ISLAM DAN PENDEWASAAN KULTURAL
Oleh:
Dr. Ahmad Rivauzi, MA
A.
Pendahuluan
Manusia adalah makhluk
yang berbudaya. Budaya itu sendiri dalam kamus Arab disebut tsaqafah, dan
peradaban disebut dengan hadharah. Dalam Mu’jam al-Wasith,
kebudayaan (tsaqafah) diartikan sebagai ilmu pengetahuan dan berbagai
bidang kehidupan manusia yang membutuhkan kecakapan. Secara bahasa, tsaqafah
itu sendiri berarti kepintaran, kecakapan, kecerdasan, atau pelurusan. (Qardhawi, 2001: 20)
Sebagaimana ditegaskan Qardhawi, ada
kalangan yang membatasi tsaqafah sebatas bidang pengetahuan seperti
hal-hal yang berhubungan dengan ilmu, pemikiran, etika, dan seni. Namun ada
pula ulama yang memperluas konsepsi tsaqafah sehingga tidak terbatas
pada bidang pengetahuan dan pemikiran, tetapi juga mencakup bidang perasaan
yang tidak lain adalah seni, bidang keruhanian yaitu agama, segi praktek atau
prilaku ber-agama dan akhlak, bahkan juga mencakup bidang materi dalam
kehidupan ini. Dengan demikian, tsaqafah adalah berbagai pemikiran,
pengetahuan, dan pencapaian yang dicampur dengan nilai-nilai, keyakinan, dan
perasaan yang sering disebut dengan akhlak dan ibadah, adab dan prilaku, juga
ilmu, seni, hal-hal yang bersifat materi, dan spiritual. (Qardhawi, 2001: 20)
Lebih jelasnya, apakah makan, berjalan,
kawin itu adalah budaya?
Jika yang dimaksud makan itu sekedar
suapan, kunyahan, dan proses pencernaan, dan Jika yang dimaksudkan dengan
berjalan itu sebatas melangkahkan kaki, dan kawin itu dimaksudkan dengan
sebatas hubungan kelamin, maka ini semua bukan budaya (tsaqafah), karena
hal ini dilakukan oleh manusia dan binatang, bahkan dalam hal ini binatang
lebih unggul dibanding manusia.
Tapi jika yang dimaksudkan dengan makan,
berjalan, kawin dan lainnya berkaitan dengan nilai, misalnya, makanlah dengan
tangan kanan, makan yang halal lagi baik, awali dengan basmalah dan
akhiri dengan hamdalah, maka ini baru dapat dikatan dengan budaya.
Segala yang
bersifat materi dan perilaku akan berubah menjadai budaya (tsaqafah)
apabila ia berkaitan dengan nilai, tujuan yang mulia, kriteria dan prilaku yang
akan meningkatkannya dan memindahkannya dari makna hewani ke cakrawala
inisani. (Qardhawi, 2001: 24)
Dalam kaitan budaya dengan peradaban
seperti yang juga disinyalir oleh Qardhawi, ada sebagian kalangan yang berusaha
membedakannya. Di antara perbedaan itu dikatakan, budaya berkaitan dengan aspek
individu, sedangkan peradaban berkaitan dengan aspek sosial. Atau budaya tidak
dikatakan berkaitan dengan materi, sedangkan peradaban berkaitan dengan materi.
Dalam konteks ini, Qardhawi tidak membedakan antara budaya dengan peradaban dan
kalau masih harus dibedakan juga, maka dengan melihat keluasan cakupan konsepsi
budaya yang diberikannya, dapatlah dikatakan bahwa peradaban merupakan bagian
dari kebudayaan itu sendiri.
Berangkat dari konsepsi budaya di atas, menarik untuk ditela’ah berbagai
fakta dan fenomena budaya terutama dalam hubungannya dengan agama di Indonesia.
Sering muncul kesan wajah muram dan kadang terlihat babak belur dalam pentas
kehidupan masyarakat Indonesaia belakangan ini. Di satu sisi, muncul fenomena
yang ekstrim dan cenderung dinilai berlebih-lebihan dalam mengapresiasi idealisme
Islam, seperti pengahancuran tempat maksiat disertai pemukulan si pelaku
maksiat. Kadang juga sering ditemukan sikap merasa benar sendiri dan
menyalahkan bentuk-bentuk perbedaan pemahaman di tengah masyarakat, asal beda
dianggap bid’ah misalnya yang sering disebabkan karena tidak terpahaminya
dengan baik apa itu budaya dan mana yang substansi ajaran agama itu sendiri.
