.
Untuk melengkapi uraian di atas, Yusuf Qardawi menjelaskan karakteristik muslim dan kebudayaanya (Qardawi, 2001: 35-54) . Karakteristik tersebut adalah:
a.    Rabbaniyah
Ia adalah kebudayaan yang terpadu dengan aspek ke-Tuhanan. Visi keimanan, khususnya tauhid menyatu dengan seluruh sisi kebudayaan tersebut, mengalir di dalamnya sebagaimana aliran darah dalam-pembuluh-pembuluh darah kapiler. Sehingga, sya’ir, sains, falsafah, seni dan lain sebaginya akan dijiwai oleh nilai tauhid sebagai ruhnya yang akan menjadikan kebudayaan tersebut membawa rahmat dan kemulyaan pada umat manusia.
b.    Akhlaqiyah
Kebudayaan Islam memiliki dimensi dan tujuan moral yang tinggi. Akhlak dalam Islam menempati posisi yang sangat mulia dan berharga. Sehingganya, salah satu missi kerasulan itu adalah menyempurnakan akhlak umat manusia.
c.    Insaniyah
Karakteristik ini menekankan bahwa kebudayaan itu dapat dikatakan sebagai kebudayaan Islam apabila kebudayaan tersebut menempatkan dan menjadikan manusia pada kemuliyaannya yang sesungguhnya. Kebudayaan yang memelihara fitrah manusia, serta hak-hak asasinya yang theosentris. Allah sendiri telah memuliyakan manusia sebagai makhluk yang terhormat, maka seyogyanyalah manusia memelihara kemuliayaan dirinya dengan tampil berbeda dengan makhluk lainnya yang tidak berakal budi.
d.    Al-‘Alamiyah
Al-‘Alamiyah maksudnya adalah bahwa kebudayaan Islam itu bersifat universal. Walaupun kebudayaan Islam itu bisa tampil dalam bentuk yang beragam, namun nilai-nilai budayanya sangat luas dan menjadi rahmat bagi semesta alam.
e.    At-Tasamuh
Di antara hal yang menunjukkan sifat universalitas Islam itu adalah sifat toleransi yang ada di dalamnya. Dua hal yang di ajarkan Islam berkenaan dengan pentingnya toleransi ini. Pertama, bahwa perbedaan umat manusia dalam agama dan lainnya terjadi atas kehendak Allah (Hud: 118-119). Kedua, bahwa perhitungan atas kesesatan dan atau penyelewengan yang dilakukan umat manusia diserahkan pada hukum Allah dan Allah adalah Yang Maha Menghakimi, bukan kehendak nafsu manusia (Asy-Syura:15). Kedua hal inilah yang mendorong umat Islam untuk mampu berbeda dalam keberagaman.
f.     Keberagaman
Keberagaman dalam rona dan tampilan sebagai manivestasi apresiasi keta’atan kepada Allah dan Rasul-Nya selama perbedaan tersebut memiliki dasar keta’atan syar’iyyah kepada Allah.
g.    Al-Wasathiyah
Sifat keberagaman di atas disempurnakan dengan al-wasathiyah (pertengahan). Kebudayaan merepresentasikan jalan pertengan dan keseimbangan tidak ekstrim.
h.    At-Takamul
Di antara karaktristik berikutnya ini adalah saling menyempurnakan. Antara satu bagian dengan bagian lainnya. Wawasan bahasa mendukung wawasan agama, humaniora dan lainnya. Islam tidak menciptakan kebudayaan dari nol, namun menyempurnakan kebudayaan-kebudayaan yang ada sebagaimana al-Qur’an menyempurnakan kitab-kitan samawi yang datang sebelumnya.
i.      Al-I’tizaz bi adz-Dzat
Berikutnya karakteristik kebudayaan Islam itu adalah bahwa ia bangga dengan kepribadian dan keistimewaannya, dengan sumber-sumbernya yang Rabbani, tujuan-tujuan kemanusiaannya, orientasi dan celupan moralnya. Kebudayaan Islam bukan kebudayaan yang mengekor tetapi memimpin dinamika budaya dan peradaban umat manusia.

