PENDIDIKAN
BERBASIS SPIRITUAL
Oleh: Dr. Ahmad Rivauzi, MA
A.
Konsep
dan Pengertian Pendidikan Berbasis Spiritual
Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang
berkebudayaan dan berperadaban. Salah satu karakteristiknya adalah adanya
hasrat dan kebutuhan untuk mengembangkan budaya bahkan mewariskannya kepada
generasi sesudahnya. Hal inilah yang sesungguhnya yang menjadi bidang garapan
dari pendidikan mulai dari bentuknya yang sederhana sampai kepada sebuah
pendidikan yang memiliki system yang maju, lengkap, dan sempurna. Semakin maju suatu peradaban, akan semakin maju dan
sempurnalah system pendidikan yang dibentuknya yang tujuannya adalah sebagai
upaya mewariskan, mengembangkan, memelihara budaya dan peradaban itu sendiri. Setiap budaya membentuk pola dan corak didikan yang khas.
Hal ini dapat dipahami bahwa seorang liberalis akan membentuk pola didikan
liberal dan akan menggiring orang lain untuk menjadi liberalis. Seorang ateis
akan membentuk pola ateis untuk menjadikan orang lain menjadi ateis dan begitu
juga seorang yang menganut suatu keyakinan agama akan membentuk pola didikan
sesuai dengan keyakinannya (Ahmad Rivauzi, 2007: 91).
Pendidikan berbasis spiritual dalam tulisan ini
didefinisikan sebagai konsep, system pendidikan yang menekankan pada
pengembangan kemampuan ruhaniah atau spiritual dengan standar spiritual yang
dapat dirasakan oleh peserta didik untuk meraih kesempurnaan hidup menurut
ukuran Islam. Pengembangan kemampuan spiritual tidak terbatas pada peserta
didik, akan tetapi mencakup semua pelaku pendidikan. Hal ini berangkat dari
asumsi bahwa mendidik dan mengikuti pendidikan adalah ibadah. Ibadah secara
fungsionil bertujuan pada pencerahan spiritual (Ahmad Rivauzi, 2007: 91).
Pendidikan Berbasis
Spiritual didasari oleh keyakinan bahwa aktivitas pendidikan merupakan ibadah
kepada Allah swt. Manusia diciptakan sebagai hamba Allah yang suci dan diberi
amanah untuk memelihara kesucian tersebut. Secara umum
pendidikan berbasis spiritual memusatkan perhatiannya pada spiritualitas
sebagai potensi utama dalam menggerakkan setiap tindakan pendidikan dan
pengajaran, dalam hal ini dipahami sebagai sumber inspiratif normative dalam
kegiatan pendidikan dan pengajaran, dan sekaligus spiritualitas sebagai tujuan
pendidikan (Ahmad Rivauzi, 2007: 91).
- Dasar Pendidikan Berbasis
Spiritual
Menurut Ahmad Rivauzi (2007: 97), pijakan utama pendidikan berbasis sipiritual adalah
al-Qur’an dan hatits Nabi Muhammad Saw. Al-qur’an memuat nilai dan ketentuan
lengkap dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, posisi hadits Nabi menempati
sumber kedua yang berperan sebagai penjelas terhadap isyarat-isyarat hokum dan
nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur’an. Peran al-Qur’an dalam kehidupan ilmu
dan kehidupan, hokum, social, serta budaya masyarakat muslim dapat tergambar
dalam firman Allah:
ذَلِكَ الْكِتَابُ
لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ
وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا
أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ
يُوقِنُونَ أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ
- Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan
padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,
- (yaitu) mereka yang beriman kepada yang
ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezkiyang kami
anugerahkan kepada mereka.
- Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al
Quran) yang Telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang Telah diturunkan
sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat
- Mereka
Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah
orang-orang yang beruntung (QS. Al-Baqarah: 2-5)
Allah menjelaskan akan eksistensial manusia di muka bumi
ini. Dasarnya
dapat terlihat dari paparan berikiut, sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam
firman-Nya:
وَإِذْ أَخَذَ
رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى
أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka
menjawab: “ Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:”Sesungguhnya kami
(bani Adam) adalah orang-orang yang lemah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.(QS.
al-A’raf:172)
Dalam ayat di atas, tergambar sebuah dialog antara Tuhan
dan jiwa (ruh). Sebuah dialog hanya akan terwujud ketika terjadi suasana saling
kenal. Waktu itu ruh sudah kenal dan merasakan keberadaan Allah dengan segala
keagungan-Nya dalam artian yang sesungguhnya terbukti dengan adanya dialog. Ruh
manusia sudah memiliki kesadaran spiritual tertinggi atau sudah berada pada
level (maqam liqa’) dengan Tuhan dan menyatu dengan keseaan dan
keagungan-Nya. Sekarang timbul pertanyaan, kenapa ketika manusia sudah berada
di alam dinia ini, jiwa manusia tidak memiliki kesadaran spiritual itu lagi?.