Sementara itu pada sisi
yang lain juga muncul sikap cuek dan malah tidak mau tau dengan idealisme
budaya Islam dan kadang sering tampil asal ikut-ikutan seperti perayaan tahun
baru masehi yang berlebih-lebihan, valentine day di kalangan remaja yang
sesungguhnya tidak sesuai dengan spirit dan idealisme tsaqafah
Islami.
Dengan demikian, sangat
dibutuhkan spirit dan pemahaman yang tepat tentang budaya dan Islam itu sendiri
sehingga muncul sebuah apresiasi idealisme Islam dalam konteks berbudaya yang
betul-betul sesuai dengan visi Islam itu sendiri yaitu sebagai rahmatan
lil’alamin yang membawa kesejukan dan kedamaian hidup.
B.
Awal Mula
Kebudayaan Islam di Indonesia
Menyangkut kedatangan Islam ke Nusantara, terdapat
berbagai teori dalam diskusi panjang yang berpokok pada tiga permasalahan utama
: tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya.
Berdasarkan riwayat-riwayat yang dikemukakan historiografi, dapat diambil
kesimpulan terkuat bahwa Islam datang ke Nusantara berasal dari Arabia pada
abad pertama Hijri atau pada abad ke 7 Masehi. Para ilmuan telah menyepakati
ini pada seminar yang diselenggarakan pada tahun 1969 dan 1978. (Azra, 1998:28)
Kesimpulan ini mematahkan teori-teori yang
menyebutkan Islam datang ke Nusantara berasal dari India dan Gujarat pada abad
ke-12 atau 13 Masehi seperti teori dari
sejumlah sarjana Belanda, memegang keyakinan bahwa Islam yang datang ke
Nusantara berasal dari anak benua India dan Gujarat. Teori ini pertama kali
dikemukakan oleh Pijnappel dari Universitas Leiden. Teori ini kemudian didukung oleh Hurgronje
dengan hujjahnya; begitu Islam berpijak kokoh di beberapa kota pelabuhan Anak
Benua India, Muslim Deccan---banyak di
antara mereka tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan
Timur Tengah dengan Nusantara---datang ke Dunia Melayu Nusantara sebagai
penyebar Islam pertama, baru kemudian disusul oleh orang-orang Arab. Kedatangan
mereka ini berlangsung pada Abad 12. Sarjana Belanda lain, Moquette,
berkesimpulan bahwa Gujaratlah daerah asal Islam Nusantara. Alasannya adalah adanya
kesamaan batu nisan di Pasai dengan yang ada di Cambay, Gujarat. Fatimi justru
berkesimpulan lain, Islam katanya berasal dari Bengal karena kesamaan batu
nisan antara Bengal dengan yang ditemui di Nusantara. Namun Marrison membantah
kedua teori ini karena pada sa’at Islamisasi Samudera Pasai, yang raja
pertamanya yang wafat pada 698/1297, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu.
Barulah 1 tahun sesudahnya Cambay, Gujarat ditaklukkan kekuasaan Muslim. ( Azra,
1998:25-26)
Dalam
kaitan dengan asal kedatangan dan pembawa Islam ke Nusantara, juga terdapat
beberapa teori. Arnold mengatakan bahwa Islam datang dari Coromandel, Malabar
dengan alasan kesamaan dalam mazhab fiqih yaitu Syafi’iyyah. Pendapat ini juga
disepakati oleh Marrison. Akan tetapi menurut Arnold, selain Comandel dan
Malabar, Islam juga langsung datang dari Arabia. Dalam pandangannya, para
pedagang Arab yang dominan dalam perdagangan Barat-Timur pada abad pertama
Hijri atau abad 7 Masehi, juga menyebarkan Islam pada setiap daerah yang
disinggahinya yang di antaranya adalah Nusantara. (T.W. Arnold, 1913: 364-365)
Teori
Islam yang datang langsung Arabia juga dipegang oleh Crawfurd, serta Niemann
dan de Hollander dengan sedikit merevisi pendapat Kejzer yang mengatakan Islam
Nusantara datang dari Mesir dengan alasan kesamaan mazhab fiqih. Lebih tegas
dua ilmuan yang disebutkan terakhir ini menegaskan bahwa Islam Nusantara bukan datang
dari Mesir, akan tetapi dari Hadhramawt. Teori ini juga dikuatkan oleh Naquib
al-Attas. All-Attas beralasan bahwa adanya impor batu Nissan dari Gujarat
sebagaimana dilansir oleh sarjana Belanda di atas, sesunguhnya lebih didasarkan
karena dekatnya jarak geografir kedua daerah ini lebih dekat ketimbang Arabia. (Azra,
1998: 28)
Menarik
dikemukan di sini, dalam kajiannya, Azra mengambil kesimpulan; pertama,
Islam dibawa langsung dari Arabia; kedua, Islam dibawa oleh penyiar
“professional” ---yakni mereka yang memang khusus bermaksud menyebarkan Islam; ketiga,
yang mula-mula masuk Islam adalah para penguasa; dan keempat,
kebanyakan penyiar profresional ini datang ke Nusantara pada pada abad ke
12-dan 13. (Azra, 1998:30-31).