E.     Kesimpulan

Moralitas budaya akan hidup dengan menghidupan moralitas agama. Sehingga, agama dan budaya di Indonesia tidak bisa dipisahkan walaupun bisa dibedakan.
Islam sebagai sebuah doktrin adalah satu. Namun sebagai ekspresi kultural, Islam itu beragam. Bermacam-macam ekspresi kultural ini sejauh tidak melanggar prinsip tauhid dan prinsip-prinsip dasar Islam, maka keberagaman tersebut seyogyanya diterima sebagai bentuk penafsiran ke-Islaman yang berjalan secara alamiah.
Yang perlu dijaga adalah agar wajah-wajah Islam yang beragam tersebut tidak merusak bangunan tauhid dan persaudaraan universal umat. Islam bukan sebagai sistem kultur yang monolitik karena Islam itu kaya sebagai ajaran yang universal sebagaimana telah termanifestasikan dalam pelbagai periode sejarah Islam.


Daftar Bacaan:

Azra, Azyumardi, 1998, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan VIII, Bandung: Mizan, Cet 1V
Fathurrahman, Oman, Tanbih al-Masyi; Menyoal Wahdatul Wujud, Kasus Abdurrahman Singkel di Aceh Abad 17, Bandung: Mizan, 1999
Gibb, H.A.R , 1955,  ´An Interpretation of Islamic History II”, MW,45,II
Hodgson, M.G.S. , 1974, The Venture of Islam, II Chicago: University of Chicago Press,
Johns, A.H., 1961, “Sufism as a category in Indonesion Literature and History:, JSEAH, 2, II,
Qardhawi, Yusuf, 2001, Kebudayaan Islam Ekslusif atau Inklusif, Solo: Era Intermedia, Cet. I
Rivauzi, Ahmad, 2007, Pendidikan Berbasis Spiritual; Tela’ah Pemikiran Pendidikan Spiritual Abdurrauf Singkel dalam Kitab Tanbih al-Masyi”(Tesis), Padang: PPs IAIN IB Padang
Trimingham, J.S. , 1998, The Sufi Orders in Islam, London: Oxford University Press,  , cet II



Kamis, 01 November 2012

Membentuk Pribadi yang Tangguh

Membentuk Pribadi yang Tangguh
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA

A.           Pendahuluan
Setiap manusia menghendaki kehidupan yang bahagia, damai, dan jauh dari penderitaan. Fenomena kehidupan manusia yang hidup di zaman modern, tatanan hidup mereka, tujuan dan makna hidup mereka, cara mereka mengisi hidup termasuk bagaimana mereka menjalankan kehidupan adalah tema yang sangat menarik dan penting untuk dikaji. Kehendak dan kebutuhan manusia untuk hidup bahagia itu sesungguhnya ditentukan oleh sejauh mana mereka memahami hakikat kehidupan mereka, bagaimana mereka memaknai hidup mereka dan lainnya.
Pembicaraan dan pembahasan kehidupan manusia modern dan masalah hidup bermakna, dalam berbagai kesempatan telah banyak dilakukan banyak orang seperti yang ditulis oleh  Nurcholis Madjid “ Bahkan boleh dikata bahwa seluruh sejarah umat manusia  adalah wujud dari rentetan  usahanya  menemukan hakikat diri dan makna hidup”.[1] Kesimpulan Nurcholis ini didasari oleh karena memang di dalam adanya dan terwujudnya rasa serta kesadaran akan  makna dan tujuan hidup itulah terwujud kebahagiaan dan kedamaian baik hidup pribadi maupun hidup sosial.
Tekanan yang amat berlebihan dari segi material atau kemajuan dan kecanggihan dalam cara dan teknik dalam mewujudkan keinginan memenuhi hidup material yang telah menjadi ciri utama zaman modern, telah menjadi permasalahan yang dihadapi manusia modern dan ternyata harus ditebus dengan harga yang mahal yaitu kehilangan akan kesadaran makna hidup yang lebih dalam. Kesuksesan manurut manusia yang hidup di era modern ini hampir  identik hanya dengan keberhasilan mewujudkan angan-angan dalam bidang kehidupan material. Ukuran “sukses” atau tidak sukses kebanyakan terbatas hanya kepada seberapa jauh seseorang mampu menampilkan dirinya secara lahiriyah, dalam kehidupan material.[2]
Materialisme orang modern bukanlah merupakan suatu pandangan kefalsafatan seperti layaknya yang ada dalam marxisme, akan tetapi merupakan suatu etos yang memandang kebahagian manusia dan harga dirinya ada dalam penampilan penampilan pisik dan lahiriyah, meskipun orang itu sepenuhnya percaya pada yang gaib atau “immaterial” . Maka ironinya adalah mereka pergi ke dukun untuk memperoleh kekayaan material. Ini tentu sangat berbeda dengan ideologi Marxis yang secara ideologis  tidak mempercayai yang gaib yang tentu juga mereka menolak dan mengharamkan pergi ke dukun. Etos kesuksesan matrealis manusia modern telah menjadi berhala baru yang menghalangi mereka dari kenyataan yang lebih hakiki yaitu kenyataan ruhaniah. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Nurcholis Madjid  “ Etos kesuksesan telah menjadi agama pengganti (ersatz religion)  dan tidak resmi (illicit) , namun secara efektif membelenggu ruhaninya”.[3]
Islam menghargai kerja keras sebagaimana Firman Allah menyatakan :
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ(7)وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ(8) (الانشراح:٧-٨)
Artinya :-Apabila engkau telah selesai, (mengerjakan suatu pekerjaan), maka persusah payahlah (mengerjakan yang lainnya)
- Dan kepada Tuhanmu, berharaplah. (al-Insyirah : 7-8)
Dalam ayat di atas secara tegas (explisit), Allah sangat menganjurkan usaha kerja keras untuk kepentingan dunia dan juga akhirat. Akan tetapi lain halnya dengan usaha keras yang dilakukan oleh manusia modern yang matrealis yang hanya terpaku pada kemegahan material dan terkecoh akan kemuliaan abadi yang bertitik tolak pada kebahagiaan kerohanian.
Keterkecohan manusia oleh kehidupan yang rendah (duniya) akan menimbulkan kekosongan dari keinsyafan akan tujuan dan makna hidup yang akan mempunyai  dampak yang sangat jauh dan mendasar . Sebagai contoh , Negara-negara maju banyak terjangkiti oleh penyakit bunuh diri. Kekosongan akan makna hidup dapat menyebabkan orang tidak memiliki harga diri yang kokoh  dan membuat dia tidak tahan akan penderitaan, kekurangan harta benda, maupun penderitaan jiwa karena pengalaman hidup  yang tidak sejalan dengan harapan.