Jiwa manusia sudah lupa dan kesadaran spiritual itu berganti dengan “kesadaran
ego” (Ahmad Rivauzi, 2007:98).
Jadi pada hakekatnya keberadaan
manusia di alam dunia ini adalah untuk menapak tilasi perjanjian dulu,
mengembalikan kesadaran spiritual yang dulu sudah ada dan melaksanakan amanah
perjanjian itu (Ahmad Rivauzi, 2007:98). Pada ayat lain dapat kita temui tentang hakihat hidup ini
sebagai ujian sebagaimana firman-Nya:
الَّذِي
خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ
الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
Artinya: Yang menjadikan mati dan
hidup, supaya Dia menguji kamu . Sipa di antara kamu yang lebih baik amalnya
dan Dia maha perkasa lagi maha pengampun (QS. al-Mulk: 2)”.
Kebenaran
pada hakekatnya hanya milik Allah dan Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya
dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya.
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ
مِنَ الْمُمْتَرِينَ
Kebenaran itu adalah dari
Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang
ragu”.(al-Baqarah : 147)
وَلَا تُؤْمِنُوا إِلَّا لِمَنْ تَبِعَ
دِينَكُمْ قُلْ إِنَّ الْهُدَى هُدَى اللَّه ِقُلْ إِنَّ الْهُدَى هُدَى اللَّهِ
أَنْ يُؤْتَى أَحَدٌ مِثْلَ مَا أُوتِيتُمْ أَوْ يُحَاجُّوكُمْ عِنْدَ رَبِّكُمْ
قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ
عَلِيمٌ
Dan janganlah kamu percaya melainkan kepada orang
yang mengikuti agamamu. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk (yang harus
diikuti) ialah petunjuk Allah, dan (janganlah kamu percaya) bahwa akan
diberikan kepada seseorang seperti apa yang diberikan kepadamu, dan (jangan
pula kamu percaya) bahwa mereka akan mengalahkan hujjahmu di sisi
Tuhanmu". Katakanlah: "Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah,
Allah memberikan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha
luas karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui";(Ali Imran : 73)
Pada ayat lainnya Allah berfirman:
وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ
وَأَنْتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ ءَايَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَنْ
يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا
وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Bagaimanakah
kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan
rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? barangsiapa yang berpegang teguh
kepada (agama) Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah diberi petunjuk kepada jalan
yang lurus.
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa
kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan
beragama Islam. (Q.S. Ali Imran: 101-102)
Kegiatan dan
aktivitas pendidikan merupakan bagian penting dari semua tugas penciptaan yang
diamanahkan oleh Allah kepada manusia. Dengan pendidikan, manusia dibentuk
untuk menjadi khalifah, untuk mampu memakmurkan bumi, dan menjadi hamba Allah
yang sesungguhnya. Bagi hamba Allah, kehidupannya merupakan manifestasi dari
tugas penghambaan ibadah untuk redha Allah (Ahmad Rivauzi, 2007: 100).
Secara ilmiah, kajian psikologi modern telah mengalami
kemajuan yang cukup berarti terutama tentang penyingkapan dimensi spiritualitas
manusia. Epistimologi ilmu dalam Islam berpijak dan menempatkan wahyu serta intuitif ruhani dalam
pencarian kebenaran sebagai epistimologi utama di samping rasionalitas. Tidak
adanya pengakuan terhadap dimensi ini berdampak besar kepada kehampaan
kebermaknaan kehidupan dalam aspek yang lebih luas (Ahmad Rivauzi, 2007: 100).
Kekosongan akan makna
hidup akan menyebabkan orang tidak memiliki harga diri yang kokoh dan membuat dia tidak tahan akan penderitaan,
kekurangan harta benda, maupun penderitaan jiwa karena pengalaman hidup yang tidak sejalan dengan harapan. Kekosongan
jiwa manuasia yang disebabkan oleh keterkecohan kehidupan rendah ini juga pernah diungkapkan oleh Robert Musil,
seorang nofelis terkenal dari Australia ,
dan para ahli kontemporer lain sebagaimana dikutip oleh Nurcholis Madjid ,
sebagai gejala “kepanikan epistimologi”akibat dari penisbian yang
berlebihan dalam pandangan hidup (Toto
Tasmara, 2001). Mereka
mengatakan bahwa di eropa sekarang sedang mengalami kepanikan tentang
pengetahuan dan makna. Keduanya merupakan persoalan utama pembahasan
epistimologi dalam falsafah. Fenomenanya adalah dibawah gelimangan kemewahan
harta itu terdapat perasaan putus asa, perasaan takut yang mencekan yang
dikarenakan tidak adanya makna, tidak pastinya pengetahuan, dan tidak
mungkinnya seseorang berkata dengan mantap tentang apa yang diketahuinya atau
bahkan apa memang dia sudah tahu. Akhirnya pengetahuan menjadi sama nisbinya
dengan segala sesuatu yang lain. Kenyataan ini dapat dipahami karena semua yang mereka peroleh dilahirkan dari
pemikiran yang hannya mampu menatap dan mengkaji sesuatu yang bersifat
material, atau sesuatu yang dapat dicermati, dan diamati (observable) melalui
instrumen indrawi, atau objek yang bersifat lahiriah. Persoalan ini juga pernah
ditanggapi oleh Hamka (1993: vii) yang mengkritisi tentang akar persoalan kehampaan jiwa
ini “ Kerusakan dan kekacauan jiwa, adalah tersebab dari karena manusia tidak
mempunyai tujuan hidup, tidak mempunyai ide” (Ahmad Rivauzi, 2007: 101).