Dalam
kitannya dengan kesimpulan ketiga Azra yang menyimpulkan bahwa yang mula-mula
masuk Islam adalah para penguasa, dibutuh analisis kritis juga. Karena ada
kemungkinan lain yang masuk Islam pertama itu bisa jadi bukannya dari kalangan
penguasa. Hal ini disebabkan oleh karena yang datang untuk pertama kali ini
lebih kuat diyakini dari kalangan para pedagang Muslim, maka tentunya yang
pertama kali masuk Islam adalah dari kalangan masyarakat pribumi biasa dan para
pedagang-pedagang Nusantara. Baru pada tahap berikutnya sebagaimana pendapat
Azra, akselerasi penyebaran Islam baru tampak secara nyata pada abad ke 12-16.
Hal ini dimungkinkan oleh karena telah berdatangannya para penyiar professional
dan para sufi yang memainkan peranan besar terhadap konversi agama
besar-besaran penduduk Nusantara. (Rivauzi, 2007:125)
Teori
yang lebih aplikabilitas tentang konversi besar-besaran penduduk Nusantara terhadap
memeluk Islam sebagaimana dijelaskan oleh Azra adalah teori yang dikemukakan
oleh A.H Johns dengan mempertimbangkan kecilnya kemungkinan bahwa para pedagang
memainkan pengaruh besar dalam penyebaran Islam, ia mengajukan bahwa para sufi
pengembaralah yang terutama melakukan penyebaran Islam dan berpengaruh besar
terhadap Islamisasi besar-besaran penduduk Nusantara. Hal ini berlangsung
setidaknya mulai dari abad ke-13. Faktor utama keberhasilan para sufi ini
adalah kemampuan para sufi menampilkan Islam dalam kemasan yang atraktif,
khususnya dengan menekankan kesesuaian dengan Islam atau kontiniutas,
ketimbang perubahan dalam kepercayaan
dan praktek keagamaan lokal secara radikal. (Azra, 1998:32-33 )
Alasan
yang dipakai Johns adalah banyaknya ditemukan sumber-sumber lokal yang
mengaitkan pengenalan Islam ke kawasan ini dengan guru-guru pengembara dengan
karakteristik sufi yang kental. Karakteristik mereka secara rinci adalah,“ Mereka
adalah para penyiar (Islam) pengembara yang berkelana di seluruh dunia yang
mereka kenal, yang secara sukarela hidup dalam kemiskinan; mereka sering
berkaitan dengan kelompok-kelompok dagang atau kerajinan tangan , sesuai dengan
tarekat yang mereka anut; mereka mengajarkan teosofi sinkretik yang kompleks,
yang umumnya dikenal baik orang-orang Indonesia, yang mereka tempatkan ke bawah (ajaran
Islam), (atau) yang merupakan pengembangan dari dogma-dogma pokok Islam; mereka
menguasai ilmu magis, dan memiliki kekuatan untuk menyembuhkan; mereka siap
memelihara kontiniutas dengan masa silam, dan menggunakan istilah-istilah dan
unsure-unsur kebudayaan pra Islam dalam konteks Islam”. Johns menguatkan
hujjahnya bahwa tarekat sufi tidak menjadi ciri dominan dalam perkembangan
dunia Muslim sampai jatuhnya Bagdad ke tangan lascar Mongolia pada 656/1257. (A.H. Johns, 1961: 10-23)
Sebagimana
juga Gibb yang mencatat bahwa setelah kejatuhan Bagdad, kaum sufi memainkan
peranan kian penting dalam memelihara
keutuhan dunia Muslim dengan menghadapi
tantangan kecendrungan pengepingan kawasan-kawasan kekhalifahan ke dalam
wilayah-wilayah linguistic Arab, Persia, dan Turki. Pada masa ini tarekat sufi
secara bertahap menjadi intitusi yang stabil dan disiplin, dan mengembangkan
afiliasi dengan kelompok-kelompok dagang dan kerajinan tangan (thawa’if)
, yang turut membentuk masyarakat urban. (H.A.R Gibb, 1955:130)
Bahkan
lebih awal lagi, Bulliet menyatakan bahwa pada abad ke 10 dan 11 ketika Bagdad
mengalami kemerosotan, tokoh-tokoh sufi banyak melakukan perpindahan dan
pengembaraan ke berbagai wilayah yang ia kenal. Hal inilah yang diistilahkannya