Kekosongan jiwa manusia yang disebabkan oleh keterkecohan kehidupan rendah ini  juga pernah diungkapkan oleh Robert Musil, seorang nofelis terkenal dari Australia, dan para ahli kontemporer lain sebagaimana dikutip oleh Nurcholis Madjid , sebagai gejala “kepanikan epistimologi”akibat dari penisbian yang berlebihan dalam pandangan hidup.[4] Mereka mengatakan bahwa di Eropa sekarang sedang mengalami kepanikan tentang pengetahuan dan makna. Keduanya merupakan persoalan utama pembahasan epistimologi dalam falsafah. Fenomenanya adalah di bawah gelimangan kemewahan harta itu terdapat perasaan putus asa, perasaan takut yang mencekan yang dikarenakan tidak adanya makna, tidak pastinya pengetahuan, dan tidak mungkinnya seseorang berkata dengan mantap tentang apa yang diketahuinya atau bahkan apa memang dia sudah tahu. Akhirnya pengetahuan menjadi sama nisbinya dengan segala sesuatu yang lain. Kenyataan ini dapat dipahami karena  semua yang mereka peroleh dilahirkan dari pemikiran yang hanya mampu menatap dan mengkaji sesuatu yang bersifat material, atau sesuatu yang dapat dicermati, dan diamati (observable) melalui instrumen indrawi, atau objek yang bersifat lahiriah.
Persoalan ini juga pernah ditanggapi oleh Hamka yang mengkritisi tentang akar persoalan kehampaan jiwa ini “ Kerusakan dan kekacauan jiwa, adalah tersebab dari karena manusia tidak mempunyai tujuan hidup, tidak mempunyai ide”.[5]
Kenyataan ini tentu akan sangat jauh berbeda dengan orang yang menghayati sebuah pengetahuan dan makna yang tidak cuma didapatkan melalui rasional saja tetapi juga melalui potensi spritual. Perbedaan ini dibuktikan karena tidak semuanya dapat diketahui melalui proses-proses rasional dan tidak semuanya masuk ke dalam dunia empirik. Di sinilah berperannya kedudukan iman yang dibarengi dengan berpikir dalam upaya penemuan hakikat sebuah kebenaran yang utuh yang kalau dilihat isyarat al- Qur’an tentang perintah Allah untuk berpikir yang pada dasarnya bertujuan agar manusia lebih mudah untuk beriman dan tunduk ta’abud kepada-Nya.
B.            Permasalahan Dunia Pendidikan
Sebuah kenyataan yang harus diakui adalah di satu sisi manusia merupakan produk sejarah masa lalu dan produk lingkungannya dengan tidak menafikan peranan pribadi manusia yang bersangkutan. Seperti juga pernah ditulis oleh Marleau Ponty sebagai englobe dan englobant yang artinya manusia tidak hanya dimuat atau dipengaruhi oleh dunia (englobe), tetapi juga memuat atau mempengaruhi dunia (englobant).[6] Hal ini bisa kita simpulkan bahwa kegagalan manusia sekarang dalam menemukan makna hidup juga merupakan akibat dosa sejarah yang dilakukan oleh komunitas sosial, penyelenggara dan sistem pendidikan yang ada selama ini.
Kondisi kegagalan pendidikan dalam usaha transformatif nilai, ilmu dan makna hidup juga dialami oleh lembaga pendidikan Islam yang dinamakan selama ini, atau penyelenggaranya yang beragama Islam, kemudian gagal merumuskan (memformulasikan) bangunan (kostruksi) sistem pendidikan yang akan membantu manusia dalam menemukan makna hidupnya. Karena pada dasarnya pendidikan jangan cuma membawa manusia ke alam pengembaraan intelektual akan tetapi juga harus mampu membawa ke alam pengembaraan spiritual. Kegagalan lembaga pendidikan Islam ini juga digambarkan oleh M. Arifin:
 “Kemampuan lembaga pendidikan Islam yang pernah membuktikan dirinya menjadi liberating forces dari belenggu kemunduran  dan keterbelakangan  taraf hidup material dan mental pada zaman permualan sejarah dan pada abad kecerahannya (abad 7 – 14 M), telah mengalami krisis demi krisis yang kronis yang melemahkan”.[7]
Kenyataan ini berbeda dengan isyarat yang dikehendaki al Qur’an yang menghendaki agar setiap generasi hendaklah merasa khawatir meninggalkan generasi-generasi yang lemah. Sebagai wujud kekhawatiran itu tentunya dibutuhkan tindakan aplikatif yang terlahir dari rasa tanggung jawab seperti firman Allah surat an Nisa’ ayat 9:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا(9) (النسأ : ٩)
Artinya: “hendaklah mereka takut, jika sekiranya mereka meninggalkan anak-anak yang lemah dibelakangnya, takut akan terlantar anak-anak itu, maka hendaklah mereka takut kepada Allah dan berkata dengan perkataan yang betul” (an-Nisa’ : 9)