Kenyataan ini tentu
akan sangat jauh berbeda kita lihat dengan orang yang menghayati sebuah
pengetahuan dan makna yang tidak cuma didapatkan melalui rasional saja tetapi
juga melalui potensi spritual karena tidak semuanya dapat diketahui melalui
proses-proses rasional dan kerena tidak semuanya masuk kedalam dunia empirik.
Disinilah berperannya kedudukan iman yang dibarengi dengan berpikir dalam upaya
penemuan hakikat sebuah kebenaran yang utuh yang kalau kita lihat isyarat al-
Qur’an tentang perintah Allah untuk berpikir yang pada dasarnya bertujuan agar
kita lebih mudah untuk beriman dan tunduk ta’abud kepadanya (Ahmad Rivauzi, 2007: 101).
Sebuah kenyataan yang
harus diakui adalah bahwa disatu sisi manusia adalah produk sejarah masa lalu
dan produk lingkungannya dengan tidak menafikan peranan pribadi manusia
bersangkutan yang juga ikut menentukan. Seperti juga pernah ditulis oleh
Marleau Ponty sebagai englobe dan englobant yang artinya manusia
tidak hanya dimuat atau dipengaruhi oleh dunia (englobe), tetapi juga
memuat atau mempengaruhi dunia (englobant) (Hanna Djumhana, 1996).
Hal ini bisa kita simpulkan bahwa kegagalan manusia sekarang dalam
menemukan makna hidup adalah juga merupakan akibat dosa sejarah yang dilakukan
oleh komunitas sosial, penyelenggara dan sistem pendidikan yang ada selama ini (Ahmad Rivauzi, 2007: 101).
Dapat disimpulkan bahwa dalam konteks
pendidikan berbasis spiritual, al-Qur’an dan hadits adalah sumber pijakan normatifnya dan intuitif
ruhaniyah serta rasionalitas empiric adalah instrumennya.
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا
اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا
الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka
tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus. (QS.
Al-Bayyinah: 5)
Bagi seorang mukmin
yang muslim, kehidupan adalah lapangan ibadah kepada Allah. Ibadah adalah Nilai
aktivitas dan tindakan seorang muslim baik tindakan ruhani, rasional,
emosional, spiritual, maupun tindakan lahiriyah sebagai manivestasi kongkritnya
dalam kehidupan real (Ahmad Rivauzi, 2007: 102).
- Tujuan Pendidikan Dalam
Pendidikan Berbasis Spiritual
Pendidikan segyanya di arahkan kepada upaya membantu
peserta didik meng’arifi tujuan penciptaannya sebagai hamba Allah dan sekaligus
sebagai khalifah Allah di permukaan bumi. Lahirnya kesadaran ber-Tuhan dan
tergapainya rahmat Allah sehingga lahirnya kemampuan manusia melakukan
pertemuan (liqa’) dengan Tuhannya merupakan tujuan utamanya (Ahmad Rivauzi, 2007: 102). Sebagaimana
firman Allah:
قُلْ
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ
وَاحِدٌفَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا
وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Katakanlah:
Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku:
"Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa".
barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat
kepada Tuhannya". (QS. Al-Kahfi: 110)
Kepustakaan:
- Ahmad Rivauzi, Pendidikan Berbasis Spiritual: Telaah Pemikiran Pendidikan Spiritual Abdurrauf Singkel dalam Kitab Tanbih al-Masyi, (Tesis), Padang: PPs IAIN Imam Bonjol Padang, 2007
- Hamka, Lembaga Budi, Jakarta; Pustaka Panjimas, 1983
- Hanna Djumhana,Meraih Hidup Bermakna(Kisah Pribadi Dengan Pengalaman Tragis, Jakarta; Paramadina, 1996, Cet. ke-1
- Toto Tasmara, Toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah (Transendental Intelligence) Membentuk kepribadaian yang bertanggung jawab, Profesional, dan berakhlak, Jakarta, Bina Insani Press,2001
disini tidak ada contoh konjret tentang materi spiritual yang diajarkan kepada murid....baru, pengertian,dasar dan tujuan
BalasHapus