dengan kebangkitan para ulama akan kesadaran mereka tentan krusialnya peran
mereka dalam menyebarkan dan memelihara keutuhan pengaruh Islam. (R.W. Bulliet,
36)
Dalam
hal ini, Hodgson menyebutkan telah terjadinya internasionalisasi
“universalisasi” Islam Sunni pada pada abad ke 11. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya ulama Sunni Bagdad bagian barat yang melakukan pengembaraan. Lebih
mencolok katanya, di Persia dalam periode yang sama, Persia kehilangan banyak
ulama Sunni. Inilah yang menyebabkan bertumbuhnya Syi’ah di Persia. Migrasi ini
ikut ambil andil besar dalam proses konversi besar penduduk yang mendiami anak
benua India dan Eropa Timur dan Tenggara dan Nusantara pada abad 10 dan akhir
abad 13. (M.G.S. Hodgson, 1974:1-368)
Berdasarkan
hal di atas, menurut Azra, sejak kebangkitan Islam sampai paruh kedua abad 17,
telah terbentuk kontak hubungan yang erat antara orang-orang Nusantara dengan
pusat-pusat pengetahuan Islam, dalam hal ini Timur Tengah. Jalinan hubungan ini
mengambil beberapa bentuk serta fase. Dalam fase pertama, yaitu sejak akhir
abad 8 hingga abad 12, bentuk hubungan yang terjalin , umumnya berkenaan dengan
perdagangan. Inisiatif hubungan ini lebih diprakarsai oleh para pedagang muslim
Timur Tengah, khususnya Arab dan Persia. Pada fase berikutnya, samapai akhir
abad ke 15, hubungan kedua kawasan ini mulai menyentuh aspek-aspek yang lebih
luas, yaitu menyentuh aspek penyebaran agama Islam. Tahap ketiga, yaitu sejak
abad 16 hingga paruh kedua abad 17, hubungan kedua kawasan lebih bersifat
politis, di samping, tentunya, keagamaan. Pada periode ini semakin banyak
Muslim Nusantara yang datang ke tanah suci, dan yang pada gilirannya mendorong
terciptanmya jalinan keilmuan antara Timur Tengah dengan Nusantara. Hubungan
ini tentunya, ulama Timur Tengah berperan sebagai guru dan Muslim Nusantara
sebagai murid. Dalam bentuk hubungan inilah yang nantinya dipandang oleh Azra,
terciptanya semangat pembaharuan di bidang politik dan keagamaan yang nantinya
merembes ke Nusantara, terutama sejak paruh abad 17 hingga abad ke 18, ketika
murid-murid Haramayn (Makkah dan Madinah) tersebut banyak kembali ke Nusantara
(kampung halamannya). Penting dicatat di sini, pada abad 16-17 ini terjadi
pertarungan politik antar Portugis dengan Dinasti Utsmani di kawasan Lautan
India. Kaum Muslim Nusantara lebih mengambil inisiatif untuk menjalin hubungan politis dengan
penguasa Utsmani, dan sekaligus ikut mmemainkan peran aktif dalam perdagangan
di Lautan India. Pada abad ini hubungan politik dan keagamaan juga terjalain
dengan penguasa Haramayn. Faktor-faktor ini memberikan kontribusi dalam
kelancaran hubungan keilmuan Timur Tengah dengan Nusantara (Lihat, Azra dalam Oman, 1999:11)
Dalam
konteks ini, Azra memasukkan Abdurrauf Singkel sebagai tokoh kunci dalam
konteks dinamika pembaharuan ke-Islaman di Nusantara di antara dua tokoh lainya
yaitu, Nuruddin ar-Raniri di Aceh, dan Muhammad Yusuf al-Maqassari, yang lahir
di Sulawesi Selatan, dan kemudian memuali karirnya di Jawa Barat, sebelum
kemudian berkelana hingga ke Arabia, Srilanka, dan Afrika Selatan. Tiga ulama ini,
merupakan beberapa di anatar mereka yang termasuk dalam komunitas, yang oleh
sumber-sumber Arab disebut sebagai Ashāb a-Jāwiyyīn (saudara kita orang Jāwi)
di Haramayn, Makkah dan Madinah. Jasa murid-murid Haramayin ini yang sangat
signifikan adalah dalam memberikan dasar pijakan bagi semangat pembaharuan
dalam berbagai masyarakat muslim di Nusantara pada abad 17-18. Pertukaran