     Pendidikan Islam seharusnya mampu menjadikan manusia atau pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi baik jasmaniah maupun ruhaniah, menumbuh suburkan hubungan yang harmonis baik dengan Allah maupun dengan manusia dan alam semesta,[8] dan membantu pribadi-pribadi dalam usaha penemuan makna hidupnya.
     Kemudian kalau dilihat kepada skop yang lebih kecil yaitu di Indonesia dengan sistem yang telah menghasilkan produk pendidikannya. Betapa banyaknya kasus – kasus korupsi, kolusi dan nepotis yang dilakukan oleh manusia- manusia Indonesia yang diberikan  amanah kepada mereka pada setiap jajaran institusi. Mereka adalah produk sistem pendidikan kita. Betapa banyaknya manusia-manusia Indonesia yang melakukan pelanggaran nilai-nilai moral yang lain seperti, pelacuran, pencopetan, pembunuhan, perselingkuhan, pengangguran dan lain sebagainya. Sekali lagi penulis tegaskan bahwa mereka itu semua itu pernah dididik dalam sistem pendidikan nasional kita. Barangkali kita harus adil melihat semua ini  bahwa kegagalan manusia-manusia Indonesia mengapresiasi nilai-nilai moral adalah karena kegagalan sistem pendidikan nasional dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.
     Dalam konteks pendidikan Islam pun demikian. Banyak orang yang mengaku agama Islam  tetapi tidak hidup secara Islam atau banyak umat Islam Indonesia tidak tahu apa itu sebenarnya Islam, atau banyak juga yang tahu dengan Islam tapi hati mereka mati tidak mampu menangkap pancaran Nur Ilahi. Seolah–olah mereka merasakan Islam tidak membawa rahmat bagi mereka walaupun Allah telah menegaskan bahwa Islam itu diturunkan-Nya untuk menjadi rahmat.
     Mustahil peserta didik akan cerdas rohaniahnya kalau pendidiknya, metodenya, materinya tidak simultan membangun dan melahirkan peserta didik yang cerdas  secara ruhaniah. Pendidikan Islam kadang hanya berbicara bagaimana mencerdaskan imtelektuanya dan tidak pernah serius membicarakan bagaimanana mencerdaskan ruhaniahnya. Aktivitas pendidikan sa’at ini agaknya kurang berpedoman kepada bagaimana Nabi Muhammad mendidik manusia yang lebih mengutamakan membangun ruhaniah terlebih dahulu baru membangun aspek yang lain.  
     Berdasarkan kenyataan di atas, maka tema bagaimana membentuk pribadi yang kuat secara Qur’ani menjadi sangat penting.