gagasan serta pemeliharaan wacana intelektual pada masa ini sangat penting bagi
sejarah pemikiran ke Islaman di Nusantara. Gejolak dan dinamika yang muncul
dari hubungan dan kontak yang intens melalui jaringan ulama tersebut,
memunculkan efek revitalisasi Islam dalam kehidupan pribadi dan masyarakat
Muslim Melayu-Indonesia. Sebagaimana dijelaskan oleh Azra, ciri yang sangat
menonjol dari corak keagamaan yang diperjuangkan oleh para ulama decade ini
adalah semangat rekonsiliasi antara kubu yang sangat berkomitmen terhadap
Syari’ah dengan kubu ulama ahli Haqiqat (tasawuf). Mereka adalah ulama-ulama
yang ahli di bidang ilmu Syari’ah dan Haqikat sekaligus. Perjauangan dakwah
yang kemudian mereka lakukan sekembalinya mereka dari tanah Arab, kemudian
bersentuhan dengan berbagai persoalan dinamika politik, yang pada giliranya,
mereka menjadi lokomotif utama dalam mensosialisasikan pemikiran keagamaan
serta menawarkan solusi kemasyarakatan termasuk di dalamnya konflik pemahaman
di tengah medan pemahaman keagamaan masyarakat muslim. Keterlibatan aktifitas
mereka menyentuh jantung dan nadi pemahaman keagamaan masyarakat seperti
melalui tulisan-tulisan, keterlibatan mereka dibidang pemerintahan, pendidikan,
peradilan dan dakwah (Azra dalam Oman,1999: 12)
Khusus
terhadap Abdurrauf, dia mampu menembus inti jaringan ulama di Haramayn yang
jauh melampaui ar-Raniri dan al-Maqassari. Abdurrauf Singkel memnpunyai banyak
mata rantai yang lansung dan kokoh dengan para tokoh utama dari jaringan ulama.
Dari Abdurrauf inilah dapat disaksikan dengan jelas silsilah-silsilah
intelektual dan spiritual, yang menempatkan Islam di wilayah Nusantara di atas
peta penyebaran global pembaruan Islam. Dari silsilah yang berasal dari
Abdurrauf kemudian didapati penyebaran ke Islaman yang menyebar ke seantero
Nusantara.
C.
Fenomena Islam
Indonesia Pasca Kemerdekaan
Setelah
merdeka pada paroh abad 20, bangsa Indonesia mulai dihadapkan dengan berbagai
persoalan besar. Derita akibat penjajahan masih dirasakan sakit oleh anak
bangsa yang mendiami bumi khatulistiwa ini. Suasana politik yang masih labil,
persoalan polemik ideologi berbangsa dan bernegara yang masih panas, ekonomi
dan budaya dan semua aspek kehidupan berbangsa sangat membutuhkan pembenahan.
Penjajahan memang
sangat kejam karena menempat bangsa terjajah pada derjat yang rendah. Rakyat
terjajah diperlakukan sebagai sub-human, tidak sebagaimana manusia penuh
dan utuh. Sebagaimana dikemukakan oleh A.Syafi’i Ma’arif, imperialisme
menampakkan berbagai bentuk: meliter, politik, ekonomi, dan kultural, dengan
watak utamanya dominasi dan eksploitasi oleh suatu bangsa atas bangsa lain
(Ma’arif, 1997:168)
Sampai abad 21 ini,
walaupun dominasi meliter bangsa lain terhadap Indonesia sudah hilang, namun
dominasi ekonomi, sosial budaya dan lainnya masih terasa meremas dan
mengacak-acak kehidupan berbangsa. Sehingga, jati diri bangsa betul-betul
diuji. Padahal bangsa yang benar-benar merdeka adalah bangsa yang berdaulat
lahir dan batin, ke dalam dan ke luar.
Dalam masalah budaya,
jati diri kita sebagai bangsa sedang menghadapi gelombang peradaban
materialistik, sekularistik, hedonistik, bahkan ateistik. Pengalaman pahit di
masa penjajahan berabad-abad menyebabkan anak-anak bangsa ini sulit untuk
bangkit percaya diri, berdiri di atas kaki sendiri kemudian membingkai
peradaban dan kebudayaan yang bermartabat. Koropsi, manipulasi, mementingkan
diri sendiri seolah-olah sudah menjadi budaya bangsa ini.
Kasus contek massal
yang diintstruksikan oleh guru-guru kepada anak-anak didiknya yang terjadi pada
juni 2011 di salah satu SD di Surabaya, merupakan cerminan kebobrokan budaya bangsa
ini. Kalau bangsa ini mau jujur, diperkirakan kasus itu hampir terjadi pada
semua daerah Indonesia walupun data akuratnya tidak ada. Bukankah pendidikan
adalah pilar utama membangun bangsa yang memiliki peran ganda? Pendidikan
merupakan produk dari budaya sekaligus sebagai wadah membentuk dan melahirkan
kebudayaan.
D.
Peranan Islam
dalam Pendewasaan Kultural di Indonesia
1. Perbaikan
Akhlak
Dekadensi moral yang
labil pada dasarnya merupakan cerminan dari budaya bangsa yang sedang sakit.
Langkah-langkah yang harus ditempuh adalah melakukan upaya bersama-sama dalam
memperbaiki suasana mental manusia Indonesia agar tidak terus menerus menempuh
jalan yang bengkok dan korup. Untuk kepentingan ini, jalan satu-satunya adalah
agama. Pancasila yang kita jadikan sebagai dasar dan ideologi bangsa, tanpa
bantuan agama akan kekeringan sumber nilai transendentalnya. (Ma’arif, 1997:172).
Moralitas pancasila akan hidup dengan menghidupan moralitas agama. Sehingga,
agama dan negara di Indonesia tidak bisa dipisahkan walaupun bisa dibedakan.
Sebagai bahan renungan,
bangsa Indonesia perlu mengambil pelajaran dari
masyarakat yang sangat industrial, seperti Amerika. Masyarakat Amerika,
menurut pengamatan Jack Kemp, mantan menteri Perumahan dan Pembangunan Kota,
Amerika sudah kelabu dari sisi moral. Kemp menulis: “A society that is
indifferent to its moral and spiritual life is indifferent to its future”. (Masyarakat yang tak peduli terhadap
kehidupan moral dan spiritualnya, berarti tidak peduli terhadap masa depannya).
(Jack Kemp, 1995: 34).
Bangsa Indonesia
tentunya tidak harus mengalami kehancuran moral seperti yang terjadi di
Amerika. Hal ini tentu hanya bisa diwujudkan kalau semua elemen bangsa mau
menyadarinya.
Dalam konteks di atas,
Ma’arif menulis, bahwa agama harus dipahami secara substantif agar pesannya
dapat didaratkan secara bermakna. Sikap beragama yang artifisial tidak akan
menolong keadaan bangsa yang kusut. Sebuah agama, yang sudah kehilangan fungsi
transendentalnya pada diri pemeluknya, tidak akan berdaya memberi kekuatan moral kepada peradaban. Ketika fungsi ini
tersingkir, maka kegalauan dan kebiadaban peradaban tidak mungkin dibendung
lagi.(Ma’arif, 1997:176). Maraknya dekadensi moral pada semua lapisan
masyarakat yang dapat dengan mudah disaksikan merupakan bukti dari iklim
tertindasnya prinsip moral-transendental yang ada pada agama itu.
Berangkat dari fakta di
atas, maka tidak ada jalan lain untuk membenahi kondisi bangsa ini selain
membingkainya dengan moralitas agama.
2.
Memberikan
Pondasi Pendewasaan Kultural
Islam sebagai sebuah
doktrin adalah satu. Namun sebagai ekspresi kultural, Islam itu beragam. Islam
bisa saja tampil dalam rona muka yang bervariasi. Ada Islam Indonesia yang
berbingkai Pancasila, Islam Pakistan, Islam Arab, Islam Malaysia dan lainnya. Bermacam-macam
ekspresi kultural ini muncul sebagai akibat yang logis dari lingkungan sejarah
dan feografis yang berbeda-beda. Sejauh Islam kultural ini tidak melanggar
prinsip tauhid dan prinsip-prinsip dasar Islam, maka keberagaman
tersebut seyogyanya diterima sebagai bentuk penafsiran ke-Islaman yang berjalan
secara alamiah. Yang perlu dijaga adalah agar wajah-wajah Islam yang beragam
tersebut tidak merusak bangunan tauhid dan persaudaraan universal umat. Mereka
yang menganggap Islam sebagai sistem kultur yang monolitik adalah keliru
dan perlu diluruskan pemahamannya, karena mereka buta untuk melihat kekayaan
Islam sebagai ajaran yang universal sebagaimana telah termanifestasikan dalam
pelbagai periode sejarah. (Ma’arif, 1997:15-25)
Begitu juga halnya
dengan pemahaman keagamaan umat Islam juga tampil dalam berbagai bentuk rona
yang beragam. Munculnya mazhab-mazhab fikih, apresiasi pemahaman keagamaan
Ormas Islam semisal Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Perti dan lain sebagainya
merupakan contoh keberagamaan yang harus disikapi dan diterima dengan lapang
dada sebagai bentuk dari rahmat Allah yang disyukuri. Tidak boleh
perbedaan-perbedaan tersebut membawa kepada perpecahan umat.