C.           Upaya Membentuk Pribadi yang Kuat

     Dalam perspektif Islam, salah satu karakteristik orang yang berkepribadian kuat adalah bertakwa. Pribadi yang bertakwa dicirikan dengan pribadi yang mampu ber-muraqabah kepada Allah SWT. Muraqabah dapat diartikan dengan kondisi merasa dekat yang dirasakan oleh seorang hamba terhadap Allah sebagai Tuhannya.
            Pada hakikatnya, Allah sangat dekat dengan hamba-Nya melebihi kedekatan nadi seorang hamba terhadap dirinya sendiri. Akan tetapi, kedekatan seorang hamba terhadap Tuhannya akan dirasakan jauh bahkan sangat jauh dengan Tuhannya jika sihamba itu sering dan banyak melakukan kesalahan atau dosa yang dilakukannya dalam keadaan sadar. Semakin banyak dosa, Allah akan terasa semakin jauh dan akan menyebabkan si hamba merasa tidak nyaman untuk melakukan pengaduan (munajah) kepada Tuhannya. Kondisi ini sesunggguhnya merupakan kondisi yang sangat merugikan sebagai seorang hamba.
            Kesalahan atau dosa yang dilakukan seorang manusia tidak dapat dilepaskan oleh kelemahan manusia dalam melakukan pengendalian dirinya dari dorongan hawa nafsunya. Hawa nafsu adalah sebuah potensi insani yang jika tidak dikendalikan untuk selaras dengan kehendak Allah akan membawa manusia kepada kenistaan dan derajat yang rendah.
            Hakikat dari ibadah adalah terpeliharanya kesucian jiwa atau ruhani manusia dengan pengendalian diri ( naha an-nafs ‘an al-hawa). Dengan pengendalian diri dari dorongan hawa nafsu, maka ruh akan terjaga dari ke-kotoran yang jika diiringi dengan taubat, maka ruh manusia akan disucikan oleh Allah.
            Kesucian ruh inilah yang menjadi syarat utama bagi seorang manusia untuk dapat mendekatkan diri dan merasakan kedekatan kepada Allah dan dapat merasa nyaman bersama Allah SWT. Inilah kunci bagi manusia untuk dapat merasakan kebahagiaan, kenyamanan, dan ketenangan bathin.
             Ada empat hal[9] yang perlu dilatihkan bagi setiap mukmin untuk dapat ber-muraqabah dengan Allah.
1.       ( يقرون بعبودتيه )Orang-orang yang mengekalkan diri dalam berubudiyah kepada Allah.
Mengekalkan diri dalam beribadah atau melakukan ibadah yang kontiniu tidak harus bermakna seorang muslim harus melakukan shalat sepanjang waktu, atau puasa sepanjang tahun. Yang dituntut dalam mengekalkan ibadah di sini adalah dengan menghadirkan hati dalam setiap aktivitas dengan melakukan pemaknaan spiritual terhadap semua aktivitas tersebut.
Banyak muslim yang rajin melakukan ibadah mahdhah, namun lalai melibatkan hati (qashdu syai’ bi ar ruh). Ibadah lahiriyah atau jasmani akan kehilangan makna tanpa melibatkan dimensi kesadaran atau kesengajaan ruh dalam melakukannya. Mengawali aktivitas dengan niat ibadah dan menjadikan aktivitas apa saja sebagai bentuk-bentuk kepatuhan kepada Allah adalah kunci utama mengekalkan diri dalam beribadah.
Menghadirkan kesadaran jiwa atau hati dalam berbagai keadaan, dimanapun dan sedang melakukan apa pun akan menjadikan seseorang selalu terhubung dengan Allah. Semua kegiatan yang dilakukan muslim dalam keadaan seperti ini akan mengangkat semua kegiatan itu menjadi zikir baginya. Seorang petani yang mengayunkan cangkulnya di sawah, maka setiap ayunan cangkul itu akan menjadi zikir baginya dan dapat mengantarkannya kepada keadaan muraqabah. Begitu juga halnya dengan kegiatan-kegiatan kehidupan lainnya pada profesi apapun.
2.       ( ويقرون بربوبيته )           Orang-orang yang mengekalkan diri dalam Rububiyah Allah.
Rabba-yurabbi-rabban ( رب – يرب – ربا ) secara bahasa berarti mengasuh, mengatur, dan memimpin. [10] Mengekalkan diri dalam rububiyah bermakna bahwa segala sesuatu yang ada pada alam semesta merupakan ciptaan Allah dan selalu berada dalam genggaman, asuhan, serta penguasaan Allah. Seorang muslim yang sadar akan rububiyah Allah akan merasakan bahwa tidak ada satu urusan apa pun yang luput dari genggaman Allah.
Kesadaran dan keyakinan  rububiyah ini perlu selalu dihadirkan dalam jiwa dan hati seorang muslim.  Keyakinan rububiyah yang sudah hayat (hidup) dalam jiwa akan menyelamatkan manusia dari berbagai macam penyakit kronis ruhani. Penyakit kronis ruhaniyah ini dapat dicontohkan dengan kesombongan ketika berhasil, putus asa ketika gagal, stres dalam memikul berbagai kesibukan dan banyak lagi lainnya.
Memiliki kesadaran rububiyah akan menjadikan manusia mampu bersyukur ketika berbahagia dan mendapat nikmat, dan akan mampu bersabar ketika ditimpa seseuatu yang tidak disukai atau sedang menerima kegagalan dan ujian dari Allah Swt. Kesadaran rububiyah akan memberikan pencerahan yang bersifat spiritual kepada manusia bahwa segala susuatu yang dimiliki dan diterima oleh manusia merupakan pemberian Allah karena rahman dan rahimnya Allah. Kesungguhan dalam berusaha hakikatnya adalah kewajiban manusia dan keberhasilan dari usaha itu, tidak lebih dari kemurahan Allah semata. Sehingga dengan demikian bagi seorang mukmin tidak ada istilah kecewa dan putus asa dalam kegagalan dan angkuh serta sombong ketika sukses. Karena jiwa manusia, kekuatan dan kelemahan yang terdapat pada setiap diri umat manusia adalah anugerah Allah semata yang harus disyukuri dan diberdayakan sesuai dengan kehendak Allah Swt. Inilah kunci sukses dan optimisme setiap orang yang beriman kepada Allah Swt.
3.      ( ويصدقون بالمعاد اليه ) Orang-orang yang membenarkan akan kembali kepada Allah.