Namun, pada kali yang
lain, perbedaan paham keagamaan akan menjadi tidak dapat ditolerir apabila
perbedaan tersebut berada pada tingkat ajaran-ajaran dasar atau prinsip-prinsip
dasar Islam. Prinsip-prinsip tersebut adalah hal-hal dasar yang berhubungan
dengan prinsip-prinsip keimanan dan ke-Islaman sebagaimana termaktup pada rukun
iman dan rukun Islam. Pada wilayah ini tidak boleh ada perbedaan paham. Kalau
seseorang telah mengaku beragama Islam, maka keyakinannya harus satu dan wajib sama
dengan muslim lainnya; misalnya keyakinan bahwa tidak ada tuhan selain Allah Yang
Esa Zat, Shifat dan Af’al-Nya serta meyakini Nabi Muhammad
adalah rasulullah. Begitu juga halnya dengan aspek rukun Islam; dia harus ta’at
dan patuh menjalankan perintah Allah untuk shalat lima kali sehari dan semalam,
wajib puasa pada bulan Ramadhan, kewajiban bayar Zakat dan haji bagi yang mampu
dan lain sebagainya. Hal-hal ini merupakan ajaran dasar dalam Islam sehingga
tidak boleh ada perbedaan dalam pemahaman dan keyakinan karena sudah diatur
tegas oleh Allah serta rasul-Nya dan ini tidak membutuhkan ijtihad.
Muncul pertanyaan, lalu
bagaimana dengan perbedaan semisal dalam hal penetapan 1 Ramadhan, 1 Syawal, ke
-jaharan Basmalah dalam membaca al-Fatihah, qunut dalam shalat
shubuh, perbedaan jumlah shalat tarawih? Permasalahan tersebut termasuk aspek ijtihadiyah
atau furu’iyah dalam kehidupan beragama dan itu dibolehkan selama
perbedaan tersebut punya landasan syar’i dan tidak bertentangan dengan
dalil-dalil syar’i.
Untuk melengkapi uraian
di atas, Yusuf Qardawi menjelaskan karakteristik muslim dan kebudayaanya (Qardawi,
2001: 35-54) . Karakteristik tersebut adalah:
a. Rabbaniyah
Ia
adalah kebudayaan yang terpadu dengan aspek ke-Tuhanan. Visi keimanan,
khususnya tauhid menyatu dengan seluruh sisi kebudayaan tersebut, mengalir di
dalamnya sebagaimana aliran darah dalam-pembuluh-pembuluh darah kapiler.
Sehingga, sya’ir, sains, falsafah, seni dan lain sebaginya akan dijiwai oleh
nilai tauhid sebagai ruhnya yang akan menjadikan kebudayaan tersebut membawa
rahmat dan kemulyaan pada umat manusia.
b. Akhlaqiyah
Kebudayaan
Islam memiliki dimensi dan tujuan moral yang tinggi. Akhlak dalam Islam
menempati posisi yang sangat mulia dan berharga. Sehingganya, salah satu missi
kerasulan itu adalah menyempurnakan akhlak umat manusia.
c. Insaniyah
Karakteristik
ini menekankan bahwa kebudayaan itu dapat dikatakan sebagai kebudayaan Islam
apabila kebudayaan tersebut menempatkan dan menjadikan manusia pada
kemuliyaannya yang sesungguhnya. Kebudayaan yang memelihara fitrah manusia,
serta hak-hak asasinya yang theosentris. Allah sendiri telah memuliyakan
manusia sebagai makhluk yang terhormat, maka seyogyanyalah manusia memelihara
kemuliayaan dirinya dengan tampil berbeda dengan makhluk lainnya yang tidak
berakal budi.
d. Al-‘Alamiyah
Al-‘Alamiyah
maksudnya adalah bahwa kebudayaan Islam itu bersifat universal. Walaupun
kebudayaan Islam itu bisa tampil dalam bentuk yang beragam, namun nilai-nilai
budayanya sangat luas dan menjadi rahmat bagi semesta alam.
e. At-Tasamuh
Di
antara hal yang menunjukkan sifat universalitas Islam itu adalah sifat
toleransi yang ada di dalamnya. Dua hal yang di ajarkan Islam berkenaan dengan
pentingnya toleransi ini. Pertama, bahwa perbedaan umat manusia dalam
agama dan lainnya terjadi atas kehendak Allah (Hud: 118-119). Kedua, bahwa
perhitungan atas kesesatan dan atau penyelewengan yang dilakukan umat manusia
diserahkan pada hukum Allah dan Allah adalah Yang Maha Menghakimi, bukan
kehendak nafsu manusia (Asy-Syura:15). Kedua hal inilah yang mendorong umat
Islam untuk mampu berbeda dalam keberagaman.
f. Keberagaman
Keberagaman
dalam rona dan tampilan sebagai manivestasi apresiasi keta’atan kepada Allah
dan Rasul-Nya selama perbedaan tersebut memiliki dasar keta’atan syar’iyyah
kepada Allah.
g. Al-Wasathiyah
Sifat
keberagaman di atas disempurnakan dengan al-wasathiyah (pertengahan).
Kebudayaan merepresentasikan jalan pertengan dan keseimbangan tidak ekstrim.
h. At-Takamul
Di
antara karaktristik berikutnya ini adalah saling menyempurnakan. Antara satu
bagian dengan bagian lainnya. Wawasan bahasa mendukung wawasan agama, humaniora
dan lainnya. Islam tidak menciptakan kebudayaan dari nol, namun menyempurnakan
kebudayaan-kebudayaan yang ada sebagaimana al-Qur’an menyempurnakan kitab-kitan
samawi yang datang sebelumnya.
i.
Al-I’tizaz
bi adz-Dzat
Berikutnya
karakteristik kebudayaan Islam itu adalah bahwa ia bangga dengan kepribadian
dan keistimewaannya, dengan sumber-sumbernya yang Rabbani, tujuan-tujuan
kemanusiaannya, orientasi dan celupan moralnya. Kebudayaan Islam bukan
kebudayaan yang mengekor tetapi memimpin dinamika budaya dan peradaban umat
manusia.
E.
Kesimpulan
Moralitas budaya akan
hidup dengan menghidupan moralitas agama. Sehingga, agama dan budaya di
Indonesia tidak bisa dipisahkan walaupun bisa dibedakan.
Islam sebagai sebuah
doktrin adalah satu. Namun sebagai ekspresi kultural, Islam itu beragam.
Bermacam-macam ekspresi kultural ini sejauh tidak melanggar prinsip tauhid
dan prinsip-prinsip dasar Islam, maka keberagaman tersebut seyogyanya diterima
sebagai bentuk penafsiran ke-Islaman yang berjalan secara alamiah.
Yang perlu dijaga
adalah agar wajah-wajah Islam yang beragam tersebut tidak merusak bangunan
tauhid dan persaudaraan universal umat. Islam bukan sebagai sistem kultur yang monolitik
karena Islam itu kaya sebagai ajaran yang universal sebagaimana telah
termanifestasikan dalam pelbagai periode sejarah Islam.
Daftar Bacaan:
Azra, Azyumardi, 1998, Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan VIII, Bandung: Mizan,
Cet 1V
Fathurrahman, Oman, Tanbih
al-Masyi; Menyoal Wahdatul Wujud, Kasus Abdurrahman Singkel di Aceh Abad 17, Bandung:
Mizan, 1999
Gibb, H.A.R , 1955, ´An Interpretation of Islamic History II”,
MW,45,II
Hodgson, M.G.S. , 1974,
The Venture of Islam, II Chicago: University of Chicago Press,
Johns, A.H., 1961, “Sufism
as a category in Indonesion Literature and History:, JSEAH, 2, II,
Qardhawi, Yusuf, 2001, Kebudayaan
Islam Ekslusif atau Inklusif, Solo: Era Intermedia, Cet. I
Rivauzi, Ahmad, 2007, Pendidikan
Berbasis Spiritual; Tela’ah Pemikiran Pendidikan Spiritual Abdurrauf Singkel
dalam Kitab Tanbih al-Masyi”(Tesis), Padang: PPs IAIN IB Padang
Trimingham, J.S. ,
1998, The Sufi Orders in Islam, London: Oxford University Press, , cet II