Keyakinan terhadap janji Allah dan keyakinan bahwa segala sesuatu akan kembali kepada Allah Swt., membantu manusia untuk memiliki kelapangan ruhaniyah. Manusia sering dijajah oleh perasaan keragu-raguan, kebimbangan serta kebingungan terhadap ketidakpastian hari esok. Manusia bertanya tentang hari esok, keberuntungan apa yang bisa didapatnya, atau bahkan bencana serta malapetaka apa yang akan datang mendekat. Sekarang sehat, datang kekhawatiran dalam jiwa, bagaimana kalau sakit datang menimpa bahkan muncul rasa takut datangnya kematian yang akan mengakhiri kehidupan dunia ini. Semuanya merupakan ketidakpastian.
Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan keresahan jiwa manusia yang dikungkung oleh berbagai rasa, seperti ketakutan, kekhawatiran, was-was, keresahan, dan beribu perasaan lainnya yang bahkan kadang manusia itu sendiri tidak dapat memahami perasaan apa yang mereka rasakan.
Kehidupan ini bukanlah kehidupan 1 (satu) dimensi yang dapat ditebak dengan sesuatu yang bersifat pasti. Kehidupan memiliki “n” dimensi.[11] Ada beribu kemungkinan yang tidak terhitung. Kondisi akan membuat derita jiwa bagi orang-orang yang buta mata hatinya. Kebutaan mata hati inilah yang akan menimbulkan kecemasan-kecemasan yang akan melahirkan berbagai penyakit keruhanian.
Menyakini dan membenarkan bahwa segala susuatu akan kembali kepada Allah akan membantu ruhani manusia terbebas dari keresahan jiwa terhadap ketidakpastian di atas. Hanya satu yang pasti dalam hidup ini, yaitu Tuhan. Dia lah kepastian sumber kehidupan dan akan kembali kepada-Nya secara pasti juga. Dia yang merahmati makhluk-Nya, Dia juga yang akan memberikan balasan terhadap keshalehan hamba-Nya serta akan membiarkan rasa derita jiwa bagi manusia yang tidak meng-imani-Nya.
Seorang mukmin yang meyakini Allah sebagai tempat kembalinya, akan mampu untuk ikhlas dalam beramal, sabar dan lapang dada dalam berbagai keadaan sulit. Tidak perlu harap terhadap pujian dan sanjungan manusia, karena rahmat Allah lebih besar dari semua itu. Juga tidak perlu kecewa jika kebaikan yang dilakukan kepada manusia lain, dibalasi dengan sesuatu yang tidak baik, karena cukupkanlah Allah sebagai Zat yang Maha Membalasi semua kebaikan. Begitu juga halnya, tidak perlu membalas kejahatan orang lain karena cukuplah Allah sebagai hakim yang adil dalam memberikan ganjaran dan balasan.
Menghadirkan keyakinan bahwa Allah tempat kembalinya semua urusan dan maha adil dalam memberikan balasan dan ganjaran, merupakan solusi utama dari berbagai fenomena sosial yang sering terjadi dalam kehidupan ini. Hilangnya kesabaran dalam menghadapi persoalan hidup, baik persoalan pribadi maupun persoalan masyarakat dapat terjadi  karena tipisnya kesadaran ruhani umat manusia terhadap Tuhannya. Tidak adanya kesadaran ini menjauhkan ruhani manusia dari pencerahan ke-Tuhanan karena Tuhan itu sendiri terasa jauh dari kehidupan yang disebabkan keengganan manusia itu sendiri untuk berdialog dengan Tuhannya dalam hidupnya.
4.      ( ويسلمون لقضائه ) Orang-orang yang tunduk kepada ketentuan Allah.
Sering didengar keluhan dari umat Islam itu sendiri yang mengisahkan keringnya jiwanya dan beratnya hati untuk mengadu (munajah) kepada Allah. Enggannya hati untuk menghadap Allah ketika lapang, tentunya akan membuat hati jadi tidak nyaman mengadu kepada Allah ketika dalam keadaan sulit dan sempit. Kerasnya hati untuk mensyukuri nikmat Allah ketika memperoleh rizki, dengan sendirinya juga akan membuat enggannya jiwa untuk menadahkan tangan kepada Allah dalam mushibah.
Manusia dapat membangkang terhadap ketentuan Allah, namun perlawanan manusia tidak akan merubah ketentuan Allah. Ketika seorang manusia ditimpa mushibah misalnya, kerasnya hati manusia dapat menolak dan membenci mushibah itu, namun tetap saja, segala sesuatu yang sudah terjadi tetap tidak berubah. Orang yang sudah mati tidak akan hidup lagi walaupun semua manusia menolak kematian tersebut.
Ikhlas terhadap ketentuan Allah dan menyatu dengan kehendak Allah adalah langkah keberuntungan untuk dapat damai dan tenang dalam hidup. Dalam kitab Tanbih al-Masyi, Abdurrauf Singkel mengutip sebuah hadits qudsi [12]:
ابن ادم تريد واريد ولا يكون الا ما اريد فان سلمت لي فيما اريد اعطيتك ما تريد وان نزعتني فيما اريد اتعبتك فيما تريد ثم لا يكون الا ما اريد   
Arinya: Hai anak Adam, engaku punya keinginan, dan Akupun demikian. Jika engkau pasrah terhadap apa yang Aku inginkan, maka Aku akan memberikan apa yang engkau inginkan. Namun jika engkau menentang apa yang Aku inginkan, Aku akan mempersulit apa yang engkau inginkan sehingga tidak akan terjadi sesuatu kecuali apa yang Aku inginkan
Empat prinsip yang telah dijelaskan di atas merupakan prinsip penting untuk dilatihkan dan dibiasakan oleh setiap muslim untuk ber-muraqabah dengan Allah Swt guna terbentuknya pribadi yang kuat.
D.           Kesimpulan
Pendidikan jiwa dan mengembalikan kesucian jiwa dengan amaliyah yang shaleh serta memahami prinsip-prinsip latihan muraqabah, dan dilakukan dengan prinsip iman, dan penuh perhitungan serta keikhlasan akan dapat dinilai oleh Allah sebagai ibadah sehingga Allah Swt., merahmati dan menganugrahkan kesucian jiwa, dan mengangkatnya kepada kemuliayaan dengan diberikannya kepekaan ruhaninyah untuk dapat merasakan kedekatan dengan Allah Swt.
Jika manusia dapat merasakan kedekatan dengan Allah, maka ketakwaan akan menjadi pakaian manusia itu dan ia akan menjadi kuat. Tapi jika manusia merasa jauh dengan Allah, maka ketakwaan tidak akan pernah bisa terwujud dalam jiwa setiap manusia dan jiwanya akan menjadi rapuh dan lemah.

DAFTAR BACAAN
al-‘Aki, Khalid Abdurrahman, Shafwah al-Bayan li Ma’ani al-Qur’an al-Karim, Damsyiq; al-Khathath ‘Utsman Thaha, 1994

Arifin , H. M., Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum),Jakarta; Bumi Aksara, 1995

Daulay, Haidar Putra , Pendidikan Islam Dalam Menghadapi Abad XXI(Tinjauan dari sudut Inovasi Kurikulum, Pendidikan dan Lembaga Pendidikan), Medan; Majalah Fitrah, 1996

Djumhana, Hanna,  Meraih Hidup Bermakna (Kisah Pribadi dengan Pengalaman Tragis), Jakarta; Bumi Aksara, 1996

Hamka, Lembaga Budi, Jakarta; Pustaka Panjimas, 1983

Rivauzi, Ahmad, Pendidikan Berbasis Spiritual; Tela’ah Pemikiran Pendidikan Spiritual Abdurrauf Singkel dalam Kitab Tanbih al-Masyi (Tesis), Padang; PPs IAIN IB Padang, 2007

Singkel, Abdurrauf, Tanbih al-Masyi, (Manuskrip Naskah) tth
Tasmara, Toto, Kecerdasan Ruhaniah (Transendental Intelligence) Membentuk kepribadaian yang bertanggung jawab, Profesional, dan berakhlak, Jakarta, Bina Insani Press,2001

Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hida Karya, 1990) Cet. VIII
Zohar, Danah, dan Ian Marshall, SQ; Memamfa’atkan Kecerdasan Spiritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, Penj. Rahmani Astuti dkk., Bandung: Mizan, 2001



                [1] Hanna Djumhana, Meraih Hidup Bermakna (Kisah Pribadidengan Pengalaman Tragis), (Jakarta; Bumi Aksara, 1996), h. xv
[2] Ibid. h. xvi
                [3] Ibid. h. xviii
                [4] Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah (Transendental Intelligence) Membentuk kepribadaian yang bertanggung jawab, Profesional, dan berakhlak, (Jakarta, Bina Insani Press,2001) h.2  h.xix

                [5] Hamka, Lembaga Budi, (Jakarta; Pustaka Panjimas, 1983),h. vii
                [6] Hanna Djumhana, Op. cit., h.47
                [7] H. M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum),(Jakarta; Bumi Aksara, 1995), h. 36
[8] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam Dalam Menghadapi Abad XXI(Tinjauan dari sudut Inovasi Kurikulum, Pendidikan dan Lembaga Pendidikan), Medan; Majalah Fitrah, 1996),h.12
[9]  Khalid Abdurrahman al-‘Aki, Shafwah al-Bayan li Ma’ani al-Qur’an al-Karim, (Damsyiq; al-Khathath ‘Utsman Thaha, 1994) h. 64
[10] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Hida Karya, 1990) Cet. VIII, h. 136 . Dalam bahasa sehari-hari, pada asalnya kata ini dinisbahkan kepada Allah dengan makna Tuhan, Pencipta, Pengatur dan lain sebagainya.
[11]  Dalam salah satu teori matematika yang disebut “hyperspace” Michio Kaku; seorang fisikawan mengatakan bahwa ruang tidak memiliki dimensi dua, tiga, atau empat dimensi. Tetapi “n” dimensi. Lihat, Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ; Memamfa’atkan Kecerdasan Spiritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, Penj. Rahmani Astuti dkk. (Bandung: Mizan, 2001),  h. 57
[12]  Ahmad Rivauzi, Pendidikan Berbasis Spiritual; Tela’ah Pemikiran Pendidikan Spiritual Abdurrauf Singkel dalam Kitab Tanbih al-Masyi (Tesis), (Padang; PPs IAIN IB Padang, 2007)  h. 149. Dalam Manuskrip naskah Asli Abdurrauf Singkel dapat ditemukan pada,  Ms.B. h. 94 dan Ms.A., h. 7